Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Kepatuhan

1. Pengertian

Ada beberapa macam terminologi yang biasa digunakan dalam literatur

untuk mendeskripsikan kepatuhan pasien diantaranya compliance,

adherence, dan persistence. Compliance adalah secara pasif mengikuti saran

dan perintah dokter untuk melakukan terapi yang sedang dilakukan

(Osterberg & Blaschke, 2015). Adherence adalah sejauh mana pengambilan

obat yang diresepkan oleh penyedia layanan kesehatan. Tingkat kepatuhan

(adherence) untuk pasien biasanya dilaporkan sebagai persentase dari dosis

resep obat yang benar-benar diambil oleh pasien selama periode yang

ditentukan (Osterberg & Blaschke, 2015).

Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada

situasi ketika perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang

dianjurkan atau nasehat yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan atau

informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya seperti

nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui suatu

kampanye media massa (Ian & Marcus, 2017).

Para Psikolog tertarik pada pembentukan jenis-jenis faktor-faktor

kognitif dan afektif apa yang penting untuk memprediksi kepatuhan dan

juga penting perilaku yang tidak patuh. Pada waktu-waktu belakangan ini

istilah kepatuhan telah digunakan sebagai pengganti bagi pemenuhan karena

5
6

ia mencerminkan suatu pengelolaan pengaturan diri yang lebih aktif

mengenai nasehat pengobatan (Ian & Marcus, 2017).

Menurut Kozier (2019) kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya:

minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai

anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak

mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi rencana.

Sedangkan Sarafino (2016) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat

pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh

dokternya. Dikatakan lebih lanjut, bahwa tingkat kepatuhan pada seluruh

populasi medis yang kronis adalah sekitar 20% hingga 60%. Dan pendapat

Sarafino pula (2016) mendefinisikan kepatuhan atau ketaatan (compliance

atau adherence) sebagai: “tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan

perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain”.

Pendapat lain dikemukakan oleh Sacket (2018) mendefinisikan

kepatuhan pasien sebagai “sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”. Pasien mungkin

tidak mematuhi tujuan atau mungkin melupakan begitu saja atau salah

mengerti instruksi yang diberikan.

Kemudian Taylor (2018), mendefinisikan kepatuhan terhadap

pengobatan adalah perilaku yang menunjukkan sejauh mana individu

mengikuti anjuran yang berhubungan dengan kesehatan atau penyakit. Dan

Delameter (2016) mendefinisikan kepatuhan sebagai upaya keterlibatan

aktif, sadar dan kolaboratif dari pasien terhadap perilaku yang mendukung

kesembuhan.
7

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku

kepatuhan terhadap pengobatan adalah sejauh mana upaya dan perilaku

seorang individu menunjukkan kesesuaian dengan peraturan atau anjuran

yang diberikan oleh professional kesehatan untuk menunjang

kesembuhannya.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Kozier (2019), faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah

sebagai berikut:

a. Motivasi klien untuk sembuh

b. Tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan

c. Persepsi keparahan masalah kesehatan

d. Nilai upaya mengurangi ancaman penyakit

e. Kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus

f. Tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi

g. Keyakinan bahwa terapi yang diprogramkan akan membantu atau tidak

membantu

h. Kerumitan , efek samping yang diajukan

i. Warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi sulit

dilakukan

j. Tingkat kepuasan dan kualitas serta jenis hubungan dengan penyediaan

layanan kesehatan

Sedangkan menurut Neil (2019), Faktor-faktor yang mempengaruhi

ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian:

a. Pemahaman Tentang Instruksi


8

Tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang

instruksi yang diberikan padanya. Neil (2019) menemukan bahwa lebih

dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah

mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang

hal ini disebabkan oleh kegagalan professional kesehatan dalam

memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah media

dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien.

b. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan

bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Neil (2019)

telah mengamati 800 kunjungan orang tua dan anakanaknya ke rumah

sakit anak di Los Angeles. Selama 14 hari mereka mewawancarai ibu-ibu

tersebut untuk memastikan apakah ibu-ibu tersebut melaksanakan

nasihat-nasihat yang diberikan dokter, mereka menemukan bahwa ada

kaitan yang erat antara kepuasaan ibu terhadap konsultasi dengan

seberapa jauh mereka mematuhi nasihat dokter, tidak ada kaitan antara

lamanya konsultasi dengan kepuasaan ibu. Jadi konsultasi yang pendek

tidak akan menjadi tidak produktif jika diberikan perhatian untuk

meningkatkan kualitas interaksi.

c. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga

menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Neil

(2019) telah memperhatikan bahwa peran yang dimainkan keluarga


9

dalam pengembangan kebiasaan kesehatan dan pengajaran terhadap

anak-anak mereka. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat

keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

d. Keyakinan, Sikap dan Keluarga

Neil (2019) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan

kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Mereka

menggambarkan kegunaan model tersebut dalam suatu penelitian

bersama Hartman dan Becker (2017) yang memperkirakan

ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk pasien hemodialisa kronis. 50

orang pasien dengan gagal ginjal kronis tahap akhir yang harus mematuhi

program pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan cairan,

pengobatan, dialisa. Pasien-pasien tersebut diwawancarai tentang

keyakinan kesehatan mereka dengan menggunakan suatu model.

Hartman dan Becker menemukan bahwa pengukuran dari tiap-tiap

dimensi yang utama dari model tersebut sangat berguna sebagai peramal

dari kepatuhan terhadap pengobatan.

3. Cara-cara Mengurangi Ketidakpatuhan

Neil (2019) mengusulkan rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan

pasien antara lain:

a. Mengembangkan tujuan dari kepatuhan itu sendiri, banyak dari pasien

yang tidak patuh yang memiliki tujuan untuk mematuhi nasihat-nasihat

pada awalnya. Pemicu ketidakpatuhan dikarenakan jangka waktu yang

cukup lama serta paksaan dari tenaga kesehatan yang menghasilkan efek

negatif pada penderita sehingga awal mula pasien mempunyai sikap


10

patuh bisa berubah menjadi tidak patuh. Kesadaran diri sangat

dibutuhkan dari diri pasien.

b. Perilaku sehat, hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, sehingga perlu

dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah

perilaku, tetapi juga mempertahankan perubahan tersebut. Kontrol diri,

evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri harus dilakukan

dengan kesadaran diri. Modifikasi perilaku harus dilakukan antara pasien

dengan pemberi pelayanan kesehatan agar terciptanya perilaku sehat.

c. Dukungan sosial, dukungan sosial dari anggota keluarga dan sahabat

dalam bentuk waktu, motivasi dan uang merupakan faktor-faktor penting

dalam kepatuhan pasien. Contoh yang sederhana, tidak memiliki

pengasuh, transportasi tidak ada, anggota keluarga sakit, dapat

mengurangi intensitas kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu

mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka

dapat menghilangkan godaan pada ketidaktaatan dan mereka seringkali

dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.

