Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

STUDI LITERATUR

2.1 Kepatuhan Minum Obat

2.1.1 Definisi

Ada banyak istilah yang mengacu pada kepatuhan, diantaranya

“compliance”, “adherence” dan “concordance”, namun tidak ada penelitian

yang menemukan perbedaan dari ketiganya (Nemes dkk., 2009). Kepatuhan

adalah istilah untuk menggambarkan perilaku pasien dalam menelan obat

secara benar sesuai dosis, frekuensi, dan waktunya. Pasien dilibatkan dalam

mengambil keputusan untuk menelan obat atau tidak, hal ini dilakukan untuk

melatih kepatuhan (Nursalam dan Kurniawati, 2007).

Kepatuhan menurut konteks psikologi mengacu pada situasi ketika

perilaku individu sesuai dengan tindakan yang dianjurkan oleh seorang

praktisi kesehatan atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi

lain dalam bentuk brosur atau melalui suatu kampanye media massa (Ian dan

Marcus, 2011). Perilaku pasien TB paru dalam kepatuhan meminum obat

mendapat pengawasan langsung (PMO) yang berasal dari keluarga, kader,

atau petugas kesehatan. Hal ini dilakukan karena banyaknya obat yang harus

diminum dalam waktu yang lama. Pengawasan langsung dalam meminum

obat dari orang terdekat bertujuan untuk mengurangi kelalaian pasien yang

dapat berdampak pada kegagalan dalam pengobatan.

Menurut WHO (2013) dalam Sari dkk. (2016) salah satu penentu

keberhasilan penatalaksanaan terapi TB paru yaitu kepatuhan pasien terhadap

pengobatan.

6
7

Ketidakpatuhan pasien dalam berobat bisa menyebabkan kekambuhan

dan atau kegagalan. Dampak tersebut bisa memunculkan resistensi kuman dan

penularan penyakit dari orang ke orang secara terus menerus. Konsekuensi

ketidakpatuhan berobat dalam jangka waktu panjang secara rutin (setiap hari)

dapat memburuknya kondisi kesehatan dan meningkatkan biaya perawatan.

Ketidakpatuhan penderita TB paru dalam pengobatan berdampak pada

rendahnya penyembuhan, resisten kuman tuberkulosis terhadap OAT atau

Multi Drug Resistence (MDR), meningkatkan kekambuhan, dan tingginya

kematian, sehingga penyembuhan penyakit sulit dicapai (Kemenkes RI, 2014).

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat Faktor-

faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Gebreweld dkk., 2018;

Smet,1994; Niven 2002; Prayogo, 2013) yaitu:

a. Pengobatan

Menurut studi kualitatif yang dilakukan oleh Gebreweld dkk. (2018)

menyatakan bahwa lama pengobatan dan efek samping obat menjadi

hambatan dalam kepatuhan pengobatan pasien TB paru.

b. Faktor komunikasi

Komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan mempengaruhi

kepatuhan. Informasi dan pengawasan yang kurang, ketidak puasaan

dalam hubungan emosional antara pasien dengan petugas kesehatan, dan

ketidak puasan layanan bisa mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien

(Smet, 1994).
8

c. Pengetahuan

Informasi yang jelas dan benar akan membuat pasien mengetahui

akan penyakitnya (Smet, 1994). Pendidikan kesehatan terkait pengobatan

TB paru dan dampak yang timbul jika tidak patuh pengobatan merupakan

salah satu pengetahuan yang harus dimiliki oleh pasien TB paru dan

petugas kesehatan. Semakin baik pengetahuan pasien TB paru terkait

penyakitnya semakin baik pula kepatuhan dalam berobat. Hal ini juga

berlaku untuk pengetahuan dari PMO, yang semakin baik pengetahuannya

dapat meningkatkan kepatuhan berobat dari pasien TB paru (Sutanta,

2014).

d. Fasilitas kesehatan

Fasilitas kesehatan menjadi sarana penting, dimana pasien bisa

mendapatkan pelayanan kesehatan secara langsung. Tersedianya fasilitas

kesehatan dan kemampuan pasien untuk menjangkau fasilitas kesehatan

dapat mempengaruhi kepatuhan pasien. Jika pasien tidak dapat

menjangkau fasilitas kesehatan bagaimana dia mengetahui informasi

terkait penyakitnya (Smet, 1994).

e. Faktor idividu

Menurut Niven (2002) faktor individu terdiri dari sikap atau

motivasi individu untuk sembuh dan keyakinan.

1) Sikap atau motivasi individu untuk sembuh

keberhasilan dalam pengobatan. Motivasi yang kuat dapat mempengaruhi

kepatuhan dalam pengobatan TB paru (Nurwidji dan Fajri, 2013).


9

2) Keyakinan

Keyakinan berasal dari diri individu itu sendiri. Keyakinan pasien TB paru

bahwa dia bisa sembuh dengan menjalankan pengobatan yang benar dapat

mempengaruhi kepatuhan dalam minum obat. Efikasi diri adalah

kepercayaan diri dari atas kemampuannya untuk menguasai situasi. Efikasi

diri berhubungan dengan kepatuhan minum obat pasien TB paru dengan

koefisien korelasi sebesar 0,407 yang berarti cukup erat (Sutrisna, 2017).

a. Dukungan keluarga

Keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan pasien.

