Anda di halaman 1dari 17

SATUAN ACARA PENYULUHAN

KEPATUHAN MINUM OBAT PADA KLIEN GANGGUAN JIWA

Topik : Kepatuhan Berobat Pada Klien Gangguan Jiwa


Sasaran : Keluarga klien dan klien
Waktu : 09.30 – 10.00 WITA (1 x 30 menit)
Hari/tanggal : Selasa, 12 Januari 2016
Tempat : RSJ Mutiara Sukma NTB

A. Latar Belakang
Sehat dalam suatu rentang adalah tingkat sejahtera
klien pada waktu tertentu, yang terdapat dalam rentang
dari kondisi sejahtera yang optimal, dengan energi yang
maksimum, sampai kondisi kematian, yang menandakan
habisnya energi total (Neuman,1990 dalam Potter and
Ferry,2005).
Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa sering kali sulit
didefinisikan, orang dianggap sehat jika mereka mampu
memainkan peran dalam masyarakat dan prilaku mereka pantas
dan adaptif. Sebaliknya, seseorang dianggap sakit jika
gagal memainkan peran dan memikul tanggung jawab atau
perilakunya tidak pantas. Kebudayaan setiap masyarakat
sangat mempengaruhi definisi sehat dan sakit
(Videbeck,2008). Dengan demikian kesehatan jiwa seseorang
merupakan suatu keadaan yang dinamik atau selalu berubah.
Menurut World Health Organization, 2001 dalam Yosep,
2008, masalah gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia
memang sudah menjadi masalah yang sangat serius, paling
tidak ada satu dari empat orang didunia mengalami
gangguan mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta
orang didunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Dalam
Riskesdas 2013 prevalensi penderita gangguan jiwa berat
1,7/1000 orang. Dalam data Riskesdas 2013, terdapat 14,3
persena penderita gangguan jiwa di indonesia dengan
penderita terbanyak dipedesaan dibanding diperkotaan,
sedangkan prevalensi gangguan mental emosional diatas umur
15 tahun rata-rata 6,0 persen.
Skizofrenia adalah penyakit yang mempengaruhi otak
dan penyebab timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan
dan prilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia tidak
dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri, melainkan
diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang
mencakup banyak jenis dengan berbagai gejala
(Videbeck,2008).
Klien skizofrenia tidak lagi dihospitalisasi untuk
periode waku yang lama, tetapi kembali hidup dimasyarakat
dengan dukungan yang diberikan oleh keluarga dan layanan
pendukung. Klien dapat hidup bersama anggota keluarga,
secara mandiri, atau dengan program residential seperti
group home tempat mereka menerima layanan yang dibutuhkan
tanpa perlu dimasukan ke rumah sakit. Program Assertive
Community Treatment (ACT), terbukti berhasil dalam
mengurangi angka klien masuk rumah sakit melalui
penatalaksanaan gejala dan pengobatan, membantu klien
memenuhi kebutuhan sosial, rekreasional, dan vokasional,
serta memberi dukungan kepada klien dan keluarga mereka
(McGrew, Wilson & Bond,1996 dalam Videbeck,2008).
Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam
proses kesembuhan pasien skizofrenia. Keluarga merupakan
lingkungan terdekat pasien, dengan keluarga yang bersikap
teurapeutik dan mendukung pasien, masa kesembuhan pasien
dapat dipertahankan selama mungkin. Sebaliknya, jika
keluarga kurang mendukung, angka kekambuhan akan lebih
cepat. Berdasarkan penelitian bahwa angka kekambuhan pada
pasien gangguan jiwa tanpa terapi keluarga sebesar 25-50%,
sedangkan angka kambuh pada pasien yang mendapatkan terapi
keluarga adalah sebesar 5-10% (Keliat,2009).
Kontuinitas pengobatan dalam penatalaksanaan
skizofrenia merupakan salah satu faktor keberhasilan
terapi. Pasien yang tidak patuh dalam pengobatan akan
memilki resiko kekambuhan lebih tinggi di bandingkan
dengan pasien yang patuh dalam pengobatan. Ketidakpatuhan
berobat ini yang merupakan alasan kembali dirawat dirumah
sakit. Pasien yang kambuh membutuhkan waktu yang lebih
lama dan dengan kekambuhan yang berulang, kondisi pasien
bisa semakin memburuk dan sulit untuk dikembalikan ke
keadaan semula. Pengobatan skizofrenia ini harus dilakukan
terus menerus sehingga pasien nantinya dapat dicegah dari
kekambuhan penyakit dan dapat mengembalikan fungsi untuk
produktif serta akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup
(Yuliantika dkk,2012).