4. Cara-cara Meningkatkan Kepatuhan

Smet (2015) menyebutkan beberapa strategi yang dapat dicoba untuk

meningkatkan kepatuhan, antara lain:

a. Segi Penderita

Usaha yang dapat dilakukan penderita diabetes mellitus untuk

meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan yaitu:

1) Meningkatkan kontrol diri. Penderita harus meningkatkan kontrol

dirinya untuk meningkatkan ketaatannya dalam menjalani


11

pengobatan, karena dengan adanya kontrol diri yang baik dari

penderita akan semakin meningkatkan kepatuhannya dalam

menjalani pengobatan. Kontrol diri dapat dilakukan meliputi kontrol

berat badan, kontrol makan dan emosi.

2) Meningkatkan efikasi diri. Efikasi diri dipercaya muncul sebagai

prediktor yang penting dari kepatuhan. Seseorang yang mempercayai

diri mereka sendiri untuk dapat mematuhi pengobatan yang kompleks

akan lebih mudah melakukannya.

3) Mencari informasi tentang pengobatan. Kurangnya pengetahuan atau

informasi berkaitan dengan kepatuhan serta kemauan dari penderita

untuk mencari informasi mengenai penyakitnya dan terapi medisnya,

informasi tersebut biasanya didapat dari berbagai sumber seperti

media cetak, elektronik atau melalui program pendidikan di rumah

sakit. Penderita hendaknya benar-benar memahami tentang

penyakitnya dengan cara mencari informasi penyembuhan

penyakitnya tersebut.

4) Meningkatkan monitoring diri. Penderita harus melakukan

monitoring diri, karena dengan monitoring diri penderita dapat lebih

mengetahui tentang keadaan dirinya seperti keadaan gula dalam

darahnya, berat badan, dan apapun yang dirasakannya.

b. Segi Tenaga Medis

Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar penderita

untuk meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan antara lain:


12

1) Meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter. Salah satu

strategi untuk meningkatkan kepatuhan adalah memperbaiki

komunikasi antara dokter dengan pasien. Ada banyak cara dari dokter

untuk menanamkan kepatuhan dengan dasar komunikasi yang efektif

dengan pasien.

2) Memberikan informasi yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya

dan cara pengobatannya. Tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah

orang yang berstatus tinggi bagi kebanyakan pasien dan apa yang ia

katakan secara umum diterima sebagai sesuatu yang sah atau benar.

3) Memberikan dukungan sosial. Tenaga kesehatan harus mampu

mempertinggi dukungan sosial. Selain itu keluarga juga dilibatkan

dalam memberikan dukungan kepada pasien, karena hal tersebut juga

akan meningkatkan kepatuhan, Smet (2015) menjelaskan bahwa

dukungan tersebut bisa diberikan dengan bentuk perhatian dan

memberikan nasehatnya yang bermanfaat bagi kesehatannya.

4) Pendekatan perilaku. Pengelolaan diri yaitu bagaimana pasien

diarahkan agar dapat mengelola dirinya dalam usaha meningkatkan

perilaku kepatuhan. Dokter dapat bekerja sama dengan keluarga

pasien untuk mendiskusikan masalah dalam menjalani kepatuhan serta

pentingnya pengobatan.

5. Aspek-aspek Kepatuhan Pengobatan

Adapun aspek-aspek kepatuhan pengobatan sebagaimana yang telah

dikemukakan oleh Delameter (2006) adalah sebagai berikut:

a. Pilihan dan tujuan pengaturan.


13

b. Perencanaan pengobatan dan perawatan.

c. Pelaksanaan aturan hidup

B. Konsep Perawat

1. Defini Perawat

Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan keperawatan, baik di

dalam maupun di luar negeri, sesuai ketentuan perundang undangan yang

berlaku (Republik Indonesia Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, 2015). Menurut Wardah, Febrina, Dewi (2017) berpendapat

bahwa perawat adalah tenaga yang bekerja secara professional memiliki

kemampuan, kewenangan dan bertanggung jawab dalam melaksanakan

asuhan keperawatan.

2. Peran Perawat

Peran perawat dapat diartikan sebagai tingkah laku dan gerak gerik

seseorang yang diharap oleh orang lain sesuai dengan kedudukan dalam

system, tingkah laku dan gerak gerik tersebut dapat dipengaruhi oleh

keadaan sosial di dalam maupun di luar profesi perawat yang bersifat

konstan (Potter & Perry, 2017).

a. Peran perawat menurut Potter & Perry (2017)

1) Pemberi perawatan, perawat membantu klien untuk memenuhi

kebutuhan dasarnya dan mendapatkan kesehatannya kembali melalui

proses penyembuhan dengan pemberian asuhan keperawatan.

2) Pembuat keputusan klinis, perawat membuat keputusan sebelum

mengambil tindakan keperawatan dan menyusun rencana tindakan

yang berhubungan dengan pengkajian, pemberian perawatan, evaluasi


14

hasil, dengan menggunakan pendekatan terbaik bagi pasien.

Pembuatan keputusan dapat dilakukan secara mandiri, ataupun

kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dan keluarga klien.

3) Pelindung dan advokat klien, perawat bertugas mempertahankan

lingkungan yang aman, mencegah terjadinya kecelakaaan dan hal

yang merugikan bagi klien. Sebagai advokat, perawat membantu klien

mengutarakan hak-haknya, melindungi hak-hak klien sebagai manusia

dan secara hukum.

4) Manajer kasus, perawat beperan mengkoordinasi aktivitas anggota

tim, mengatur waktu kerja serta sumber yang tersedia di lingkungan

kerjanya.

5) Rehabilitator, perawat dengan segenap kemampuan membantu klien

kembali meningkatkan fungsi maksimal dirinya setelah mengalami

kecelakaan, sakit ataupun peristiwa lain yang menyebabkan klien

kehilangan kemampuan dan menyebabkan ketidakberdayaan.

