Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjuan pustaka mengulas teori-teori yang berhubungan langsung dan tidak

langsung dengan penelitian yang dilakukan. Teori-teori tersebut seperti layanan

umum jasa kesehatan, kepuasan pasien, dan loyalitas pasien.

2.1 Kajian Empirik

Kajian empririk dalam dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggali

informasi tentang ruang penelitian terdahulu sebagai bahan kajian dan rujukan yang

berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti, dengan harapan penelitian ini

dapat mengembangkankan kajian ruang penelitian dari penelitian terdahulu. Adapun

beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai kajian empirik dalam penelitian ini

adalah:

1. Penelitian Sriwiyanti (2006), dengan judul “Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan

Terhadap Keputusan Pasien Memilih Untuk Dirawat di Rumah Sakit Harapan

Pematangsiantar (Studi Kasus di Unit Instalasi Rawat Inap)”. Penelitian ini

menggunakan metode analisis regresi linear berganda, dengan sampel

penelitian sebanyak 75 orang pasien, menemukan bahwa secara serempak

kualitas pelayanan yang terdiri dari variasi bukti fisik, keandalan, daya tanggap,

jaminan kepastian, dan empati berpengaruh signifikan terhadap keputusan

pasien memilih untuk dirawat di R.S. Harapan Pematangsiantar, dan secara

parsial variabel bukti fisik dan keandalan positif namun tidak berpengaruh

sedangkan variabel daya tanggap, jaminan kepastian dan empati positif dan

berpengaruh signifikan terhadap keputusan pasien memilih untuk dirawat di R.S.

Harapan Pematangsiantar. Variabel yang paling dominan mempengaruhi

7
8

keputusan pasien adalah variabel jaminan kepastian. Keputusan pasien mampu

dijelaskan oleh variasi kualitas pelayanan sebesar 76.3 %, sementara sisanya

sebesar 23.7 % dijelaskan oleh variabel bebas lainnya yang tidak masuk dalam

model penelitian.

2. Penelitian Fatimah ( 2008) dengan judul Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah

Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap

(Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu,

Bantarsari). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor

kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di distrik

Sidareja Kabupaten Cilacap. Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol.

Varibel bebas yang diteliti adalah suhu, kelembaban ventilasi , pencahayaan ,

kepadatan hunian rumah, lantai rumah, dinding rumah dan status gizi sebagai

variabel penganggu. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ternayata ada

hubungan antara kejadian tuberkulosis paru dengan pencahayaan (OR = 4,214),

ventilasi (OR = 4,932), Keberadaan jendela dibuka (OR = 2,233), Kelembaban

(OR = 2,571), suhu (OR = 2,674), jenis dinding (OR = 2,692), status gizi (2,737).

Hasil analisis multivariat ternyata ada asosisasi antara kejadian tuberkulosis paru

dengan pencahayaan (OR = 3,286), kelembaban (OR = 3,202), ventilasi (OR =

4,144), status gizi (OR = 3,554).

3. Penelitian Edyansyah (2009) dengan judul Analisis Pengaruh Kualitas

Pelayanan Terhadap Keputusan Pasien Melakukan Pemeriksaan Kesehatan

Pada Laboratorium Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh. Penelitian menggunakan metode deskriptif

kuantitatif dengan pendekatan survey dan bersifat eksplanatory. Jumlah sampel

adalah 100 orang yang menjadi pasien pada Laboratorium BPK RSUZA Banda
9

Aceh. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa R – Square = 0.683, artinya variasi kualitas

pelayanan menjelaskan 68.3 % dari keputusan pasien, sementara sisanya

sebesar 31.7 % dijelaskan oleh variabel bebas lainnya yang tidak masuk dalam

model penelitian. Hasil uji serempak adalah Kualitas pelayanan yang terdiri dari

bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan kepastian dan empati berpengaruh

sangat signifikan terhadap keputusan pasien melakukan pemeriksaan kesehatan

pada Laboratorium BPK RSUZA Banda Aceh, dan secara parsial variabel empati

positif namun tidak berpengaruh, sedangkan variabel bukti fisik, keandalan, daya

tanggap, dan jaminan kepastian positif berpengaruh signifikan terhadap

keputusan pasien melakukan pemeriksaan kesehatan pada Laboratorium BPK

RSUZA Banda Aceh. Variabel yang paling dominan mempengaruhi keputusan

pasien melakukan pemeriksaan kesehatan pada Laboratorium BPK RSUZA

Banda Aceh adalah variabel jaminan kepastian.

4. Penelitian Achsin. M (2005) dengan judul Analisis Dimensi Kualitas Layanan

yang Mempengaruhi Kepuasan Berdasarkan Persepsi Pasien Pada Rumah

Sakit Muhammadiyah Jawa Timur. Variabel-variabel yang diteliti dalam

penelitian ini adalah tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan

empaty sebagai indikator kualitas layanan rumah sakit. Berdasarkan hasil

penelitian dengan menggunakan pendekatan analisis faktor, menunjukkan ada

empat faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien pada rumah sakit

Muhammadiyah Jawa Timur, masing-masing adalah bukti langsung (tangibles),

perhatian (empaty), daya tanggap (responsiveness) dan jaminan (assurance),

sedangkan variabel yang berpengaruh dominan terhadap kepuasan pasien


10

adalah sikap petugas, dukungan peralatan rumah sakit, komunikasi, dan

persuasive.

5. Yulfrra (2011) dengan judul Faktor-Faktor Sosial Budaya Yang Melatarbelakangi

Rendahnya Cakupan Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Puskesmas Padang

Kandis, Kecamatan Guguk Kabupaten 50 Kota (Provinsi Sumatera Barat).

Beberapa aspek yang dianggap turut melatarbelakangi rendahnya cakupan

penemuan penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padang Kandis

adalah aspek ekonomi, pendidikan/pengetahuan, persepsi, kebiasaan dan

kepercayaan masyarakat serta akses ke pelayanan kesehatan. Pengetahuan

dan kesadaran sebagian masyarakat dalam penanggulangan penyakit TB Paru

masih kurang. Sebagian masyarakat masih mempunyai persepsi bahwa penyakit

TB Paru berkaitan dengan kekuatan ghaib, dan termasuk penyakit yang

dianggap memalukan. Sebagian masyarakat masih mempunyai kebiasaan untuk

mencari upaya pengobatan dengan membeli obat di toko o bat/warung dengan

alasan bahwa batuk yang dialaminya adalah batuk biasa yang tidak perlu

mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan. Selanjutnya sebagian masyarakat

juga beranggapan bahwa pengobatan di puskesmas dan rumah sakit

dilaksanakan secara berulang-ulang, dan penyembuhan relatif lebih lama serta

obat mengandung zat kimia dengan efek samping jantung berdebar, sehingga

mengakibatkan masyarakat cenderung memilih pengobatan tradisional.

6. Rakhmawaty (2012) dengan judul Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Loyalitas Penderita TB Paru dalam Pengobatan TB Paru di Puskesmas Bati-Bati

Kabupaten Tanah Laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi internal

berpengaruh terhadap loyalitas penderita TB paru dalam pengobatan TB paru di

Puskesmas Bati-Bati. Motivasi eksternal juga berpengaruh terhadap loyalitas


11

penderita TB paru dalam pengobatan TB paru di Puskesmas Bati-Bati.

Kepuasan tidak menunjukkan pengaruh terhadap loyalitas penderita TB paru

dalam pengobatan TB paru di Puskesmas Bati-Bati. Kepercayaan juga tidak

menunjukkan pengaruh terhadap loyalitas penderita TB paru dalam pengobatan

TB paru di Puskesmas Bati-Bati. Motivasi eksternal merupakan variable yang

dominant mempengaruhi loyalitas penderita TB paru dalam pengobatan TB paru

di Puskesmas Bati-Bati.

2.2 Kajian Teori

2.2.1 Tubercolis Paru

1. Definisi

Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis (TBC). Meskipun dapat menyerang hampir semua

organ tubuh, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (80-85%)

(Depkes, 2008). Tubekulosis yang menyerang paru disebut tuberculosis paru

dan yang menyerang selain paru disebut tuberculosis ekstra paru. Tuberculosis

paru dengan pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif,

dikategorikan sebagai tuberculosis paru menular (Depkes, 2005).

Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur

hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir

90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif

dan 10% akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan, setelah 5

tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh

yang baik dan 25% menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA

(orang dengan HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin

meninggal dalam waktu yang lebih singkat (Green, 2006).