B. Tujuan
Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan, klien dan keluarga
klien bisa mengetahui pentingnya berobat secara teratur.
Tujuan Khusus
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan, klien dan
keluarga klien dapat:
1. Mengetahui faktor yang mendukung kepatuhan klien
berobat
2. Mengetahui faktor ketidakpatuhan klien berobat
3. Mengetahui jenis kepatuhan, akibat dari ketidakpatuhan
dan peningkatan kepatuhan pada penggunaan obat
C. Materi
Terlampir
D. Metode
Ceramah dan tanya jawab
E. Media
Leaflet, media, alat peraga
F. Strategi Pelaksanaan
Pokok bahasan : Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Gangguan
Jiwa
Sub bahasan : faktor yang mendukung kepatuhan klien
berobat, faktor ketidakpatuhan klien berobat,
jenis kepatuhan, akibat ketidakpatuhan, dan
peningkatan kepatuhan pada pengguna obat
Metode : Ceramah dan tanya jawab
Tempat : RSJ Mutiara Sukma NTB
Hari/tanggal: Selasa, 12 Januari 2016
Waktu : 09.30 – 10.00 WITA
G. Setting Tempat

Keterangan:
= Moderator

= Penyaji
= Observer
= Fasilitator

= Peserta penyuluhan
H. Kepanitiaan
Moderator : Baig
Penyaji : Lalu Widakte
Observer : Sri
Fasilitator : Ijnah
I. Susunan Kegiatan
No. Waktu Pelaksanaan Kegiatan Peserta
1 2 Menit Pembukaan
2 3 Menit Perkenalan
3 10 Menit Penyampaian Materi
4 12 Menit Tanya Jawab
5 3 Menit Penutup

J. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi struktur
a. Tempat dan persiapan alat tersedia sesuai dengan
rencana
b. Peran/tugas mahasiswa-mahasiswi sesuai dengan yang
ditentukan
c. Minimal 65 % keluarga klien dan klien hadir
mengikuti kegiatan
2. Evaluasi proses
a. Peserta penyuluhan berperan aktif selama kegiatan
berlangsung
b. 65% keluarga klien dan klien hadir mengikuti
kegiatan penyuluhan
3. Evaluasi hasil
Setelah dilakukan penyuluhan tentang kepatuhan minum
obat pada klien gangguan jiwa, diharapkan peserta
penyuluhan mengetahui tentang kepatuhan minum obat.
4. Pertanyaan
a. Sebutkan apa saja cara untuk melatih kepatuhan
pasien minum obat!
b. Sebutkan cara mencegah ketidakpatuhan pasien minum
obat!
Lampiran
MATERI

Topik: Kepatuhan Minum Obat Pada Klien Gangguan Jiwa, Jenis-


Jenis Obat Dan Kegunaan Obat.

A. Konsep Kepatuhan
Kepatuhan (complience), juga dikenal sebagai
ketaatan (adherence) adalah derajat dimana pasien
mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya.
Contoh dari kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi
dan menyelesaikan program pengobatan, menggunakan medikasi
secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan perilaku
atau diet.perilaku kepatuhan tergantg pada situasi klinis
tertentu, sifat penyakit dan program pengobatan (Kaplan &
Sadock,2010)
Sackett dalam Niven (2002) mendefinisikan kepatuhan
pasien sebagai “sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”.
1. Berikut ini faktor yang mendukung kepatuhan pasien,
juga mneyampaikan suatu program tindakan yang terdiri
dari lima elemen:
a. Pendidikan
Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang
bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan
yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset
oleh pasien secara mandiri.
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri
kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi
kepatuhan.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari
keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok
pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan
terhadap program-program pengobatan.
d. Perubahan model terapi
Program-program pengobatan dapat dibuat sederhana
mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan
program tersebut. Dengan cara ini komponen-
komponen yang lebih kompleks.
e. Meningkatkan interaksi professional kesehatan
dengan pasien.
Merupaksuatu hal penting untuk memberikan umpan
balik pada pasien setelah memperoleh informasi
tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan
tentang kondisinya saat ini, apa penyebab dan apa
yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti
ini.
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang
diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar.
Jika terapi ini akan dilanjutkan setelah pasien
pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat
meneruskan terapi itu dengan benar dan tanpa
pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-
penyakit menahun.
2. Terdapat lima faktor ketidakpatuhan terhadap
pengobatan yaitu :
a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan
tersebut,
b. Tidak mengertinya tentang pentingnya mengikuti
aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan
dengan prognosisnya,
c. Sukarnya memperoleh obat luar rumah sakit,
d. Mahalnya harga obat,
e. Kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang
mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau
pemberian obat itu kepada pasien.