6) Pemberi kenyamanan, kenyamanan serta dukungan emosional yang

diberikan perawat selama melaksanakan asuhan keperawatan secara

utuh kepada klien, dapat memeberikan pengaruh positif berupa

kekuatan untuk mencapai kesembuhan klien.

7) Komunikator, perawat bertugas sebagai komunikator yang

menghubungkan klien dan keluarga, antar perawat maupun tenaga

kesehatan lainnya. Faktor terpenting dalam memenuhi kebutuhan

klien, keluarga dan komunitas adalah kualitas komunikasi.


15

8) Penyuluh, dalam hal ini perawat menjelaskan kepada klien tentang

pentingnya kesehatan, memberi contoh prosedur perawatan dasar yang

dapat digunakan klien untuk meningkatkan derajat kesehatannya,

melakukan penilaian secara mandiri apakah klien memahami

penjelasan yang diberikan dan melakukan evaluasi untuk melihat

kemajuan dalam pembelajaran klien.

9) Peran karier, perawat berkarier dan mendapatkan jabatan tertentu, hal

ini memberikan perawat kesempatan kerja lebih banyak baik sebagai

seorang perawat pendidik, perawat pelaksana tingkat lanjut, dan tim

perawatan kesehatan.

3. Fungsi Perawat

Fungsi perawat merupakan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan

perawat sesuai dengan perannya dan dapat berubah mengikuti keadaan yang

ada (Hidayat, 2019). Tindakan perawat yang bersifat mandiri tanpa instruksi

dokter dan dilakukan berdasarkan pada ilmu keperawatan termasuk dalam

fungsi independen, dalam hal ini perawat bertanggung jawab terhadap

tindakan dan akibat yang timbul pada klien yang menjadi tugas

perawatannya, sedangkan tindakan perawat yang dilaksanakan dibawah

pengawasan dan atas instruksi dokter, yang seharusnya tindakan tersebut

dilakukan dan menjadi wewenang dokter termasuk dalam fungsi dependen

(Hidayat, 2019). Menurut Kusnanto (2016), selain fungsi dependen dan

independen, perawat memiliki fungsi interdependen yaitu perawat

melakukan aktifitas yang dilaksanakan dan berhubungan dengan pihak lain

atau tenaga kesehatan lainnya.


16

4. Tugas dan Tanggung Jawab Perawat

a. Tugas perawat berdasarkan lokakarya tahun 2018 adalah sebagai berikut;

1) Since interset, yaitu perawat menyampaikan rasa hormat dan perhatian

pada klien.

2) Explanation about the delay, yaitu perawat bersedia memberikan

penjelasan dengan ramah kepada kliennya apabila perawat terpaksa

menunda pelayanan.

3) Perawat memperlihatkan kepada klien sikap menghargai (respect)

yang tercermin melalui perilaku perawat. Misalnya tersenyum,

mengucapkan salam, bersalaman, membungkuk, dan sebagainya

4) Subject the patients desires, perawat saat melakukan komunikasi

kepada klien, harus berorientasi pada perasaan klien bukan pada

keinginan atau kepentingan perawat.

5) Derogatory, perawat tidak membicarakan klien lain dihadapan pasien

dengan maksud menghina.

6) See the patient point of view, perawat mencoba memahami klien dari

sudut pandang klien serta menerima sikap kritis klien.

b. Tanggung jawab perawat bersumber dari kebutuhan individu terhadap

perawatan (Nila, 2016). Sedangkan menurut Kusnanto (2016), tanggung

jawab perawat kepada klien mencakup aspek biologi, psikologi, sosial,

kultural, dan spiritual dalam memenuhi kebutuhan dasar klien, dengan

menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi;

1) Membantu klien memperoleh kembali kesehatannya.

2) Membantu klien yang sehat untuk memelihara kesehatannya.


17

3) Membantu klien yang tidak dapat disembuhkan untuk menerima

kondisinya.

4) Membantu klien yang menghadapi ajal untuk diperlakukan secara

manusiawi sesuai martabatnya sampai meninggal dengan tenang.

C. Konsep Phlebitis

1. Pengertian Phlebitis

Phlebitis merupakan infeksi atau peradangan pada pembuluh darah vena

yang disebabkan oleh kateter vena ataupun iritasi kimiawi zat adiktif dan

obat-obatan yang diberikan sebagai perawatan dirumah sakit atau fasilitas

pelayanan kesehatan. Phlebitis juga didefinisikan sebagai inflamasi pada

vena yang disebabkan oleh iritasi kimia, mekanik, maupun oleh bakteri. Di

tandai oleh adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah

penusukkan atau sepanjang vena, pembengkakan, nyeri atau rasa keras

disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena dan dapat keluar pus atau

cairan (Perry and Potter, 2017; Brunner & Suddart, 2015).

Kata inflamasi berasal dari bahasa latin yaitu Inflammare yang berarti

“dibakar”. Kejadian inflamasi biasanya ditandai dengan menambahkan kata

“itis” pada organ dimana inflamasi itu terjadi, contohnya seperti

appendixitis, yaitu inflamasi yang terjadi di appendix, atau phlebitis yang

berarti inflamasi pada pembuluh darah vena. Gejala klinis dari inflamasi

meliputi kemerahan, bengkak, panas, nyeri, dan kehilangan fungsi (Bagchi,

Roy, & Raychaudhuri, 2017).


18

2. Klasifikasi Phlebitis

Menurut Rohani dan Setio (2019), klasifikasi phlebitis berdasarkan

tempat terjadinya dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Phlebitis superficial

Phlebitis superficial yaitu phlebitis yang terjadi pada pembuluh darah

vena yang berada langsung di bawah kulit. Phlebitis jenis ini jarang

terjadi dan kondisinya tidak begitu serius sehingga penanganannya akan

lebih mudah.

b. Phlebitis vena dalam

Phlebitis vena dalam atau biasa disebut Deep Vein Thrombophlebitis

(DVT) merupakan thrombophlebitis yang biasanya terjadi pada tungkai,

namun juga bisa terjadi di lengan. Pada phlebitis ini, sumbatan dari

thrombus dapat terlepas dan berjalan mengikuti pembuluh darah ke paru-

paru maupun jantung. Emboli yang terjadi di paru-paru maupun jantung

dapat menyebabkan kematian.