12

2. Bakteri Tuberculosis Paru (TB Paru)

Bakteri TB paru yang disebut Micobacterium tuberculosis dapat dikenali

karena berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6

mikron, tahan terhadap pewarnaan yang asam, sehingga dikenal sebagai bakteri

tahan asam (BTA). Sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak dan lipid,

yang membuat lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-tahun. Sifat lain

adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2008).

Bila dijumpai BTA atau Mycobacterium tuberculosis dalam dahak orang yang

sering batuk-batuk, maka orang tersebut di diagnosis sebagai penderita TB paru

aktif dan memiliki potensi yang sangat berbahaya (Achmadi, 2011).

Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis

atau kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati

dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di

tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama

selama bertahuntahun (Achmadi, 2008).

3. Sumber dan Cara Penularan Penyakit TB Paru

Sumber penularan penyakit TB paru adalah penderita yang pemeriksaan

dahaknya di bawah mikroskop ditemukan adanya bakteri Mycobacterium

tuberculosis, yang di sebut dengan BTA (basil tahan asam). Makin tinggi derajat

hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil

pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular.

Namun tidak semua penderita TB paru akan ditemukan bakteri Mycobacterium


13

tuberculosis pada pemeriksaan, tergantung dari jumlah bakteri yang ada

(Aditama, 2006).

Penderita dapat menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan

dahak, yang dalam istilah kedokteran disebut droplet nuclei. Sekali batuk dapat

menghasilkan 3000 percikan dahak. Melalui udara yang tercemar oleh

Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan/ dikeluarkan oleh penderita TB

paru saat batuk. Bakteri akan masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul hingga

berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan

tubuh rendah. Sementara, bagi yang mempunyai daya tahan tubuh baik, maka

penyakit TB paru tidak akan terjadi. Tetapi bakteri akan tetap ada di dalam paru

dalam keadaan ”tidur”, namun jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh

menurun maka bakteri yang ”tidur” akan ”bangun” dan menimbulkan penyakit.

Salah satu contoh ekstrim keadaan ini adalah infeksi HIV yang akan

menurunkan daya tahan tubuh secara drastis sehingga TB paru muncul.

Seseorang dengan HIV positif 30 kali lebih mudah menderita TB paru

dibandingkan orang normal (Aditama, 2006).

Pada umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana droplet

(percikan dahak) ada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi

jumlah droplet, sementara cahaya dan sinar matahari langsung dapat

membunuh bakteri. Droplet dapat bertahan beberapa jam dalam kondisi gelap

dan lembab. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran

pernapasan. Jadi penularan TB paru tidak terjadi melalui perlengkapan makan,

baju, dan perlengkapan tidur (Depkes, 2005). Daya penularan dari seseorang

penderita TB paru ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari

parunya. Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar bakteri TB paru


14

ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lama menghirup udara

tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat terpapar dengan droplet dan

kerentanan terhadap penularan (Depkes, 2008).

Bakteri Mycobacterium tuberculosis sangat sensitif terhadap cahaya

matahari. Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh bakteri di

lingkungan, dan kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil

karena bahaya penularan terbesar terdapat pada perumahan-perumahan yang

padat penghuni dengan ventilasi yang kurang baik serta cahaya matahari tidak

dapat masuk kedalam rumah (Achmadi, 2008).

2.2.2 Pelayanan Kesehatan

Produk suatu organisasi dapat berupa pelayanan dan produk fisik. Produk

birokrasi publik, sebagai suatu organisasi publik adalah pelayanan publik yang

diterima oleh warga pengguna maupun masyarakat secara luas. Menurut Gronroos

(1990) dalam Ratminto dan Winarsih (2005: 2) pelayanan adalah suatu aktivitas atau

serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi

sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen denan karyawan atau hal-hal lain

yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk

memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.

Keputusan MENPAN Nomor 63/2003 mendefinisikan pelayanan umum atau

pelayanan publik sebagai sgala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi

Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau

Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya

pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan (Ratminto dan Winarsih, 2005: 2).


15

Sementara menurut Dwiyanto (2005: 141) mendefinisikan pelayanan

masyarakat sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik

untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan dimaksud

disini adalah warganegara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti ijin

pengambilan air bawah tanah, berlangganan air minum, listrik dan sebagainya.

Berbeda dengan produk publik berupa barang yang mudah dinilai

kualitasnya, pelayanan publik tidak mudah dinilai karena berupa jasa. Namun

demikian, antara barang dan pelayanan jasa seringkali sering berhimpitan sehingga

sulit dipisahkan. Pelayanan jasa tidak berwujud barang sehingga tidak nampak

(intangible). Meskipun wujudnya tidak nampak, proses penyelenggaraannya bisa

diamati dan dirasakan, misalnya suatu pelayanan dapat dinilai cepat, lambat,

menyenangkan, menyulitkan, murah, atau mahal. Proses produksi, distribusi, dan

konsumsi dalam penyediaan pelayanan jasa berlangsung secara bersamaan.

Menurut Laing (2003) dalam Dwiyanto (2005: 182) menyebut ada beberapa

karakteristik yang dapat dipakai untuk mendefinisikan apa yang dapat dikategorikan

sebagai pelayanan publik yaitu; (1) dalam kegiatan penyediaan barang dan jasa

yang dibutuhkan masyarakat pelayanan publik dicirikan oleh adanya pertimbangan

untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar dibanding dengan upaya untuk

mewujudkan tujuan ekonomis, (2) pelayanan publik juga dicirikan oleh adanya

asumsi bahwa pengguna pelayanan lebih dilihat posisinya sebagai warga Negara

daripada hanya dilihat sebagai pengguna layanan (customer) semata, (3) pelayanan

publik juga dicirikan oleh karakteristik pengguna layanan (customer) yang kompleks

dan multi dimensional.

Fungsi pelayanan oleh pemerintah selalu berkaitan dengan kepentingan

umum dan bukan dikonsepsikan untuk orang perorangan. Sebagaimana disebutkan


16

Moenir (2005:10) bahwa kepentingan umum adalah suatu bentuk kepentingan yang

menyangkut orang banyak atau masyarakat, tidak bertentangan dengan norma dan

aturan, yang kepentingan tersebut bersumber pada kebutuhan (hajat) hidup orang

banyak/masyarakat itu.

Kata publik/masyarakat dalam pelayanan publik.masyarakat itu sendiri oleh

Moenir (2005 :15) mengartikan sebagai: “ kumpulan orang-orang yang sama minat

dan kepentingannya (interest) terhadap sesuatu issue”. Demikian pula Shepherd

dan Wilcox (dalam Saefullah, 2009:5) memberikan pengertian “the public is, of

course, the whole community, individuals, sharing citizenship, responsibilities, and

benefits”. Dapat dipahami bahwa “publik” dalam pelayanan publik, tidak lain adalah

pelayanan umum. Dalam hubungannya dengan pemerintahan, kata umum

merupakan singkatan dari sebutan “masyarakat umum”.

Selanjutnya Saefullah (2009:5) mengemukakan bahwa pelayanan umum

(public service) adalah pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum yang

menjadi warga negara atau secara sah menjadi penduduk negara yang

bersangkutan. Dilihat dari prosesnya, terjadi interaksi antara yang memberi

pelayanan dengan yang diberi pelayanan. Pemerintah sebagai lembaga birokrasi

mempunyai fungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan

masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kepada pemerintah

mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan dari pemerintah.

Beberapa konsepsi tentang pelayanan dijelaskan pula oleh Djaenuri

(2007:15) bahwa pelayanan adalah “proses kegiatan memenuhi kebutuhan orang

lain, baik yang sifatnya hak atau kewajiban karena adanya peraturan pemerintah,

wujudnya berupa jasa maupun layanan”. Moenir (2005:27) menyebutkan hakikat

pelayanan adalah: “serangkaian kegiatan, karena itu ia merupakan proses. Sebagai


17

proses, pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi

seluruh kehidupan orang dalam masyarakat”.

Kemudian Anjar (2000:58) menjelaskan bahwa: ” pelayanan publik adalah

hal yang menyangkut kepentingan masyarakat umum”. Terhadap pelayanan ini

Anjar (2000:60) membedakan antara wujud layanan dengan jasa yaitu jasa adalah

produk yang ditawarkan oleh provider dan konsumer harus menyesuaikan diri

dengan tawaran itu sedangkan layanan adalah produk yang disediakan oleh

provider; provider harus menyesuaikan diri dengan kondisi atau tuntutan konsumer.

Dimaksud dengan layanan dalam hubungan ini adalah layanan sebagai produk.

