Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah 'Keperawatan Anak Sakit Kronis & Terminal'
yang diampu oleh dosen pengajar Ibu Zakiyah Yasin S. Kep, NS. M. Kep
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS WIRARAJA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya kami bisa
menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Sakit Anak Kronis & Terminal tentang
"Asuhan Keperawatan Reumatoid Heart Disease (RHD) Pada Anak. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dosen yang telah membimbing dan semua pihak
yang telah membantu sehingga makalah ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi
semua dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
kita semua.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
Rematoid heart disease (RHD) merupakan penyebab terpenting dari penyakit jantung yang di
dapat, baik pada anak maupun pada dewasa. Rematoid fever adalah peradangan akut yang sering
diawali oleh peradangan pada faring. Sedangkan RHD adalah penyakit berulang dan kronis. Pada
umumnya seseorang menderita penyakit rematoid fever akut kira-kira dua minggu sebelumnya
pernah menderita radang tenggorokan.
Reumatoid heart disease (RHD) adalah suatu proses peradangan yang mengenai jaringan-
jaringan penyokong tubuh, terutama persendian, jantung dan pembuluh darah oleh organisme
streptococcus hemolitic-b grup A (Pusdiknakes, 1993). RHD adalah suatu penyakit peradangan
autoimun yang mengenai jaringan konektif seperti pada jantung,tulang, jaringan subcutan
pembuluh darah dan pada sistem pernapasan yang diakibatkan oleh infeksi streptococcus
hemolitic-b grup A.
1.3 Tujuan
2.1 Definisi
Penyakit jantung reumatik merupakan proses imun sistemik sebagai reaksi terhadap infeksi
streptokokus hemolitikus di faring (Brunner & Suddarth, 2001). Penyakit jantung reumatik
adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun
oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum
diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis,
Koreaminor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum (Lawrence M. Tierney, 2002).
Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada katup jantung
akibat serangan karditis rematik akut yang berulang kali (Arif Mansjoer, 2002). Penyakit jantung
rematik (RHD) adalah suatu proses peradangan yang mengenai jaringan-jaringan penyokong
tubuh, terutama persendian, jantung dan pembuluh darah oleh organisme streptococcus
hemolitic-β grup A (Sunoto Pratanu, 2000).
Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup
jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup
mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik (DR).
2.2 Etiologi
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu,
penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan erat dengan infeksi saluran
nafas bagian atas oleh Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A berbeda dengan
glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi streptococcus di kulit maupun di saluran
nafas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi streptococcus di kulit.
Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit
jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan.
a. Faktor genetic
Adanya antigen limfosit manusia (HLA) yang tinggi. HLA terhadap demam
rematik menunjukkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan
antibody monoklonal dengan status reumatikus.
b. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan
anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis
kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis
kelamin.
c. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang
demam reumatik lebih sering di dapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang
kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai
faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan
merupakan sebab yang sebenarnya.
d. Umur
Umur merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam
reumatik/penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak
umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada
anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah
20 tahun.
Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada
anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus
adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
e. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah
merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
f. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding
selstreptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini
mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
2. Faktor-faktor lingkungan :
Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena. Katup mitral adalah
yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal jantung kiri sesak napas dengan krekels dan
wheezing pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.
Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila
ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai adanya
infeksi endocarditis.
Penderita umumnya megalami sesak nafas yang disebabkan jantungnya sudah mengalami
gangguan, nyeri sendi yang berpindah- pindah, bercak kemerahan di kulit yang berbatas, gerakan
tangan yang tak beraturan dan tak terkendali (korea), atau benjolan kecil-kecil dibawah kulit.
Selain itu tanda yang juga turut menyertainya adalah nyeri perut, kehilangan berat badan, cepat
lelah dan tentu saja demam. Berikut ini ialah tanda-tandanya dan kriteria diagnosis :
1. Kriteria Mayor
a. Carditis
b. Polyarthritis
c. Khorea Syndenham
d. Eritema Marginatum
e. Nodul Subcutan
2. Kriteria Minor
2.4 Patofisiologi
Demam reumatik adalah suatu hasil respon imunologi abnormal yang disebabkan oleh
kelompok kuman A beta-hemolitic treptococcus yang menyerang pada pharynx. Streptococcus
diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel yang terpenting diantaranya
ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, di fosforidin nukleotidase,
deoksiribonuklease serta streptococca erythrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang
timbulnya antibodi.