Keluarga saling berinteraksi dalam keseharian. Sehingga, perubahan

interaksi yang terjadi dalam keluarga pasien TB paru dapat

mempengaruhi perasaan atau psikologis dari pasien. Berdasarkan hasil

penelitian Irnawati dkk. (2016) menyatakan bahwa ada hubungan antara

dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis

(OAT) pada pasien tuberkulosis. Hal ini sesuai dengan teori dari Niven

(2002), yang mengatakan bahwa dukungan dari keluarga dan teman

dekat dapat membantu kepatuhan pasien dalam pengobatan.

b. Dukungan social

Dukungan yang berasal dari lingkungan sosial pasien bisa dari teman,

tetangga, tokoh agama, atau tokoh masyarakat yang ada dilingkungan

tempat dia tinggal. Peran orang-orang tersebut bisa meningkatkan

semangat dan rasa dihargai pasien, sehingga dia memiliki harapan

sembuh yang tinggi. Dukungan sosial yang kurang baik, seperti stigma

sosial dapat mempengaruhi kepatuhan dalam pengobatan (Niven,


10

2002). Menurut penelitian Tadesse (2016) stigma pada pasien

tuberkulosis dapat menyebabkan keterlambatan perawatan kesehatan,

kepatuhan pengobatan yang buruk, dan prognosis buruk.

c. Dukungan petugas kesehatan

Petugas kesehatan sebagai promotor dalam menjalankan program-

program kesehatan dan penanggulangan suatu penyakit. Petugas

kesehatan memiliki peran perawat sebagai care provider, pendidik,

advokad, dan peneliti dengan menjalankan fungsi promotif, preventif,

dan kuratif. Pasien TB paru yang mendapat penyuluhan memiliki

kemungkinan 4,19 kali lebih patuh untuk berobat dibandingkan

penderita yang tidak mendapat penyuluhan kesehatan dan mereka yang

mendapat kunjungan rumah dari petugas kesehatan mempunyai

kemungkinan 2,15 kali lebih patuh pengobatan dibandingkan pasien

yang tidak dikunjungi (Senewe, 2002).

d. Jarak tempuh fasiltas kesehatan

Jarak rumah menuju fasilitas kesehatan bisa menjadi salah satu hal yang

mempengaruhi kepatuhan pasien TB paru dalam mengambil obat. Jarak

rumah ke faskes yang jauh atau medan jalan yang kurang bagus akan

menjadi kendala dan menurunkan minat atau motivasi pasien untuk

mendapat pengobatan. Dibandingkan dengan pasien yang memiliki jarak

tempuh dari rumah ke faskes lebih dekat dan medan yang baik.

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa ada hubungan antara jarak

rumah menuju fasilitas pelayanan kesehatan dengan kepatuhan berobat

pasien TB paru. Jarak akses menuju fasilitas pelayanan kesehatan yang


11

dekat memiliki nilai ketidakpatuhan 3,7% dan nilai kepatuhan 32,9%.

Sedangkan jarak tempuh yang jauh memiliki nilai ketidakpatuhan

sebesar 20,7% dan nilai kepatuhan 42,7% (Prayogo, 2013). Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian Sutanta (2014), bahwa semakin

jauh jarak tempuh dari rumah ke fasilitas layanan kesehatan semakin

rendah tingkat kepatuhan pengobatan.

2.1.2 Faktor – faktor yang mendukung kepatuhan pasien

Menurut Feuerstein et all yang dikutip Niven (2008) terdapat 5 faktor yang

mendukung kepatuhan pasien antara lain :

1. Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa

pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan

buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.

2. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami cirri kepribadian pasien yang

dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagi contoh, pasien yang lebih mandiri

harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam program

pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam

menghadapi sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara

menyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk

mengikuti anjuran pengobatan.


12

3. Modifikasi faktor lingkunga dan sosial

Hal ini bearti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman.

Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan

terhadap program-program pengobatan.

4. Perubahan model terapi

Program-program pengobatan dapat dibuat sederhana mungkin, dan pasien

terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.

5. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien

Adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien

setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan

penjelasan tentang diagnosisnya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat

mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

Menurut Permatasari (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

kepatuhan penderita TB menjalani program pengobatannya antara lain sebagai

berikut:

a. Rasa bosan

Seseorang yang didiagnosa suatu penyakit yang memerlukan pengobatan

dalam jangka waktu yang lama pasti akan merasa bosan dengan terapi atau

pengobatan yang dijalini. Pengobatan pada TB memerlukan waktu yang

lama dalam pengobatannya. Waktu yang paling cepat untuk pengobatan

TB adalah 6 bulan yaitu pengobatan secara intensif.