Memperhatikan berbagai konsep pelayanan itu, tidak terlepas dari masalah

pemenuhan kebutuhan dan kepentingan umum. Lebih spesifik lagi Thoha (2005:39)

mengemukakan bahwa: ”Pelayanan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh

seseorang dan atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan

bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan

tertentu. Secara teknis pelayanan itu hakikatnya adalah bagaimana memberikan

kepuasan kepada pelanggan”.

Pelayanan itu secara hirarkis juga dipertanggungjawabkan kepada publik.

Dalam konsep pelayanan yang demikian Black Hendry (dalam Sedarmayanti,

2009:97) mengemukakan bahwa :

“Public service adalah pengertian ditujukan kepada suatu pelayanan terhadap

kebutuhan yang bersifat umum dari masyarakat dan karena itu dapat dituntut agar

dilaksanakan: Enterprises of certain kinds of corporation, which specially serve the

needs of the general public or conduce to comfort and convenience of an entire

community a public service or quasi public corporasion is one private in its

ownership, but which has an appropriate franchise from the state to provide for a
18

necessity or convenience of the general public. (Badan usaha yang secara khusus

melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat atau memberi jasa nyaman kepada

masyarakat secara keseluruhan pelayan publik atau badan usaha publik quasi atau

badan swasta dari segi kepemilikannya, namun memiliki monopoli khusus dari

pemerintah untuk menyediakan kebutuhan)”.

Berdasarkan pengertian tersebut, disimpulkan bahwa pelayanan umum

adalah suatu kegiatan untuk mencapai sasaran tertentu yang telah ditetapkan dan

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang berlandaskan faktor material

melalui sistem, prosedur dan metode yang telah ditetapkan guna memenuhi

kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.

Peningkatan kesehatan merupakan salah satu bentuk pengembangan

aspek fisik atau biologis dari manusia. Kesehatan yang baik merupakan indikator

sumber daya yang berkualitas. Kesehatan manusia ditentukan oleh banyak faktor,

oleh sebab itu meningkatkan kesehatan juga harus dilakukan melalui berbagai cara

yaitu selalu hidup sehat, memperhatiakn makanan dan minuman, dan

memperhatikan nonfisik (Notoatmodjo, 2010: 19).

Menurut Moenir (2005:126) faktor pendukung pelayanan masyarakat

meliputi:

1. Faktor Kesadaran

Kesadaran adalah suatu proses berpikir melalui metode renungan,

pertimbangan dan pertimbangan, sehingga menghasilkan keyakinan,

ketenangan, ketepatan hati dan tindakan yang akan dilakukan kemudian. Faktor

kesadaran merupakan hal terpenting dalam memberikan pelayanan, apabila

seseorang sadar akan dirinya sebagai pemberi pelayanan akan menghasilkan

kepuasan.
19

2. Faktor Aturan

Aturan adalah perangkat dalam segala tindakan dan perbuatan orang. Makin

mau dan majemuknya suatu masyarakat, semakin besar peranan aturan. Oleh

karenanya peran aturan dalam hidup bermasyarakat harus dibuat, dipatuhi dan

diawasi sehingga dapat mencapai sasaran sesuai dengan yang dimaksud.

Dalam organisasi kerja aturan dibuat oleh manajemen sebagai pihak yang

berwenang mengatur segala sesuatu yang ada di organisasi dimaksud. Setiap

aturan pada akhirnya menyangkut langsung atau tidak langsung pada orang,

maka masalah manusia dan sifat kemanusiaan harus menjadi pertimbangan

utama. Pertimbangan harus diarahkan pada manusia sebagai subjek aturan,

artinya mereka yang membuat, menjalankan dan mengawasi pelaksanaan

aturan dan manusia itu pula sebagai objek aturan yaitu mereka yang dikenal

oleh aturan itu.

3. Faktor Organisasi

Organisasi pelayanan pada dasarnya tidak berbeda dengan organisasi pada

umumnya, namun terdapat sedikit perbedaan dalam penerapannya, karena

sasaran pelayanan yang ditujukan secara khusus kepada manusia yang memiliki

watak dan kehendak yang mutli-kompleks. Oleh karena itu organisasi yang

dimaksud di sini tidak semata-mata dalam perwujudan susunan organisasi,

melainkan banyak pada pengaturan dan mekanisme kerja yang harus mampu

menghasilkan pelayanan yang efektif.

4. Faktor Pendapatan
20

Pendapatan adalah seluruh penerimaan seseorang sebagai imbalan atas

tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain atau badan selain

organisasi, baik dalam bentuk uang maupun fasilitas dalam jangka waktu

tertentu. Pada dasarnya pendapatan harus dapat memenuhi kebutuhan hidup

baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya. Namun hal demikian dalam

masyarakat yang berteknologi maju, di mana kebutuhan hidup makin meningkat

tidak hanya dalam jenis tapi juga dalam hal kegunaan, pendapatan seseorang

tidak lagi dapat terjangkau kebutuhan bersama keluarganya. Kebutuhan hidup

yang makin meningkat di satu pihak kurang dapat diimbangi dengan pendapatan

relatif tetap, sehingga menyebabkan perubahan pola ketenagakerjaan.

5. Faktor Kemampuan

Kemampuan adalah sifat atau keadaan seseorang yang dapat melaksanakan

tugas atas dasar ketentuan-ketentuan yang ada. Sedangkan keterampilan

adalah kemampuan melaksanakan tugas dengan meng-gunakan anggota badan

dan penataan kerja yang tersedia. Dengan ke-mampuan dan keterampilan yang

memadai maka pelaksanaan tugas dapat dilaksanakan dengan baik, cepat dan

memenuhi semua pihak baik manajemen itu sendiri maupun masyarakat.

6. Faktor Sarana Pelayanan

Sarana pelayanan ialah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas

lain yang berfungsi sebagai alat utama atau pembantu dalam pelaksanaan

pekerjaan dan juga berfungsi sosial dalam rangka kepentingan orang-orang

yang sedang berhubungan dengan organisasi kerja. Fungsi sarana pelayanan

tersebut antara lain:

a. Mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan, sehingga dapat menghemat

waktu.
21

b. Meningkatkan produktivitas baik barang dan jasa.

c. Kualitas produk yang lebih baik dan terjamin.

d. Ketepatan susunan dan stabilitas ukuran terjamin.

e. Lebih mudah atau sederhana dalam gerak pada pelakunya.

f. Menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang berkepentingan.

g. Menimbulkan perasaan puas pada orang-orang yang berkepentingan

sehingga dapat mengurangi sifat emosional mereka.

Oleh karena itu, peranan sarana pelayanan sangat penting disamping sudah

tentu peranan unsur manusianya sendiri. Moenir (2005:136) mengemukakan bahwa

pelayanan umum akan dapat terlaksana dengan baik dan memuaskan pimpinan dan

pelaksana, organisasi dengan mekanisme sistem yang dinamis, pendapatan

karyawan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minuman, kemampuan dan

keterampilan yang sesuai dengan tugas dan pekerjaan yang dipertanggung-

jawabkan, dan tersedianya sarana pelayanan sesuai dengan jenis dan bentuk atau

pekerjaan pelayanan.

2.2.3 Kualitas Pelayanan

2.2.3.1 Kualitas Pelayanan Keperawatan

Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan

pengendalian atas tingkat keunggulan untuk memenuhi keinginan pelanggan

(Mardikanto 1999).

Menurut Kotler (dalam Indra & Gunarsih, 2002) seperti yang disitasi oleh

Zahrotul (2008), ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu

expected service dan perceived service. Jasa yang diterima atau dirasakan sesuai

dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik. Kualitas

pelayanan yang diterima melampaui harapan konsumen, maka kualitas pelayanan


22

yang diterimanya dianggap sebagai kualitas yang ideal, sedangkan bila kualitas

pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas

pelayanan dianggap buruk. Pelayanan yang diberikan oleh perawat sangat

mempengaruhi berhasil tidaknya suatu jasa karena menyangkut keinginan dan

kebutuhan serta tuntutan pasien dan keluarganya selaku konsumen.

Menurut Sabarguna (2004) seperti yang disitasi oleh Zahrotul (2008), kualitas

pelayanan yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam usaha menciptakan

kepuasan konsumen. Pelayanan berkualitas dalam konteks pelayanan di Rumah

Sakit berarti memberikan pelayanan kepada pasien dan keluarganya dan

keluarganya didasarkan pada standar kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan

keinginan mereka, sehingga diperoleh kepuasan yang pada akhirnya meningkatkan

kepercayaan pasien dan keluarganya terhadap pelayanan Rumah Sakit.

