Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH SISTEM REPRODUKSI

Sistem Pelayanan Kesehatan


Pengawas Minum Obat (PMO)

Dosen Pembimbing:
Hj. Andri Tri K, SST. M.Kes
Disusun oleh: Kelompok 3
1.
2.
3.
4.
5.

Anisah Muallifah
Dewi Ratna Sari
Emilda Khulyatin
Ika Fitria N.
Jujuk Tutik H.

6.
7.
8.
9.

Nur Khoirun Nisa


Rifki Asrori
Siti N. Mahmudah
Vina Dwi Amalya

Kelas: 5 C

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES MUHAMMADIYAH LAMONGAN
TAHUN AJARAN 2015
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh
bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal. Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan
nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya (Trihono, 2005).
WHO menyatakan 22 negara dengan beban TBC tertinggi di dunia
50%nya berasal dari negara-negara Afrika dan Asia serta Amerika (Brasil).
Hampir semua negara ASEAN masuk dalam kategori 22 negara tersebut
kecuali Singapura dan Malaysia. Dari seluruh kasus di dunia, India
menyumbang 30%, China 15%, dan Indonesia 10% (Widoyono, 2008).
Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paruparu dan bronkus. TB paru tergolong penyakit air borneinfektion yang dapat
masuk kedalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru-paru.
Kemudian kuman menyebar dari paru-paru kebagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limpe, melalui bronkus atau
penyebaran

langsung

kebagian

tubuh

lainnya

(Faisalado

Candra

Widyanto dan Cecep Triwibowo, 2013).


Penggunaan obat yang benar sesuai dengan jadwal (kepatuhan) sangat
penting untuk menghindari timbulnya jenis TB Paru yang resisten agar
memastikan kepatuhan, terutama pada fase lanjutan setelah kita merasa
sembuh. WHO menerapkan Strategi DOTS (Directly Observed Therapy Short
Course atau pengobatan dengan pengawas langsung). Pengawasan ini
dilakukan oleh Pengawas Minum Obat atau PMO, yang bertugas untuk
mendampingi pasien dalam menjalani pengobatan sampai tuntas. Seorang
anggota keluarga atau petugas kesehatan yang mudah terjangkau oleh pasien

TB Paru dapat mamainkan peranan sebagai PMO. Dengan didampingi PMO


dalam setiap minum obat diharapkan angka kesembuhan minimal 85% dari
kasus baru BTA Positif (Yayasan Spiritia, 2006, HIV dan TBC)
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu pengertian PMO (Pengawas Minum Obat)?
2. Apa saja tugas PMO (Pengawas Minum Obat)?
3. Apa itu peranan keluarga sebagai PMO (Pengawas Minum Obat)?
4. Apa itu kepatuhan berobat?
5. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan?
6. Apa saja yang dapat mengurangi ketidak patuhan?
7. Aplikasi apa saja?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu pengertian PMO (Pengawas Minum Obat)
2. Untuk mengetahui apa saja tugas PMO (Pengawas Minum Obat)
3. Untuk mengetahui apa itu peranan keluarga sebagai PMO (Pengawas
4.
5.
6.
7.

Minum Obat)
Untuk mengetahui apa itu kepatuhan berobat
Untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Untuk mengetahui apa saja yang dapat mengurangi ketidak patuhan
Untuk mengetahui aplikasi apa saja

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengawas Minum Obat (PMO)
2.1.1 Pengertian PMO
Menurut Depkes RI (1999) PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan
dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita tuberkulosis dalam
meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,
tetangga, kader atau tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.
Pengawas Minum Obat merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin kepatuhan penderita untuk minum obat sesuai dengan dosis dan
jadwal seperti yang telah ditetapkan.
2.1.2 Tugas Pengawas Minum Obat