Menurut Infusion Nurses Society (2016), berdasarkan faktor

penyebabnya, phlebitis dibagi menjadi 5 kategori yaitu mekanik, kimia,

bakterial, phlebitis yang berhubungan dengan kondisi pasien dan post infus.

a. Phlebitis Mekanik

Phlebitis mekanik memiliki hubugan erat dengan iritasi yang terjadi

didinding vena. Hal ini bisa disebabkan oleh kateter yang terlalu besar

atau tidak sesuai dengan ukuran vena, trauma saat pemasangan kateter,

pergerakan kateter, atau material kateter yang terlalu kaku. Ukuran

kateter 20-22 yaitu ukuran yang paling kecil dapat digunakan sebagai
19

pilihan untuk pengobatan jika memungkinkan. Amankan kateter dengan

melakukan stabilisasi, hindari area fleksi dan berikan bidai jika

diperlukan.

b. Phlebitis Kimia

Phlebitis kimia biasanya terjadi disebabkan oleh infus dextrose <10%

atau infus dengan osmolalitas yang tinggi <900 miliosmol/L. Faktor

kimia lainnya yang dapat menyebabkan phlebitis yaitu lama dari

pemakaian infus seperti amiodarone, potassium Chloride dan beberapa

antibiotik. Kateter vena yang lebih besar dibandingkan dengan pembuluh

darah pasien, hemodilusi yang tidak memadai serta larutan antiseptik

yang tidak sepenuhnya kering dan ikut masuk kedalam pembuluh darah

vena ketika pemasangan kateter intravena juga dapat mempengaruhi

kejadian phlebitis jenis ini.

c. Phlebitis Bakterial

Phlebitis bakterial berhubungan dengan pemasangan infus yang tidak

menggunakan teknik aseptik. Kateter harus diberikan label sehingga

evaluasi dapat dilakukan apabila pelepasan maupun pemasangan kembali

kateter dibutuhkan. Pada orang dewasa, dapat dilakukan pemindahan

kateter dari ekstremitas bagian bawah ke bagian atas, sedangkan pada

pediatrik pindahkan pada sisi proksimal di ekstremitas lain atau

ekstremitas yang berlawanan jika memungkinkan.

d. Phlebitis Karena Kondisi Pasien

Phlebitis yang berhubungan dengan kondisi pasien contohnya yaitu

infeksi yang saat ini dialami, immunodeficiency dan diabetes.


20

Pemasangan di ekstremitas bawah dapat dilakukan sebagai alternatif

kecuali pada bayi dan lansia diatas 60 tahun.

e. Phlebitis Post Infus

Phlebitis post infus yaitu inflamasi yang terjadi setelah 48 jam sampai

dengan 96 jam infus dilepaskan. Faktor-faktor yang berperan dalam

kejadian phlebitis post infus ini, antara lain : (1) Tehnik pemasangan

kateter yang tidak baik; (2) Pada pasien dengan retardasi mental; (3)

Kondisi vena yang tidak baik; (4) Pemberian cairan terlalu asam atau

hipertonik; (5) Ukuran kateter yang lebih besar dibandingkan dengan

vena.

3. Tanda dan Gejala Phlebitis

Manifestasi klinis atau tanda dan gejala dari suatu infeksi ditemukan dari

observasi dan pemeriksaan. Menurut Marsch et al (2015), terdapat 5 tanda

dan 2 gejala pada phlebitis berdasarkan data observasi yang sering

dilaporkan oleh perawat yaitu :

a. Nyeri (gejala yang dilaporkan pasien)

b. Nyeri bila ditekan (saat palpasi, gejala yang dilaporkan oleh pasien)

c. Pembengkakan (hasil observasi visual)

d. Eritema (atau kemerahan, hasil observasi)

e. Venous cord teraba (saat palpasi)

f. Luka bernanah (hasil observasi visual)

g. Teraba hangat (saat palpasi)


21

4. Komplikasi Phlebitis

Phlebitis yang masih ditahap awal biasanya akan membaik setelah kanula

dilepas atau diganti, namun penanganan yang kurang baik dapat

menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi, salah satunya yaitu

thrombosis ataupun thrombophlebitis. Thrombophlebitis yaitu dimana telah

terbentuk trombus dalam pembuluh darah pada lokasi insersi. Trombus yang

terbentuk tersebut apabila terlepas dan mengikuti aliran darah menuju ke

paru-paru ataupun jantung. Jika trombus tersebut sudah masuk ke maka

akan terjadi sumbatan yang dapat menimbulkan serangan jantung bahkan

kematian mendadak. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu infeksi aliran

darah, ekstravasasi dan emboli paru (Saini et al, 2016).

5. Pencegahan Phlebitis

Menurut Infusion Nurses Society (2016), terdapat beberapa hal yang

dapat dilakukan sebagai langkah pencegahan terjadinya phlebitis, antara lain

a. Mencegah phlebitis bakterial

Mencegah terjadinya phlebitis yang disebabkan oleh bakteri dapat

dilakukan dengan cara selalu menjaga kebersihan tangan, menggunakan

teknik aseptik yang benar, selalu melakukan perawatan didaerah

infus/insersi serta melakukan observasi dan pemantauan yang ketat.

b. Rotasi kateter

Untuk pemindahan lokasi pemasangan harus dilakukan sebelum terjadi

phlebitis. Beberapa rumah sakit sudah memiliki SOP untuk mengganti


22

kanula perifer setiap 72 jam. Pemindahan lokasi juga harus segera

dilakukan jika diduga terkontamonasi.

c. Aseptic dressing

Penggunaan balutan yang transparan sangat direkomendasikan karena

akan mudah untuk dilakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya.

Penggunaan balutan kassa memang dapat dilakukan namun harus diganti

setiap 24 jam sehingga dapat diobservasi secara rutin.

Hal lain yang dapat dilakukan untuk mencegah phlebitis yaitu :

a. Selalu waspada.

Selalu berprinsip aseptik setiap tindakan yang dilakukan. Studi

melaporkan stopcock yang digunakan untuk memasukkan obat,

pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah merupakan pintu

jalan masuk kuman (Gargar, 2017).

b. Kecepatan pemberian obat

Kecepatan pemberian infus juga mempengaruhi terjadinya phlebitis.

Semakin lambat pemberian cairan infus dengan larutan hypertonik

diberikan, maka semakin rendah risiko terjadinya phlebitis. Namun

terdapat paradigma berbeda untuk pemberian obat injeksi dengan

osmolitas tinggi, osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L. Jika durasi

awal yang diberikan hanya beberapa jam, durasi yang aman sebaiknya

kurang dari 3 (tiga) jam untuk mengurangi waktu campuran yang iriatif

dengan dinding pembuluh darah vena (INS, 2016).

