KEPATUHAN ASUPAN CAIRAN SERTA INTERVENSI YANG DILAKUKAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK
Disusun Oleh: ALMA ANANDA ALIEVA NOOR WAHYUDNIA (20120320028) Koordinator BLOK 13: YUNI PERMATASARI, S.Kep., Ns.,M.Kep., Sp.KMB., HNC
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014/2015 KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan dan rahmatnya sehingga saya bisa menyusun dan menyelesaikan resume dengan baik dan tepat pada waktunya. Saya ucapkan terimakasih pula pada ibu Yuni Permatasari, S.Kep., Ns.,M.Kep., Sp.KMB., HNC selaku dosen yang memberikan tugas ini kepada saya. Dalam makalah ini saya akan membahas tentang intervensi keperawatan gagal ginjal. Saya sangat berharap buku ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan atau sebagai bahan pelajaran. Semoga resume ini dapat dipahami dan diterima dengan sebaik mungkin. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan.
Yogyakarta 28 september 2014 Penyusun Alma Ananda Alieva Noor Wahyudina (20120320028)
RESUME JURNAL 1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN ASUPAN CAIRAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
Judul Penelitian : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN ASUPAN CAIRAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Peneliti : Ridlwan Kamil, Eva Rahayu. Sumber : Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 4 No.1 Maret 2009 Tujuan Penelitian : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor karakteristik pasien yang mempengaruhi kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan (faktor usia, faktor pendidikan faktor lamanya menjalaniHD, faktor konsep diri pasien dan faktor pengetahuan pasien) dan faktor keterlibatan orang lain yang mempengaruhi kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan (faktor keterlibatan tenaga kesehatan, faktor keterlibatan keluarga pasien) pada penderita gagal ginjal kronnik yang menjalani hemodialisis di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Latar Belakang : ABSTRACT Chronic Renal Failure (CRF) patient who had routine Haemodialisis (HD) usually experiencing the over volume extracellular fluid because degradation of kidney`s ability to excreting fluid. Patient obidience to intake less fluid is the top priority for Nursing diagnosis on HD nurse to give the best medical servise. dominant factor that influencing patien`s obedience is not positively understandable yet. It might influenced by any other factors. The aim of this study is to analyze influencing patient compliance factors toward fluid intake for chronic renal failure patients who undergo hemodialisis at Margono Soekardjo Hospital of Purwokerto Analytic descriptive with cross-sectional design was used in this study. Data collected by closed ended questioners to the target subjects (routine HD patient) at RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto on September-October 2008. The result show that age, length of hemodialisis, education, nurses involvement, family patient involvement, self concept, knowledge level have significant level at, p= 0,100, 0,074, 0,000, , 0,000, 0,000, 0,016 and 0.001 respectively. There are five factors (education, nurses involvement, family patient involvement, and knowledge level) that have significant factor toward fluid intake. Meanwhile, two factors have no significant factor toward fluid intake as age, and length of f hemodialisis. Metodelogi : Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimen dengan metode deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Pengumpulan data selain menggunakan instrumen kuesioner yang dibagikan langsung kepada responden, peneliti juga menggunakan lembar angket untuk menganalisa kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan selama 3 hari berturut-turut yaitu dengan menghitung BB post hemodialisis dengan BB pre hemodialisis berikutnya Hasil : Dari 51 responden peneliti mendapatkan 67,3% penderita yang patuh dan 32,7% penderita yang tidak patuh dalam mengurangi asupan cairan pada RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, angka ini lebih rendah dari penelitiannya Siwi ikaristi yang mengatakan 64,29% penderita GGK tidak patuh dalam mengurangi asupan cairan pada rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta. Adapun hasil penelitian dari faktor yang diduga memiliki pengeruh pada kepatuhan asupan cairan pada pasien