13

b. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan masyarakat tentang TB sampai saat ini masih kurang. Hal ini

diketahui dari banyaknya anggapan yang salah di masyarakat yang dapat

menghambat program pengobatan dan pemberantasannya. Masyarakat

masih beranggapan bahwa penyakit TB merupakan penyakit kutukan dan

keturunan atau karena guna-guna. Untuk diperlukan penyuluhan pada

masyarakat tentang penyakit TB, bagaimana cara penularannya dan

bagaimana cara pengobatannya. Dan tidak kalah pentingnya dalam

penyuluhan yaitu memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa

pengobatan TB memang memerlukan waktu lama.

c. Tempat atau jarak pelayanan kesehatan

Jika jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan sangat

berpengaruh terhadap kepatuhan berobat pada pasien TB. Bagi penerita

yang berada di kota mudah untuk melakukan pengobatan dikerenakan

jarak antara dengan tempat pengobatan dekat.

d. Budaya

Masih banyak anggapan masyarakat tentang TB merupakan penyakit

keturunan yang sulit disembuhkan, hal ini, membuat penderita menjadi

malu untuk berinteraksi dengan orang lain dan malu untuk berobat, untuk

itu masyarakat perlu mengenal tentang TB secara jelas (Permatasari,

2005).
14

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan menurut

Niven (2004) antara lain sebagai berikut:

1) Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham

tentang instruksi yang diberikan padanya. Kadang-kadang hal ini

disebabkan oleh kegagalan profesiaonl kesehatan dalam memberikan

informasi yang lengkap, penggunaan istilah medis dan memberikan

banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien.

2) Kualitas interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien

merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.

3) Isolasi sosial dan keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga

menentukan tentang program pengobatan yang dapat meraka terima.

4) Keyakinan, sikap dan kepribadian

Bukti hasil penelitian bahwa hubungan antara profesional

kesehatan dan pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang

kesehatan dan kepribadian seseorang berperan dalam menentukan

respon pasien terhadap anjuran pengobatan (Niven, 2004)

Kepatuhan dalam perawatan kesehatan harus dapat dilakukan

pengukuran sebab bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan

(memamtau kepatuhan merupakan salah satu intervensi medis) atau


15

melakukan studi penelitian yang berfokus terhadap besaran, efek,

maupun pergerakan kepatuhan. Menurut Nursiwati (2010), cara

pengukuran/ variable kepatuhan adalah:

a) Keteraturan minum obat

b) Ketepatan dosis

c) Ketepatan waktu

2.1.5 Tingkat kepatuhan pengobatan tuberculosis

Niven (2000) berpendapat bahwa tingkat kepatuhan pengobatan

tuberculosis paru adalah sebagi berikut:

1. Minum obat secara teratur dan benar

Obat yang diminum sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh

petugas kesehatan meliputi dosis, jumlah, jenis dan waktu minum obat.

2. Menyelesaikan pengobatan sesuai anjuran petugas

Pengobatan TBC minimal 6 bulan, lama pengobatan selama 6 bulan ini

akan mempengaruhi rasa bosan penderita untuk berobat.

3. Tidak lali dalam berobat

Pengambilan obat tidak boleh terlambat. Apabila penderita telat minum

obat dikhawatirkan akan terjadi resisten obat.

2.1.6 Indikator Kepatuhan Minum Obat

Menurut destiny octrina B (2011) pasien TB paru dikatakan patuh minum

obat apabila sesuai dengan indicator berikut ini :

1. Kemandirian pasien minum obat, pasien teratur minum obat dan tidak harus

diingatkan.
16

2. Sesuai dosis yang diberikan oleh dokter, pasien tidak boleh sembarangan

minum obat tanpa resep dokter.

3. Kedisiplinan minum obat, pasien tidak berhenti mengkomsumsi obat selama

dalam proses penyembuhan, dan pasien harus selalu mengkomsumsi obat

sehingga bisa mencegah kekambuhan pasien.

4. Ketepatan waktu minum obat, pasien harus mengkomsumsi obat sesuai jadwal

yang diberikan dokter.

5. Pemdampingan keluarga, keluarga pasien berperan penting dalam keseharian

pasien. Karena hanya orang terdekat yang selalu mengetahui umtuk hal yang

dilakukan pasien setiap waktu.

2.1.7 Indikator Ketidakpatuhan Minum Obat

Menurut destiny Octrina B (2011) pasien TB paru dikatakan patuh minum

obat apabila sesuai dengan indicator berikut ini :

1. Kurangnya pengawasan, pendampingan pada saat pasien minum obat tidak

dilakukan oleh keluarga pasien sehingga tidak diketahui secara pasti

kelangsungan pasien pada saat minum obat.

2. Factor ekonomi, kondisi keluarga yang tidak mampu menjadi penghalang

kebutuhan pasien untuk melakukan control, sehingga keluarga tidak mampu

menebus resep yang didapatkan dari rumah sakit.

3. Kurangnya informasi, disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam

memberikan informasi yang lengkap karena profesional kesehatan

menggunakan istilah-istilah medis yang kurang dimengerti oleh pasien serta

banyaknya instruksi yang diberikan.