Kualitas pelayanan merupakan suatu aspek yang penting dari suatu Rumah

Sakit/Puskesmas. Kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat dalam suatu

Rumah Sakit/Puskesmas berhubungan erat dengan kepuasan yang dirasakan oleh

pasien dan keluarganya selaku konsumen Rumah Sakit/Puskesmas. Perawat

dituntut untuk memberikan pelayanan dengan sebaik- baiknya kepada pasien dan

keluarganya sehingga pasien dan keluarganya merasa puas dengan pelayanan

yang diberikan oleh perawat Rumah Sakit/Puskesmas tersebut (Zahrotul, 2008)

Konsep dasar hubungan kualitas (Quality) dengan kepuasan pelanggan

(Customer Satisfaction) adalah seperti gambar berikut:

Customer
Value
Profitability

Customer
Loyalty
Customer
Satisfaction
Quality
23

Gambar 2.1. Hubungan kualitas, kepuasan dan harapan pelanggan


Sumber: Perkesi (2002)

Pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan harapan pelanggan maka

pelanggan memperoleh kepuasan terhadap pelayanan tersebut atau sebaliknya,

pelanggan puas maka dengan sendirinya harapannya terpenuhi. pelayanan

kesehatan yang diberikan memuaskan dan memenuhi harapan pelanggan, maka

dengan sendirinya minat atau loyalitas pelanggan untuk menggunakan pelayanan

kesehatan Rumah Sakit/Puskesmas juga tinggi (Perkesi, 2002)

2.2.3.2 Aspek-aspek Kualitas Pelayanan Keperawatan

Kualitas pelayanan yang baik adalah pelayanan yang memenuhi keinginan

dan kebutuhan pasien dan keluarganyanya. Kualitas pelayanan Rumah Sakit dapat

dilihat dari aspek kepuasan pasien dan keluarganya dan juga dapat dikenali dari

harapan pasien dan keluarganya. Menurut Zahrotul (2008), ada 5 (lima) aspek dari

kualitas pelayanan perawat yaitu:

1. Aspek penerimaan, meliputi sikap perawat yang harus selalu ramah, periang,

selalu tersenyum dan menyapa semua pasien dan keluarganya. Perawat perlu

memiliki minat terhadap orang lain, menerima pasien dan keluarganya tanpa

membedakan golongan, budaya, pangkat, latar belakang sosial ekonomi, serta

budaya sebagai pribadi yang utuh. Agar dapat melakukan pelayanan sesuai

dengan aspek penerimaan, perawat harus memiliki minat terhadap orang lain

dan memiliki wawasan luas.

2. Aspek perhatian, meliputi perawat perlu bersikap sabar dan murah hati dalam

arti bersedia memberikan bantuan dan pertolongan kepada pasien dan

keluarganya dengan sukarela tanpa mengharapkan imbalan, memiliki


24

sensitivitas dan kepekaan terhadap setiap perubahan pasien dan keluarganya,

mau mengerti terhadap kecemasan dan ketakutan pasien dan keluarganya.

3. Aspek komunikasi, meliputi sikap perawat yang harus bisa melakukan

komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarganya dan keluarga pasien dan

keluarganya.

4. Aspek kerjasama, meliputi sikap perawat yang harus mampu melakukan

kerjasama yang baik dengan pasien dan keluarganya dan keluarga pasien dan

keluarganya.

5. Aspek tanggung jawab, meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam tugas,

mampu mencurahkan waktu dan perhatian, sportif dalam tugas, konsisten serta

tepat dalam bertindak.

Pelayanan itu berkualitas dan memenuhi keinginan pelanggan atau

masyarakat, ada beberapa cara-cara untuk menilainya, antara lain dengan

sistem keluhan dan saran, survei kepuasan pelanggan, serta pengamatan pada

kepuasanpelanggan. Fokus pada kebutuhan/keinginan masyarakat diartikan

sebagai orientasi pemerintah terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat

atas layanan yang diinginkan masyarakat (Rachmadi, 2008)

Kualitas pelayanan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari

suatu Rumah Sakit. Kualitas pelayanan yang baik adalah pelayanan yang memenuhi

keinginan, harapan, dan kebutuhan pasien dan keluarganyanya. Perawat dituntut

untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pasien dan keluarganya

selama mereka dirawat di Rumah Sakit. Jika pelayanan yang diterima pasien dan

keluarganya memenuhi harapan pasien dan keluarganya, maka kualitas pelayanan

yang diberikan perawat baik. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima pasien dan
25

keluarganya lebih rendah dari harapan pasien dan keluarganya, maka kualitas

pelayanan yang diberikan perawat buruk (Mardikanto, 1999).

Penelitian Mardikanto (1999), penelitian di lakukan di RSUD Sragen didapat

hasil bahwa ada hubungan antara mutu pelayanan dengan kepuasan pasien dan

keluarganya dengan nilai p-value 0,012, semakin baik kualitas pelayanan

kesehatan maka semakin puas dirasakan pasien dan keluarganya pelayanan

tersebut.

Nursalam (2002), kualitas pelayanan keperawatan dapat ditentukan dengan

perawat yang professional. Karakteristik profesi keperawatan seperti memiliki dan

memperkaya tubuh pengetahuan (body of knowledge) melalui penelitian dan

pelatihan, memiliki kemapuan memberikan pelayanan yang unik kepada orang lain,

pendidikan yang memenuhi standart, bertanggung jawab dan bertanggung gugut

(accountable) terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan dan mempunyai

fungsi mandiri dan kolaborasi.

2.2.3.3 Pengukuran Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan yang baik adalah saat perusahaan mampu memberikan

pelayanan yang memuaskan agar terpenuhinya permintaan dan harapan konsumen.

Kualitas pelayanan yang baik dapat diukur dari kesenjangan (gaps) antara harapan

dan persepsi pelanggan (Aisyati. dkk, 2007).

Menurut Aisyati. dkk, (2007), menjelaskan bahwa dalam mengukur kualitas

jasa pelayanan (service quality) digunakan dimensi kualitas jasa yang dikemukakan

oleh Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1985). Kelima karakteristik kualitas

pelayanan tersebut adalah : 1). Tangibles (bukti langsung) meliputi fasilitas fisik,

perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. 2) Reliability (keandalan) yaitu

kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan


26

memuaskan. 3). Responsiveness (daya tanggap) yaitu keinginan para staff untuk

membentuk para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. 4).

Assurance (jaminan) yang mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan

sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf bebas dari bahaya, resiko atau

keraguraguan. 5). Emphaty (empati) meliputi kemudahan dalam melakukan

hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan

pelanggan.

Parasuraman, Berry dan Zeithaml (1985) didalam Aisyati. dkk (2007),

mengidentifikasikan kesenjangan (gaps) pelayanan yang terjadi yang menyebabkan

ketidak-berhasilan penyampaian jasa. Kelima kesenjangan tersebut adalah : 1). Gap

persepsi manajemen, kesenjangan antara harapan konsumen dan pandangan

manajemen. 2). Gap Spesifikasi kualitas jasa, kesenjangan antara persepsi

manajemen dan spesifikasi mutu pelayanan. 3). Gap penyampaian jasa,

kesenjangan antara mutu pelayanan dan sajian / penyampaian pelayanan. 4). Gap

komunikasi pemasaran, kesenjangan antara penyajian pelayanan dan komunikasi

eksternal. 5). Gap dalam pelayanan yang dirasakan., kesenjangan antara yang

dialami dan yang diharapkan

Parasuraman, dkk (dalam Tjiptono & Chandra, 2005) mengemukakan

beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan perawat yaitu : 1).

Tangible (bukti fisik) adalah keadaan yang ada berupa penampilan fisik dari perawat,

cara berpakaian atau menggunakan uniformnya, peralatan yang digunakan di dalam

bertugas, bahan-bahan sarana pelayanan lainnya. 2). Reliability (keandalan) adalah

kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera,

akurat, dan memuaskan. 3) Responsiveness (daya tanggap) adalah keinginan

perawat untuk membantu kebutuhan dan keinginan pasien dan keluarganya dan
27

keluarga pasien dan keluarganya dan memberikan pelayanan secara memuaskan.

4) Assurance (jaminan) merupakan kemampuan perawat dalam melakukan

pelayanan, misalnya pengetahuan tentang penanganan medis, keterampilan, dan

ketulusan di dalam melayani pasien dan keluarganya dan keluarga pasien dan

keluarganya sehingga dapat menimbulkan kepercayaan dan keyakinan termasuk

juga kesopanan dan menghargai pasien dan keluarganya dan keluarganya. 5)

Empathy (empati) adalah kemudahan perawat dalam melakukan hubungan

komunikasi yang baik, kepedulian, perhatian perawat terhadap pasien dan

keluarganya dan keluarga pasien dan keluarganya termasuk pendekatan atau upaya

memahami kebutuhan pasien dan keluarganya.