GGK adalah: 1. Faktor Usia Pada penelitian ini didapat hasil uji analisis bivariate menggunakan Chi- Square antara usia yang patuh dengan usia yang tidak patuh dengan nilai (sig) atau = 0,100 berarti tidak ada pengaruh antara usia pasien dengan kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan. Hal ini dikarenakan baik pada penderita yang patuh maupun yang tidak patuh memiliki faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi kepatuhan asupan cairan. Ketaatan merupakan suatu hal yang menetap dan bersifat problematis, usia merupakan lamanya individu menjalani kehidupan. Pada usia yang lebih tua belum tentu akan lebih mengetahui bila tidak ditunjang dengan pengetahuan dan pengalaman yang pernah dialami, sementara pada penderita yang tidak patuh dipandang sebagai seorang yang lalai lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan kecemasannya , dan memiliki keyakinan ego yang lebih lemah ditandai dengan kekurangan dalam hal pengendalian diri sendiri dan kurangnya penguasaan terhadap lingkungan, dan bukan hanya karena pengaruh tingkat usia penderita. Hasil ini didukung oleh pendapat Dunbar & Waszak (1990) yang menunjukkan bahwa ketaatan terhadap aturan pengobatan pada anak-anak dan remaja merupakan persoalan yang sama dengan ketaatan pada pasien dewasa (Niven, N, 2002). 2. Faktor Pendidikan Hasil uji analisis antara yang patuh dengan yang tidak patuh dengan nilai ( sig) atau = 0,000 berarti ada pengaruh antara pendidikan pada pasien dengan kepatuhan. Pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian serta mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, akan dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, S. 1985). 3. Faktor lamanya menjalani HD Hasil uji analisis antara yang patuh dengan yang tidak patuh dengan nilai ( sig) atau = 0,074 lebih besar dari 0,05 yang berarti tidak ada pengaruh antara lama menjalani HD dengan kepatuhan. 4. Faktor Keterlibatan Tenaga Kesehatan. Didapat hasil uji analisis Chi Square antara keterlibatan tenaga kesehatan pada penderita yang patuh dengan penderita yang tidak patuh berdasarkan kategori diatas dengan nilai ( sig) atau = 0,000 lebih kecil dari 0,05 yang berarti ada pengaruh antara keterlibatan tenaga kesehatan dengan kepatuhan pasien dalam mengurangi asupan cairan. Keterlibatan tenaga kesehatan sangat diperlukan oleh pasien dalam hal sebagai pemberi pelayanan kesehatan, penerimaan informasi bagi pasien dan keluarga, serta rencana pengobatan selanjutnya. Berbagai aspek keterlibatan tenaga kesehatan dengan pasien misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan akan mempengaruhi ketaatan pada pasien. Hasil ini sesuai dengan pendapat bahwa kualitas interaksi antara profisional kesehatan dengan pasien merupakan bagian penting dalam menentukan derajat kepatuhan, orang-orang yang merasa menerima perhatian dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis daripada pasien yang kurang (merasa) mendapat dukungan social (Niven, N, 2002). 5. Faktor Keterlibatan Keluarga Pasien. Perbedaan antara keterlibatan keluarga pada penderita yang patuh dengan yang tidak patuh dengan nilai ( sig) atau = 0,000 lebih kecil dari 0,05 yang berarti ada pengaruh antara keterlibatan keluarga dengan kepatuhan pasien dalam mengurangi asupan cairan. Pada penderita yang patuh lebih mempunyai kepercayaan pada kemampuannya sendiri untuk mengendalikan aspek permasalahan yang sedang dialami, ini dikarenakan individu memiliki faktor internal yang lebih dominan seperti tingkat pendidikan yang tinggi, pengalaman yang pernah dialami, dan konsep diri yang baik akan membuat individu lebih dapat mengambil keputusan yang tepat dalam mengambil mengambil tindakan, sementara keterlibatan keluarga dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan sosial yang bersifat menolong dengan melibatkan aspek perhatian, bantuan dan penilaian dari keluarga. Schwarzt and Griffin (1995), mengatakan perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis spesifik, sifat alam penyakit, dan program pengobatan (Niven, N, 2002). Baekeland & Luddwall (1975) mengatakan bahwa keluarga juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam menentukan program pengobatan pada pasien, derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial secara negatif berhubungan dengan kepatuhan (Niven, N, 2002). 