Menurut Depkes RI (1999), seseorang yang telah ditunjuk menjadi


PMO mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1) Mengikuti pelatihan singkat dari petugas kesehatan mengenai penyakit
atau bahayanya tuberkulosis, mengenai perlunya minum obat dengan
teratur dan penyelesaian pengobatan sesuai jadwal, perlunya evaluasi
dahak dan efek samping obat serta kapan harus meminta pertolongan.
2) Mengawasi minum obat harian di rumah
3) Mencatat obat yang telah diminum dan mencatat keluhan yang dialami
penderita.
4) Ikut serta dalam pengambilan obat berikutnya sebelum obat habis dan
ikut dalam pemeriksaan dahak penderita.
5) Memberi motivasi ke penderita supaya tidak terjadi kegagalan berobat
serta menjadi penyuluh kesehatan.
2.2 Peranan Keluarga sebagai PMO
Menurut Mangunnegoro dan Suryatenggoro (1994) dalam pengawasan
pengobatan, petugas kesehatan harus mengikutsertakan keluarga supaya
pasien dapat berobat secara kontinyu. Dukungan keluarga dan masyarakat
mempunyai andil yang besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan
penderita (Becher, 1997).
Peran keluarga yang dapat dilakukan dalam perawatan penderita
tuberkulosis di rumah yaitu sebagai PMO, pengawas penampungan dahak,
mengawasi dan membantu membersihkan alat-alat makan dan minum
penderita serta menepati janji kontrol (Noviadi, 1999).
Perawatan penderita TB paru di rumah yang dapat dilakukan oleh
keluarga meliputi:
1) Mengawasi anggota keluarga yang sakit untuk menelan obat secara
teratur sesuai dengan anjuran petugas kesehatan.
2) Mengetahui adanya gejala atau efek samping obat dan merujuk
penderita kalau perlu.
3) Memberikan makanan yang bergizi.
4) Memberikan waktu istirahat kepada anggota keluarga yang sakit
minimal 8 jam sehari.
5) Olah raga yang teratur di tempat yang berudara segar.
6) Memeriksakan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan ke 2, 5
dan 6.

7) Memodifikasi

lingkungan

yang

dapat

mendukung

kesembuhan

penderita TB paru antara lain mengupayakan rumah yang memenuhi


syarat kesehatan, misalnya: mempunyai jendela atau ventilasi yang
cukup, bebas debu rumah dan lantai tidak lembab.
2.3 Kepatuhan berobat
2.3.1 Pengertian Kepatuhan
Menurut Sackett dikutip Niven (2002), mendefinisikan kepatuhan
pasien yaitu sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan profesional kesehatan.
Kepatuhan berobat adalah tingkah perilaku penderita dalam mengambil
suatu tindakan atau upaya untuk secara teratur menjalani pengobatan
(Muzaham, 1995). Menurut penelitian Rusmani (2002) menyebutkan bahwa
kepatuhan adalah suatu perbuatan untuk bersedia melaksanakan aturan
pengambilan dan minum obat sesuai jadwal yang telah ditetapkan
Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan
pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6
bulan sampai dengan 8 bulan (Depkes RI, 2002), sedangkan penderita yang
tidak patuh datang berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak
dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2002).
Menurut Snider dikutip Aditama (1997) menyatakan bahwa salah satu
indikator kepatuhan penderita adalah datang atau tidaknya penderita setelah
mendapat anjuran kembali untuk kontrol. Seorang penderita dikatakan patuh
menjalani pengobatan apabila minum obat sesuai aturan paket obat dan
ketepatan waktu mengambil obat sampai selesai masa pengobatan.
Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih 3 hari 2 bulan dari
tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan berturutturut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes RI,
2002).
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Menurut teori Green dikutip Nukman (1997), perilaku kepatuhan
berobat dipengaruhi oleh:
1) Faktor yang mendasar atau faktor yang ada dalam diri individu yang
mempengaruhi perilaku kepatuhan (predisposing factors) antara lain :