3. Terdapat jenis kepatuhan, akibat dari ketidakpatuhan


dan peningkatan kepatuhan pada penggunaan obat,
antara lain:
a. Jenis ketidakpatuhan
Pengobatan akan efektif apabila mematuhi aturan
dalam pengobatan, adapun bebrapa jenis ketidak
patuhan yang terjadi adalah disebabkan oleh sebagai
berikut:
1) Ketidakpatuhan pada minum obat, mencakup
kegagalan menebus resep, melalaikan dosis,
kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu
pemberian/ konsumsi obat, dan penghentian obat
sebelum waktunya.
2) Tidak menebus resep obatnya, yaitu karena
pasien/keluarga pasien tidak merasa memerlukan
obat atau tidak menghendaki mengambilnya. Ada
juga pasien yang tidak menebus resepnya karena
tidak mampu membelinya.
3) Kesalahan pada waktu konsumsi obat, yaitu dapat
mencakup situasi yang obatnya dikonsumsi tidak
tepat dikaitkan dengan waktu makan. Contohnya 1
jam sebelum makan dan 2 jam sesudah makan.
4) Penghentian pemberian obat sebelum waktunya,
pasien harus diberitahu pentingnya penggunaan
obat antibiotik yang dikonsumsi sampai habis
selama terapi.
5) Pemberian obat kurang dari dosis yang tertulis
dan penghentian obat sebelum waktunya, faktor
lain yaitu ketidak patuhan mencakup pengetiketan
yang tidak benar dan penggunaan”sendok teh” yang
mempuyai berbagai volume yang berbeda.
6) Pasien rawat jalan yang tidak patuh karena tidak
mengerti intruksi penggunaan dengan benar dan
ada yang salah menginterpretasikan, selain itu
kemugkinan ketidak patuhan pasien rawat jalan
karena kurangnya pengawasan terafi.
b. Akibat ketidakpatuhan
1) Ketidak patuhan akan mengakibatkan penggunaan
suatu obat yang kurang. Dengan cara demikian,
pasien kehilangan manfaat terafi yang
diantisipasi dan kemungkinan mangakibatkan
kondisi yang diobati secara bertahap menjadi
buruk.
2) Seorang pasien menghentikan penggunaan
antibiotik untuk pengobatan suatu infeksi
apabila gejala telah mereda, dan karenanya tidak
menggunakan semua obat yang ditulis, hal ini
menyebabkan kembali kekambuhan, penyakit kambuh
lagi karena diakibatkan oleh ketidak patuhan
dari pada disebabkan timbulnya resisten terhadap
obat.
c. Peningkatan kepatuhan
Dalam meningkatkan kepatuhan komunikasi merupakan
cara antara tim medis dan pasien dalam berbicara
mengenai obat yang ditulis. Keefektifan komunikasi
akan terjadi penentu utama kepatuhan pasien.
Dibawah ini merupakan peranan dalam menghadapi
masalah ketidakpatuhan yaitu:
1) Mengidentifikasi faktor resiko yaitu mengenai
individu yang mungkin tidak patuh, sebagai mana
diduga oleh suatu pertimbangan berbagai resiko
yang perlu diperhitungkan dalam merencanakan
terafi pasien, agar regimen sejauh mungkin
kompatibel dengan kegiatan normal pasien.
2) Pengembangan rencana pengobatan harus didasarkan
pada kebutuhan pasien, apabila mungkin pasien
harus menjadi partisipan dalam kepatuhan
pemberian regimen terafi. Untuk membantu ketidak
nyamanan dan kelalaian, regimen harus
disesuaikan agar dosis yang diberikan pada waktu
yang sesuai dengan jadwal pasien.
3) Alat bantu kepatuhan yang meliputi pemberian
label dan kalender pengobatan dan kartu
pengingat obat sehingga pasien mengerti tentang
penggunaan dalam membantu pasien mengerti obat
yang digunakan, kapan digunakan, dan mengenai
dosis obat yang digunakan.