17

2.1.4 Instrumen Kepatuhan Minum Obat

Instrumen adalah alat pengumpul data untuk menilai kepatuhan

pengobatan pasien. Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai

kepatuhan pengobatan pasien TB paru dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Intrumen kepatuhan minum obat


Nama instrument Ulasan
Eight-Item Morisky Medication Terdiri dari 8 item, 7 item pertama

scale (MMAS-8) mengunakan pilihan jawaban Ya / Tidak,

sedangkan item terakhir adalah respons

Likert 5 poin. Intrumen ini divalidasi dengan

validitas dan reliabilitas yang luar biasa

pada pasien dengan penyakit kronis (Tan

dkk., 2014).

2.1.9 Morisky Medication Adherence Scale 8 item (MMAS-8)

MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale) adalah suatu alat ukur

yang dikembangkan oleh Morisky et all untuk menilai kepatuhan minum obat

pasien dengan jangka waktu panjang melalui kuisioner. MMAS pertama kali

diaplikasikan untuk mengetahui compliance pada psien hipertensi dengan pre dan

post interview. Morisky et all mempublikasikan versi terbaru pada tahun 2008

yaitu MMAS-8 dengan nilai validitas p = 0,5, nilai reabilitas = 0,83, serta

sensitivitas sebesar 93% dan spesifisitas sebesar 53% pada sebuah studi kepatuhan

minum obat pasien hipertensi (Morisky D.E, 2008). MMAS-8 terdiri dari 8 item

yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan frekuensi kelupaan dalam

minum obat, kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan dokter,

kemampuan untuk mengendalikan dirinya untuk tetep minum obat.


18

Salah satu metode pengukuran kepatuhan secara tidak langsung adalah

dengan menggunakan kuisioner. Metode ini dinilai cukup sederhana dalam

pelaksanaanya. Kuisioner MMAS-8 ini merupakan salah satu model kuisioner

yang telah tervalidasi untuk menilai kepatuhan terapi jangka panjang. Pada

mulanya morisky mengembangkan beberapa pertanyaan singkat (4 pertanyaan)

untuk mengukur kepatuhan pengobatan pada pasien diabetes mellitus. Namun saat

ini kuisioner morisky telah dimodifikasi beberapa pertanyaan sehingga lebih

lengkapdalam penelitian kepatuhan. Modifikasi kuisioner Morisky tersebut saat

ini dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan dan ketidakpatuhan pengobatan

penyakit yang memerlukan terapi jangka panjang.

Pengukuran skor MMAS-8 untuk pertanyaan 1 sampai 7 jika jawabannya

YA bernilai 0 dan jawaban TIDAK bernilai 1. Kecuali pertanyaan nomer 5 jika

jawaban YA bernilai 1 dan jawaban TIDAK bernilai 0, sedangkan untuk

pertanyaan nomer 8 jika jawaban tidak pernah/jarang (tidak sekalipun dalam

seminggu) bernilai 4, jika menjawab sekali-kali (satu/dua kali dalam seminggu)

bernilai 3, terkadang (tiga/empat kali dalam seminggu) bernilai 2, biasanya

(lima/enam kali seminggu) bernilai 1 dan selalu/setiap saat bernilai 0. Tingkat

kepatuhan didapatkan dari hasil total skor yang dimasukkan dalam penilaian

keseluruhan yaitu kategori tinggi dengan total skor 8, kategori sedang dengan total

skor 6-7 dan kategori rendah denga total skor <6 ( Morisky et all, 2008).
19

2.2 Tuberkulosis Paru (TB Paru)

2.2.1 Definisi

TB paru termasuk penyakit multi sistemik dengan berbagai presentasi

dan manifestasi, adalah penyebab paling umum kematian akibat penyakit menular

di seluruh dunia. Meskipun tingkat TB paru menurun di Amerika Serikat,

penyakit ini menjadi lebih umum di banyak bagian dunia. Selain itu, prevalensi

tuberkulosis yang resisten terhadap obat meningkat di seluruh dunia (Herchline,

2017).

TB paru adalah penyakit infeksius yang menyerang parenkim paru yang

disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Kemenkes RI, 2014; Somantri,

2007). TB paru dapat menularkan kebagian tubuh lainnya, seperti meninges,

ginjal, tulang, dan nodus limfe (Somantri, 2007; Smeltzer, 2002). Agen infeksius

utama Mycobacterium Tuberculosis paru adalah bakteri jenis batang aerobik yang

tahan asam. Mycobacterium Bovis dan Mycobacterium Avium juga pernah

menjadi penyebab tuberkulosis, namun untuk tuberkulosis paru kejadiannya

jarang (Smeltzer, 2002).