Demam reumatik yang terjadi diduga akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap
beberapa produk tersebut. Sensitivitas sel B antibodi memproduksi antistreptococcus yang
membentuk imun kompleks. Reaksi silang imun kompleks tersebut dengan sarcolema kardiak
menimbulkan respon peradangan myocardial dan valvular. Peradangan biasanya terjadi pada
katup mitral, yang mana akan menjadi skar dan kerusakan permanen.
Demam reumatik terjadi 2-6 minggu setelah tidak ada pengobatan atau pengobatan yang
tidak tuntas karena infeksi saluran nafas atas oleh kelompok kuman A betahemolytic. Mungkin
ada predisposisi genetik, dan ruangan yang sesak khususnya di ruang kelas atau tempat tinggal
yang dapat meningkatkan risiko. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas adalah fase akut dan
kronik dengan karditis.
2.5 Penatalaksanaan
Penderita dianjurkan untuk tirah baring dirumah sakit, selain itu Tim Medis akan terpikir
tentang penanganan kemungkinan terjadinya komplikasi seperti gagal jantung, endokarditis
bakteri atau trombo-emboli. Pasien akan diberikan diet bergizi tinggi yang mengandung cukup
vitamin.
Penderita Penyakit Jantung Rematik (PJR) tanpa gejala tidak memerlukan terapi.
Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik untuk mengatasi
keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgikal atau intervensi invasif.
Tetapi terapi surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang
relatif mahal dan memerlukan follow up jangka panjang.
2.6 Pengobatan
Bagaimana peran ners untuk merawat pasien dengan penyakit ini? Perawat harus
mengenal dengan baik tanda dan gejala PJR.
Dikarenakan pasien harus tirah baring, bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Edukasi pasien dan keluarga agar pasien tetap istirahat di tempat tidur. Bantu pasien untuk
mendapatkan pemeriksaan laboratorium lengkap, seperti swab tenggorokan, pemeriksaan darah,
EKG, ekokardiografi, dll. Berikan terapi sesuai dengan rencana dokter. Koordinasi dengan
dietisien untuk mencukupi kebutuhan gizi pasien
1. Edukasi pasien mengenai pengobatan (Pengobatan harus rutin tidak boleh putus), risiko
kekambuhan penyakit, dan pentingnya mencegah komplikasi.
2. Libatkan keluarga untuk perawatan pasien saat di RS dan bagaimana merawat pasien
dirumah.
3. Buat leaflet untuk keluarga pasien berisikan tentang penyakit ini dan hal hal yang harus
dilakukan untuk mendukung penyembuhan.
4. Edukasi orangtua pasien bahwa pengobatan harus terus dilakukan dan tidak boleh putus.
Jika pasien sudah dirawat, sampaikan bahwa pasien akan dirujuk kembali ke faskes
terdekat di wilayahnya.
BAB 3
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang dikumpulkan
atau dikaji meliputi :
1. Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama, suku
bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor registrasi, tanggal MRS, pekerjaan
pasien, dan nama penanggungjawab.
2. Riwayat Keperawatan.
a. Awalan Serangan
Asal mula perkembangan suatu penyakit.
b. Keluhan Utama
Yang menjadi keluhan utama saat ini di derita oleh pasien.
Hospitalisasi akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi keluarga,
kecemasan meningkat jika orang tua tidak mengetahui prosedur dan pengobatan anak, setelah
menyadari penyakit anaknya, mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.
a. Pola eliminasi akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari, BAK
sedikit atau jarang.
b. Pola nutrisi diawali dengan mual, muntah, anoreksia, menyebabkan penurunan berat
badan dan hemoglobin pasien.
c. Pola tidur dan istirahat akan terganggu adanya takikardia karena riwayat infeksi
saluran nafas yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
d. Aktivitas akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya nyeri akibat
gangguan fungsi sendi dan kelemahan otot yakni dibantu oleh orang lain.
e. Persepsi kesehatan pasien tidak mengetahui penyebab penyakitnya, higienitas pasien
sehari-sehari kurang baik.
f. Kognitif atau perceptual pasien masih dapat menerima informasi namun kurang
berkonsentrasi karena tekanan darah menurun, denyut nadi meningkat, dada berdebar-
debar.
g. Persepsi diri atau konsep diri pasien mengalami gangguan konsep diri karena
kebutuhan fisiologisnya terganggu sehingga aktualisasi diri tidak tercapai pada fase sakit.
h. Peran hubungan pasien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan peran
pasien pada kehidupan sehari-hari mengalami gangguan.
i. Manajemen koping atau stress pasien mengalami kecemasan yang berangsur-angsur
dapat menjadi pencetus stress. Pasien memiliki koping yang adekuat.
j. Keyakinan atau nilai pasien memiliki kepercayaan, pasien masih tahap belajar
beribadah.