B. Konsep Psikofarmakologi
Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk
klien dengan gangguan mental. Psikofarmaka termasuk obat-
obatan psikotropik yang bersifat neuroleptika (bekerja
pada sistem saraf). Pengobatan pada gangguan mental
bersifat komprehensif, yang meliputi:
1. Teori biologis (somatik), mencakup: pemberian obat
psikofarmaka, lobektomi dan electro convulsi therapy
(ECT)
2. Psikoterapeutik
3. Terapi modalitas

Psikofarmakologi
1. Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari manajemen
psikoterapi
2. Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka
3. Yang termasuk neurotransmitter: dopamin,
neuroepinefrin, serotonin dan GABA (Gamma Amino Buteric
Acid) dan lain-lain
4. Meningkat dan menurunnya kadar/konsentrasi
neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan atau
gangguan mental
5. Obat-obat psikofarmaka efektif untuk mengatur
keseimbangan neurotransmitter
6. Sawar darah otak melindungi otak dari fluktuasi zat
kimia tubuh, mengatur jumlah dan kecepatan zat yang
memasuki otak
7. Obat-obat psikofarmaka dapat melewati sawar darah otak,
sehingga dapat mempengaruhi sistem saraf
8. Extrapyramidal side efect (efek samping terhadap
ekstrapiramidal) terjadi akibat penggunaan obat
penghambat dopamin, agar didapat keseimbangan antara
dopamin dan asetilkolin
9. Anti cholinergic side efect (efek samping
antikolinergik) terjadi akibat penggunaan obat
penghambat acetilkolin.

Menurut Rusdi Maslim yang termasuk obat- obat psikofarmaka


adalah golongan:
1. Anti psikotik, pemberiannya sering disertai pemberian
anti parkinson
2. Anti depresi
3. Anti maniak
4. Anti cemas (anti ansietas)
5. Anti insomnia
6. Anti obsesif-kompulsif
7. Anti panik
Yang Paling Sering Digunakan Oleh Klien Jiwa
1. Anti Psikotik
Anti psikotik termasuk golongan mayor trasquilizer atau
psikotropik: neuroleptika.
Mekanisme kerja: Menahan kerja reseptor dopamin dalam
otak (di ganglia dan substansia nigra)
pada sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal.
Efek farmakologi: sebagai penenang, menurunkan
aktivitas motorik, mengurangi insomnia,
sangat efektif untuk mengatasi: delusi,
halusinasi, ilusi dan gangguan proses
berpikir.
Indikasi pemberian: Pada semua jenis psikosa, Kadang
untuk gangguan maniak dan paranoid
Efek Samping Antipsikotik
a. Efek samping pada sistem saraf (extrapyramidal
side efect/EPSE)
1) Parkinsonisme
Efek samping ini muncul setelah 1 – 3 minggu
pemberian obat.
Terdapat trias gejala parkonsonisme:
 Tremor: paling jelas pada saat istirahat
 Bradikinesia: muka seperti topeng,
berkurang gerakan reiprokal pada saat
berjalan
 Rigiditas: gangguan tonus otot (kaku)
2) Reaksi distonia: kontraksi otot singkat atau
bisa juga lama
Tanda-tanda: muka menyeringai, gerakan tubuh
dan anggota tubuh tidak terkontrol
3) Akathisia
Ditandai oleh perasaan subyektif dan obyektif
dari kegelisahan, seperti adanya perasaan
cemas, tidak mampu santai, gugup, langkah
bolak-balik dan gerakan mengguncang pada saat
duduk.
Ketiga efek samping di atas bersifat akur dan
bersifat reversible (bisa hilang/kembali
normal).
4) Tardive dyskinesia
Merupakan efek samping yang timbulnya lambat,
terjadi setelah pengobatan jangka panjang
bersifat irreversible (susah hilang/menetap),
berupa gerakan involunter yang berulang pada
lidah, wajah,mulut/rahang, anggota gerak
seperti jari dan ibu jari, dan gerakan tersebut
hilang pada waktu tidur.
b. Efek samping pada sistem saraf perifer atau anti
cholinergic side efect
Terjadi karena penghambatan pada reseptor
asetilkolin. Yang termasuk efek samping anti
kolinergik adalah:
 Mulut kering
 Konstipasi
 Pandangan kabur: akibat midriasis pupil dan
sikloplegia (pariese otot-otot siliaris)
menyebabkan presbiopia
 Hipotensi orthostatik, akibat penghambatan
reseptor adrenergik
 Kongesti/sumbatan nasal
Jenis obat anti psikotik yang sering digunakan:
 Chlorpromazine (thorazin) disingkat (CPZ)
 Halloperidol disingkat Haldol
 Serenase
2. Anti Parkinson
Mekanisme kerja: Mmeningkatkan reseptor dopamin, untuk
mengatasi gejala parkinsonisme akibat penggunaan obat
antipsikotik.
Efek samping: sakit kepala, mual, muntah dan hipotensi.
Jenis obat yang sering digunakan: levodova,
tryhexifenidil (THF).
3. Anti Depresan
Hipotesis: Syndroma depresi disebabkan oleh defisiensi
salah satu/beberapa aminergic neurotransmitter
(seperti: noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps
neuron di SSP, khususnya pada sistem limbik.
Mekanisme kerja obat:
 Meningkatkan sensitivitas terhadap aminergik
neurotransmiter
 Menghambat re-uptake aminergik neurotransmitter
 Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono
Amine Oxidase) sehingga terjadi peningkatan
jumlah aminergik neurotransmitter pada neuron di
SSP.
Efek farmakologi: Mengurangi gejala depresi
Penenang
Indikasi: syndroma depresi
Jenis obat yang sering digunakan: trisiklik (generik),
MAO inhibitor, amitriptyline
(nama dagang).
Efek samping: yaitu efek samping kolonergik (efek
samping terhadap sistem saraf perifer) yang
meliputi mulut kering, penglihatan kabur,
konstipasi, hipotensi orthostatik.

