Anda di halaman 1dari 20

Nama : Retno Kesuma Wardani

NPM : 173110152
Kelas : 6B Sore / Gen.i

TUGAS
METODOLOGI PENELITIAN
Dosen Pengampu : Samsuar, S.Si.,M.T

Buatlah masing-masing 5 contoh pengacuan metode Harvard dan Vancouver daftar pustaka
tentang farmasi

A. Pengacuan Metode Harvard


Cara pengacuan menggunakan :
- Pengacuan dalam teks, tabel, dan keterangan gambar ditunjukkan degnan nama penulis
dan tahun penerbitan dari pustaka yang diacu.
- Nama penulis dan tahun ditulis dalam tanda kurung bila nama penulis bukan merupakan
bagian dari pernyataan yang mengandung pengacuan.
- Bila nama penulis menjadi bagian dari pernyataan yang mengandung pengacuan, hanya
tahun penerbitan yang ditulis dalam tanda kurung.
- Pustaka dicantumkan dalam daftar pustaka berdasarkan urutan abjad nama penulisnya

Contoh Pengacuan Metode Harvard

1) Pengembangan Kuisioner Kepuasan Pasien Untuk Pelayanan Farmasi Klinik


Pendahuluan
Memasuki awal tahun 2014, pemerintah mulai menerapkan sistem pelayanan
kesehatan yang baru di Negara Indonesia. Sistem pelayanan kesehatan yang semula
berorientasi pada Out of Pocket, kini telah bergeser menjadi Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Melalui prinsip kepesertaan wajib, seluruh masyarakat Indonesia
akan mendapatkan pelayanan kesehatan dasar. Apabila dengan sistem Out of Pocket
pasien dapat memilih fasilitas kesehatan (faskes) yang diinginkan, pada sistem SJSN
peserta harus mengikuti alur pelayanan kesehatan berjenjang dengan sistem rujukan
(Permenkes RI, 2013).
Alur pelayanan kesehatan dimulai dari faskes primer yaitu puskesmas. Apabila
pasien tidak dapat ditangani pada faskes primer, maka faskes tersebut akan
memberikan rujukan ke faskes tingkat lanjut. Pelayanan kefarmasian (yanfar) adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan, termasuk didalamnya
pelayanan kesehatan di Puskesmas, apotek dan rumah sakit.
Standar pelayanan kefarmasian yang dilaksanakan di puskesmas, apotek dan
rumah sakit meliputi pengelolaan obat serta bahan medis habis pakai dan pelayanan
farmasi klinik (Permenkes RIa , 2014; Permenkes RIb , 2014; Permenkes RIc , 2014).
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan yang secara langsung diberikan oleh
apoteker pada pasien. Tujuan pelayanan farmasi klinik adalah untuk meningkatkan
luaran terapi dan untuk dapat meminimalkan resiko terjadinya efek samping obat
sehingga dapat meningkatkan keselamatan pasien dan kualitas hidup pasien
(Permenkes RIb , 2014).
Pelayanan farmasi klinik merupakan langkah terakhir dari interaksi antara pasien
dan apoteker dalam siklus pelayanan kefarmasian. Untuk itu pasien umumnya akan
menilai proses pelayanan kefarmasian berdasarkan atas pengalaman pasien terhadap
proses pelayanan kefarmasian.
Dalam upaya meningkatkan proses pelayanan kefarmasian dalam era JKN, perlu
dilakukan evaluasi mutu pelayanan yang salah satunya dilakukan melalui survei
kepuasan pasien. Pengukuran kepuasan pasien umumnya dilakukan dengan
menggunakan kuisioner. Kuesioner merupakan suatu daftar pertanyaan yang telah
disusun untuk mendapatkan data sesuai yang dibutuhkan oleh peneliti (Wasis, 2008).
Sehingga perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan kuisioner
dalam Bahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pasien
terhadap pelayanan kefarmasian pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat
lanjut terutama mengenai pelayanan farmasi klinik

Daftar Pustaka
Danim, S. 2003. Riset Keperawatan : Sejarah dan Metodologi. Jakarta: EGC

Djaali dan Muljono, P. 2007. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta : PT.
Grasindo
Griffin, J. 2003. Customer loyalty: Menumbuhkan dan mempertahankan Kesetiaan
Pelanggan. Diterjemahkan oleh Dwi Kartini Yahya. Jakarta: Erlangga.

Gumilar, Ivan. (2007). Metode Riset Untuk Bisnis & Manajemen. Bandung: Utama
Universitas Widyatama, Hal. 20-25.

Juliandi, I., Irfan, dan S. Manurung. 2014. Metodologi Penelitian Bisnis: Konsep dan
Aplikasi. Medan: UMSU Press.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri


Kesehatan Indonesia No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan
Kesehatan Nasional. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor. Jakarta:
Sekretariat Republik Indonesia.

Permenkes RIa . 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30


Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.