6. Faktor Konsep Diri Pasien. Perbedaan antara konsep diri pada penderita yang patuh dengan yang tidak patuh dengan nilai ( sig) atau = 0,016 lebih kecil dari 0,05 yang berarti ada pengaruh antara keterlibatan keluarga dengan kepatuhan pasien dalam mengurangi asupan cairan. Pada penderita yang patuh lebih mempunyai kepercayaan pada kemampuannya sendiri untuk mengendalikan aspek permasalahan yang sedang dialami, ini dikarenakan individu memiliki faktor internal yang lebih dominan seperti tingkat pendidikan yang tinggi, pengalaman yang pernah dialami, dan konsep diri yang baik akan membuat individu lebih dapat mengambil keputusan yang tepat dalam mengambil mengambil tindakan, sementara keterlibatan keluarga dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan sosial yang bersifat menolong dengan melibatkan aspek perhatian, bantuan dan penilaian dari keluarga. Schwarzt and Griffin (1995), mengatakan perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis spesifik, sifat alam penyakit, dan program pengobatan (Niven, N, 2002). 7. Faktor Pengetahuan Pasien. Perbedaan pengetahuan pada penderita yang patuh dengan yang tidak patuh dengan nilai ( sig) atau = 0,001 lebih kecil dari 0,05 yang berarti ada pengaruh antara pengetahuan dengan kepatuhan pasien dalam mengurangi asupan cairan. Pada penderita yang mempunyai pengetahuan yang lebih luas memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian serta mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, akan dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, S. 1985). Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan yaitu faktor pendidikan, konsep diri, pengetahuan pasien, keterlibatan tenaga kesehatan dan keterlibatan keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan tersebut perlu diperhatikan saat memberikan asuhan keperawatan. Hal ini bertujuan agar kebutuhan cairan pasien dapat terkontrol dan terpenuhi dengan baik. RESUME JURNAL 2 PENGALAMAN SELF-CARE BERDASARKAN TEORI OREM PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS
Judul Penelitian : PENGALAMAN SELF-CARE BERDASARKAN TEORI OREM PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS Peneliti : Wahyu Hidayati, Kiki Wahyuni Sumber : JURNAL NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 244 251 Online di : http://ejournal- s1.undip.ac.id/index.php/jnursing Tujuan Penelitian : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor karakteristik pasien yang mempengaruhi kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan (faktor usia, faktor pendidikan faktor lamanya menjalaniHD, faktor konsep diri pasien dan faktor pengetahuan pasien) dan faktor keterlibatan orang lain yang mempengaruhi kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan (faktor keterlibatan tenaga kesehatan, faktor keterlibatan keluarga pasien) pada penderita gagal ginjal kronnik yang menjalani hemodialisis di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Latar Belakang : ABSTRACT Hemodialysis patients generally have a complex problem and require a holistic fulfillment of needs. It is closely related to the motivation and self-care abilities of chronic kidney disease patients to maintain an optimal quality of life.The purpose of this study was to describe the self-care application of hemodialysis patients. This study used a qualitative research design with a phenomenological approach. Five informants chosen through inclusion criteria were interviewed using in depth interview with semi-structure design. The result showed good understanding of the informants about chronic kidney disease undergoing hemodialysis through an understanding of the history of past experience. Coping mechanisms to minimize the occurrence of informants do self-care deficit and efforts in meeting the needs of hemodialysis patients and optimization of different body condition. Informants showed different ways to do coping mechanism to minimize self care deficit; to meet their needs and to optimize their body condition. The analysis of informants experience is necessary in order to control the enabling and inhibiting factors of body condition. Hemodialysis patients are expected to meet the need of self-care by having discipline to control fluids and nutrients balance in the body. Metodelogi : Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Sampel yang digunakan adalah lima informan sesuai kriteria inklusi dengan minimal 6 bulan menjalani program hemodialisis di