a. Pengetahuan mengenai penyakitnya, sikap dan tekad untuk sembuh


dari penderita.
b. Tingkat pendidikan penderita.
Makin rendahnya pengetahuan dan pendidikan penderita tentang
bahaya penyakitnya, dan pentingnya berobat secara tuntas untuk
dirinya, makin besar pula bahaya penderita menjadi sumber
penularan baik di rumah maupun di lingkungan sekitar (Entjang,
2000).
2) Faktor yang memperkuat atau faktor yang mendorong (reinforcing
factors) antara lain adanya dukungan atau motivasi dari keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitar. Menurut Becher (1997) dukungan
keluarga dan masyarakat mempunyai andil yang besar dalam
meningkatkan kepatuhan pengobatan penderita. Program pengendalian
penderita (case holding) berupa usaha pengobatan secara teratur sampai
mencapai kesembuhan, salah satu upayanya adalah menentukan seorang
pengawas bagi tiap penderita, dipilih dari anggota keluarganya yang
berwibawa atau seseorang yang tinggal dekat rumah yang bertugas
untuk memantau dan memotivasi penderita.
3) Faktor yang mendukung (enabling factors) antara lain :
a. Tersedianya fasilitas kesehatan.
b. Kemudahan untuk menjangkau sarana kesehatan.
c. Keadaan sosial ekonomi atau budaya.
Menurut penelitian Aditama (1997), menyebutkan bahwa lingkungan
atau jarak yang jauh dari tempat pelayanan kesehatan memberika kontribusi
rendahnya kepatuhan, sebagian responden memilih faslitas kesehatan yang
relatif dekat dengan rumahnya. Keadaan sosial ekonomi yang rendah dapat
menghambat keteraturan berobat, hal ini dapat diperberat dengan jarak yang
jauh dari pelayanan kesehatan sehingga memerlukan biaya transportasi.
Sementara itu menurut Niven (2002), bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidakpatuhan digolongkan menjadi 4 bagian, yaitu:
1) Pemahaman klien terhadap instruksi.
Jika klien paham terhadap intruksi yang diberikan padanya maka klien
tidak dapat mematuhi intruksi tersebut dengan baik. Terkadang hal ini
dapat di sebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam

memberikan informasi yang lengkap, banyak menggunakan istilah


medis dan banyak memberikan instruksi yang harus di ingat oleh klien.
2) Kualitas interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan klien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan, dari hasil
penelitiannya dikemukakan adanya kaitan yang erat antara kepuasan
konsultasi dengan kepatuhan.
3) Keluarga.
Keluarga dapat menjadikan faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga
menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
Keluarga juga memberikan dukungan dan membuat keputusan
mengenai perawatan dari anggota yang sakit, serta menentukan
keputusan untuk mencari dan mematuhi anjuran pengobatan.
4) Keyakinan, Sikap dan Kepribadian
Klien yang tidak patuh adalah orang-orang yang mengalami depresi,
ansietas, memiliki kekuatan ego lebih lemah dan kehidupan sosialnya
lebih memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri.
2.3.3 Mengurangi Ketidak Patuhan
Menurut Dinicola dan DiMatteo dikutip Niven (2002), mengemukakan
4 rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien:
1) Menumbuhkan kepatuhan dengan mengembangkan
kepatuhan.
Klien akan

dengan

senang

hati

mengungkapkan

tujuan
tujuan

kepatuhannya, jika pasien memiliki keyakinan dan sikap positif


terhadap tujuan tersebut serta adanya dukungan dari keluarga dan
teman terhadap keyakinannya tersebut.
2) Mengembangkan strategi untuk merubah

perilaku

dan

mempertahankannya.
Sikap pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap
dirinya, evaluasi diri dan penghargaan tergadap perilaku yang baru
tersebut.

3) Mengembangkan kognitif.

Pengembangan kognitif tentang masalah kesehatan yang dialami,


dapat membuat pasien menyadari masalahnya dan dapat menolong
mereka berperilaku positif terhadap kepatuhan
4) Dukungan social
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota
keluarga lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam
kepatuhan terhadap program-program medis.

Keluarga dapat

mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan


dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.

BAB 3
APLIKASI CONTOH
PADA PASIEN TUBERKULOSIS (TBC)
3.1 Tuberkulosis
3.1.1 Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang
tetapi dapat juga mengenai organ lain.