7. Pemeriksaan Fisik
Pada anak RHD akan mengalami gangguan karena anak malnutrisi sehingga berat badan
menurun.
9. Pemeriksaan Penunjang.
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan ASTO, peningkatan laju
endap darah (LED), terjadi leukositosis, dan dapat terjadi penurunan hemoglobin.
3. Radiologi
Pada pemeriksaan foto thoraks menunjukan terjadinya pembesaran pada jantung.
4. Pemeriksaan Echokardiogram
Menunjukan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi.
5. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Menunjukan interval P-R memanjang. Hapusan tenggorokan ditemukan
streptococcus hemolitikus β grup A.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau imobilisasi.
Tujuan:
Intervensi:
Manajemen nyeri:
a. Observasi
c. Edukasi
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau imobilisasi.
Intervensi
Manajemen energy:
a. Observasi
b. Terapeutik
d. Kolaborasi
Tujuan: Curah jantung meningkat setelah dilakukan tindakan keperawatan 3×24 jam
dengan kriteria hasil:
b. Palpitasi menurun
c. Bradikardi menurun
f. Tidak pucat
g. Tidak batuk
Intervensi:
a. Observasi
- Observasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung meliputi: dyspnea,
kelelahan, edema, orthopnea, paroxismalnocturnal dyspnea, peningkatan CVP
b. Terapeutik
c. Edukasi
3.3.4 IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap
pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan
diantaranya yakni intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi,
keterampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada
situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi
dan respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi
yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada pasien
(Budianna Keliat, 1994,4).
Implementasi
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau imobilisasi.
Implementasi
1. Mengobservasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung meliputi: dyspnea,
kelelahan, edema, orthopnea, paroxismalnocturnal dyspnea, peningkatan CVP
3.3.5 EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota
tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk,
1989).
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan pasien yakni :
Dx 1 : Tingkat nyeri berkurang
Dx 2 : Intoleransi aktifitas dapat teratasi
Dx 3 : Mampu melakukan gerakan fisik ekstremitas secara mandiri
Dx4 : Keutuhan kulit membaik
Dx 5 : Curah jantung meningkatmeningkat
3.WOC
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah
sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan
baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap
anak maupun orang tua dan keluarga (Wong, 2000).
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan.
Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan
ketakutan, cemas, bagi anak (Supartini, 2004).
Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi
sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevens, 1999).
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak (Nursalam,
Susilaningrum, dan Utami, 2005). Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut
akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stres akibat perubahan yang dialaminya.
Perubahan tersebut dapat berupa perubahan status kesehatan anak, perubahan lingkungan,
maupun perubahan kebiasaan sehari-hari. Selain itu anak juga mempunyai keterbatasan dalam
mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan.
Stresor atau pemicu timbulnya stres pada anak yang dirawat di rumah sakit dapat berupa
perubahan yang bersifat fisik, psiko-sosial, maupun spiritual. Perubahan lingkungan fisik
ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang sempit dan kuang nyaman, tingkat kebersihan kurang,
dan pencahayaan yang terlalu terang atau terlalu redup. Selain itu suara yang gaduh dapat
membuat anak merasa terganggu atau bahkan menjadi ketakutan. Keadaan dan warna dinding
maupun tirai dapat membuat anak marasa kurang nyaman (Keliat, 1998). Beberapa perubahan
lingkungan fisik selama dirawat di rumah sakit dapat membuat anak merasa asing. Hal tersebut
akan menjadikan anak merasa tidak aman dan tidak nyaman. Ditambah lagi, anak mengalami
perubahan fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala yang dialaminya saat sakit. Adanya
perlukaan dan rasa nyeri membuat anak terganggu. Reaksi anak usia prasekolah terhadap rasa
nyeri sama seperti sewaktu masih bayi.