RS. Telogorejo, Semarang. Pengumpulan data menggunakan in-depth interview dengan jenis wawancara semi structure. Hasil : Hasil pengolahan data dalam penelitian ini menghasilkan empat tema besar dari pengalaman self-care pasien penyakit ginjal kronik, yaitu: 1. Pemahaman pasien tentang penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Memahami suatu keadaan yang sedang terjadi dengan perubahan baik secara fisik ataupun kognitif sangat penting dilakukan untuk dapat menganalisa lebih baik mengenai sudut pandang dalam menilai, merespon, serta lebih kritis dan bijaksana dalam melakukan tindakan untuk mengoptimalkan keadaan yang telah disadarinya. Pemahaman yang muncul dapat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan serta latar belakang sosiokultural pasien penyakit ginjal kronik (Orem, 1995; Dennis, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa informan menjelaskan penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan dimana terdapat organ ginjal yang rusak, dikarenakan penyaringan darah didalam tubuh terganggu. Akibatnya terjadi penumpukkan racun yang tidak dapat dikeluarkan oleh tubuh sehingga memerlukan penanganan secara khusus untuk membantu mengeluarkan racun-racun tersebut dari dalam tubuh dengan cara hemodialisis (cuci darah). Informan sebelum didiagnosa penyakit ginjal kronik sudah memiliki riwayat penyakit seperti diabetes, hipertensi serta pola makan yang kurang baik. Informan memiliki pemahaman yang baik mengenai penyakit ginjal kronik dan hemodialisis. Pemahaman tersebut didapatkan oleh informan salah satunya dari riwayat kesehatan informan yang lalu serta kesadaran akan tindakan yang dilakukan secara inisiatif. 2. Mekanisme koping yang dilakukan pasien penyakit ginjal kronik untuk meminimalisir terjadinya defisit perawatan diri. Informan yang telah didiagnosa penyakit ginjal kronik umumnya akan mengalami pergolakan emosi, yang biasanya akan ditandai dengan respon menolak terhadap kebenaran diagnosa. Pergolakan emosi ini menyebabkan informan memerlukan waktu untuk dapat setuju dilakukannya program hemodialisis sebagai tindakan yang harus dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik (Potter, 2005). Mekanisme koping yang digunakan serta waktu proses berduka terhadap perubahan tubuh yang terjadi untuk mengatasi stresor berbeda-beda oleh setiap individu. Proses dimana informan belum dapat menerima perubahan tubuhnya baik secara fisik maupun psikologis secara tidak langsung dapat mempengaruhi sistem pemenuhan kebutuhan secara optimal. Tindakan pengalihan stress tiap-tiap individu berbeda-beda, seperti meningkatkan spiritualitas dan mengingat keluarga untuk mendapatkan ketenangan diri dan menyadari bahwa penyakit yang dialami merupakan takdir. Berusaha menikmati, dan menyibukkan diri dengan serangkaian aktivitas juga dipilih oleh 3 dari 5 informan dalam upaya mengalihkan stress yang dialami. Seluruh informan mengalami stress dan mengalami masa ketidakberdayaan setelah menghadapi vonis penyakit ginjal kronik dan harus menjalani hemodialisis. Proses masing- masing informan untuk dapat bangkit dan melanjutkan kehidupan dengan produktif berbeda- beda tergantung oleh masing-masing individu dalam beradaptasi, menganalisa dan bertindak dengan perubahan yang telah terjadi. Penting adanya harapan, diskusi dan interaksi untuk dapat mempercepat proses pengalihan stress ini dapat dilalui oleh seseorang (Potter dan Perry, 2005). 3. Upaya dan strategi pasien hemodialisis dalam pemenuhan kebutuhan dan pengoptimalan kondisi tubuh. Upaya yang dilakukan pasien penyakit ginjal kronik bertujuan untuk mendapatkan kondisi tubuh yang optimal agar mampu melakukan aktifitas sehari-hari secara produktif. Pengaturan cairan dan nutrisi, pengelolaan menejemen diri, pengaturan aktivitas hingga pemanfaatan fasilitas yang ada menjadi serangkaian upaya yang telah dilakukan oleh informan dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan teori self-care Orem yang menyatakan bahwa kebutuhan self-care merupakan suatu tindakan yang ditujukan pada penyediaan dan self- care. Hal ini bersifat universal dan berhubungan dengan proses kehidupan manusia, sebagai upaya dalam mempertahankan fungsi tubuh untuk pemenuhan kebutuhan tubuh secara holistic. Upaya dan strategi masing-masing informan dalam memenuhi kebutuhan dan pengoptimalan kondisi tubuh berbeda-beda sesuai dengan basic conditioning factor yang mampu