Menurut Bertolino (2018), pencegahan terhadap phlebitis harus

dilakukan sebelum dimulainya terapi intravena yaitu dengan cara:


23

a. Perawat sebelumnya harus mengetahui jenis infus yang akan diberikan

kepada pasien, bagaimana cara pemberiannya dan apa hasil yang

diharapkan dari terapi tersebut serta efek samping yang mungkin dapat

terjadi

b. Melakukan pengecekan terhadap semua peralatan yang akan digunakan,

seperti selang (tubing), semua wadah cairan serta alat penusuk botol infus

untuk mencegah terjadinya kebocoran atau kerusakan. Selain itu juga

perlu dilakukan pengecekan tanggal expired dan warna dari cairan infus

yang akan diberikan untuk menhindari adanya partikel-partikel tambahan

yang tidak seharusnya ada dalam cairan.

c. Melakukan handhygiene dan teknik aseptik yang benar merupakan hal

penting yang harus dilakukan. Hindari kontaminasi saat melakukan

persiapan alat pemasangan infus dan selang (tubing).

d. Sebelum pemasangan infus dilakukan, perawat harus mengkaji vena yang

akan ditusuk, apakah memenuhi kriteria dari terapi yang akan diberikan

atau tidak. Jenis dan ukuran dari kateter yang akan digunakan perlu

dipilih dengan benar dan harus sesuai dengan terapi juga kondisi vena.

Vena di ekstremitas bawah lebih baik dihindari karena lebih berisiko

terjadinya phlebitis.

e. Pemberian Heparin

Pemberian Heparin secara intermitten, dengan konsentrasi 100 u/ml

menunjukkan adanya nilai yang rendah dalam kejadian phlebitis dan

kejadian ketidakpatenan infus. Pemberian larutan heparin terbukti lebih

efektif jika dibandingkan dengan pemberian flushing normal saline


24

secara intermitten sebagai langkah pencegahan phlebitis dan kepatenan

jalur kateter intravena.

6. Alat Ukur Derajat Phlebitis

Phlebitis dapat dinilai melalui observasi visual yang dilakukan oleh

perawat. Infusion Nursing Society (INS) telah mengembangkan alat ukur

untuk mengidentifikasi kejadian phlebitis seperti yang dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 2.1 VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score)


Sko
Keadaan Area Penusukan Kategori & Intervensi
r
0 Lokasi insersi terlihat sehat, tidak Bukan tanda phlebitis
ada tanda phlebitis Intervensi :
►Observasi kanula
1 Terlihat Satu dari tanda-tanda Kemungkinan tanda awal phlebitis
dibawah ini : Intervensi :
►Nyeri ringan di sekitar lokasi ►Observasi kanula
insersi , atau
►Terdapat eritema kecil di sekitar
lokasi insersi
2 Terlihat dua dari tanda-tanda Stadium dini phlebitis
dibawah ini : Intervensi :
►Nyeri pada lokasi insersi ►Pindah posisi kanula
►Eritema
►Pembengkakan
3 Semua tanda dibawah ini terlihat : Stadium moderat phlebitis.
►Nyeri sepanjang canula Intervensi :
►Adanya indurasi ►Pindah posisi kanula
►Pertimbangkan perawatan
4 Semua tanda dibawah ini terlihat Stadium lanjut phlebitis atau tahap
dan bertambah awal thrombophlebitis
►Nyeri di sepanjang canula Intervensi :
►Eritema ►Pindah posisi kanula
►Indurasi ►Pertimbangkan perawatan
►Venous cord teraba
5 Semua tanda dibawah ini terlihat Stadium Lanjut Trombophlebitis
dan bertambah Intervensi :
►Nyeri di sepanjang canula ►Lakukan perawatan
►Eritema ►Pindah posisi kanula
►Indurasi
►Venous cord teraba
►Demam
Sumber : Infusion Nurses Society, 2016
25

7. Faktor Yang Mempengaruhi Phlebitis

Menurut Perry & Potter (2017), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

terjadinya phlebitis antara lain terdiri dari faktor internal dan eksternal.

Faktor internal yang dimaksud terdiri dari :

a. Usia

Usia dapat mempengaruhi ketahanan tubuh (imunitas) seseorang

terhadap serangan infeksi. Kelompok umur lansia dan neonatus rentan

terhadap infeksi. Dalam tindakan pemberian cairan intravena yang

kurang aseptik dan terlalu banyak melakukan mobilisasi/pergerakan

dapat menyebabkan phlebitis.

Menurut Fitriyani (2015), pada usia lanjut atau lebih dari 60 tahun,

vena menjadi rapuh, tidak elastis dan mudah hilang (kolaps). Vena kecil

yang dimiliki oleh pasien anak sertakegelisahan dan ketakutan yang

membuat anak terlalu banyak bergerak dapat mengakibatkan kateter

bergeser dan menimbulkan phlebitis.

b. Jenis Kelamin.

Kelenturan, kekuatan otot, kekenyalan kulit serta jaringan adiposa

subcutis yang sedikit dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis sehingga

hal ini sering terjadi pada pasien berjenis kelamin wanita.

c. Status nutrisi

Status nutrisi mempengaruhi terjadinya phlebitis. Pasien dengan gizi

buruk akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah sehingga

meningkatkan risiko terjadinya phlebitis. Asupan nutrisi yang tidak


26

adekuat juga dapat mempengaruhi struktur dari pembuluh darah yang

dimiliki.

Menurut Sugrue et al (2017), pada pasien dengan gizi buruk akan

memiliki vena yang tipis dan mudah rapuh, sehingga perlu diberikan

asupan gizi yang adekuat untuk mengurangi risiko terjadinya phlebitis.

d. Keadaan vena

Kondisi vena yang kecil, rapuh, mudah rusak dan vena yang sudah

sering terpasang kateter infus akan mudah mengalami phlebitis. Menurut

Fitriyani (2015), pasien yang terpasang infus dilengan, risiko terjadinya

phlebitis lebih kecil dibandingkan dengan di antecubital fossa.

e. Faktor penyakit

Penyakit penyerta yang dimiliki pasien dapat mempengaruhi

terjadinya phlebitis misalnya pada pasien Diabetes Mellitus yang

mengalami aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer

berkurang sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi. Begitu

juga pada penyakit gagal ginjal kronik erat kaitannya pada posisi

pemasangan infus. Menurut Darmawan (2015), pemasangan infus pada

daerah lengan bawah dapat menyebabkan phlebitis karena merupakan

lokasi yang sering digunakan untuk pemasangan arteri-vena (A-V shunt)

pada tindakan hemodialisa (cuci darah).