Model SERVQUAL digunakan untuk penilaian kualitas pelayanan yang terdiri

dari 5 (lima) gap meliputi: 1) kesenjangan persepsi terhadap manajemen Rumah

Sakit dan harapan pelanggan (pasien). 2) Gap persepsi manajemen dan kaulitas

jasa pelayanan. 3) Gap kualitas pelayanan dan penyampaian pelayanan. 4) Gap

penyajian pelayanan dan komunikasi eksternal ke pelanggan. 5) Gap persepsi

(kualitas pelayanan) dan harapan pelanggan ( P-E) ( Amiresmaili & Moghadam,

2009).

Perkesi (2002), indikator untuk menilai kualitas pelayanan yaitu: 1).

Reliability (Keterampilan, pengetahuan dan keandalan) yaitu: Prosedur penerimaan

pasien dan keluarganya, Pelayanan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan,

Jadwal pelayanan dan Prosedur pelayanan keluar Rumah Sakit. 2).

Responsiveness dan high personnel contact (cepat tanggap dan komunikasi) yaitu:

Kemampuan petugas untuk cepat tanggap menyelesaikan keluhan pasien dan

keluarganya, Kemampuan memberikan informasi dan Tindakan cepat tanggap. 3).

Assurance (jaminan keamanan pasien dan keluarganya) yaitu: Pengetahuan dan


28

kemampuan petugas menetapkan diagnosis penyakit,Keterampilan petugas dalam

bekerja,Pelayanan yang sopan dan ramah dan Jaminan keamanan pelayanan dan

kepercayaan terhadap pelayanan. 4). Emphaty (sikap peduli) yaitu: Memberikan

perhatian secara khusus terhadap pasien dan keluarganya dan keluarganya,

Perhatian terhadap pasien dan keluarganya dan keluarganya dan Pelayanan

terhadap semua pasien dan keluarganya tanpa memandang status sosial dll. 5).

Tangibles (penampilan pisik petugas dan ruangan perawatan) yaitu: Kebersihan,

kerapian dan kenyamanan ruangan, Penataan eksterior dan interior ruangan,

Kelengkapan, kesiapan dan kebersihan alat-alat yang dipakai dan Kerapian dan

kebersihan penampilan petugas (karyawan).

Menurut Nursalam (2002) untuk menilai kualitas pelayanan keperawatan

kepada klien digunakan standar praktek keperawatan seperti yang telah dijabarkan

oleh PPNI (2000) yang mengacu pada tahapan proses keperawatan seperti

pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

Kegiatan pelayanan keperawatan yang meliputi kegiatan seperti: Reliability,

Responsiveness dan High Personnel Contact, Assurance, Emphaty dan Tangibles.

2.2.4 Dimensi Kualitas Jasa

Kata kualitas mengandung banyak definisi dan makna, menurut Tjiptono

(2007: 52), antara lain:

1. Keseluruhan antara persyaratan atau tuntutan

2. Kecocokan untuk pemakaian

3. Perbaikan atau penyempurnaan berkelanjutan

4. Pemenuhan kebutuhan semenjak awal dan setiap saat

5. Melakukan segala sesuatu secara benar sejak awal


29

Kualitas jasa adalah kemampuan penyedia jasa atau organisasi untuk

memenuhi atau melebihi harapan konsumen dengan ukuran kinerjanya yaitu jasa

yang dipersepsikan. Untuk menghasilkan penjualan dan laba yang tinggi

perusahaan harus memberikan kualitas jasa yang lebih dibanding pesaingnya

dengan kunci memberikan pelayanan yang melebihi harapan konsumen sasaran.

Pengharapan konsumen dibentuk oleh pengalaman masa lalu, kabar dari

mulut ke mulut, dan iklan usaha jasa. Konsumen akan memilih penyedia jasa yang

menggunakan dasar tersebut, dan setelah menerima jasa, mereka akan

membandingkan jasa yang dirasakan atau diterima dengan jasa diharapkan. Apabila

jasa yang diberikan atau dirasakan (perceived service) berada lebih rendah dari jasa

yang diharapkan (expected service), konsumen akan kehilangan minat pada

penyedia jasa tersebut dan sebaliknya (Rangkuti, 2008: 41).

Tjiptono (2007: 54) mendefinisikan kualitas sebagai suatu kondisi dinamis

yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses lingkungan yang

memenuhi atau melebihi harapan. Menurut Lupiyoadi (2008: 147), kualitas jasa

adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tinggkat

keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.

Sementara kualitas jasa menurut Rangkuti (2008: 28) didefinisikan sebagai

penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan pelanggan. Pelanggan

berusaha menilai kualitas jasa berdasarkan apa yang dirasakan atas atribut-atribut

yang mewakili kualitas pelayanan.

Parasuraman dalam Rangkuti (2008: 42), memformulasikan sebuah model

kualitas jasa yang berupaya untuk mengenali kesenjangan (gaps) layanan yang

terjadi dan mencari jalan keluar untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan
30

kesenjangan layanan tersebut. Secara umum kesenjangan dapat dibedakan dalam 2

(dua) kelompok, yaitu :

1. Kesenjangan yang muncul dari dalam perusahaan (company gaps) yang

menghambat kemampuan perusahaan untuk memberikan jasa berkualitas terdiri

atas:

a. Kesenjangan 1: tidak mengetahui harapan konsumen akan pelayanan.

b. Kesenjangan 2: tidak memiliki desain dan standar pelayanan yang tepat.

c. Kesenjangan 3: tidak memberikan pelayanan berdasar standar pelayanan.

d. Kesenjangan 4: tidak memberikan pelayanan yang sesuai yang dijanjikan.

2. Kesenjangan yang muncul dari luar perusahaan atau kesenjangan 5 karena

perbedaan antara persepsi konsumen dengan harapan konsumen terhadap

pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas, dijelaskan bahwa kualitas selalu berfokus pada

pelanggan sebagai pemakai akhir. Dengan demikian produk-produk didesain,

produksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan karena

kualitas mengacu pada segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan.

Salah satu cara agar penjualan jasa satu perusahaan lebih unggul

dibandingkan para pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang

berkualitas dan bermutu, yang memenuhi tingkat kepentingan konsumen. Tingkat

kepentingan konsumen terhadap jasa yang akan mereka terima dapat dibentuk

berdasarkan pegalaman dan saran yang mereka peroleh. Konsumen memilih

pemberi jasa berdasarkan peringkat kepentingan. Dan setelah menikmati jasa

tersebut mereka cenderung akan membandingkannya dengan yang mereka

harapkan. Bila jasa yang mereka nikmati ternyata berada jauh di bawah jasa yang

mereka harapkan, para konsumen akan kehilangan minat terhadap pemberi jasa
31

tersebut. Sebaliknya jika jasa yang mereka nikmati memenuhi atau melebihi tingkat

kepentingan, mereka akan cenderung memakai kembali produk jasa tersebut.

Tingkat kualitas jasa tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang

perusahaan tetapi harus dipandang dari sudut pandang penilaian pelanggan. Karena

itu, dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, perusahaan harus

berorientasi pada kepentingan pelanggan dengan memperhatikan komponen

kualitas pelayanan.

Menurut Parasuraman et al (1991) dalam Tjiptono (2007: 273) terdapat lima

demensi utama kualitas jasa yaitu sebagai berikut:

1. Reliability (kehandalan), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang

dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Reliability meliputi

kemampuan memberikan pelayanan kepada pasien yaitu selalu merealisasikan

janji, kepedulian dalam memecahkan masalah, pelayanan tepat waktu,

memberikan pelayanan sesuai jadwal, dan pencatatan (records) hasil transaksi.

2. Responsivenes (daya tanggap), yakni sikap tanggap dan peduli dalam

memberikan pelayanan kepada pelanggan. Responsivenes meliputi

memberitahukan hasil transaksi kepada pelanggan, memberikan pelayanan

dalam waktu yang cepat, kesediaan membantu pelanggan, dan memperhatikan

permintaan pelanggan.

3. Assurance (jaminan), yakni kemampuan memberikan kepastian dan jaminan

dalam memberikan pelayanan untuk setiap pelanggan. Assurance meliputi

memberikan kepercayaan kepada pelanggan, memberikan rasa aman, sopan

satun karyawan, dan memiliki pengetahuan yang memadai untuk menjawab

pertanyaan pelanggan.
32

4. Empaty (empati), yakni memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan. Empaty

meliputi kemudahan untuk menghubungi kantor, memberikan pelayanan sesuai

jam kerja, keperdulian memberikan perhatian pada pelanggan, mengutamakan

kepentingan pelanggan dan memahami kebutuhan spesifik pelanggan.