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi penularan TB paru

Factor resiko yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru adalah

factor karakteristik lingkungan :

1.Factor karateristik individu

a. Umur

Beberapa factor resiko penularan penyakit TB paru di Amerika yaitu umur,

jenis kelamin, ras, asal Negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian

yang dilakukan di Negara New York panda panti penampungan orang – orang
20

gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberculosis

aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Inseden tinggi

tuberculosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia

diperkirakan penderita TB paru adalah kelompok usia prokduktif 15-50 tahun

(achmadi, 2007).

b. Jenis Kelamin

Di benua Afrika banyak TB paru menyerang pada laki-laki. Pada tahun

1996 jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan

dengan jumlah penderita TB wanita. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-

laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai

kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (achmadi,

2007).

c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan

seseorang diantarnya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan

pengetahuan penyakit TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup

maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan

sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap

jenis pekerjaan (achmadi, 2007).

d. Pekerjaan

Jenis pekerjaan menetukan factor resiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Bila pekerja bekerja dilingkungan yang berdebu paparan partikel

debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran

pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan


21

morbiditas, terutama terjadi gejala penyakit gangguan saluran pernafasan dan

umumnya TB paru (achmadi, 2007).

e. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko

untuk mendapatkan kanker paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik

dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk

terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Prevelansi merokok pada hampir semua

Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa sedengkan

wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasan merokok akan

mempengaruhi untuk terjadinya infeksi TB paru (achmadi, 2007).

f. Status gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa status gzi kurang

mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB paru berat dibandingkan

dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kurangnya gizi pada

seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon

immunologic terhadap penyakit (achmadi, 2007).

g. Kondisi sosial ekonomi

Kondisi sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan keadaan sanitasi

lingkungan gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan

pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam

memenuhi komsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi.

Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang

menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB paru (achmadi, 2007).


22

h. Perilaku

Perilaku seseorang yang berkaitan dengan TB paru adalah perilaku yang

mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi/tertular

kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut

bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan

menjemur kasur atau bantal (Edwan, 2008).

2. Faktor Karakteristik Lingkungan

a. Kepadatan Hunian

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan

dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak

sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya komsumsi oksigen juga bila

salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular

kepada anggota keluarga lain (Notoadmodjo, 2011).

b. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak

terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk kedalam rumah, terutama

cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat

yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya

terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya

dapat merusak mata (Notoadmodjo, 2001).


23

c. Ventilasi

Ventilasi mempunyai fungsi utama untuk menjaga agar aliran udara

didalam rumah tersebut tetep segar. Hal ini bearti keseimbangan oksigen yang

diperlukan oleh penghuni rumah tersebut terjaga. Kurangnya ventilasi akan

menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya

ventilasi akan menyebabkan kelembapan udara di dalam rungan naik karena

terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan (Notoadmodjo,

2011).

d. Kondisi Rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu factor resiko penularan penyakit

TB paru. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat berkembangbiaknya

kuman. Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan

penumpukan debu, sehingga akan menjadikan media yang baik bagi

perkembangbiakan kuman Myobacterium tuberculosis (Achmadi, 2007).

e. Kelembaban udara

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperolah kenyamanan,

dimana kelembaban berkisar 40%-50% denga suhu udara yang nyaman 18-30

oC. Kuman TB paru akan cepat mati apabila terkena sinar matahari langsung,

tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan

lembab (Notoadmodjo, 2011).

f. Suhu

Suhu dalam rungan harus dapat diciptakan sedemikian rupa sehingga

tubuh tidak terlalu banyak kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai

kepanasan. Suhu ruangan dalam rumah yang ideal adalah kisaran antara 18-30
24

oC dan suhu tersebut di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara dan

kelembaban udara dalam ruangan (Notoatmodjo, 2011).

g. Ketinggian wilayah

Menurut olander, ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan

suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter selisih suhu udara dengan

permukaan air laut sebesar 0,5 oC. Selain itu berkaitan dengan kerapatan

oksigen, Myrobacterium tuberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan

kerapatan pengunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman TBC (Achmadi,

2007).

2.2.3 Etiologi TB paru

Penyebab utama TB paru yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

memiliki bentuk batang dengan panjang 1-4 mm dan tebal 0,3-0,6 mm. Bakteri

M.Tuberculosis tahan terhadap asam dan zat kimia serta faktor fisik karena

komponen penyusun terbesar tubuhnya lemak (lipid). Sifat aerob dari bakteri M.

Tuberculosis membuat dia suka berada ditempat yang memiliki kandungan

oksigen tinggi. Oleh karenanya, M. Tuberculosis suka bersarang di apeks paru-

paru yang menjadi tempat kondusif untuk hidup (Somantri, 2007).

2.2.4 Patofisiologi

Infeksi berawal dari terhirupnya M. Tuberculosis oleh pernafasan. Bakteri

masuk ke alveoli melewati jalur pernafasan yang kemudian menetap dan

berkembang biak dan menyebar ke area lain paru-paru seperti lobus atas paru.

Setelah bakteri menyerang organ yang ditempati, sistem kekebalan dalam tubuh

akan mengirim respon tubuh dengan munculnya reaksi inflamasi. Proses inflamasi

dilakukan oleh neutrofil dan makrofag dengan menelan bakteri, sementara


25

limfosit yang bekerja spesifik pada tuberkulosis akan menghancurkan bakteri basil

dan jaringan normal. Selanjutnya, terjadi akumulasi eksudat didalam alveoli yang

menyebabkan bronkopneumonia. Proses inflamasi (infeksi awal) ini berlangsung

antara waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.