Menurut INS (2016), faktor eksternal yang dapat menyebabkan phlebitis

adalah :
27

a. Chemical Phlebitis (Phlebitis Kimia)

Kecepatan yang terlalu tinggi dalam pemberian larutan intravena,

jenis cairan yang pekat dan penggunaan material cateter dari tevlon

merupakan salah satu penyebab phlebitis. Tingkat keasaman atau pH

antara 5 - 9 dianggap rentang yang tepat untuk pemberian perifer yang

aman.

Menurut Maria dan Karunia (2012), larutan elektrolit dianggap isotonik

jika elektrolit totalnya (anonim ditambah katinon) kira-kira 310 mEq/L.

Larutan di anggap hipotonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari

250 mEq/L. Larutan di anggap hipertonik jika kandungan elektrolit totalnya

kurang dari 375 mEq/L. Perawat juga harus mempertimbangkan osmolalitas

suatu larutan, bahwa osmolalitas plasma adalah kira-kira 300 mOsm/L.

a. Cairan isotonik: Cairan yang memiliki osmolalitas total mendekati cairan

ekstraseluler dan tidak menimbulkan sel darah merah membengkak atau

mengkerut. Contohnya:

1) Saline normal (0,9% natrium klorida)

2) Ringer laktat

3) Komponen-komponen darah (albumin 5%, plasma)

4) Dextrose 5% dalam air (D5W)

b. Cairan hipotonik: Pemberian cairan ini bertujuan untuk mengganti cairan

seluler karena cairan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma

serta untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada

saat-saat tertentu, larutan natrium hipotonik digunakan untuk mengatasi

hipernatremia dan kondisi hiperosmolar yang lain. Contohnya:


28

1) Salin berkekuatan menengah (Nacl 0,45%)

2) Dextrose 2,5% dalam Nacl 0,45%

3) Nacl 0,2%

c. Cairan hipertonik: Larutan-larutan hipertonik menarik air dari

kompartemen intraseluler dan mengakibatkan sel-sel mengkerut jika

diberikan dengan cepat dan dalam jumlah besar. Hal ini juga dapat

menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler dan mencetuskan

kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi. Contohnya:

1) Dekstrosa 5% dalam Nacl 0,9%

2) Dextrose 5% dalam Nacl 0,45%

3) Dextrose 10% dalam air

4) Dextrose 20% dalam air

5) Nacl 3% dan 5%

6) Larutan hiperalimentasi

7) Dextrose 5% dalam ringer laktat

8) Albumin 25

9) Mechanical Phlebitis (Phlebitis Mekanik)

b. Phlebitis mekanik sering dikaitkan dengan pemasangan atau penempatan

kateter intravena. Penempatan kateter intravena pada area fleksi lebih

sering menimbulkan kejadian phlebitis. Hal ini terjadi karena apabila

ekstrimitas digerakkan, maka kateter yang terpasang juga akan ikut

bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan

ukuran kateter yang besar pada vena yang kecil dapat mengiritasi dinding

vena, sehingga mudah terjadi phlebitis (Darmawan, 2015).


29

Lokasi insersi kateter intravena yaitu tempat dimana pemasangan

kateter intravena berdasarkan anatomi ekstremitas. Beberapa lokasi vena

perifer yang menjadi tempat pemasangan infus antara lain vena sefalilika

dan vena metacarpal. Secara anatomis struktur dari vena sefalika yaitu

terdiri dari ukuran lumen dindingnya besar dan elastisitas, lapisan

venanya terbentuk dari sel endhothelium yang diperkuat oleh jaringan

fibrus dan dibatasi oleh selapis tunggal sel epitel gepeng. Sedangkan

vena metacarpal secara anatomis terdiri dari ukuran lumen dindingnya

kecil, elastisitas lapisan venanya lebih tipis, kurang kuat dan kurang

elastis. Kedua lokasi ini dapat memberikan kemudahan bagi perawat

dalam melakukan pemasangan terapi intravena tetapi sebaliknya apabila

terjadi kesalahan dalam pemasangan kateter intravena akan menyebabkan

kerusakan endomethelium vena sehingga jaringan vena akan terinflamasi

(Wiranata, 2018).

Begitu juga dengan pemilihan ukuran kateter, sebaiknya dipilih sesuai

dengan anatomi vena pasien. Kateter terdiri dari ukuran 16 sampai

dengan 24 dengan variasi panjang dari 25 mm sampai 45 mm. Pemilihan

kateter dengan ukuran yang kecil seharusnya menjadi pilihan utama pada

terapi pemasangan intravena untuk mencegah kerusakan dan memastikan

darah mengalir disekitar kateter dengan adekuat untuk menurunkan

resiko kejadian phlebitis (Dougherty, 2016).

c. Bakterial Phlebitis ( Phlebitis Bakteri )

Phlebitis bakteri yaitu peradangan vena yang berhubungan dengan

adanya kolonisasi bakteri. Kolonisasi bakteri ini dapat terjadi karena


30

teknik aseptik dan perawatan infus yang tidak baik. Jenis bakteri yang

sering ditemukan pada phlebitis adalah : stapylococus, Stapylococus

aerus, enterococus, gram negatif rods, E. Coli, Entero bacter,

P.Aeroginosa, K. Pneumonia, candida species.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya bakteri antara

lain perawatan infus yang kurang intens, teknik pemasangan yang kurang

aseptik serta pemasangan infus yang lama dan tidak diganti sesuai

dengan standart akan mengakibatkan tumbuhnya bekteri pada area

penusukan. Semakin lama pemasangan tanpa dilakukan perawatan

optimal maka bakteri akan mudah tumbuh dan berkembang. Aseptik

dressing perawatan infus adalah perawatan pada tempat pemasangan

infus terhadap pasien yang terpasang untuk mencegah terjadinya infeksi

(Darmawan, 2015).