Permenkes RIb . 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58


Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia

2) Dampak Positif Pelayanan Farmasi Klinik Pada Pasien Epilepsi


Pendahuluan
Ukuran outcome praktek farmasi klinik menurut Kaboli dkk. (2006) meliputi
mortalitas; identifikasi, pencegahan, dan pengatasan Adverse Drug Events (ADE);
penggunaan fasilitas kesehatan (contoh: transfer ke ICU); ukuran manajemen terapi;
perubahan rejimen obat; ukuran lain (kualitas hidup, kepuasan pasien). Penelitian ini
akan mengukur outcome praktek farmasi klinik pada penyakit epilepsi.Alasan
memilih penyakit epilepsi adalah karena epilepsi merupakan suatu penyakit kronik
dengan gangguan yang bersifat heterogen, multifaset yang memiliki implikasi fisik,
psikologis, dan sosial.Layanan farmasi klinik pada epilepsi memiliki berbagai
keunikan antara lain pemilihan obat yang sarat dengan kesulitan karena problema
klinik yang beragam, kondisi patologis lain yang menyertai, kehamilan, adherence
yang kurang, farmakokinetika klinik, dll. Selain itu terapi epilepsi dengan Anti
Epileptic Drug (AED) memiliki tantangan karena baru berkisar 70-75% yang dapat
dikontrol dengan terapi tersebut. Hal ini berarti masih berkisar 25-30% pasien
epilepsi yang belum terkendalikan oleh antikonvulsan (Cascino, 1994).Salah satu
yang masih menjadi tantangan dan menjadi penyebab belum terkontrolnya terapi
dengan AED adalah adherence. Salah satu ukuran manajemen terapi obat pada
penyakit epilepsi adalah menurunnya/hilangnya kejang, sehingga perhitungan
frekuensi kejang dan derivatnya menjadi salah satu ukuran pencapaian end outcome.
Outcome lain yang dilaporkan dari penelitian ini adalah outcome antara seperti
adherence, dan kadar obat dalam darah. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengevaluasi layanan farmasi klinik dengan mengukur pencapaian berbagai outcome

Daftar Pustaka
Bauer Larry A. 2008, Applied Clinical Pharmacokinetics, The Mac Graw Hill, p485-
541.

Cascino G.D. 1994, "Epilepsy: contemporary perspectives on evaluation and


treatment". Mayo Clinic Proc69: 1199– 1211.

Collin A. H., Miya R.A., Ranjani M, James W.W., Stephanie J.P., Raj D. S., Jesus E.
P., Wendy M.Z., Lisa S.H.2008, Association of non-adherence to antiepileptic drugs
and seizures, quality of life, and productivity: Survey of patients with epilepsy and
physicians, Epilepsy & Behavior,13: 316–322.

Gomes MDM, Maia Filho HDS, Noe RA.1998, Anti-epileptic drug intake adherence.
The value of the blood drug level measurement and the clinical approach.Arquivos de
Neuropsiquiatria 56:708–713.

Graves NM, Holmes GB, Leppik IE.1988,Compliant populations: variability in


serum concentrations. Epilepsy Res Suppl1:91–99.

Hazzard A, Hutchinson SJ, Krawiecki N. 1990,Factors related to adherence to


medication regimens in pediatric seizure patients. J of Ped Psych,15: 543 - 555.
Kaboli P.J., Hoth A.B., Mc Climon B.J., Schnipper J.L. 2006, Clinical Pharmacist
and Inpatient Medical Care A systematic Review, Arch Intern Med, 166: 955-64.

3) Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penggunaan Antbiotik


Pendahuluan
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam
dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit dan juga
gejalanya (Tan Hoan dkk, 2007). Pengetahuan ini secara turun temurun disimpan dan
dikembangkan, sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat, seperti pengobatan
tradisional jamu di Indonesia. Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis
mulai tampak kemajuannya, dengan ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu
Salvarsan dan Aspirin sebagai pelopor, yang kemudian disusul oleh sejumlah obat
lain.
Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan dan penggunaan antibiotika
sulfanilamid (1935) dan penisilin (1940). Pengobatan sendiri dengan antibiotika yang
semakin luas telah menjadi masalah yang penting di seluruh dunia. Salah satunya
adalah terjadinya peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotika (WHO, 2011).
Hal ini mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas
maupun mortalitas pasien dan meningkatnya biaya kesehatan
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam
dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit dan juga
gejalanya (Tan Hoan dkk, 2007). Pengetahuan ini secara turun temurun disimpan dan
dikembangkan, sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat, seperti pengobatan
tradisional jamu di Indonesia. Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis
mulai tampak kemajuannya, dengan ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu
Salvarsan dan Aspirin sebagai pelopor, yang kemudian disusul oleh sejumlah obat
lain. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan dan penggunaan antibiotika
sulfanilamid (1935) dan penisilin (1940). Pengobatan sendiri dengan antibiotika yang
semakin luas telah menjadi masalah yang penting di seluruh dunia. Salah satunya
adalah terjadinya peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotika (WHO, 2011).
Hal ini mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas
maupun mortalitas pasien dan meningkatnya biaya kesehatan.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka
Cipta, Jakarta.

Effendi, Ferry Nursalam. 2007. Pendidikan Dalam Keperawatan. Salemba Medika,


Jakarta Notoadmodjo, S. 2010, Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta,
Jakarta

Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Salemba Medika,Jakarta.