Pada awal infeksi, dimana M. Tuberculosis berinteraksi dengan sistem

kekebalan tubuh, akan membentuk massa jaringan baru (granuloma). Kemudian

granuloma berubah menjadi jaringan fibrosa, yang dibagian tengahnya disebut

ghon tubercle. Materi yang terdiri dari makrofag dan bakteri kemudian menjadi

nekrotik dan nampak seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi

kalsifikasi dan membentuk kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.

Jika respon tidak kuat dalam melawan serangan bakteri, akan membuat

penyakit lebih parah. Kondisi ini bisa disebabkan oleh infeksi berulang, atau

aktifnya bakteri yang sebelumnya nonaktif. Ghon tubercle akan mengalami

ulserasi yang berakhir dengan sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru

yang terinfeksi kemudian mengalami radang, akan mengakibatkan penyakit

bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya (Somantri, 2007).

2.2.5 Tanda dan gejala

Gambaran klinis TB paru aktif adalah sebagai berikut (Herchline, 2017):

a. Batuk: batuk yang terjadi pada penderita TB tidak kunjung sembuh, bisa

berlangsung lebih dari 2 minggu.

b. Kehilangan berat badan / anoreksia: nafsu makan yang terus menerus

turun sehingga BB turun secara darastis.

c. Demam: sering mengalami demam karena infeksi dari kuman tuberkulosis.


26

d. Berkeringat di malam hari: penderita akan sering mengalami keringat

dimalam hari yang disertai demam.

e. Hemoptisis: pada kondisi batuk, penderita mengalami batuk yang disertai

dengan darah.

f. Nyeri dada (bisa juga akibat perikarditis akut tuberkulosis)

g. Kelelahan: sering mengalami kelelahan akibat menurunnya daya tahan

tubuh dan serangan dari kuman tuberculosis.

2.2.6 Cara penularan

Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention M. Tuberculosis

dibawa oleh partikel udara, yang disebut droplet nuclei, dengan diameter 1-5

mikron. Infectious droplet nuclei dihasilkan ketika orang-orang yang menderita

penyakit tuberkulosis paru atau laring sedang batuk, bersin, berteriak, atau

bernyanyi. Bergantung pada lingkungan, partikel kecil ini bisa tetap ada di udara

selama beberapa jam. M. Tuberculosis ditularkan melalui udara, bukan kontak

dengan permukaan. Penularan terjadi ketika seseorang menghirup udara yang

mengandung M. Tuberculosis, dan droplet melintasi mulut atau saluran hidung,

saluran pernapasan bagian atas, dan bronkus untuk mencapai alveoli paru-paru.

Sumber penularan tuberkulosis berdasarkan Kementerian Kesehatan

Rakyat Indonesia (2014) yaitu:

a. Pasien tuberkulosis BTA positif melalui percik renik dahak yang

dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien tuberkulosis dengan

hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam

dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
27

terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit

dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.

b. Pasien tuberkulosis dengan BTA negatif juga masih memiliki

kemungkinan menularkan penyakit tuberkulosis. Tingkat penularan pasien

tuberkulosis BTA positif adalah 65%, pasien tuberkulosis BTA negatif

dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien tuberkulosis

dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung

percik renik dahak yang infeksius tersebut.

d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak.

2.2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis pada pasien dewasa dengan TB paru berdasarkan

gejala klinis, pemeriksaan jasmani (pemeriksaan fisik), pemeriksaan bakteriologi,

radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya (PDPI, 2015). Penegakan diagnosis

TB paru tidak dibenarkan hanya dengan pemeriksaan serologis, foto toraks, atau

tuberkulin saja (Kemenkes RI, 2014).

Pemeriksaan jasmani pada TB paru dapat dinilai dengan adanya masalah

pada paru. Pada pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan masalah seperti: suara

pernapasan bronchial, amforik, suara napas yang melemah, ronchi basah, dan

inspeksi terlihat tarikan saat bernafas pada paru, diafragma, dan mediastinum

(PDPI, 20015).
28

Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung, dilakukan pada terduga pasien

tuberkulosis dengan uji dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu). Pasien ditetapkan

sebagai penderita tuberkulosis apabila minimal satu dari pemeriksaan hasilnya

positif (Kemenkes RI, 2014). Pemeriksaan diambil selama 3 hari berturut-turut

diwaktu pagi, mulai dari pertama kunjungan (PDPI, 2015).

Suspek TB

Pemeriksaan dahak sewaktu pagi sewaktu (SPS)

Hasil BTA Suspek TB Suspek TB


+++/+ + - +-- - --

Foto rontgen dada dan Beri Antibiotik non OAT


pertimbangan dokter
Tidak Membaik

Hasil mendukung
Periksa dahak Hasil BTA
SPS diulang ---
Hasil tidak mendukung

Penderita TBBTA (+) Hasil BTA


+++
++-
+--

Penderita TBBTA (-) Foto rontgen


Rontgen (+) Hasil mendukung dada

Hasil tidak mendukung

Penyakit lain bukan TB

Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB paru Pada Orang Dewasa. (Kemenkes RI, 2014)
29

Pemeriksaan foto toraks Posterior-Anterior (PA) tuberkulosis dapat

memperkuat penegakan diagnosis TB paru. Setelah pemeriksaan dahak, pasien

dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk melihat kondisi paru. Pemeriksaan ini

memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform) (PDPI, 2015).