Menurut Tietjen (2016), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

perawatan terapi intravena:

a. Rotasi rutin atau pemindahan kanula harus dilakukan setiap 72-96 jam

dapat mengurangi risiko phlebitis dan infeksi lokal (teflon atau

polikateter lebih baik dari pada jarum logam karena tidak menembus

vena saat rotasi).

b. Pada pemakaian jangka pendek (<48 jam) penggunaan jarum lurus atau

butterfly dapat risiko iritasi karena terbuat dari plastik dan juga risiko

infeksi akan lebih rendah.


31

c. Pada perawatan tempat pemasangan, penutupan dapat di pertahankan 72

jam asal kering (jika basah, lembab, atau lepas segera di lakukan

penggantian)

d. Lokasi insersi kateter harus di periksa setiap 24 jam untuk mengetahui

apakah ada rasa nyeri yang timbul

e. Ganti botol cairan infus sebelum habis

f. Set infus harus diganti jika terjadi kerusakan atau secara rutin setiap

3x24jam (apabila saluran baru disambungkan, usap pusat jarum atau

kateter plastik cairan infus dengan alkohol 60-90% dan sambungkan

kembali dengan infus set)

g. Saluran tubing yang digunakan dalam pemberian tranfusi darah, produk

darah lain atau emulsi lemak harus diganti setiap 24 jam.

D. Konsep SOP Pemasangan Infus

1. Pengertian SOP

Suatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong

dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.

Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang

dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja

tertentu (Perry dan Potter (2017). SOP infus adalah langkah-langkah

prosedur untuk memasukkan cairan secara parenteral dengan menggunakan

intravenous kateter melalui intravena (SOP Rumah Sakit Umum Daerah

Kotamobagu, 2019).

2. Tujuan SOP

Tujuan SOP antara lain (SOP Rumah Sakit Dr. Kariadi, 2011) :
32

a. Petugas / pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas /

pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja.

b. Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam

organisasi

c. Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari

petugas/pegawai terkait.

d. Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek

atau kesalahan administrasi lainnya.

e. Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi dan

inefisiensi

3. Fungsi SOP

Fungsi SOP antara lain (SOP Rumah Sakit Dr. Kariadi, 2011) :

a. Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.

b. Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.

c. Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.

d. Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.

4. Kapan SOP diperlukan

a. SOP harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan

b. SOP digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah

dilakukan dengan baik atau tidak

c. Uji SOP sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada perubahan langkah

kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja.


33

5. Keuntungan adanya SOP

a. SOP yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat

komunikasi dan pengawasan dan menjadikan pekerjaan diselesaikan

secara konsisten.

b. Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan tahu

apa yang harus dicapai dalam setiap pekerjaan.

c. SOP juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan bias

digunakan untuk mengukur kinerja pegawai.

6. Pengertian Pemasangan Infus

Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk

memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien (Darmawan, 2015).

Sementara itu menurut Lukman (2015), terapi intravena adalah memasukkan

jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh balik) untuk dilewati cairan infus /

pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah cairan atau obat dapat masuk ke

dalam tubuh melalui vena dalam jangka waktu tertentu. Tindakan ini sering

merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak,

dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang

aman diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit

serta asam basa.

7. Tujuan

Menurut Hidayat (2019), tujuan utama terapi intravena adalah

mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,

vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral,

mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit, memperbaiki


34

keseimbangan asam basa, memberikan tranfusi darah, menyediakan medium

untuk pemberian obat intravena, dan membantu pemberian nutrisi parenteral.

8. Keuntungan dan Kerugian

Menurut Perry dan Potter (2017), keuntungan dan kerugian terapi intravena

adalah :

a. Keuntungan

Keuntungan terapi intravena antara lain : Efek terapeutik segera dapat

tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat,

absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat

diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik

dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan iritasi obat-obat

tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari, sesuai

untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang

besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.

b. Kerugian

Kerugian terapi intravena adalah : tidak bisa dilakukan “drug recall” dan

mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas

tinggi, kontrol pemberian yang tidak baik bias menyebabkan “speed shock”

dan komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu : kontaminasi mikroba melalui

titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular, misalnya

flebitis kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat

tambahan.
35

9. Lokasi Pemasangan Infus

Menurut Perry dan Potter (2017), tempat atau lokasi vena perifer yang

sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer

kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling mudah

untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah

permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena basalika, vena

sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena sefalika, vena kubital

median, vena median lengan bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena

safena magna, ramus dorsalis).

Menurut Dougherty, dkk, (2016), Pemilihan lokasi pemasangan terapi

intravana mempertimbangkan beberapa faktor yaitu:

a. Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat

penting dan mempengaruhi berapa lama intravena terakhir

b. Prosedur yang diantisipasi : misalnya jika pasien harus menerima jenis

terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan,

pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun

c. Aktivitas pasien : misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan

tingkat kesadaran

d. Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering

memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya hiperalimentasi adalah

sangat mengiritasi vena-vena perifer)

e. Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan pengukuran

untuk memelihara vena; pilih vena yang akurat dan baik, rotasi sisi

dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal (misalnya

mulai di tangan dan pindah ke lengan)


36

f. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada, pemilihan

sisi dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting ; jika sedikit vena

pengganti

g. Terapi intravena sebelumnya : flebitis sebelumnya membuat vena

menjadi tidak baik untuk di gunakan, kemoterapi sering membuat vena

menjadi buruk (misalnya mudah pecah atau sklerosis)

h. Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang terkena

pada pasien dengan kelenjar limfe yang telah di angkat (misalnya pasien

mastektomi) tanpa izin dari dokter

i. Sakit sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada pasien

dengan stroke

j. Kesukaan pasien : jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami pasien

untuk sebelah kiri atau kanan dan juga sisi

10. Jenis cairan intravena

Berdasarkan osmolalitasnya, menurut Perry dan Potter, (2017) cairan

intravena (infus) dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Cairan bersifat isotonis : osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya

mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus

berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang

mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan

darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan

cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.

Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan

garam fisiologis (NaCl 0,9%).


37

b. Cairan bersifat hipotonis : osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan

serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga

larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan

ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip

cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai

akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel

mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam

terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi)

dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah

perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,

menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan

intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl

45% dan Dekstrosa 2,5%.

c. Cairan bersifat hipertonis : osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan

serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke

dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,

meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).

Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose

5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate.