dimodikasi sehingga informan dapat melakukan tindakan secara efektif dalam pemenuhan kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan teori self-care deficit yang menyebutkan bahwa Basic conditioning factor merupakan indikasi peristiwa yang terjadi kepada seseorang yang akan mengakibatkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan self-care secara berbeda (Dennis, 2007). Seseorang yang terlibat dalam pemenuhan tindakan self-care secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kebutuhan yang diharapkan sesuai dengan self- care requisites. Dengan demikian basic conditioning factor yang dimodifikasi melalui self- care requisites dapat memaksimalkan kebutuhan therapeutik self-care demand (Orem, 1995; Dennis, 2007). 4. Faktor pendukung dan penghambat pasien penyakit ginjal kronik dalam memenuhi kebutuhan diri. Faktor pendukung dan penghambat yang muncul pada saat seseorang melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan dapat mempengaruhi hasil pencapaian kondisi tubuh secara optimal. Pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis perlu menganalisa dari pengalamannya agar dapat mengontrol faktor pendukung dan penghambat yang terjadi sebagai bentuk upaya dalam mempertahankan kondisi tubuh. Setiap informan memiliki faktor pendukung dan penghambat yang berbeda. Namun memiliki tujuan pemenuhan kebutuhan tubuh yang sama. Kendala yang dialami oleh 5 informan bersumber dari kendala internal maupun eksternal tubuh. Faktor ekonomi, faktor mental serta faktor pengelolaan asupan cairan dan nutrisi pada pasien ginjal kronik diungkapkan informan dapat menimbulkan kendala yang dapat menghambat pasien untuk memaksimalkan kondisi tubuhnya. Seluruh informan membutuhkan tercapainya kebutuhan secara holistic baik dari segi biologi, psikologi, sosiokultural, spiritual, pemanfaatan sumber fasilitas kesehatan, pelayanan kesehatan hingga ekonomi guna meminimalisir faktor pengahambat terjadinya defisit perawatan diri. Latar belakang basic conditioning factor dapat menentukan tindakan yang akan dilakukan informan dalam mencapai kebutuhan tubuh secara optimal dengan cara berbeda (Orem, 1995; Dennis, 2007). Hasil analisa data yang telah dilakukan, peneliti menawarkan konsep pengupayaan self-care pada pasien penyakit ginjal kronik untuk dapat memenuhi kebutuhannya secara optimal.
Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman dan kesadaran inisiatif tindakan yang dilakukan informan dalam pemenuhan self-care secara optimal akan didapatkan melalui cara berfikir dalam menganalisa pengalaman untuk mampu memilih tindakan yang efektif bagi dirinya sesuai harapan yang akan dicapai. Peneliti pada jurnal mengharapkan Informan dapat meningkatkan upaya pemenuhan kebutuhan self-care untuk mempertahankan dan mengoptimalkan fungsi tubuh dalam melakukan aktivitas sehari hari dengan cara disiplin dalam mengontrol keseimbangan cairan dan nutrisi dalam tubuh. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat dapat mengungkap pengalaman keluarga ataupun perawat sebagai agen yang sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan self-care pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Hal ini tentunya akan dapat menyempurnakan sistem pemenuhan self-care pada pasien secara optimal. RESUME JURNAL 3 PENGARUH AROMATERAPI INHALASI TERHADAP PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD WANGAYA DENPASAR
Judul Penelitian : PENGARUH AROMATERAPI INHALASI TERHADAP PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD WANGAYA DENPASAR Peneliti : Dewi, NKAS., (1) Ns. I Putu Pasuana Putra, S.Kep., M.M., (2) Ns. I Made Surata Witarsa, S.Kep. Sumber : Jurnal Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Tujuan Penelitian : Tujuan dari mengidentifikasi karakteristik subyek penelitian, mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani HD sebelum diberikan aromaterapi inhalasi, mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani HD setelah diberikan aromaterapi inhalasi, serta menganalisis perbedaan tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani HD sebelum diberikan aromaterapi inhalasi dan setelah diberikan aromaterapi inhalasi. Latar Belakang : ABSTRACT Chronic renal failure patients who choose hemodialysis as renal function replacement therapy will undergo lifelong treatment unless patient is undergoing a kidney transplant. Dependence of the hemodialysis patient's