Refdanita, Maksum, R., Nurgani, A., dan Endang, P. 2004. Pola Kepekaan Kuman
Terhadap Antibiotika Di Ruang Rawat Intensif RS Fatmawati Jakarta Tahun 2001-
2002. Makara, Kesehatan, Vol.8(2): 41-48 .

Sugiyono, 2000. Metode Penelitian Pendidikan. AlfaBeta. Bandung


Tjay, Tan Hoan dan Kirana Raharja. 2007. Obat-Obat Penting Edisi VI. PT Elex
Media Komputindo. Jakarta.

World Health Organization. 2011. Animicrobial Resistence. Available from :


http://www.searo.who.int/EN/S ection21060/Section2659.htm. (Diakses tanggal 5
September 2012).

4) Gambaran Pio Swamedikasi Apoteker Dalam Penatalaksanaan Flu


Pendahuluan
Pengobatan sendiri (self medication) merupakan upaya yang paling banyak
dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit sebelum mereka
memutuskan mencari pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan
(Depkes RI, 2008). Mengobati diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan
swamedikasi berarti mengobati segala keluhan dengan obat-obatan yang dapat dibeli
bebas di apotek atau toko obat dengan inisiatif atau kesadaran diri sendiri tanpa
nasehat dokter (Muharni, 2015).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, 35,2% rumah tangga
menyimpan obat untuk swamedikasi (Kemenkes RI, 2015). Swamedikasi biasanya
dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak
dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag,
kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes RI, 2006). Salah satu
penyebab tingginya tingkat swamedikasi adalah perkembangan teknologi informasi
via internet. Alasan lain adalah karena semakin mahalnya biaya pengobatan ke
dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat, atau kurangnya akses ke
fasilitas–fasilitas kesehatan (Gupta, et al., 2011; Hermawati, 2012).
Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami,
pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang
rasional. Kriteria obat rasional antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis
obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi
obat, dan tidak adanya polifarmasi (Muharni, 2015). Sampai saat ini di tengah
masyarakat seringkali dijumpai berbagai masalah dalam penggunaan obat.
Diantaranya ialah kurangnya pemahaman tentang penggunaan obat tepat dan
rasional, penggunaan obat bebas secara berlebihan, serta kurangnya pemahaman
tentang cara menyimpan dan membuang obat dengan benar. Sedangkan tenaga
kesehatan masih dirasakan kurang memberikan informasi yang memadai tentang
penggunaan obat (Kemenkes RI, 2015). Oleh karena itu, sebagai pelaku
selfmedication harus mampu mengetahui jenis obat yang diperlukan, kegunaan dari
tiap obat, menggunakan obat dengan benar (cara, aturan pakai, lama pemakaian),
mengetahui efek samping obat yang digunakan dan siapa yang tidak boleh
menggunakan obat tersebut (Depkes RI, 2008).

Daftar Pustaka
Anief. (1997). Apa yang Perlu Diketahui tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Badan Pusat Statistik. (2015). Medan Sunggal dalam Angka 2015. Medan: Badan
Pusat Statistik Kota Medan.

Bogadenta, A. (2012). Manajemen Pengelolaan Apotek. Yogyakarta: DMedika. Hal.


18-19. Depkes RI. (2006).
Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Hal. 8, 22-37, 31-35, 38-41, 47-50. Depkes RI. (2008).

Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat Bagi


Tenaga Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 0, 6-8,
9, 10.

Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Swamedikasi di Tiga Apotek Kota


Panyabungan. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Hermawati, D. (2012).

Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Penggunaan Obat


Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek Kecamatan Cimanggis, Depok. Skripsi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi UI.
Kemenkes RI. (2015).

Pemahaman Masyarakat Akan Penggunaan Obat Masih Rendah. Jakarta: Pusat


Komunikasi Publik. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990
tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Keputusan Menteri Kesehatan 1176/MENKES/SK/X/1999 tentang Daftar Obat


Wajib Apotek No.3. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Khomsan, A. (2000).

Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Departemen Gizi dan Sumber daya
Keluarga, Fakultas Pertanian IPB. Hal. 11. Universitas Sumatera Utara Kristina, S.,
Prabandari, Y., dan Sudjaswadi, R. (2008).

5) Eksplorasi Jenis dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Pada Masyarakat Suku