Sumber: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. (2015).

Pemeriksaan Penunjang diperlukan untuk memperkuat penegakan

diagnosa dan mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat (PDPI,

2015), diantaranya:

1. Pemeriksaan Bactec

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode

radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak

yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth

indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif

pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan

diagnosis dan melakukan uji kepekaan.Bentuk lain teknik ini adalah

dengan memakai Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).

2. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang


30

spesifik untuk Tb paru. Laju Endapan Darah (LED) jam pertama dan

jam kedua dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat

kestabilan keadaan nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat

digunakan untuk salah satu respon terhadap pengo batan penderita serta

kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderi ta.

Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan daya tahan

tubuh penderita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED

yang normal juga tidak me nyingkirkan diagnosa TBC.

2.2.8 Pegobatan TB paru

Pengobatan TB paru memiliki tujuan untuk menyembuhkan dan

memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup pasien, mencegah kematian dan

dampak buruk penyakit, mencegah kekambuhan, penularan, dan resistensi OAT.

Pengobatan menggunakan OAT dengan metode DOTS. OAT mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi. Pengobatan ini bersifat gratis

dan didampingi oleh PMO dalam menjalankan strategi DOTS (Kemenkes RI,

2014).

Penyakit tuberkulosis dapat diobati dengan mengonsumsi beberapa obat

selama 6 sampai 9 bulan. Obat-obatan yang digunakan pada pengobatan lini

pertama yang menjadi inti rejimen pengobatan adalah (CDC, 2016; Kemenkes RI,

2014): Isoniazid (H); Rifampisin (R); Etambutol (E); dan Pirazinamid (Z);

Streptimisin (S). Panduan OAT yang digunakan di Indonesia sesuai dengan

rekomendasi WHO dan ISTC yaitu: kategori 1 (Paduan OAT ini diberikan untuk

pasien baru) terdiri dari 2(HRZE) untuk tahap awal dan 4(HR)3 untuk tahap

lanjut; kategori 2 (Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang
31

pernah diobati sebelumnya) terdiri dari 2(HRZE)S/(HRZE) untuk tahap awal dan

5(HR)3E3 untuk tahap lanjut (Kemenkes RI, 2014).

Penting bagi penderita TB paru untuk berobat, menyelesaikan pengobatan,

dan minum obat sesuai aturan supaya kuman hilang. Berhenti minum obat

sebelum selesai masa pengobatan dapat menimbulkan sakit kembali. Pengobatan

yang tidak berjalan baik seperti tidak patuh dalam minum obat, membuat bakteri

tuberkulosis yang masih hidup bisa menjadi kebal terhadap OAT. Tuberkulosis

yang tahan terhadap obat-obatan lebih sulit untuk menghilangkannya dan lebih

mahal untuk pengobatannya (CDC, 2016).

Pengobatan tuberkulosis meliputi 2 tahap, yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan (Kemenkes RI, 2014).

a. Tahap awal

Panduan pengobatan tahap ini secara efektif dapat menurunkan

jumlah kuman dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian

kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak pasien belum berobat.

Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2

bulan yang diberikan setiap hari. Jika pengobatan dilakukan secara teratur dan

tidak ada penyulit, kemampuan penularan sangat menurun dalam waktu

pengobatan 2 minggu (Kemenkes RI, 2014).

Panduan dosis pengobatan tuberkulosis pada tahap awal (Kemenkes

RI,2014):

1) Kategori 1: 2(HRZE) - 1 tablet Isoniasid (H) @300 mgr/hari; 1 kaplet

Rifampisin (R) @450 mgr/hari; 1 tablet Pirazinamid (Z) @500 mgr/hari;

dan 3 Tablet Etambutol (E) @250 mgr/hari


32

2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE) – 1 tablet Isoniasid @300 mgr/hari (2

bulan) atau 1 tablet Isoniasid (H) @300 mgr/hari (1 bulan) /hari; 1 kaplet

Rifampisin (R) @450 mg/hari (2 bulan) atau 1 kaplet Rifampisin (R)

@450 mg/hari (2 bulan) ; 3 tablet Pirazinamid (Z) @500 mgr/hari (2

bulan) atau 3 tablet Pirazinamid (Z) @500 mgr/hari (1 bulan); 3 tablet

Etambutol (E) @250 mgr/hari (2 bulan) atau 3 tablet Etambutol (E) @250

mgr/hari (1 bulan); Streptomi sin injeksi 0,75 gr/hari.

b. Tahap lanjutan

Pengobatan tahap ini sangat penting untuk membunuh sisa-sisa

kuman yang masih hidup dalam tubuh pasien, terutama kuman

persister, sehingga pasien dapt sembuh dan mencegah kekambuhan

(Kemenkes RI, 2014). Pedoman dosis pengobatan pada tahap ini 3x

seminggu.