3.1.2 Tanda dan Gejala


Gejala utama tuberkulosis adalah batuk berdahak terus menerus selama
3 minggu atau lebih. Tanda dan gejala tambahan lain berupa keluar dahak
bercampur darah (batuk darah), sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan,
berkeringat malam hari walau tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan.
3.1.3 Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif, pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk
kedalam tubuh manusia, kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian
tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem limfe, saluran nafas atau
penyebaran langsung ke bagian-bagaian tubuh lainnya
3.1.4 Komplikasi
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut:
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik dan tersumbatnya
jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4) Pneumothorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian dan
ginjal.
3.2 Pengobatan Tuberkulosis
3.2.1 Tujuan Pengobatan

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah menyembuhkan penderita,


mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat
penularan (Depkes RI, 1997).
3.2.2 Prinsip Pengobatan
Obat TBC di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman
dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai
dosis tunggal, sebaiknya dalam keadaan perut kosong. Apabila paduan obat
yang di gunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan)
kuman TBC dapat berkembang menjadi kuman yang kebal obat (resisten).
Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
pengawasan langsung oleh PMO.
Pada tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT
terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut di berikan secara
tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negative
(Konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap
intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten. Pada tahap
lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
3.2.3 Jenis dan Dosis OAT
Paduan OAT yang dipakai, diprogram sesuai dengan rekomendasi
WHO berupa pasuan OAT jangka pendek yang terdiri dari 3 kategori yaitu:
kategori I, II, dan III, sesuai hasil uji BTA sputum dan pemeriksaan radiologi.
Setiap kategori terdiri 2 fase pemberian yaitu fase awal (intensif) dan fase
lanjutan (intermitten). Berikut ini kategori OAT yang meliputi:
1) OAT kategori I
a. Indikasi
(1) Diindikasikan untuk penderita TB Paru menular (baru

ditemukan dan belum pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan)


dan

pada

pemeriksaan

dahaknya

secara

mikroskopis

menunjukkan Basil Tahan Asam (BTA) positif 2 kali atau 3 kali


pemeriksaan dahak.
(2) Diindikasikan untuk penderita baru dengan BTA negatif, tetapi
menunjukkan gejala positif pada pemeriksaan roentgen.
b. Fase awal
Satu blister kombipak II, diminum setiap hari (intensif) terdiri dari:
(1) Isoniazid @ 300 mg = 1 dosis/hari.
(2) Rifampisin @ 450 mg = 1 dosis/hari.
(3) Pirazinamid @ 500 mg = 3 dosis/hari.
(4) Ethambutol @ 200 mg = 3 dosis/hari.
Lama pengobatan 2 bulan, jumlah minum obat sebanyak 60 kali
menelan obat dilanjutkan fase lanjutan 1 dosis harian kombipak III
selama 3 kali selama 4 bulan berikutnya (54 kali menelan obat).
c. Fase lanjutan
Satu blister kombipak III sehari, diminum 3 kali seminggu
(intermiten) terdiri dari:
(1) Isoniazid @ 300 mg = 2 dosis/hari.
(2) Rifampisin @ 450 mg = 1 dosis/hari.
Selama pengobatan kategori I diharuskan menelan OAT secara
teratur sesuai jadwal terutama pada fase awal pengobatan untuk
menghindari terjadinya kegagalan pengobatan (setelah selesai jadwal
rangkaian sesuai dengan aturan, pada pemeriksaan mikroskopis
menunjukkan BTA positif) dan terjadi BTA positif lagi setelah
dinyatakan sembuh dan diusahakan untuk menyelesaikan menelan
OAT sesuai jadwal pengobatan selama 6bulan (114 kali menelan
obat).
2) OAT kategori II
a. Indikasi
Diindikasikan untuk penderita yang kambuh dan gagal pengobatan