Muna Di Permukaan Kota Wuna
Pendahuluan
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki
keanekaragaman obat tradisional yang dibuat dari bahan-bahan alami bumi
Indonesia, termasuk tanaman obat (Anonim, 1992). Di Indonesia terdapat sekitar
30.000 jenis tanaman dan 7000 diantaranya memiliki khasiat obat. Keanekaragaman
sumberdaya hayati Indonesia diperkirakan menempati urutan kedua setelah Brasil
(Fellows, L., 1992). Di dunia internasional, Obat herbal telah diterima secara luas di
Negara berkembang dan di Negara maju.
Menurut WHO, hingga 65 % dari penduduk negara maju dan 80 % penduduk
negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Perkembangan obat herbal
semakin pesat dengan pemasok terbesar adalah Cina, Eropa, dan Amerika Serikat. Di
Afrika, presentase populasi yang menggunakan obat-obat herbal mencapai 60-90 %,
di Australia sekitar 40-50 %, Eropa 40-80 %, Amerika 40 %, Kanada 50 %
(Sinambela, J.M., 2003). Tumbuhan obat tradisional merupakan ramuan bahan alam
yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman
dan keanekaragaman tumbuhan obat-obatan dapat menunjangadanya ketersediaan
obat-obat tradisional yang siap pakai. Masyarakat suku Muna memiliki kearifan
tersendiri dalam memanfaatkan berbagai tanaman berkhasiat obat. Permukiman kota
Wuna merupakan pusat Kerajaan Muna masa lalu, dimana budaya dan kearifan lokal
lainnya masih dipertahankan termasuk pemanfaatan tanaman obat. Pemanfaatan
tumbuhan obat untuk mengobati berbagai penyakit yang diderita oleh masyarakat
setempat telah dipertahankan secara turun-temurun. Pengetahuan tersebut telah lama
dimilikidan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Permasalahnnya adalah bahwa
dari aspek taksonominya belum ada data yang jelas tentang nama ilmiah jenis
tumbuhan obat dan pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
jenis, khasiat, dan cara pemanfaatan tumbuhan obat oleh suku Muna di Pemukiman
Kota Wuna. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
masyarakat Indonesia tentang jenis-jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh
suku Muna yang mungkin bisa dimanfaatkan di daerah lain. Lebih lanjut hasil
penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi penelitian
selanjutnya.

Daftar Pustaka
Anonim, Puslitbangtri-Departemen Pertanian (1992). Sepuluh Tahun Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 1982-1991. Sumbangan Penelitian
dalam Pembangunan Perkebunan Rakyat, Bogor.
Fellows, L (1992).The Lancet, 339, 130.Katno dan Pramono S. 2010.Tingkat
Manfaat dan Keamanan Tumbuhan Obat dan Obat Tradisional.
(Online).Jurnal.Tersedia di:http://cintaialam.tripod.co sutarjo, R, M.1999.
Pengelolaan Tanaman. Semarang
Sinambela, J M., 2003. Standarisasi Sediaan Obat Herba. Makalah pada Seminar dan
Pameran Nasional POKJANAS TOI, Jakarta, 25-26 Maret.

Sanjoyo, R. (2010). Obat (Biomedik Farmakologi). Jogjakarta: Universitas Gadjah


Mada. Permatasari, Diah, Diniatik Diniatik dan Dwi Hartanti, 2011. Studi
Etnofarmakologi Obat Tradisional Sebagai Anti Diare Di Kecamatan Baturaden
Kabupaten Banyumas.Jurnal Farmasi Indonesia 8 (1) : 44-64.

Nurmalasari, N., Sukarsa, S., & Hidayah, H. A. (2012). Studi Kasus Pemanfaatan
Tumbuhan Sebagai Obat-Obatan Tradisional Oleh Masyarakat Adat Kampung Naga
Di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Biosfera, 29(3) :141-150.

Peneng, I.N.M., dan I.W. Sumantera, 2007. “Inventarisasi Tumbuhan Berkhasiat


Obat Luka Tradisional di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan,
Bali”. Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Usada Bali dan Perannya Dalam
Mendukung Ekowisata. UNUD, LIPI, UNHI. 118-123.

B. Pengacuan Metode Vancouver


- Pengacuan dalam teks, tabel, dan keterangan gambar ditunjukkan dengan nomor secara
berurutan.
- Pustaka acuan diberi nomor dan dicantumkan dalam daftar pustaka dengan urutan sesuai
urutannya diacu pertama kali (bukan berdasarkan urutan abjad nama penulisnya).
- Pengacuan berikutnya untuk rujukan yang sama menggunakan nomor yang sama seperti
pengacuan pertama.

Contoh Pengacuan Metode Vancouver

1) Evaluasi Penggunaan Obat Anti Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan Di