lifetime can have broad impact and cause physical, psychosocial, and economic problems. Given the complexity of the problems that arose had caused anxiety in these patients. Anxiety of patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis can be treated with inhalation aromatherapy. Patient inhaled aromatherapy time of the stabbing until hemodialysis lasted for 30 minutes. This study aims to determine the effect of inhalation aromatherapy on reducing anxiety levels of patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis. This study is a pre- experimental studies (one group pre-test and post-test design). Samples consisted of 30 people elected purposive sampling. The data was collected using a structured interview questionnaire Beck Anxiety Inventory. The results of 30 respondents that anxiety levels decreased after inhalation of aromatherapy administered. Based on data analysis using the Wilcoxon Sign Rank Test results are statistically significant with a significance level of p = 0,000 (p 0,05) means that there is the effect of giving an inhalation aromatherapy to decrease anxiety levels of patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis. Metodelogi : Penelitian ini merupakan pra- eksperimen dengan rancangan one group pre test-post test design untuk mengetahui pengaruh aromaterapi inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani HD sebelum dan setelah diberikan perlakuan. Populasi penelitian ini adalah semua pasien GGK yang menjalani HD rutin di Unit Hemodialisa RSUD Wangaya Denpasar selama periode waktu pengumpulan data. Peneliti mengambil sampel berjumlah 30 orang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian. Pengambilan sampel disini dilakukan dengan cara Non Probability Sampling dengan teknik Purposive Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur untuk mengukur tingkat kecemasan dengan menggunakan kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI) (Leyfer et al, 2006: 445-447). Dari seluruh sampel yang terpilih, akan dilakukan wawancara (pre test) terhadap responden tepat 10 menit sebelum HD dimulai mengenai tingkat kecemasan yang dirasakan dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner BAI). Kemudian peneliti mewawancarai kembali responden tepat 30 menit setelah menjalani HD yang disertai dengan pemberian aromaterapi. Hasil : Gambaran tingkat kecemasan responden sebelum diberikan aromaterapi inhalasi yaitu tidak ada responden (0%) yang tidak cemas, sebanyak 22 responden (73%) mengalami cemas ringan, 8 responden (27%) termasuk ke dalam kategori cemas sedang, dan tidak ada responden (0%) yang mengalami cemas berat. Setelah diberikan aromaterapi inhalasi sebanyak empat kali perlakuan, terjadi perubahan yang signifikan pada tingkat kecemasan responden, dimana tingkat kecemasan responden mengalami penurunan. Terdapat 16 responden (53%) tidak mengalami cemas, 9 responden (33%) berikutnya termasuk dalam kategori cemas ringan, 4 responden (14%) selanjutnya termasuk dalam kategori cemas sedang, dan tidak ada responden (0%) yang mengalami cemas berat. Berdasarkan hasil uji beda dua sampel berpasangan untuk skala ordinal yaitu Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat kepercayaan 95%, 0,05 yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pemberian aromaterapi inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani HD di RSUD Wangaya Denpasar, maka diperoleh nilai asymp sig (2-tailed) 0,000 (asymp sig (2-tailed) ). Hal ini artinya, ada pengaruh pemberian aromaterapi inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Wangaya Denpasar sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Ha diterima. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada responden 10 menit sebelum responden melakukan HD, diperoleh data bahwa tingkat kecemasan responden sebelum diberikan aromaterapi inhalasi yaitu tidak ada responden (0%) yang tidak mengalami cemas dan mengalami cemas berat, 22 responden (73%) mengalami cemas ringan, dan 8 responden (27%) yang mengalami cemas sedang. Di samping itu, dari 30 responden didapatkan data bahwa gejala kecemasan yang umumnya terjadi pada responden sangat bervariasi, mulai dari kepala pusing, merasa tegang, sulit atau sesak nafas, jantung berdebar, khawatir dengan situasi yang dialami, berkeringat dingin, sampai merasa ketakutan termasuk dalam terhadap kematian. Masalah psikologis seperti kecemasan