yaitu pada pemeriksaan dahaknya secara mikroskopis menunjukkan


BTA positif setelah dinyatakan sembuh dari TB paru.
b. Dosis dan komposisi OAT kategori II:
(1) Fase awal atau intensif, kombipak II terdiri dari :
(a) Isoniazid (H) @ 300 mg = 1 dosis/hari.
(b) Rifampisin (R) @ 450 mg = 1 dosis/hari.
(c) Pirazinamid (Z) @ 500 mg = 3 dosis/hari.
(d) Etahmbutol (E) @ 250 mg = 3 dosis/hari.
Satu dosis harian kombipak II setiap hari selama 3 bulan (90
kali menelan obat).
(e) Sterptomisin (S) = @ 0,75 gr = dosis/hari 0,5 vial injeksi

diberikan selama 2 bulan pertama (60 kali suntikan).


(2) Fase lanjutan atau intermitten terdiri dari :
(a) Isoniazid (H) @ 300 mg = 2 dosis/hari.
(b) Rifampisin (R) @ 450 mg = 1 dosis/hari.
(c) Ethambutol (E) 1200 mg = 2 dosis/hari @ 500 mg dan 1
dosis/hari 250 mg.
Dalam 1 dosis harian kombipak IV, seminggu 3 kali selama 5
bulan (66 kali menelan obat).
3) OAT kategori III
a. Indikasi
Untuk penderita baru TB paru dengan BTA negatif dan radologi
positif.
b. Dosis
(1)Pada fase awal.
Satu dosis harian kombipak I setiap hari selama 2 bulan (60 kali
menelan obat) yang terdiri dari:
(a) Isoniazid (H) @ 300 mg = 1 dosis/hari.
(b) Rifampisin (R) @ 450 mg = 1 dosis/hari.
(c) Ethambutol (E) @ 500 mg = 3 dosis/hari.
(2)Pada fase lanjutan

Satu dosis harian kombipak III seminggu 3 kali selama 4 bulan


(54kali menelan) obat terdiri dari:
(a) Isoniazid (H) @ 300 mg = 2 dosis/hari
(b) Rifampisin (R) @ 450 mg = 1 dosis/hari.
3.2.4 Kemampuan Komunikasi Pengawas Menelan Obat (PMO)
Komunikasi yang baik dengan penderita tuberkulosis paru ikut
menentukan tingkat keberhasilan Pengawas Menelan Obat (PMO) dalam
menjalan tugas, fungsi dan perannya. Hal-hal yang perlu dikomunikasikan
PMO kepada penderita tuberkulosis paru adalah tentang: 1) adanya keluhan
selama penggunaan obat, 2) menanyakan adanya efek samping yang dialami
selama penggunaan obat, 3) mengingatkan untuk selalu minum obat sesuai
dengan aturan yang telah ditentukan, dan 4) komunikasi dengan keluarga
tentang

cara

pengobatan,

perawatan

dan

resiko

penularan

yang

kemungkinan bisa terjadi pada anggota keluarga lainnya.


Parera (2008) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi PMO
dengan penderita tuberkulosis adalah sejauh mana informasi-informasi
penting yang harus di terima oleh penderita dan keluarga bisa dilakukan
dengan efektif. Informasi tersebut meliputi :
a. Tuberkulosis disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan dan
kutukan.
b. Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
c. Cara penularan tuberkulosis, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke UPK.

BAB 4
KERANGKA TEORI

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Menurut Depkes RI (1999) PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan
dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita tuberkulosis dalam
meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,
tetangga, kader atau tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.

Peran keluarga yang dapat dilakukan dalam perawatan penderita


tuberkulosis di rumah yaitu sebagai PMO, pengawas penampungan dahak,
mengawasi dan membantu membersihkan alat-alat makan dan minum
penderita serta menepati janji kontrol (Noviadi, 1999).
Menurut Sackett dikutip Niven (2002), mendefinisikan kepatuhan
pasien yaitu sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan profesional kesehatan.
4.2 Saran
Makalah ini dibuat dari beberapa sumber dan masih banyak sumber
yang dapat menambah pengetahuan pembaca, oleh karena itu disarankan
agar lebih giat membaca beberapa sumber yang lain baik buku, website,
maupun jurnal.

Anda mungkin juga menyukai