Fasilitas Kesehatan Metode AT/DDD
Pendahuluan
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada
dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat
atau tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama
(persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung
(penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara
dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi dengan
tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu,
partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai bidang peminatan hipertensi,
pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat
dikendalikan.1
Sistem ATC/DDD (Anatomical Therapeutic Chemical / Defined Daily Dose)
merupakan sistem klasifikasi dan pengukuran penggunaan obat yang saat ini telah
menjadi salah satu pusat perhatian dalam pengembangan penelitian penggunaan obat.
Sistem ATC/DDD sebagai standar pengukuran internasional untuk studi penggunaan
obat, sekaligus menetapkan WHO Collaborating Centre for Drug Statistics
Methodology untuk memelihara dan mengembangkan system ATC/DDD. Evaluasi
penggunaan obat dibagi menjadi dua yaitu kualitatif dan kuantitatif. Salah satu studi
kuantitatif adalah dengan menggunakan metode ATC/DDD. Metode ini
direkomendasikan oleh WHO untuk mengevaluasi penggunaan obat.2
Sistem klasifikasi ATC digunakan untuk mengklasifikasikan obat. Sistem ini
dikontrol oleh WHO Collaborating Centrefor Drug Statistic Methodology, dan
pertama kali dipublikasikan tahun 1976.
Obat dibagi menjadi kelompok yang berbeda menurut organ atau sistem dimana
obat tersebut beraksi dan atau berdasarkan karakteristik terapeutik dan kimianya.
Obat diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok pada lima level yang berbeda.3
Level pertama adalah level yang paling luas, obat dibagi menjadi 14 kelompok
utama anatomi. Level kedua adalah kelompok utama farmakologi dan terdiri dari dua
digit. Kelompok ketiga adalah kelompok farmakologi dan terdiri dari satu huruf.
Kelompok keempat adalah kelompok kimia dan terdiri dari satu huruf. Kelompok
kelima adalah kelompok zat kimia dan terdiri dari dua huruf.3 DDD diasumsikan
sebagai dosis pemeliharaan rata-rata perhari yang digunakan untuk indikasi utama
orang dewasa. DDD hanya ditetapkan untuk obat yang mempunyai kode ATC.
Jumlah unit DDD yang direkomendasikan pada pengobatan mungkin dinyatakan
dalam satuan miligram atau gram untuk sediaan padat seperti tablet atau kapsul, atau
mililiter untuk sediaan cair injeksi atau cair oral. Data penggunaan obat yang
dipresentasikan pada DDD hanya memberikan perkiraan penggunaan dan tidak
memberikan gambaran penggunaan yang pasti.3
Daftar Pustaka
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI tentang Hipertensi. Jakarta; 2014.

WHO, Guidelines for ATC Classification and DDD Assignment 2011, 14 th Edition,
Oslo, WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology; 2011.

WHO, ATC/ DDD Index 2016, Oslo WHO Collaborating Centre for Drug
Statistics Methodology; 2016.

Prasetyo, Eko., Detari, Wijayanti, Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada


Penyakit Hipertensi Disertai Gagal Ginjal Kronik (ICD I12,0) Pasien Geriatri Rawat
Inap di RSUD A. W. Sjahranie Samarinda pada Tahun 2012 dan 2013 dengan
Metode ATC/DDD, Jurnal Farmasi Indonesia, Vol.12 hal 23-32,2015.

Putra, Raden Ardhi, Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi dengan Metode ATC/
DDD pada Pasien Stroke Rawat Inap RSUD “B” Tahun 2010 dan 2011 (skripsi),
Surakarta:Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2012.

Chen Y., Anatomical Theurapetic Chemical (ATC) classification and the Defined
Daily Dose (DDD): principles for classifying and quantifying drug use, International
Conference on Pharmacoepidemiology and Therapeutic Risk Management; 2014
Oktober 24-27; Whitwhouse Station, USA; 2014.

Pujiati, Sri, Tingkat Peresepan Antibiotik di Puskesmas X Tahun 2012 dan 2013
dengan Metode ATC/DDD (skripsi), Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2014

WHO, Guidelines for ATC classification and DDD assignment 2013, Oslo, WHO
Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology; 2013.
2) Efek Sinergis Kombinasi Chlorhexidine dan Alkohol Terhadap Daya Hambat
Pertumbuhan Staphylococcus Aureus
Pendahuluan
Antiseptik merupakan suatu zat kimia yang memiliki kerja untuk
menghancurkan mikroorganisme ataupun menghambat kerjanya, sehingga dapat
mencegah terjadinya suatu infeksi.1 Antiseptik dapat dibedakan dengan disinfektan
dari tempat kerjanya, di mana antiseptik digunakan pada sesuatu yang hidup dan
disinfektan digunakan untuk benda yang mati. Antiseptik juga dapat dibedakan
dengan antibiotik, di mana kerja dari antibiotik adalah spesifik dengan
mikroorganisme tertentu, dan antiseptik kerjanya lebih umum.1
Chlorhexidine merupakan salah satu jenis antiseptik. Chlorhexidine
umumnya digunakan dalam antiseptik kumur, tapi terkadang dapat juga diberikan
dalam sabun antiseptik.2
Chlorhexidine merupakan suatu bakterisida yang bekerja dengan cara
merusak dinding sel dan membran luar sel, sehingga mengakibatkan kebocoran
intraseluler, dan pada akhirnya koagulasi sitosol.1 Alkohol merupakan contoh lain
dari antiseptic. Alkohol bersifat sebagai bakterisida, dengan cara merusak membran
sel dari bakteri, sehingga komponen intraseluler akan keluar. Alkohol juga bekerja
dengan cara mendenaturasi protein-protein yang berada dalam sel, sehingga kinerja
dari enzim bakteri akan terhambat, mengakibatkan proses metabolisme terganggu.3
Chlorhexidine dan alkohol memiliki mekanisme kerja yang mirip, sehingga
terdapat kombinasi antiseptic antar kedua zat tersebut. Mekanisme kerja yang mirip
seharusnya menghasilkan hasil yang sinergis. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah kombinasi chlorhexidine-alkohol memberikan suatu efek yang
sinergis pada kedua jenis Gram bakteri.