dan depresi dapat ditemukan pada pasien GGK yang menjalani HD karena pasien harus menjalani HD dalam periode waktu yang lama (Itai et al, 2002:393). Selain itu, perasaan ketergantungan yang berlebihan pada mesin dialisis, tenaga kesehatan, dan terapi pengobatan merupakan salah satu elemen yang tidak diinginkan oleh pasien GGK yang menjalani HD yang dapat menyebabkan kecemasan serta perubahan pada harga diri pasien. Usia, tingkat pendidikan, frekuensi HD, status sosial juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap insiden kecemasan yang dialami pasien GGK yang menjalani HD (Klaric et al, 2009:154). Setelah diberikan aromaterapi inhalasi sebanyak empat kali perlakuan, diperoleh data bahwa sebanyak 16 responden (53%) tidak mengalami cemas, 10 responden (33%) mengalami cemas ringan, 4 responden (14%) mengalami cemas sedang, dan tidak ada responden (0%) yang mengalami cemas berat. Butje & Shattell (2008:48) yang menyebutkan bahwa inhalasi terhadap minyak esensial dapat meningkatkan kesadaran dan menurunkan kecemasan. Molekul- molekul bau yang terkandung dalam minyak esensial memberikan efek positif pada sistem saraf pusat, yaitu dapat menghambat pengeluaran Adreno Corticotrophic Hormone (ACTH) dimana hormon ini dapat mengakibatkan terjadinya kecemasan pada seseorang. Jaelani (2009:31-32) juga menegaskan bahwa salah satu efektivitas kandungan kimia dalam minyak esensial dapat mempengaruhi aktivitas fungsi kerja otak melalui sistem saraf yang berhubungan dengan indera penciuman. Respon ini akan merangsang peningkatan aktivitas neutrotransmiter, yaitu berkaitan dengan pemulihan kondisi psikologis (seperti emosi, perasaan, pikiran, dan keinginan). Lebih lanjut Buckle (2003:31) menjelaskan bahwa saat minyak esensial dihirup, molekul bau yang terkandung dalam minyak esensial lavender (linalool asetat) diterima oleh olfactory ephitelium. Setelah diterima di olfactory ephitelium, molekul bau ditransmisikan sebagai suatu pesan ke pusat penghidu yang terletak di bagian belakang hidung. Pada tempat ini, berbagai sel neuron mengubah bau tersebut dan menghantarkannya ke susunan saraf pusat (SSP) yang selanjutnya dihantarkan menuju sistem limbik otak (Buckle, 2003:31). Sistem limbik otak merupakan tempat penyimpanan memori, pengaturan suasana hati, emosi senang, marah, kepribadian, orientasi seksual, dan tingkah laku. Pada sistem limbik, molekul bau akan dihantarkan menuju hipothalamus untuk diterjemahkan. Di hipothalamus, seluruh unsur pada minyak esensial merangasang hipothalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF). Proses selanjutnya yaitu CRF merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks (Buckle, 2003:31). Selain itu, kandungan linalool asetat sebagai komposisi utama dalam minyak esensial lavender dinilai mampu mengendurkan dan melemaskan sistem kerja saraf dan otot-otot yang tegang dengan cara menurunkan kerja dari saraf simpatis saat seseorang mengalami kecemasan (Rahayu dkk., 2007). Saraf simpatis yang membawa serabut saraf vasokonstriksor akan mengalami penurunan kinerja saat linalool asetat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi. Kondisi ini juga mengakibatkan menurunnya produksi epinefrin yang dikeluarkan oleh ujung-ujung saraf vasokonstriksor sehingga gejala kecemasan seperti peningkatan frekuensi nadi dan pernafasan, tekanan darah, mengalami penurunan bahkan tidak dirasakan lagi. Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa ada pengaruh pemberian aromaterapi inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Wangaya Denpasar (asymp sig (2-tailed) = 0,000; 0,05). Kandungan unsur- unsur terapeutik dari minyak esensial dalam pemberian aromaterapi inhalasi memperbaiki ketidakseimbangan yang terjadi dalam sistem tubuh. Aroma yang terkandung dalam minyak esensial dapat menimbulkan rasa tenang akan merangsang daerah di otak untuk memulihkan daya ingat, mengurangi kecemasan, depresi, dan stress (Buckle, 2003:32). Aromaterapi inhalasi dapat digunakan sebagai salah satu terapi alternatif dan terapi komplementer untuk mengatasi kecemasan yang dialami pasien GGK yang menjalani HD serta meminimalkan efek samping terapi farmakologis. Selain itu, disarankan kepada pasien GGK agar mengikuti pemberian aromaterapi secara teratur terutama saat mengalami kecemasan selama menjalani HD karena aromaterapi inhalasi ini sangat mudah diaplikasikan dan sangat bermanfaat.