A. Latar Belakang
Sehat dalam suatu rentang adalah tingkat sejahtera
klien pada waktu tertentu, yang terdapat dalam rentang
dari kondisi sejahtera yang optimal, dengan energi yang
maksimum, sampai kondisi kematian, yang menandakan
habisnya energi total (Neuman,1990 dalam Potter and
Ferry,2005).
Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa sering kali sulit
didefinisikan, orang dianggap sehat jika mereka mampu
memainkan peran dalam masyarakat dan prilaku mereka pantas
dan adaptif. Sebaliknya, seseorang dianggap sakit jika
gagal memainkan peran dan memikul tanggung jawab atau
perilakunya tidak pantas. Kebudayaan setiap masyarakat
sangat mempengaruhi definisi sehat dan sakit
(Videbeck,2008). Dengan demikian kesehatan jiwa seseorang
merupakan suatu keadaan yang dinamik atau selalu berubah.
Menurut World Health Organization, 2001 dalam Yosep,
2008, masalah gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia
memang sudah menjadi masalah yang sangat serius, paling
tidak ada satu dari empat orang didunia mengalami
gangguan mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta
orang didunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Dalam
Riskesdas 2013 prevalensi penderita gangguan jiwa berat
1,7/1000 orang. Dalam data Riskesdas 2013, terdapat 14,3
persena penderita gangguan jiwa di indonesia dengan
penderita terbanyak dipedesaan dibanding diperkotaan,
sedangkan prevalensi gangguan mental emosional diatas umur
15 tahun rata-rata 6,0 persen.
Skizofrenia adalah penyakit yang mempengaruhi otak
dan penyebab timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan
dan prilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia tidak
dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri, melainkan
diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang
mencakup banyak jenis dengan berbagai gejala
(Videbeck,2008).
Klien skizofrenia tidak lagi dihospitalisasi untuk
periode waku yang lama, tetapi kembali hidup dimasyarakat
dengan dukungan yang diberikan oleh keluarga dan layanan
pendukung. Klien dapat hidup bersama anggota keluarga,
secara mandiri, atau dengan program residential seperti
group home tempat mereka menerima layanan yang dibutuhkan
tanpa perlu dimasukan ke rumah sakit. Program Assertive
Community Treatment (ACT), terbukti berhasil dalam
mengurangi angka klien masuk rumah sakit melalui
penatalaksanaan gejala dan pengobatan, membantu klien
memenuhi kebutuhan sosial, rekreasional, dan vokasional,
serta memberi dukungan kepada klien dan keluarga mereka
(McGrew, Wilson & Bond,1996 dalam Videbeck,2008).
Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam
proses kesembuhan pasien skizofrenia. Keluarga merupakan
lingkungan terdekat pasien, dengan keluarga yang bersikap
teurapeutik dan mendukung pasien, masa kesembuhan pasien
dapat dipertahankan selama mungkin. Sebaliknya, jika
keluarga kurang mendukung, angka kekambuhan akan lebih
cepat. Berdasarkan penelitian bahwa angka kekambuhan pada
pasien gangguan jiwa tanpa terapi keluarga sebesar 25-50%,
sedangkan angka kambuh pada pasien yang mendapatkan terapi
keluarga adalah sebesar 5-10% (Keliat,2009).
Kontuinitas pengobatan dalam penatalaksanaan
skizofrenia merupakan salah satu faktor keberhasilan
terapi. Pasien yang tidak patuh dalam pengobatan akan
memilki resiko kekambuhan lebih tinggi di bandingkan
dengan pasien yang patuh dalam pengobatan. Ketidakpatuhan
berobat ini yang merupakan alasan kembali dirawat dirumah
sakit. Pasien yang kambuh membutuhkan waktu yang lebih
lama dan dengan kekambuhan yang berulang, kondisi pasien
bisa semakin memburuk dan sulit untuk dikembalikan ke
keadaan semula. Pengobatan skizofrenia ini harus dilakukan
terus menerus sehingga pasien nantinya dapat dicegah dari
kekambuhan penyakit dan dapat mengembalikan fungsi untuk
produktif serta akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup
(Yuliantika dkk,2012).
B. Tujuan
Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan, klien dan keluarga
klien bisa mengetahui pentingnya berobat secara teratur.