Anak akan bereaksi terhadap nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi,
menggigit bibir, membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan agresif seperti
menendang dan memukul. Namun, pada akhir periode balita anak biasanya sudah mampu
mengkomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri (Nursalam,
Susilaningrum, dan Utami, 2005).
Beberapa perubahan lingkungan fisik yang dialami selama dirawat di rumah sakit, pada akhirnya
dapat menyebabkan anak mengalami stres emosi. Menurut penenlitian yang dilakukan di
instalasi rawat inap Badan RSUD Dr. M. Ashari Kabupaten Pemalang, dengan jumlah responden
68 orang didapatkan hasil 43 orang (61,8 %) menyatakan mengalami stress emosi selama dirawat
di rumah sakit, sedangkan 26 orang (32,8 %) menyatakan tidak mengalami stress emosi akibat
perawatan yang dialaminya (Triyanto, 2006).
Selain perubahan pada lingkungan fisik, stressor pada anak yang dirawat di rumas sakit dapat
berupa perubahan lingkungan psiko-sosial. Sebagai akibatnya, anak akan merasakan tekanan dan
mengalami kecemasan, baik kecemasan yang bersifat ringan, sedang, hingga kecemasan yang
bersifat berat. Pada saat anak menjalani masa perawatan, anak harus berpisah dari lingkungannya
yang lama serta orang-orang yang terdekat dengannya. Anak biasanya memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan ibunya, akibatnya perpisahan dengan ibu akan meninggalkan rasa
kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang
dikenalnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas
(Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005).
Pada kondisi cemas akibat perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku.
Respon perilaku anak akibat perpisahan di bagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap protes ( phase of
protest), tahap putus asa (phase of despair), dan tahap menolak (phase of denial).
Pada tahap protes, reaksi anak dimanifestasikan dengan menangis kuat-kuat, menjerit,
memanggil orang tuanya atau menggunakan tingkah laku agresif agar orang lain tahu bahwa ia
tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian orang asing atau orang lain. Tahap
putus asa menampilkan perilaku anak yang cenderung tampak tenang, tidak aktif, menarik diri,
menangis berkurang, kurang minat untuk bermain, tidak nafsu makan, sedih, dan apatis.Tahap
berikutnya dalah tahap menolak dimana anak samar-samar menerima perpisahan, membina
hubungan dangkal dengan orang lain serta terlihat menyukai lingkungan. Anak mulai kelihatan
gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah anak berpisah lama dengan orang tua.
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Kasus
Pasien seorang laki-laki berusia 16 tahun datang ke instalansi gawat darurat di RSUD dr. Anwar
dengan keluhan demam sejak 5 hari yang lalu. Demam bersifat naik turun, meningkat terutama
pada malam hari. Pemberian obat penurun panas hanya menurunkan sesaat. Pasien mengatakan
mual dan muntah saat makan. Keluhan lain yaitu pasien mengeluhkan sesak sejak 1 hari yang
lalu, tanpa nyeri dada, diperberat dengan olahraga berat dan membaik dengan istirahat. Selain
itu, juga mengeluhkan nyeri pada lutut kanan dan pada siku kanan. Nyeri dirasakan sejak 5 hari
yang lalu bersifat hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut bawah yang bersifat hilang
timbul, nyeri saat diawal buang air kecil serta warna urin berubah menjadi seperti teh sejak 5 hari
yang lalu. Pasien menyatakan merasa lemah dan tidak kuat untuk berjalan. Pada hasil
pemeriksaan fisik terdapat tonsil eodem dan eritem, faring hiperemi, didapatkan KU tampak
sakit sedang, kesadaran composmentis, dengan VAS (Visual Analog Scale) skor yaitu 5 dan
GCS 456, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82x/menit, reguler, pernafasan 25x/menit, dan suhu
38,5oC.