4. Obat Anti Mania/Lithium Carbonate


Mekanisme kerja: menghambat pelepasan serotonin dan
mengurangi sensitivitas reseptor dopamin.
Hipotesis: pada mania terjadi peluapan aksi reseptor
amine.
Efek farmakologi:
 Mengurangi agresivitas
 Tidak menimbulkan efek sedatif
 Mengoreksi/mengontrol pola tidur, iritabel dan adanya
flight of idea
Indikasi: Mania dan hipomania, lebih efektif pada
kondisi ringan. Pada mania dengan kondisi berat
pemberian obat anti mania dikombinasi dengan
obat antipsikotik.
Efek samping: Efek neurologik ringan: fatigue,
lethargi, tremor di tangan terjadi pada awal
terapi dapat juga terjadi nausea, diare.
Efek toksik: pada ginjal (poliuria, edema), pada SSP
(tremor, kurang koordinasi, nistagmus dan
disorientasi; pada ginjal (meningkatkan jumlah
lithium, sehingga menambah keadaan oedema.

5. Anti Ansietas (Anti Cemas)


Ansxiolytic agent, termasuk minor tranquilizer. Jenis
obat antara lain: diazepam (chlordiazepoxide).
6. Obat Anti Insomnia: phenobarbital
7. Obat Anti Obsesif Kompulsif: clomipramine
8. Obat Anti Panik: imipramine
Peran Perawat Dalam Pemberian Obat
1. Pengumpulan data sebelum pengobatan, meliputi:
2. Diagnosa medis
3. Riwayat penyakit
4. Riwayat pengobatan
5. Hasil pemeriksaan laboratorium (yang berkaitan)
6. Jenis obat yang digunakan, dosis, cara dan waktu
pemberian
7. Program terapi lain
8. Mengkombinasikan obat dengan terapi modalitas
9. Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga,
tentang pentingnya minum obat dan penanganan efek
samping obat
10. Monitor efek samping penggunaan obat
Melaksanakan prinsip pengobatan psikofarmaka
1. Persiapan
a. Melihat order pemberian obat di lembaran obat (di
status)
b. Kaji setiap obat yang akan diberikan termasuk
tujuan, cara kerja obat, dosis, efek samping dan
cara pemberian
c. Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang obat
d. Kaji kondisi klien sebelum pengobatan
2. Lakukan minimal prinsip lima benar dalam pemberian obat
3. Laksanakan program pemberian obat
a. Gunakan pendekatan tertentu
b. Bantu klien minum obat, jangan ditinggal
c. Pastikan bahwa obat telah diminum
d. Bubuhkan tanda tangan pada dokumentasi pemberian
obat, sebagai aspek legal
4. Laksanakan program pengobatan berkelanjutan, melalui
program rujukan
5. Menyesuaikan dengan terapi non farmakologik
6. Turut serta dalam penelitian tentang obat-obat
psikofarmaka

EVALUASI
Reaksi obat efektif jika:
1. Emosional stabil
2. Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat
3. Halusinasi, agresi, delusi, menarik diri menurun
4. Perilaku mudah diarahkan
5. Proses berpikir ke arah logika
6. Efek samping obat
7. Tanda-tanda vital: tekanan darah, denyut nadi

Anda mungkin juga menyukai