Daftar Pustaka
Al-Adham I, Haddadin R, Collier P. Types of Microbicidal and Microbistatic Agents.
In: FRAISE AP, MAILLARD J-Y, SATTAR SA, editors. Russell, Hugo & Ayliffe’s
Principles and Practice of Disinfection, Preservation and Sterilization. 5th ed.
Blackwell Publishing; 2013. h. 5–70.
Foddai ACG, Grant IR, Dean M. Efficacy of Instant Hand Sanitizers against
Foodborne Pathogens Compared with Hand Washing with Soap and Water in Food
Preparation Settings: A Systematic Review. J Food Prot. 2016;79(6):1040–54.
Mcdonnell G, Russell AAD. Antiseptics and Disinfectants: Activity, Action, and
Resistance. 1999 [cited 2018 Jan 24];12(1):147–79. Diunduh dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC88911/pdf/cm000147.pdf

Oishi T, Iwata S, Nonoyama M, Tsuji A, Sunakawa K. Double-blind comparative


study on the care of the neonatal umbilical cord using 80% ethanol with or without
chlorhexidine. J Hosp Infect. 2004;58(1):34–7.

Adams D, Quayum M, Worthington T, Lambert P, Elliott T. Evaluation of a 2%


chlorhexidine gluconate in 70% isopropyl alcohol skin disinfectant. J Hosp Infect.
2005;61(4):287–90.

Narui K, Takano M, Noguchi N, Sasatsu M. Susceptibilities of methicillin-resistant


Staphylococcus aureus isolates to seven biocides. Biol Pharm Bull [Internet].
2007;30(3):585–7. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17329862

O’Driscoll NH, Labovitiadi O, Cushnie TPT, Matthews KH, Lamb AJ. Potassium
loss from chlorhexidine-treated bacterial pathogens is time- and concentration-
dependent and variable between species. Curr Microbiol. 2014;68(1):6–11.

3) Analisis Implementasi Kebijakan Penggunaan Antibiotika Rasional Untuk


Mencegah Resistensi Antibiotika Studi Kasus Infeksi Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus
Pendahuluan
Rumah sakit sebagai sarana kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
tidak hanya melaksanakan upaya kesehatan kuratif dan rehabilitatif, tetapi seiring
dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta sosial budaya
diperlukan juga pelayanan preventif dan promotif. Pelayanan rumah sakit diharapkan
lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan dan mutu pelayanannya dengan turut
memperhatikan fungsi sosialnya1.
Pemberian antibiotika merupakan pengobatan utama dalam penatalaksanaan
penyakit infeksi. Adapun manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan lagi,
akan tetapi penggunaannya yang berlebihan akan segera diikuti dengan munculnya
kuman kebal antibiotik, sehingga manfaatnya akan berkurang. Resisten-si kuman
terhadap antibiotik, terlebih lagi multi drug resistance merupakan masalah yang sulit
diatasi dalam pengobatan pasien. Hal ini muncul sebagai akibat pemakaian antibiotik
yang kurang tepat dosis, macam dan lama pemberian sehingga kuman berubah
menjadi resisten 2.3.
Di negara yang sudah maju 13-37% dari seluruh penderita yang dirawat di RS
mendapatkan antibiotik baik secara tunggal atau kombinasi, sedangkan di negara
berkembang 30-80% penderita yang dirawat di RS mendapatkan antibiotik dan
penggunaan antibiotik yang tidak rasional sangat banyak dijumpai baik di negara
maju maupun berkembang.
Dampak negatif yang paling bahaya dari penggunaan antibiotik secara tidak
rasional adalah muncul dan berkembangnya kuman-kuman kebal antibiotik atau
dengan kata lain terjadinya resistensi antibiotik. Hal ini mengakibatkan layanan
pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien
dan meningkatnya biaya perawatan kesehatan. 2,5
Permasalahan resistensi bakteri juga telah menjadi masalah yang berkembang di
seluruh dunia sehingga WHO mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya
mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah tersebut dan strategi untuk
mengendalikan kejadian resistensi. Salah satu cara untuk mengendalikan kejadian
resistensi bakteri adalah dengan penggunaan antibiotik secara rasional. Penggunaan
obat rasional termasuk antibiotika menurut WHO adalah pasien mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga terendah baginya dan
masyarakat sekitarnya. Pada tahun 2002, WHO merekomendasikan 12 langkah
intervensi dalam rangka meningkatkan penggunaan obat yang rasional.6
Saat ini, Staphylococcus aureus menjadi masalah yang serius karena
meningkatnya resistensi bakteri terhadap berbagai jenis antibiotik MDR (Multi Drug
Resistance). Angka kejadian infeksi Staphylococcus aureus meningkat dengan
munculnya strain yang resisten terhadap methicillin Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA).7
Daftar Pustaka
Alkatiri, Soejitno S, Ibrahim E. (2007). Rumah Sakit Proaktif Suatu Pemikiran Awal
Edisi 2. Jakarta: PT. Nimas Multima.

Brahma, Marak, et al. ( 2012). Rational Use of Drug and Irrational Drug Com-
bination. The Internet Journal of Pharmacologi.Vol 10:1.