5. Tangibles (bukti langsung dan nyata), yakni penilaian dalam memberikan

pelayanan. Tangibles meliputi design teknologi informasi (alat komunikasi)

sesuai perkembangan, fasilitas fisik (peralatan kantor), kerapian karyawan, dan

media informasi (petunjuk pelayanan).

Selanjutnya demensi utama kualitas jasa kesehatan menurut Supriyanto dan

Ernawaty (2010: 302) terdiri dari:

1. Tangible, adalah penampakan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan bahan

komunikasi yang menunjang jasa yang ditawarkan.

2. Reliability, terdiri atas kemampuan pemberi pelayanan untuk memberikan

pelayanan yang diharapkan secara akurat sesuai dengan yang dijanjikan.

3. Responsiveness, yaitu keinginan untuk membantu dan menyediakan pelayanan

yang dibutuhkan dengan segera. Indikator responsiveness adalah kecepatan

dilayani bila pasien membutuhkan atau waktu tunggu yang pendek untuk

mendapatkan pelayanan.

4. Assurance, yaitu kemampuan pemberi jasa untuk menimbulkan rasa percaya

pelanggan terhadap jasa yang ditawarkan. Indikatornya adalah jaminan sembuh

dan dilayani petugas yang bermutu atau profesional.

5. Empathy, berupa pemberian layanan secara individual dengan penuh perhatian

dan sesuai kebutuhan atau harapan pasien. Misalnya, petugas mau

mendengarkan keluhan dan membantu menyelesaikannya, petugas tidak acu tak

acu.
33

Tingkat kualitas jasa tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang institusi

kesehatan tetapi harus dipandang dari sudut pandang penilaian pelanggan/pasien.

Karena itu, dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, institusi kesehatan

harus berorientasi pada kepentingan pelanggan dengan memperhatikan komponen

kualitas pelayanan. Salah satu cara agar penjualan jasa satu perusahaan lebih

unggul dibandingkan para pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang

berkualitas dan bermutu, yang memenuhi tingkat kepentingan konsumen.

Menurut Tjiptono (2007: 289) kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari

kualitas pelayanan dikurangi harapan pelanggan. Dengan kata lain kualitas layanan

dapat dirumuskan:

Satisfaction = f (service quality – expection)

Berdasarkan rumus di atas terdapat tiga kemungkinan yang terjadi yaitu:

1. Service quality < Expection

Bila ini terjadi, dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan perusahaan buruk,

tidak sesuai dengan harapan pelanggan, dan tidak memuaskan.

2. Service quality = Expectation

Bila ini terjadi dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan adalah biasa saja.

Dimata pelanggan, pelayanan yang diberikan sudah seharusnya seperti itu.

3. Service quality > Expection

Bila ini terjadi, pelanggan merasakan pelayanan yang diberikan tidak hanya

sesuai kebutuhan, tetapi sekaligus memuaskan dan menyenangkan. Pelayanan

ini dinamakan pelayanan prima, yang selalu diharapkan semua pelanggan.

2.2.5 Kepuasan Pengguna Layanan (Customer Satisfaction)

2.2.5.1 Pengertian Kepuasan (customer satisfaction)


34

Kepuasan pengguna layanan (customer satisfaction) adalah perasaan

senang atau kecewa pelanggan yang berasal dari perbandingan antara kesan

terhadap kinerja (hasil kerja) pelayanan kesehatan dengan yang diharapkan.

Kepuasan merupakan respon terhadap produk atau jasa pelayanan kesehatan yang

diterima pelanggan. Pelayanan kesehatan yang diterima memenuhi harapan

pelanggan menjadi puas, tetapi sebaliknya bila dibawah harapan pelanggan jadi

tidak puas. Hubungan kepuasan dan harapan terhadap pelayanan kesehatan

merupakan hubungan yang sangat erat, bila pelanggan puas maka harapan

pelanggan terpenuhi dan sebaliknya bila harapan terpenuhi pelanggan menjadi puas

(Perkesi, 2002).

Pendapat Wexley dan Yukl (1977), yang mengutip definisi kepuasan dari

Porter yang disitasi oleh Utama (2003), kepuasan adalah selisih dari banyaknya

sesuatu yang seharusnya ada dengan banyaknya apa yang ada. Wexley dan Yukl

menyatakan bahwa pasien dan keluarganya akan terpuaskan jika tidak ada selisih

antara sesuatu atau kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin tinggi

selisih antara kebutuhan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai keinginan

pasien dan keluarganya dengan pelayanan yang telah diterimanya, maka akan

terjadi rasa ketidakpusan pasien dan keluarganya.

2.2.5.2 Aspek-aspek kepuasan pengguna layanan

Menurut Sabarguna (2004) seperti yang disitasi oleh Zahrotul (2008)

menjelaskan bahwa kepuasan yang dirasakan oleh pengguna layanan merupakan

aspek yang sangat penting bagi kelangsungan suatu Rumah Sakit. Kepuasan

pengguna layanan adalah nilai subjektif terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.

Penilaian subjektif tersebut didasarkan pada pengalaman masa lalu, pendidikan,

situasi psikis waktu itu, dan pengaruh lingkungan pada waktu itu. Aspek yang
35

mempengaruhi kepuasan pengguna layanan yaitu : 1) Aspek kenyamanan, meliputi

lokasi Rumah Sakit, kebersihan Rumah Sakit, kenyamanan ruangan yang akan

digunakan pasien dan keluarganya, makanan yang dimakan pasien dan

keluarganya, dan peralatan yang tersedia dalam ruangan. 2) Aspek hubungan

pasien dan keluarganya dengan petugas Rumah Sakit, meliputi keramahan petugas

Rumah Sakit terutama perawat, informasi yang diberikan oleh petugas Rumah Sakit,

komunikatif, responatif, suportif, dan cekatan dalam melayani pasien dan

keluarganya. 3) Aspek kompetensi teknis petugas, meliputi keberanian bertindak,

pengalaman, gelar, dan terkenal. 4) Aspek biaya, meliputi mahalnya pelayanan,

terjangkau tidaknya oleh pasien dan keluarganya, dan ada tidaknya keringanan yang

diberikan kepada pasien dan keluarganya.

Menurut Persatuan Perawat Kristen Indonesia atau Perkesi (2002),

kepuasan pelanggan eksternal (pasien dan keluarganya) dapat dibagi menjadi dua

sudut pandang (dimensi) besar yaitu kepuasan yang mengacu pada penerapan

standard an kode etik profesi dan kepuasan yang mengacu pada penerapan semua

persyaratan pelayanan kesehatan yang baik. Kepuasan yang mengacu pada

penerapan standar dan kode etik profesi seperti hubungan tenaga kesehatan -

pasien dan keluarganya (health personnel – patient relationship), kenyamanan

pelayanan (amenities), kebebasan memilih atau menentukan pelayanan kesehatan

(choice), pengetahuan dan kompetensi teknis (scientific knowledge and technical

skill), efektifitas pelayanan (effectiveness) dan keamanan tindakan (safety).

Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan

seperti ketersediaan pelayanan kesehatan (available), kewajaran pelayanan

kesehatan (appropriate), kesinambungan pelayanan kesehatan (continue),

penerimaan pelayanan kesehatan (acceptable), ketercapaian pelayanan kesehatan


36

(accessible), keterjangkauan pelayanan kesehatan (affordable), Efisiensi pelayanan

kesehatan (afficient) dan mutu pelayanan kesehatan (quality).

2.2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan

Menurut Muninjaya (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

pengguna jasa pelayanan kesehatan adalah meliputi aspek : 1). Komunikasi (high

personnel contact). 2) Empati (sikap peduli), sikap ini akan berpengaruh pada

tingkat kepatuhan pasien dan keluarganya (compliance) terhadap pelayanan

kesehatan. 3). Biaya (cost), tingginya biaya pelayanan kesehatan dapat menjadi

sumber moral hazard bagi pasien dan keluarganya dan keluarganya. 4).

Penampilan fisik petugas (kerapian), kebersihan dan kenyamanan ruangan

(tangibility). 5). Jaminan keamanan termasuk pelayanan gratis atau asuransi

kesehatan, ketepatan jadwal pemeriksaan dan kunjungan dokter. 6). Keandalan dan

keterampilan (reliability) petugas kesehatan . 7). Kecepatan petugas memberi

tanggapan terhadap keluahan pasien dan keluarganya dan keluarganya

(responsiveness).