11. SOP Pemasangan Infus

Standar Operating Procedure (SOP) memasang selang infus di RSUD

Kotamobagu adalah :

a. Siapkan cairan infuse dan selang IV

1) Perhatikan tekhnik aseptis saat membuka set infuse steril dan cairan IV
38

2) Kelm selang, buka tutup penusuk dan tusukkan ke bagian botol atu

container cairan intravena

3) Tekan chamber drip dan isi hingga separuh mengobservasi tetesan

4) Buka klem pengatur tetesan dan alirkan cairan melalui selang sehingga

gelembung udara hilang. Tutup pengatur tetesan dan pasang penutup

ujung selang, pertahankan sterilitas

5) Jika alat elektronik digunakan, ikuti manual prosedur yang ada dan atur

kecepatan tetesan infuse

6) Beri label obat yang ditambahkan ke container (gunakan ballpoint,

tuliskan nama obat dan dosis)

7) Pasang label waktu pada container IV

b. Berikan posisi supine pada klien. Letakkan alas di bawah lengan klien

c. Pilih lokasi yang memungkinkan dan vena yang teraba

1) Gunakan vena dibagian distal terlebih dahulu pada lengan tangan yang

tidak dominan

2) Hindari area yang nyeri saat di palpasi, area luka, jaringan skar, edema,

infeksi

3) Pilih vena yang sesuai dengan ukuran IV cateter

4) Hindari vena di kaki kecuali lokasi lain tidak dapat di akses

5) Hindari vena daerah pembedahan contoh post op mastektomi, adanya

shunt dialysis

6) Hindari lokasi pada daerah penonjolan tulang, area fleksi

7) Sesuaikan dengan jenis cairan yang diberikan; cairan hipertonis, obat

iritatif, pemberian cairan kecepatan tinggi harus diberikan melalui

vena yang besar.


39

d. Bila lokasi penusukan bermbut/berbulu sebaiknya digunting sekitar 5 cm.

pasang tourniquet tidak terlalu kencang dan tidak lebih dari 2 menit.

e. Anjurkan klien untuk membuka dan menutup genggamannya. Observasi

dan palpasi vena yang memungkinkan untuk punksi. Jika vena tidak

teraba coba beberapa tekhnik di bawah ini :

1) Lepaskan torniqut dan anjurkan klien untuk merendahkan lengannya

di bawah posisih jantung. Pasang kembali tourniquet dengan lembut

2) Lepaskan tourniquet dan beri kompres hangat di atas vena yang

diinginkan selama 10-15 menit.

f. Pakai sarung tangan

g. Bersihkan area punksi dengan cairan antiseptic (alcohol swab).

Kemudian cairan microbialn (povidone iodine) sesuai dengan policy

institusi, dengan gerak sirkular mulai dari tengah ke arah luar punksi

h. Gunakan tangan non dominan untuk menahan kulit sekitar 2-5 cm

dibawah lokasi vena yang akan di punksi

i. Tusukkan IV cateter perlahan dengan memegang hub kateter di tangan

dominan dan behel menghadap keatas dan sudut 10-30 derajat. Kateter

dapat ditusukkan tepat di atas vena atau dari sisi vena. Masukkan plastic

kateter hingga mencapai lokasi tusukkan.

j. Lepaskan penutup selang IV segera dan hubungkan selang dengan kateter

atau stabilkan atau tahan kateter dengan tangan non dominan dan

lepaskan tourniquet dengan tangan yang lain

k. Mulailah tetesan cairan dengan mengatur klem amati kulit sekitar

tusukkan untuk melihat tanda-tanda infiltrasi


40

l. Bila perlu fiksasi kateter dengan kassa diletakkan di bawah hub

m. Beri plester, secara chevron, H atau U

n. Cairan antiseptic dapat di berikan diatas lokasi tusukkan jika

menggunakan kassa

o. Pasang kass steril diatas lokasi tusukkan (dapat juga menggunakan

transparan dressing). Beri plester pada selang diatas kassa kemudian

rapikan

p. Beri labe, tanggal, jam lokasi punksi vena dan ukuran kateter yang

digunakan pada plester di selang

q. Kalau perlu fiksasi lengan pada papan penyangga/spalk

r. Atur tetesan infuse sesuai jumlah yang di anjurkan

s. Rapikan semua + alat dan buang di tempat yang telah di tentukan. Lepas

sarung tangan dan cuci tangan.

12. Komplikasi Pemasangan Infus

Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka

waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya

komplikasi. Komplikasi dari pemasangan infus yaitu flebitis, hematoma,

infiltrasi, tromboflebitis, emboli udara (Hinlay, 2006).

a. Flebitis

Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik.

Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan

hangat di sekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri

atau rasa lunak pada area insersi atau sepanjang vena, dan

pembengkakan.
41

b. Infiltrasi

Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling

tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan

(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi

yang menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan

kecepatan aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat

penusukan lebih besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang

berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi

adalah dengan memasang torniket di atas atau di daerah proksimal dari

tempat pemasangan infuse dan mengencangkan torniket tersebut

secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap menetes

meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.

c. Iritasi vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit

di atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH

tinggi, pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin,

vancomycin, eritromycin, dan nafcillin).

d. Hematoma

Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar

area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang

berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang

tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau

kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis,


42

pembengkakan segera pada tempat penusukan, dan kebocoran darah pada

tempat penusukan.

e. Tromboflebitis

Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan

dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang

terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area

insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa

tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat,

demam, malaise, dan leukositosis.

f. Trombosis

Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan

aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel

dinding vena, pelekatan platelet.

g. Occlusion

Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol

dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area

pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV,

aliran balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.

h. Spasme vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar

vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme

vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin,

iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran

yang terlalu cepat.


43

i. Reaksi vasovagal

Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin,

berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi

vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan.

j. Kerusakan syaraf, tendon dan ligament

Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi

otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan

deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak

tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.

13. Pencegahan komplikasi pemasangan terapi intravena

Menurut Hidayat (2019), selama proses pemasangan infus perlu

memperhatikan hal-hal untuk mencegah komplikasi yaitu :

a. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru

b. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda

infeksi

c. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain

d. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan

e. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir

f. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum infus

perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus

g. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester

dibersihkan memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu)

h. Gunakan alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik

sterilisasi dalam pemasangan infuse


44

i. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang

telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil

j. Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus dengan tepat. Penghitungan

cairan yang sering digunakan adalah penghitungan millimeter perjam

(ml/h) dan penghitungan tetes permenit.

Anda mungkin juga menyukai