Ding S. et al. (2013). Rationale for Antibiotic Prescriptions in the Hospital: An


Evaluation of Its Application and Administration. Chinese Medical Record English
Edition, March 2013, Vol. 1, No. 3 : Pages 88-91.

Widodo. (2005). Kebijakan Penggunaan Antibiotika Bertujuan Meningkatkan


Kualitas Pelayanan pada Pasien dan Mencegah Peningkatan Resistensi Kuman.
Pidato Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI.

World Health Organization. (2002). Promoting Rational Use of Medicine. Geneva:


Core Components.

Kementerian Kesehatan. (204). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004. Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit.
Republik Indonesia: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.

Agustino, L. (2008). Dasar-dasar Kebijakan Publik Ctakan kedua. Bandung:


Alfabeta.

Kementerian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No


189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. Republik Indonesia:
Kementerian Kesehatan.

Adisasmito, Wiku. (2008). Kebijakan Standar Pelayanan Medik & Diagnosis Related
Group (DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat.
Kementerian Kesehatan. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota. Republik Indonesia: Kemen-terian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan. (2011). Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi


Anbiotik. Republik Indonesia: Kementerian Kesehatan. 2011.

4) Efek Antihistamin Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava) pada Tikus
Putih (Rattus norvegicus) dengan Diinduksi Ovalbumin
Pendahuluan
Reaksi alergi atau hipersensitivitas merupakan reaktivitas khusus dari
kepekaan host terhadap suatu alergen berdasarkan proses imunologi yang timbul
pada kontak ke dua atau berikutnya1. Alergi merupakan kondisi kronis dengan
keterlibatan sistemik yang dapat menyebabkan disfungsi kekebalan tubuh dan
mendasari timbulnya penyakit tidak menular lainnya2.
Data World Allergy Organization (WAO) tahun 2013 menunjukan bahwa
prevalensi alergi di dunia diperkirakan sekitar 30-40% dari populasi dunia.
Manifestasi alergi yang terjadi seperti asma, rhinokonjungtivitis, dermatitis atopi atau
eksem, dan anafilaksis jumlahnya mengalami peningkatan setiap tahunnya2. Di dunia
diperkirakan terdapat sekitar 334 juta populasi penderita asma dan terdapat sekitar
2,5% populasi tersebut terdapat di Indonesia3.
Manajemen alergi selama ini tergantung pada kepatuhan penderita dalam
menghindari faktor pemicu serta pengobatan alergi yang digunakan untuk
memblokade mediator utama sehingga menurunkan efek alergi yang meluas4.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
HK.01.07/MENKES/395/2017 tentang Daftar Obat Esensial Nasional menyatakan
bahwa obat antialergi yang tersedia di puskesmas dan rumah sakit meliputi,
deksametason, difenhidramin, epinefrin (adrenalin), klorfeniramin, loratadin, dan
cetirizine5.
Difenhidramin, klorfeniramin, loratadin, dan cetirizine termasuk obat
golongan antihistamin yang dapat menyebabkan efek samping pada penggunaan
jangka panjang. Penggunaan difenhidramin, klorfeniramin, loratadin, dan cetirizine
dapat menyebabkan gangguan pada sistem konduksi kardiovaskuler, retensi urin
akut, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), penurunan fungsi kognitif
dan gangguan neuromuscular junction6,7. Dengan demikian diperlukan upaya
pencarian obat alternatif untuk alergi dengan menggunakan tanaman obat.
Daun jambu biji (Psidium guajava L.) adalah salah satu dari tanaman di Indonesia
yang sering dijadikan sebagai tanaman obat. Tanaman tersebut memiliki kemampuan
terapeutik sebagai antiinflamasi, antioksidan, antitumor, antispasmodik, dan
antiemetik8. Hasil ekstraksi daun jambu biji (Psidium guajava L.) dengan campuran
hidroetanol didapatkan kandungan senyawa kuersetin9. Hasil studi in vitro,
kandungan kuersetin pada ekstrak bawang Bombay (Allium cepa) yang diinjeksikan
kepada tikus yang diinduksi ovalbumin memiliki efek antialergi dengan mekanisme
stabilisasi membran sel mast, menghambat aktivitas eosinofil peroksidase dan protein
dalam Broncho Alveolar Lavage Fluid (BALF), serta menghambat pelepasan
histamin, leukotrien, prostaglandin D2, dan sitokin inflamasi lainnya10.
Berdasarkan uraian diatas diperlukan suatu upaya pengembangan obat alternatif
antialergi. Ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava) yang mengandung kuersetin
diharapkan memiliki efek antihistamin yang berperan sebagai obat antialergi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antihistamin ekstrak daun jambu biji
(Psidium guajava) pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi dengan
ovalbumin.

Daftar Pustaka
Indijah SW, Fajri P. Farmakologi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016. 209
2017 p.