Menurut Griffith (1992) seperti yang disitasi oleh Zahrotul (2008),

mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi perasaan puas pada

pelanggan yaitu : 1) Sikap dan pendekatan petugas Rumah Sakit kepada pasien

dan keluarganya yaitu sikap petugas Rumah Sakit ketika pasien dan keluarganya

pertama kali datang di Rumah Sakit, keramahan yang ditunjukkan petugas Rumah

Sakit, dan kecepatan penerimaan pasien dan keluarganya yang datang ke Rumah

Sakit. 2) Kualitas pelayanan perawatan yang diterima oleh pasien dan keluarganya

yaitu apa saja yang telah dilakukan oleh pemberi layanan kepada pasien dan

keluarganya berupa pelayanan perawatan yang berkaitan dengan proses


37

kesembuhan penyakit yang diderita pasien dan keluarganya dan kelangsungan

perawatan pasien dan keluarganya selama berada di Rumah Sakit. 3) Prosedur

administrasi yaitu berkaitan dengan pelayanan administrasi pasien dan keluarganya

mulai masuk Rumah Sakit, selama perawatan berlangsung, dan ketika keluar dari

Rumah Sakit, kecekatan petugas dalam melayani pasien dan keluarganya, dan

penjelasan rincian biaya yang digunakan pasien dan keluarganya selama berada di

Rumah Sakit. 4) Fasilitas-fasilitas yang disediakan Rumah Sakit yaitu fasilitas ruang

inap, kualitas makanan, kebersihan ruangan, kenyamanan ruangan, dan lokasi

Rumah Sakit.

Gibson (1987) seperti yang disitasi oleh Utama (2003), kepuasan pasien dan

keluarganya (pelanggan) karena terpenuhinya kebutuhan diinginkan yang diperoleh

dari pengalaman melakukan sesuatu, pekerjaan, atau memperoleh perlakuan

tertentu dan memperoleh sesuatu sesuai kebutuhan yang diinginkan.

Kepuasan digunakan untuk menganalisis atau mengevaluasi hasil

penyelenggaraan kegiatan pelayanan rawat inap Rumah Sakit dengan cara

membandingkan kebutuhan diinginkan yang ditetapkan individu dengan kebutuhan

yang telah diperoleh. Pasien dan keluarganya akan memberikan penilaian (reaksi

afeksi) terhadap kegiatan pelayanan kesehatan yang diterima maupun terhadap

sarana dan prasarana kesehatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan

pelayanan kesehatan Rumah Sakit. Penilaian kondisi Rumah Sakit (mutu baik atau

buruk) merupakan gambaran kualitas Rumah Sakit seutuhnya berdasarkan

pengalaman subjektif individu pasien dan keluarganya. Hasil penilaian ini cenderung

merupakan faktor penentu terjadi tingkat kepuasan pasien dan keluarganya

terhadap pelayanan rawat inap di Rumah Sakit (Utama, 2003).


38

Hasil evaluasi tingkat kepuasan pengguna layanan terhadap pelayanan

Rumah Sakit cenderung bersifat tidak tetap atau berubah-ubah, karena ukuran

kepuasan pasien dan keluarganya terhadap pelayanan Rumah Sakit merupakan

hasil dari reaksi afeksi yang lebih bersifat subjektif dan dinamis. Perubahan

situasional pada jarak waktu yang relatif singkat kemungkinan dapat merubah

ukuran kepuasan. Evaluasi kepuasan pasien dan keluarganya lebih sering

dilakukan akan memberi gambaran pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang

sesungguhnya (Utama, 2003).

Menurut Shaluhiyah et al. (2006), faktor-faktor karakteristik pasien dan

keluarganya (nonmedik) mempengaruhi tingkat kepuasan pasien dan keluarganya

terhadap pelayanan rawat inap Rumah Sakit antara lain adalah umur, pendidikan,

pekerjaan, latar belakang sosial ekonomi, etnis, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan,

kepribadian, pengalaman hidup pasien dan keluarganya dan diagnosis penyakit.

Indikator penilai tingkat kepuasan pengguna layanan pada rawat inap

Rumah Sakit dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu karakteristik

individu pasien dan keluarganya dan pelayanan kesehatan. Pendapat para ahli

seperti Azwar (1996), Maslow (1970), Kossen (1986) dan Schein (1991) seperti

yang dikutip oleh Utama (2003), indikator karakteristik individu pasien dan

keluarganya seperti umur, jenis kelamin, lama perawatan, sumber biaya, diagnosis

penyakit, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, suku bangsa, tempat tinggal, kelas

perawatan, status perkawinan, agama dan preferensi. Menurut Shaluhiyah et al.

(2006:), indikator karakteristik pelayanan seperti kinerja tenaga dokter, kinerja

tenaga perawat, kondisi fisik Rumah Sakit, makanan dan menu pasien dan

keluarganya, sistem administrasi pelayanan, pembiayaan dan rekam medis.


39

Hall dan Dornan seperti yang disitasi oleh Mardikanto (1999) menyatakan

karakteristik pasien dan keluarganya mempengaruhi tingkat kepuasan terhadap

pelayanan kesehatan. Karakteristik pasien dan keluarganya mempunyai

kecenderungan puas terhadap pelayanan kesehatan yang diterima seperti umur

semakin tua, penghasilan yang lebih tinggi, dewasa, pendidikan lebih rendah, jumlah

keluarga lebih sedikit dan pasien dan keluarganya wanita. Kecenderungan

karakteristik pelanggan yang tidak puas terhadap pelayanan kesehatan yang

diterima seperti umur lebih muda, penghasilan lebih rendah, anak-anak, tingkat

pendidikan lebih tingggi, jumlah anggota keluarga lebih besar dan pasien dan

keluarganya laki-laki.

Menurut Utama (2003), Konsepsi kepuasan pengguna layanan berdasar

pendapat Azwar (1996) cenderung selaras dengan konsep kepuasan yang

dikembangkan oleh Wexley dan Yukl (1988), bahwa seseorang akan terpuaskan jika

tidak ada selisih antara kondisi yang dibutuhkan dengan kondisi aktual. Semakin

besar kekurangan dalam banyak hal penting yang dibutuhkan, maka semakin besar

rasa ketidak puasan. Determinan utama kepuasan pengguna layanan terhadap

pelayanan kesehatan di Rumah Sakit adalah pemenuhan kebutuhan pasien dan

keluarganya dan berupa pelayanan kesehatan dinilai bernutu.

Mardikanto (1999) menyatakan kepuasan akan tercapai apabila diperoleh

hasil optimal pelayan kesehatan seperti perhatian terhadap keluhan pasien dan

keluarganya, kondisi lingkungan fisik yang baik, tanggap dan memprioritas

kebutuhan pasien dan keluarganya sehingga tercapai keseimbangan antara tingkat

rasa puas dengan yang diderita pasien dan keluarganya.

Ketidakpuasan yang sering dikemukakan oleh pengguna layanan dalam

kaitannya dengan pelayanan rawat inap Rumah Sakit antara lain adalah
40

keterlambatan pelayanan dokter dan perawat, dokter sulit ditemui, dokter yang

kurang komunikatif dan informatif, lamanya proses masuk rawat, aspek pelayanan

Rumah Sakit, serta ketertiban dan kebersihan lingkungan Rumah Sakit (Shaluhiyah.

et al. 2006). Sikap, perilaku, tutur kata, perhatian, keramahan petugas, serta

kemudahan mendapatkan informasi dan komunikasi menduduki peringkat yang

tinggi dalam persepsi kepuasan pengguna layanan terhadap pelayanan rawat inap

Rumah Sakit. Pengguna layanan merasa outcome tak sesuai dengan harapan

sudah merasa cukup puas karena dilayani dengan sikap yang menghargai perasaan

dan martabatnya (Shaluhiyah et al. 2006).

Penilitian Kasim (2004) menyatakan bahwa kesenjangan antara pelayanan

kesehatan yang diterima dengan pelayanan keseahatan yang diharapkan, inilah

yang menyebabkan terjadinya ketidakpuasan bagi pelanggan. Ketidakpuasan

pengguna layanan terhadap pelayanan kesehatan Rumah Sakit dapat diwujudkan

dalam beberapa hal yaitu menghindari atau menjauhi pelayanan kesehatan, protes

atau marah, minta kompensasi dan mengajukan tuntutan kepengadilan.