1. Biodata
Identitas Klien
1. Nama/Nama panggilan : An. Rq
2. Tempat tgl lahir/usia :-
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. A g a m a : Islam
5. Pendidikan : SMP
6. Alamat : Sumenep
7. Tgl masuk : 26 September 2021 (jam 09.00)
8. Tgl pengkajian : 26 September 2021
9. Diagnosa medik : Reumatoid Heart Disease
B. Identitas Orang tua
1. Ayah
a. N a m a : Tn. H
b. U s i a : 30 tahun
c. Pendidikan : SMA
d. Pekerjaan : Pedagang
e. A g a m a : Islam
f. Alamat : Sumenep
2. Ibu
a. N a m a : Ny. S
b. U s i a : 29 tahun
c. Pendidikan : SMA
d. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
e. Agama : Islam
f. Alamat : Sumenep
2. Riwayat Keperawatan.
a. Awalan Serangan
b. Keluhan Utama
a. Pasien mengeluh nyeri saat diawal buang air kecil serta warna urin berubah menjadi
seperti teh sejak 5 hari yang lalu
c. Pola tidur dan istirahat akan terganggu adanya takikardia karena riwayat infeksi
saluran nafas yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
d Pasien menjadi sulit beraktifitas karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya nyeri
akibat gangguan fungsi sendi dan kelemahan otot
6. Pemeriksaan Fisik
Pasien terlihat lemah kesadaran composmentis, pasien terlihat sesak nafas nyeri lutut
kanan dan kiri Pemeriksaan Psikologis yakni keadaan umum yang tampak lemah, lb.
Pemeriksaan Sistematik
a). Inspeksi : Mata cekung, ubun-ubun besar, selaput lendir, mulut dan bibir kering,
berat badan menurun, dada berdebar-debar.
Pada anak RHD akan mengalami gangguan karena anak malnutrisi sehingga berat badan
menurun.
8. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan laboratorium
3. Radiologi
4. Pemeriksaan Echokardiogram
5. Pemeriksaan Elektrokardiogram
1. DS: Pasien mengatakan Nyeri Akut Nyeri akut b.d agen cidera
nyeri pada lutut kanan dan
siku kanan, Pasien juga
mengeluhkan nyeri perut
bawah yang bersifat hilang
timbul
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau imobilisasi.
4.4 INTERVENSI
- Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (misalnya - Untuk memberikan
pencahayaan, suhu penjelasan terkait
ruangan, kebisingan) periode, pemicu
nyeri dan strategi
untuk
meredakannya.
c. Edukasi
- Jelaskan penyebab ,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Ajarkan teknik
nonfarmalogis untuk
mengurangi nyeri
d. Ko - Kolaborasi dengan
dokter untuk
pemberian analgesik
Tujuan: setelah
2. Intervensi - Untuk mengetahui
Intoleransi Aktifitas diberikan asuhan
Keperawatan Manajemen energy: adanya gangguan
citra tubuh
diharapkan
intoleransi aktifitas a. Observasi
dapat teratasi
- Identifikasi
dengan kriteria - Untuk mengetahui
gangguan citra tubuh adanya kelelahan
hasil: yang mengakibatkan visit dan emotional
- Anak tidak mudah kelelahan
- Untuk mengetahui
lelah - Monitor kelelahan letak lokasi dan
- Anak dapat fisik dan emosiona ketidaknyamanan
yang selama
melakukan aktifitas
melakukan aktifitas
sesuai batas
toleransi l
- Sediakan lingkungan
aman dan rendah
stimulasi
- Lakukan latihan
rentang gerak aktif
- Untuk memberikan
dan pasif
rasa nyaman
-Fasilitasi ambulansi
pasien
- Untuk
memudahkan pasien
dalam beraktifitas
dengan dilakukan
secara bertahap
c. Edukasi
- Anjurkan tirah
baring - Untuk
memberikan
pelayanan jika tanda
dan gejala kelelahan
- Anjurkan melakukan
pasien berlanjut
aktifitas secara
bertahap
- Untuk memberikan
pemahaman kepada
pasien koping untuk
mengurangi rasa
-Anjurkan lelah
menghubungi perawat
jika tanda dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
- Untuk memberikan
peningkatan asupan
makanan pada
- Ajarkan strategi
pasien
koping untuk
mengurangi kelelahan
- Untuk mengetahui
tanda dan gejala
primer yang
menyebabkan
penurunan curah
d. Kolaborasi jantung
- Kolaborasikan
dengan gizi cara
meningkatkan asupan
makanan - Untuk mengetahui
tanda dan gejala
sekunder yang
menyebabkan
penurunan curah
jantung
Penurunan curah 1. Mengobservasi
3. jantung berhubungan tanda dan gejala
dengan perubahan Tujuan: Curah primer penurunan
kontraktilitas otot jantung meningkat curah jantung
jantung setelah dilakukan
meliputi: dyspnea,
tindakan
kelelahan, edema,
keperawatan 3×24 - Untuk mengetahui
orthopnea,
jam dengan kriteria TTV klien
paroxismalnocturnal
hasil:
dyspnea, peningkatan
a. Kekuatan nadi CVP
perifer meningkat - Untuk mengetahui
2. Mengidentifikasi cairan yang masuk
b. Palpitasi menurun tanda dan gejala dan keluar dari
sekunder penurunan pasien
c. Bradikardi curah jantung
menurun - Untuk mengetahui
meliputi: peningkatan
adanya Keluhan
d. Gambaran EKG BB, hematomegali, nyeri dada atau tidak
NSR distensi vena pada pasien.