WAO. White Book on Allergy [Internet]. Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST,
Blaiss MS, editor. Wisconsin: World Allergy Organization; 2013. 1-248 p. Diambil
dari: http://www.worldallergy.org/UserFiles/file/WhiteBook2-2013-v8.pdf

The Global Asthma Network. The Global Asthma Report 2014 [Internet]. Auckland:
GAN; 2014. 14-16 p. Diambil dari:
http://www.globalasthmareport.org/resources/Global_Asthma_Report_2014.pdf
EAACI. Global Atlas of Allergy [Internet]. Zurich: The European Academy of
Allergy and Clinical Immunology; 2014. Diambil dari:
http://www.eaaci.org/globalatlas/GlobalAtlasAllergy.pdf

Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.01.07/MENKES/395/2017


tentang Daftar Obat Esensial. 2017 hal. 1–48.

5) Aktivitas Anti Inflamasi Berbagai Tanaman Di Duga Berasal Dari Flavonoid


Pendahuluan
Inflamasi adalah suatu respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh
kerusakan pada jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak,
atau zat mikrobiologik. Inflamasi berfungsi untuk menghancurkan, mengurangi, atau
melokalisasi (sekuster) baik agen yang merusak maupun jaringan yang rusak.1 Tanda
terjadinya inflamasi adalah pembengkakan/edema, kemerahan, panas, nyeri, dan
perubahan fungsi.2
Obat antiinflamasi yang biasa digunakan dibagi menjadi dua, yaitu antiinflamasi
steroid dan antiinflamasi nonsteroid. 3
Namun kedua golongan obat tersebut memiliki banyak efek samping.
Antiinflamasi steroid dapat menyebabkan tukak peptik, penurunan imunitas terhadap
infeksi, osteoporosis, atropi otot dan jaringan lemak, meningkatkan tekanan intra
okular, serta bersifat diabetik, sedangkan antiinflamasi nonsteroid dapat
menyebabkan tukak lambung hingga pendarahan, gangguan ginjal, dan anemia. 4
Berdasarkan hal tersebut maka banyak dilakukan pengembangan antiinflamasi
yang berasal dari bahan alam, terutama pada tanaman. Bagian tanaman yang dapat
digunakan sebagai bahan obat diantaranya buah, daun, kulit batang, rimpang, dan
bunga. 5
Ada beberapa tanaman yang dipercaya oleh masyarakat atau secara empiris dapat
mengobati inflamasi, diantaranya kulit batang pauh kijang (Irvingia malayana Oliv.
Ex. A. Benn), kulit batang jambu mete (Anacardium ocidentale L.), dan buah kaktus
(Opuntia elatori Mill.). 3,6,7
Tanaman yang telah terbukti secara ilmiah memiliki khasiat sebagai
antiinflamasi, yaitu daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Shecff.) Boerl.),
rimpang kencur (Kaempferiae galanga L.), daun ubi jalar ungu (Ipomoea batatas (L.)
Lamk.), kelopak bunga rosela merah (Hisbiscus sabdariffa), serta bunga dan daun
asam jawa (Tamarindus indica).4,5,8,9,10
Dari berbagai hasil penelitian yang dilaporkan, kandungan kimia yang memiliki
khasiat sebagai antiinflamasi adalah Farmaka Suplemen Volume 14 Nomor 2 114
flavonoid. Flavonoid dapat menghambatan siklooksigenase atau lipooksigenase dan
menghambat akumulasi leukosit di daerah sehingga dapat menjadi antiinflamasi.1,11
Terus berkembangnya penelitian antiinflamasi dari tanaman ini salah satunya
dipicu oleh masyarakat yang lebih suka dan percaya pada pengobatan tradisional
karena beranggapan bahwa penggunaan obat tradisional lebih aman dan memiliki
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat kimia. 7
Namun, kurangnya informasi mengenai obat tradisional menjadikan
penggunaannya menjadi kurang optimal. Pada artikel review ini akan memberikan
informasi dan membahas mengenai aktivitas antiinflamasi dari beberapa tanaman
beserta dugaan golongan senyawa yang berperan dalam menghambat inflamasi
tersebut.

Daftar Pustaka
Agustina, Ri., D. T. Indrawati, dan M. A. Masruhin. Aktivitas Ekstrak Daun Farmaka
Suplemen Volume 14 Nomor 2 121 Salam (Eugenia poyantha) Sebagai Antiinflamsi
Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). J. Trop. Pharm. Chem. 2015;3(2):120-123.
Erlina R., A. Indah, dan Yanwirasti. Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kunyit
(Curcuma domestica Val.) pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar, J. Sains dan
Teknologi Farmasi. 2007;12(2):112-115.

Widiyantoro, A., Lia D., Indri K., Supardi, Dedy G. H., Niwick, dkk. Aktivitas
Antiinflamsi Senyawa Bioaktif dari Kulit Batang Pauh Kijang (Irvingia malayana
Oliv. Ex. A. Benn) Terhadap Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi
Karagenan. Kaunia. 2012;8(2):118-126.

Rinayanti, A., Ema D., dan Melisha A. H. Uji Efek Antiinflamsi Fraksi Air Daun
Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Shecff.) Boerl.) Terhadap Tikus Putih (Rattus
norvegicus L.). Pharm Sci Res. 2014;1(2):78-85.

Anda mungkin juga menyukai