Tujuan Khusus
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan, klien dan
keluarga klien dapat:
1. Mengetahui faktor yang mendukung kepatuhan klien
berobat
2. Mengetahui faktor ketidakpatuhan klien berobat
3. Mengetahui jenis kepatuhan, akibat dari ketidakpatuhan
dan peningkatan kepatuhan pada penggunaan obat
C. Materi
Terlampir
D. Metode
Ceramah dan tanya jawab
E. Media
Leaflet, media, alat peraga
F. Strategi Pelaksanaan
Pokok bahasan : Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Gangguan
Jiwa
Sub bahasan : faktor yang mendukung kepatuhan klien
berobat, faktor ketidakpatuhan klien berobat,
jenis kepatuhan, akibat ketidakpatuhan, dan
peningkatan kepatuhan pada pengguna obat
Metode : Ceramah dan tanya jawab
Tempat : RSJ Mutiara Sukma NTB
Hari/tanggal: Selasa, 12 Januari 2016
Waktu : 09.30 – 10.00 WITA
G. Setting Tempat
Keterangan:
= Moderator
= Penyaji
= Observer
= Fasilitator
= Peserta penyuluhan
H. Kepanitiaan
Moderator : Baig
Penyaji : Lalu Widakte
Observer : Sri
Fasilitator : Ijnah
I. Susunan Kegiatan
No. Waktu Pelaksanaan Kegiatan Peserta
1 2 Menit Pembukaan
2 3 Menit Perkenalan
3 10 Menit Penyampaian Materi
4 12 Menit Tanya Jawab
5 3 Menit Penutup
J. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi struktur
a. Tempat dan persiapan alat tersedia sesuai dengan
rencana
b. Peran/tugas mahasiswa-mahasiswi sesuai dengan yang
ditentukan
c. Minimal 65 % keluarga klien dan klien hadir
mengikuti kegiatan
2. Evaluasi proses
a. Peserta penyuluhan berperan aktif selama kegiatan
berlangsung
b. 65% keluarga klien dan klien hadir mengikuti
kegiatan penyuluhan
3. Evaluasi hasil
Setelah dilakukan penyuluhan tentang kepatuhan minum
obat pada klien gangguan jiwa, diharapkan peserta
penyuluhan mengetahui tentang kepatuhan minum obat.
4. Pertanyaan
a. Sebutkan apa saja cara untuk melatih kepatuhan
pasien minum obat!
b. Sebutkan cara mencegah ketidakpatuhan pasien minum
obat!
Lampiran
MATERI
A. Konsep Kepatuhan
Kepatuhan (complience), juga dikenal sebagai
ketaatan (adherence) adalah derajat dimana pasien
mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya.
Contoh dari kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi
dan menyelesaikan program pengobatan, menggunakan medikasi
secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan perilaku
atau diet.perilaku kepatuhan tergantg pada situasi klinis
tertentu, sifat penyakit dan program pengobatan (Kaplan &
Sadock,2010)
Sackett dalam Niven (2002) mendefinisikan kepatuhan
pasien sebagai “sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”.
1. Berikut ini faktor yang mendukung kepatuhan pasien,
juga mneyampaikan suatu program tindakan yang terdiri
dari lima elemen:
a. Pendidikan
Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang
bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan
yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset
oleh pasien secara mandiri.
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri
kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi
kepatuhan.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari
keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok
pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan
terhadap program-program pengobatan.
d. Perubahan model terapi
Program-program pengobatan dapat dibuat sederhana
mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan
program tersebut. Dengan cara ini komponen-
komponen yang lebih kompleks.
e. Meningkatkan interaksi professional kesehatan
dengan pasien.
Merupaksuatu hal penting untuk memberikan umpan
balik pada pasien setelah memperoleh informasi
tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan
tentang kondisinya saat ini, apa penyebab dan apa
yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti
ini.
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang
diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar.
Jika terapi ini akan dilanjutkan setelah pasien
pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat
meneruskan terapi itu dengan benar dan tanpa
pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-
penyakit menahun.
2. Terdapat lima faktor ketidakpatuhan terhadap
pengobatan yaitu :
a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan
tersebut,
b. Tidak mengertinya tentang pentingnya mengikuti
aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan
dengan prognosisnya,
c. Sukarnya memperoleh obat luar rumah sakit,
d. Mahalnya harga obat,
e. Kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang
mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau
pemberian obat itu kepada pasien.
B. Konsep Psikofarmakologi
Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk
klien dengan gangguan mental. Psikofarmaka termasuk obat-
obatan psikotropik yang bersifat neuroleptika (bekerja
pada sistem saraf). Pengobatan pada gangguan mental
bersifat komprehensif, yang meliputi:
1. Teori biologis (somatik), mencakup: pemberian obat
psikofarmaka, lobektomi dan electro convulsi therapy
(ECT)
2. Psikoterapeutik
3. Terapi modalitas
Psikofarmakologi
1. Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari manajemen
psikoterapi
2. Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka
3. Yang termasuk neurotransmitter: dopamin,
neuroepinefrin, serotonin dan GABA (Gamma Amino Buteric
Acid) dan lain-lain
4. Meningkat dan menurunnya kadar/konsentrasi
neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan atau
gangguan mental
5. Obat-obat psikofarmaka efektif untuk mengatur
keseimbangan neurotransmitter
6. Sawar darah otak melindungi otak dari fluktuasi zat
kimia tubuh, mengatur jumlah dan kecepatan zat yang
memasuki otak
7. Obat-obat psikofarmaka dapat melewati sawar darah otak,
sehingga dapat mempengaruhi sistem saraf
8. Extrapyramidal side efect (efek samping terhadap
ekstrapiramidal) terjadi akibat penggunaan obat
penghambat dopamin, agar didapat keseimbangan antara
dopamin dan asetilkolin
9. Anti cholinergic side efect (efek samping
antikolinergik) terjadi akibat penggunaan obat
penghambat acetilkolin.
EVALUASI
Reaksi obat efektif jika:
1. Emosional stabil
2. Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat
3. Halusinasi, agresi, delusi, menarik diri menurun
4. Perilaku mudah diarahkan
5. Proses berpikir ke arah logika
6. Efek samping obat
7. Tanda-tanda vital: tekanan darah, denyut nadi