jugularis, palpitasi,
e. Sesak nafas ronchi basah, oliguria, - Untuk memberikan
menurun batuk, tanda sianosis indikasi menyeluruh
atas naik-turunnya
f. Tidak pucat 3.Memonitor tanda- suatu kontraktilitas
tanda vital: tekanan
g. Tidak batuk - Untuk mengetahui
darah, pernafasan, adanya aritmia pada
h. Suara jantung S3 suhu, saturasi oksigen pasien
dan S4 menurut
4. Memonitor intake
i. Murmur jantung dan output cairan
menurun
5.Memonitor adanya
keluhan nyeri dada
6. Memonitor EKG 12
sandapan
7. Memonitor adanya
aritmia
4.5 WOC
IMPLEMENTASI
Implementasi
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau imobilisasi.
Implementasi
1. Mengobservasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung meliputi: dyspnea,
kelelahan, edema, orthopnea, paroxismalnocturnal dyspnea, peningkatan CVP
EVALUASI
5.1 Kesimpulan
Rematoid heart disease (RHD) merupakan penyebab terpenting dari penyakit jantung yang di
dapat, baik pada anak maupun pada dewasa. Rematoid fever adalah peradangan akut yang
sering diawali oleh peradangan pada farings. Sedangkan RHD adalah penyakit berulang dan
kronis. Pada umumnya seseorang menderita penyakit rematoid fever akut kira-kira dua minggu
sebelumnya pernah menderita radang tenggorokan. Ada faktor mayor dan minor dalam
penyakit RHD.
RHD merupakan komplikasi dari demam rematik dan biasanya terjadi setelah serangan demam
rematik. Insiden penyakit jantung rematik telah dikurangi dengan luas penggunaan antibiotic
efektif terhadap streptokokal bakteri yang menyebabakan demam rematik.
5.2 Saran
Jika kita lihat di atas bahwa penyakit RHD sangat mungkin terjadi dengan adanya kejadian awal
yaitu demam rematik (DR). Tentu saja pencegahan yang terbaik adalah bagaimana upaya kita
jangan sampai mengalami demam rematik (terserang infeksi kuman streptokokus beta
hemolyticus). Ada beberapa factor yang dapat mendukung seseorang terserang kuman
tersebut, diantaranya factor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal
yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan
dalam distribusi penyakit ini.
Variasi cuaca juga mempunyai peranan yang besar dalam terjadinya infeksi streptokokus untuk
terjadi DR. Seseorang yang terinfeksi kuman streptokokus beta hemolyticus dan mengalami
demam rematik harus diberikan terapi yang maksimal dengan antibiotiknya. Hal ini
menghindarkan kemungkinan serangan kedua kalinya atau bahkan menyebabkan penyakit
jantung rematik.
Daftar Pustaka
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, ( 2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2019), Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
https://www.alomedika.com/penyakit/kardiologi/penyakit-jantung-rematik/diagnosis
https://zdocs.tips/doc/rhd-1-asuhan-keperawatan-rheumatik-heart-desease-wp9nxgkwq415
https://zdocs.tips/doc/laporan-pendahuluan-reumatoid-heart-disease-8pgkremzn46x
https://zdocs.tips/doc/laporan-pendahuluan-0pzz29lw80po
https://pdfcoffee.com/kelompok-10-rheumatic-hearth-disease-rhd-pdf-free.html
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/1713/SKR%20NASRIYANI%2C
%20S.Kep.pdf?sequence=1&isAllowed=y
https://id.scribd.com/document/367209021/Askep-RHD-Pada-Anak