Menurut Kotler (1997) dalam Zahrotul (2008) Kepuasan yang dialami oleh

pasien dan keluarganya sebagai pengguna jasa Rumah Sakit/Pukesmas hanya

dapat berkembang apabila terdapat hubungan antara penyedia layanan dalam hal

ini Rumah Rakit terutama perawat yang merawat pasien dan keluarganya dengan

pasien dan keluarganya yang dilayani. Pengguna layanan merasakan puas

terhadap pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit/Puskesmas maka akan

memberitahukan kepada teman, keluarga, maupun tetangganya tentang pelayanan

yang didapatkannya sehingga teman, tetangga atau keluarganya juga akan

menggunakan jasa Rumah Sakit/Puskesmas yang sama. Oleh sebab itu, Rumah

Sakit harus dapat meningkatkan kinerja dari para perawatnya sehingga para
41

perawat di Rumah Sakit tersebut dapat memberikan pelayanan yang berkualitas

kepada pasien dan keluarganya yang menggunakan jasa Rumah Sakit tersebut

Penelitian Shaluhiyah et al. (2006), meneliti 300 responden, disimpulkan

bahwa mayoritas pengguna layanan puas dengan pelayanan rawat inap yang telah

diterima di Rumah Sakit. Persentase kepuasan terhadap pelayanan rawat inap

tertinggi pada pelayanan dokter sebesar 76,2%. Persentase kepuasan terendah

pada kondisi fisik ruang perawatan pasien dan keluarganya sebesar 68,6%. Kondisi

kebersihan, keindahan dan kenyamanan ruang perawatan pasien dan keluarganya

terdapat 24,7% responden menyatakan kurang/tidak memuaskan. Responden tidak

dan kurang puas terhadap pelayanan rawat inap Rumah Sakit, maka berturutan

yang paling bermasalah adalah kondisi fisik ruang perawatan, sarana medis dan

obatobatan, pelayanan makan pasien dan keluarganya, pelayanan administrasi dan

keuangan, pelayanan masuk Rumah Sakit, pelayanan perawat dan pelayanan

dokter.

2.2.5.4 Harapan Pengguna Layanan (expectations)

Fishbein & Ajzen seperti yang disitasi oleh Lestari (1999), harapan

(expectations) adalah keyakianan bahwa suatu respon akan diikuti dengan suatu

kejadian yang memiliki nilai positif atau negatif. Harapan pengguna layanan dalam

pelayanan berasal dari citra pemberi pelayanan. Citra pemberi pelayanan dapat

diketahui dari pengalaman kepuasan pengguna layanan sebelumnya.

Andrew et al. (1994) seperti yang disitasi oleh Lestari (1999), ada 4 jenis

harapan yang sering digunakan, yaitu : 1). Ideal, yaitu aspirasi, keinginan atau

hasil yang lebih disenangi untuk dicapai dari keyakinan seseorang yang sesuai

dengan perspektif pengguna terhadap potensi pelayanan yang ada. 2). Predicted,

yaitu sebagai harapan hasil yang realistis, praktis dan sesuai dengan yang
42

dipercayai pengguna jasa layanan. 3). Normative, yaitu mewakili apa yang mungkin

dan harus terjadi sesuai dengan apa yang telah disampaikan kepada pengguna

layanan. 4). Unformed, yaitu keadaan yang timbul apabila pengguna tidak dapat

atau tidak mau karena berbagai sebab untuk mengutarakan harapan, tidak

mempunyai harapan atau terlalu sulit untuk mengutarakan (tidak ingin

mengungkapkan perasaannya karena takut, alasan norma sosial dan sebagainya.

Teori Diskonfirmasi Harapan (The theory of expectancy disconfirmation),

menjelaskan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan adalah hasil dari perbandingan

antara harapan semula dan persepsi pelayanan yang dirasakan. Asumsi teori ini

adalah bahwa setiap orang yang membentuk berhubungan akan mempunyai

sebentuk harapan dan kemampuan serta kemauan untuk menilai kualitas dari

hubungan tersebut.

Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan

merupakan kehendak semua pihak, baik pasien atau keluarganya, juga oleh

kelompok dan bahkan oleh seluruh anggota masyarakat. Joeharno & Gamrin

(2008), menyimpulkan bahwa tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapai derajat

kesehatan masyarakat yang memuaskan harapan dan kebutuhan pelayanan

kesehatan pelanggan (consumer satisfaction), melalui pelayanan yang efektif dan

diselenggarakan secara efisien (institutional satisfaction) oleh pemberi pelayanan

(provider satisfaction) yang memuaskan harapan dan kebutuhan pasien atau

keluarganya. Kasim (2004) pelanggan menghindari atau menjauh dari pelayanan

kesehatan apabila pelayanan kesehatan yang diterima tidak sesuai dengan yang

diharapkan.

Menurut Kotler (1997) didalam Pertiwi (2008), menyatakan bahwa

kepuasan pengguna layanan berasal dari perbandingan antara kesan terhadap


43

kinerja (hasil) suatu produk dengan harapan yang dimiliki. Kepuasan merupakan

fungsi dari perbedaan antara kinerja (hasil) yang dirasakan dengan harapan.

2.2.6 Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Pelanggan

Model Servqual (service quality), kualitas jasa didefinisikan sebagai

“penilaian atau sikap global berkenaan dengan superioritas suatu jasa”

(Parasuraman, et al,. dalam Tjiptono, 2007: 262). Definisi ini didasarkan pada tiga

landasan konseptual utama yakni; (1) kualitas jasa lebih sukar dievaluasi konsumen

daripada kualitas barang; (2) persepsi terhadap kualitas jasa merupakan hasil dari

perbandingan antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual; dan (3) evaluasi

kualitas jasa tidak hanya dilakukan atas hasil jasa, namun juga mencakup evaluasi

terhadap proses penyampaian jasa.

Model servqual berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yang

sebagian besar didasarkan pada pendekatan diskonfirmasi (Oliver dalam Tjiptono,

2007: 262). Pendekatan model Servqual lebih ditegaskan bahwa bila kinerja pada

suatu atribut (expectations) atas atribut yang bersangkutan meningkat, maka

kepuasan pun akan meningkat, begitu pula sebaliknya.

Pengukuran kualitas jasa dalam model Servqual didasarkan pada skala

multi item yang dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan, serta

gap di antar keduanya dalam dimensi-dimensi utama kualitas jasa. Pada penelitian

awalnya, Parasuraman, et al. dalam Tjiptono (2007: 273) mengidentifikasi sepuluh

dimensi pokok, yakni reliabilitas, daya tanggap, kompetensi, akses, kesopanan,

komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan memahami pelanggan, dan bukti

fisik. Namun pada penelitian berikutnya, Parasuraman, et al. Dalam Tjiptono (2007:
44

273) menyempurnakan dan merangkum sepuluh dimensi tersebut. Kompetensi,

kesopanan, kredibilitas, dan keamanan disatukan menjadi jaminan (assurance).

Sedangkan akses, komunikasi, dan kemampuan memahami pelanggan

dikategorikan sebagai empati (empathy). Dengan demikian terdapat lima dimensi

utama kualitas jasa yakni; reliabilitas (Reliability), daya tanggap (responsiveness),

jaminan (assurance), empati (empathy), bukti fisik (tangibles).

Secara umum, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang

yang muncul setelah membandingkan kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap

kinerja (atau hasil) yang diharapkan. Jika kinerja berada di bawah harapan,

pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja

melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang (Kotler and Keller, 2009: 177).

Menurut Alma (2005: 286) ada beberapa penyebab rasa tidak puas

terhadap sesuatu antara lain:

1. Tidak sesuai harapan dengan kenyataan.

2. Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan.

3. Perilaku personil/karyawan kurang memuaskan.

4. Suasana dan kondisi fisik lingkungan tidak menunjang.

5. Cost terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang, dan harga

tidak sesuai.

6. Promosi.iklan terlalu muluk, tidak sesuai dengan kenyataan.

Berdasarkan uraian tersebut, bahwa unsur-unsur dari pelayanan di atas

dapat mempengaruhi kepuasan konsumen. Seperti dikemukakan oleh Alma (2005:

337), apabila semua elemen kualitas jasa yang terdiri dari Reliability,

Responsiveness, Assurance, Empathy, Tangible diperhatikan, maka akan tercapai

kepuasan pasien dan pada gilirannya loyalitas pasien makin tinggi serta tidak mudah
45

dibujuk untuk ke pemberia pelayanan lain, bahkan akan merekomendasi relasinya

berhubungan dengan pasien bersangkutan, juga tidak tertarik dengan pemberi jasa

lainnya.

Anda mungkin juga menyukai