1) Kategori 1: 4H3R3 – 2 tablet Isoniasid (H) @300 mgr dan 1 kaplet

Rifampisin (R) @450 mg

2) Kategori 2: 5H3R3E3 – 2 tablet Isoniasid (H) @300 mg; 1 kaplet

Rifampisin (R) @450 mgr; 1 tablet Pirazinamid (Z) @500 mgr; 1

tablet @ 250 mgr dan 2 tablet @ 400 mgr Etambutol (E)

2.2.9. Evaluasi hasil pengobatan

Evaluasi pengobatan penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologi,

radiologi, efek samping obat, dan evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006).

a. Evaluasi klinik

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan

selanjutnya setiap 1 bulan. Dievaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya


33

efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis

meliputi keluhan , berat badan, dan pemeriksaan fisis.

b. Evaluasi bakteriologi (pada bulan ke-0, 2, 6 / 9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik dilaksanakan sebelum

pengobatan dimulai; 2 bulan setelah pengobatan (tahap lanjut); dan pada

akhir pengobatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan biakan bisa dilakukan dan

uji resistensi.

c. Evaluasi radiologi (pada bulan ke-0 - 2 – 6 atau 9)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan sebelum pengobatan dan

setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan

kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada

akhir pengobatan.

d. Evaluasi efek samping secara klinik

Pemeriksaan efek samping sebaiknya dievaluasi sebelum pengobatan dan

setelah pengobatan. Pemeriksaan bisa dilakukan dengan menilai fungsi

hati, fungsi ginjal dan darah lengkap (DL). Pemeriksaan fungsi hati

meliputi SGOT, SGPT, dan bilirubin. Pemeriksaan fungsi ginjal meliputi

ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat.

e. Evaluasi keteraturan berobat

Pasien yang tidak melakukan pengobatan dengan teratur, dapat

menyebabkan masalah resistensi kuman tuberkulosis terhadap OAT.

f. Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien tuberkulosis yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi

minimal dalam jangka waktu 2 tahun pertama setelah sembuh. Hal yang
34

dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis

BTA dahak pada bulan ke 3, 6, 12 dan 24 (bila muncul gejala) setelah

dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah

dinyatakan sembuh (bila dicurigai TB kambuh). Pedoman Nasional

Pengendalian Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014) menjelaskan evaluasi

hasil pengobatan tuberkulosis dibawah ini.

a. Sembuh

Pasien tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologi

awal pengobatan hasilnya positif dan pada akhir pengobatan atau salah

satu pemeriksaan sebelumnya berubah negatif.

b. Pengobatan lengkap

Pasien tuberkulosis paru yang telah berobat secara lengkap dengan

salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif, namun

hal ini tidak ada bukti dari hasil pemeriksaan bakteriologi pada akhir

pengobatan.

c. Gagal

Pasien TB selama fase pengobatan diperoleh hasil pemeriksaan dahak

tetap positif atau kembali positif pada bulan 5/>5 atau selama pengobatan

diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.

d. Meninggal

Pasien tuberkulosis paru yang telah dinyatakan meninggal sebelum

pengobatan atau dalam fase pengobatan oleh sebab apapun.

e. Putus oba (drop out)

Pasien tuberkulosis paru yang tidak memulai pengobatan


35

setelah terdiagnosis tuberkulosis atau dalam fase pengobatan namun

terputus selama 2 bulan atau lebih dengan alasan apapun.

f. Tidak dievaluasi

Pasien tuberkulosis paru yang berobat, namun hasil akhir

pengobatannya tidak diketahui. Pasien yang termasuk dalam golongan ini

salah satunya pasien pindah ke kabupaten/kota lain dan tidak ada laporan

terkait hasil akhir pengobatannya yang diterima oleh kabupaten/kota yang

ditinggalkan.
36

2.4 Kerangka Berpikir

Faktor individu : Faktor lingkungan :


a. Usia a. Kepadatan hunian
b. Jenis kelamin b. Pebcahayaan
c. Tingkat pendidikan c. ventilasi Faktor yang mendukung
d. Pekerjaan d. Kondisi rumah Kepatuhan pasien:
e. Kebiasaan merokok e. Kelembaban udara
f. Status gizi f. Suhu a. Pendidikan
g. Kondisi sosial g. Ketinggian wilayah b. Akomodasi
ekonomi c. Modifikasi faktor
h. Perilaku lingkungan dan
social
d. Perubahan model
terapi
e. Meningkatkan
interaksi
Mycobacterium Tuberculosi profesional
kesehatan dengan
pasien
TB Paru/BTA Positif
Faktor yang
mempengaruhi
ketidakpatuhan :
Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB
a. Pemahaman
Paru
tentang insrtuksi
b. Kualitas interaksi
c. Isolasi sosial dan
Kepatuhan rendah
keluarga
Kepatuhan tinggi Kepatuhan sedang
d. Keyakian, sikap
dan kepribadian

Keterangan :

: Diteliti
: Tidak diteliti

Gambar 2.1 : Kerangka Teori Studi Kasus Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien
Tb Paru Di Puskesmas Keputih Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai