Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PERILAKU PELAYANAN KEFARMASIAN

DISUSUN OLEH:
Diah Ekawati (20334704)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA – 2021
Perilaku Pasien Diabetes Melitus dalam Kepatuhan Minum Obat

Landasan Teori
Kepatuhan Pengobatan

1. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah adherence dan compliance

yang artinya mengikuti permintaan. Istilah compliance menyiratkan adanya otoritas dari dokter

dan pasien melaksanakannya dengan terpaksa (Sarafino, 1990). Saat ini istilah adherence

dianggap lebih memuaskan, karena konsep adherence menyiratkan usaha sukarela oleh

seseorang (Rodin & Salovey, dalam Smet, 1994).

Menurut Sarafino (1997) kepatuhan adalah suatu tingkatan perilaku pasien sehingga

menyelesaikan pengobatan yang direkomendasikan oleh praktisioner. Sedangkan WHO

(2003) menyebutkan kepatuhan adalah sejauh mana pasien mengikuti instruksi medis.

Haynes (dalam Clark, 2004) kepatuhan didefinisikan sebagai sejauh mana individu

mengikuti instruksi perawatan yang telah ditentukan untuk mereka. Sackett (dalam Niven,

2013) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan, kepatuhan adalah sebuah

perilaku yang sesuai dengan instruksi yang telah direkomendasikan oleh praktisi medis guna

tercapainya tujuan yang diinginkan. Seseorang dikatakan patuh apabila mau dengan sukarela

mengikuti nasehat yang diberikan oleh tenaga medis.


2. Pengobatan

Menurut Waspadji (2013) dalam pengelolaan diabetes terdapat dua langkah

pengobatan dan perawatan yang harus dilakukan, yaitu :

a. Pengelolaan non farmakologi

Pengelolaan secara non farmakologi yaitu pengelolaan tidak menggunakan obat-obatan.

Seperti perencanaan makan, pengaturan makan, pengontrolan glukosa darah dan kegiatan

jasmani secara teratur.

b. Pengelolaan farmakologi

Pengelolaan secara farmakologi yaitu penggunaan obat.

1) Hipoglikemik oral

Terdapat dua jenis obat hipoglikemik oral yaitu obat pemicu sekresi insulin (Sulfonilurea dan

Glind) dan obat penambah sensitivitas terhadap insulin (Biguanid, Tiazolidindion,

penghambat glukosidase alfa dan incretin mimetic, penghambat DPP-4)

2) Insulin

Pemberian insulin konvensional tiga kali sehari dengan memakai insulin kerja cepat, insulin

dapat pula diberikan insulin dengan dosis terbagi insulin kerja dua kali sehari dan kemudian

diberikan campuran insulin kerja cepat dimana perlu sesuai dengan respon kadar glukosa

darahnya.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan diabetes

melitus terdapat pengelolaan secara non farmakologis dan farmakologis.

3. Kepatuhan Pengobatan

Menurut Clark (2004) kepatuhan terhadap pengobatan adalah perilaku kesehatan yang

sangat kompleks. Masalah yang teridentifikasi meliputi individu gagal memulai terapi,
kurangnya menggunakan pengobatan atau berlebihan menggunakan pengobatan,

menghentikan pengobatan terlalu cepat, waktu yang salah dan melewatkan dosis (Ley and

Llewelyn dalam Clark, 2004).

Kegagalan untuk mengikuti program pengobatan jangka panjang yang bukan dalam

kondisi akut, dimana derajat ketidakpatuhan rata-rata 50% dan derajat tersebut bertambah

buruk seiring berjalanya waktu (Niven, 2013). Gordis (dalam Niven, 2013) mengatakan

bahwa perkiraan tentang kepatuhan yang dilakukan oleh profesional kesehatan dan laporan

yang disampaikan oleh pasien sendiri adalah tidak akurat.

Kepatuhan pengobatan dalam penelitian ini mengacu pada dua jenis pengobatan yaitu

kepatuhan pengobatan secara non farmakologi seperti diet, olahraga teratur dan menjaga

kebersihan. Selanjutnya kepatuhan pengobatan secara farmakologi seperti mengkonsumsi

obat-obatan.

4. Aspek-Aspek Kepatuhan Pengobatan

Menurut Niven (dalam Safitri, 2013), kepatuhan pada pasien dalam menjalani

pengobatan dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Tingkat pasien dalam menjalani pengobatan sesuai aturan yang terdiri dari:

1) Disiplin dalam minum obat

Meminum obat yang diresepkan dokter secara teratur sesuai dengan aturan

pemakaiannya. Tidak dicampur dengan obat lain tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan

dokter yang menanganinya.

2) Diet sesuai dengan anjuran dokter

Diet rendah gula seumur hidup sesuai dengan anjuran dokter dan ahli gizi. Bila

kelebihan berat badan maka adanya usaha untuk menurunkan berat badan secara bertahap
melalui cara yang benar. Kunci diet diabetes melitus adalah memilih karbohidrat yang

aman, mengurangi kandungan makanan dengan lemak yang tinggi yang dapat

meningkatkan kolesterol, meninggalkan makanan manis dan mengkonsumsi makanan

berserat.

3) Mengontrol kadar gula darah

Monitor diabetes menyangkut pengujian yang sistematis dan teratur terhadap tingkat

diabetes oleh pasien sendiri. Ini bisa dilakukan dengan bantuan lembar uji (test strips) baik

untuk urine maupun darah. Tujuan pengujian urine adalah untuk mendeteksi adanya

glukosa atau gula darah. Ini memungkinkan pasien untuk mengetahui apakah gula darah

mereka masih dalam jangkauan normal.

b. Tingkat pasien dalam menjalankan tingkah lakunya yang disarankan atau diperintahkan,

terdiri dari :

1) Kontrol ke dokter secara teratur

Pada penderita diabetes pemeriksaan darah untuk mengukur kadar gula darah

dianjurkan setiap bulan.

2) Olahraga secara benar dan teratur

Melakukan olahraga secara teratur tetapi jangan berlebihan. Olahraga yang

dilakukan sebaiknya mengikuti prinsip FITT (frekuensi, intensitas, tempo dan tipe)

berikut :

a) Frekuensi

Lakukan 3-5 kali seminggu dengan teratur. Lebih baik bila selang sehari dipakai

untuk istirahat memulihkan kembali ketegangan otot.

b) Intensitas

Memilih jenis olahraga yang bersifat ringan hingga sedang yaitu dengan
menghasilkan 60-70 persen detak jantung maksimum.

c) Tempo

Lamanya berolahraga adalah sekitar 30-60 menit.

d) Tipe

Jenis olahraga yang baik bagi penderita diabetes adalah berjalan kaki, bersepeda

dan berenang.Selain dapat mengontrol kadar gula darah, olahraga juga membantu

menurunkan berat badan, memperkuat jantung dan mengurangi stres.

3) Menjaga kebersihan

Bagi penderita diabetes menjaga kebersihan anggota badan terutama

kebersihan kaki dan tangan memerlukan perhatian khusus. Karena pada penderita telah

terjadi kerusakan pada saraf akibat kadar gula darah, sehingga terjadi kesemutan, nyeri

dan akhirnya mati rasa pada kaki dan tungkai. Hal ini berbahaya bila terjadi infeksi,

penderita tidak akan merasakan lagi, dan infeksi tersebut akan mudah berkembang

ketempat lain. Menjaga kebersihan kaki juga sangat penting terutama setelah

berolahraga, karena kemungkinan besar terjadi gesekan kaki dengan sepatu yang

mengakibatkan lecet pada kaki.

5. Faktor-Faktor Kepatuhan Pengobatan

Menurut Niven (2013) faktor kepatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu :

a. Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang

diberikan padanya. Ley dan Spelman (dalam Niven, 2013) menemukan bahwa lebih dari 60%

yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang

diberikan pada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam
memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak

memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien. Pendekatan praktis untuk mempengaruhi

kepatuhan pasien ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo yaitu:

1) Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

2) Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal hal lain.

3) Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat, maka akan

ada efek “keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.

4) Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non-medis) dan hal-hal penting perlu

ditekankan.

b. Kualitas interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting

dalam menentukan derajat kepatuhan. Pentingnya keterampilan interpersonal dalam memacu

kepatuhan terhadap pengobatan secara garis besar ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo

(dalam Niven, 2013) : Riset tentang faktor-faktor interpersonal yang mempengaruhi kepatuhan

terhadap pengobatan menunjukkan pentingnya sensitivitas dokter terhadap komunikasi verbal

dan non verbal pasien dan empati terhadap perasaan pasien, akan menghasilkan suatu

kepatuhan sehingga akan menghasilkan kepuasan.

c. Isolasi sosial dan keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan

nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat

mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai

perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

d. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran


kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar

dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-orang yang tidak patuh

adalah orang-orang yang mengalami depresi, kecemasan, sangat memperhatikan kesehatannya,

memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan

perhatiannya

pada diri sendiri. Kekuatan ego yang lemah ditandai dengan kekurangan dalam hal

pengendalian diri sendiri dan kurangnya penguasaan terhadap lingkungan. Pemusatan terhadap

diri sendiri dalam lingkungan sosial mengukur tentang bagaimana kenyamanan seseorang

berada dalam situasi sosial. Blumenthal dkk (dalam Niven, 2013) menyatakan bahwa ciri-ciri

kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh

(drop out) dari program pengobatan.

Dari pemaparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara profesional

kesehatan dan pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan dan kepribadian

seseorang berperan dalam menentukan respon pasien terhadap anjuran pengobatan.

B. Efikasi Diri (Self Efficacy)

1. Pengertian Efikasi Diri

Efikasi diri merupakan gagasan kunci dari teori sosial kognitif (social cognitive

theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Bandura (1994) mendefinisikan efikasi diri

sebagai keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas

tertentu yang dibutuhkan untuk mendapat hasil yang sesuai yang diharapkan.

Menurut Clark dkk (dalam Mashburn, 2012) efikasi diri juga didefinisikan sebagai

peningkatan kepercayaan diri yang mempengaruhi pilihan untuk melakukan tugas-tugas yang

lebih menantang.Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa efikasi diri merujuk pada
keyakinan individu bahwa ia mampu mengerjakan tugas, mencapai sebuah tujuan, atau

mengatasi sebuah hambatan.

American Society of Consultant Pharmacists (2006) mengartikan efikasi diri sebagai

kepercayaan dalam kemampuan seseorang untuk melaksanakan perilaku yang ditargetkan

dan sejauh mana perilaku tersebut sebenarnya dilakukan seseorang dengan benar.Sedangkan

menurut Pervin (dalam Smet, 1994) efikasi diri mengacu pada kemampuan yang dirasakan

untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi khusus. Menurut Schwarzer

(dalam Schwarzer dan Luszczynska, 2005) keyakinan efikasi diri adalah kognisi yang

menentukan apakah perubahan perilaku kesehatan akan dimulai, berapa banyak usaha akan

dikeluarkan, dan berapa lama akan dipertahankan dalam menghadapi rintangan dan

kegagalan. Selanjutnya Schwarzer dkk (2005) menyatakan bahwa orang dengan efikasi diri

yang tinggi memilih untuk melakukan tugas-tugas yang lebih menantang.

Bandura juga telah mempraktekkan konstruk efikasi diri dalam bidang kesehatan.

Efikasi diri terkait dengan aspek fisiologis kesehatan: orang yang tidak memiliki efikasi diri

mengalami stress yang berdampak pada kesehatan dan sistem imunnya. Efikasi diri juga

terkait dengan potensi individu untuk berperilaku sehat:orang yang tidak yakin bahwa

mereka dapat melakukan suatu perilaku yang dapat menunjang kesehatan akan cenderung

enggan mencobanya (Friedman & Schustack, 2008).

Badan Kesehatan Dunia menyatakan efikasi diri adalah prediktor signifikan dari

kepatuhan pengobatan. Pernyataan WHO tersebut juga didukung oleh hasil penelitian yang

telah dijelaskan diatas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa efikasi diri sangat diperlukan

untuk melakukan perubahan perilaku penderita diabetes melitus tipe 2. Perilaku yang sangat

penting bagi diabetesi adalah kepatuhan pengobatan, dimana perilaku ini sangat erat kaitanya

dengan kemauan dan keyakinan dari diabetesi itu sendiri


Efikasi diri bervariasi dari satu situasi ke situasi lain, tergantung pada kompetensi

yang dibutuhkan untuk kegiatan yang berbeda; ada atau tidaknya orang lain; kompetensi

yang dipersepsikan dari orang lain tersebut; predisposisi dari orang tersebut yang lebih

condong terhadap kegagalan atas performa daripada keberhasilan; kondisi psikologis yang

mendampinginya, terutama adanya rasa kelelahan, kecemasan, apatis, dan ketidakberdayaan.

Efikasi diri yang tinggi dan yang rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan

tidak responsif untuk menghasilkan empat variabel prediktif (Bandura dalam Fiest dan Fiest,

2009).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sacco dan Kolega pada tahun 2007 yang

mempelajari konstruk efikasi diri Bandura dan hubunganya dengan penyakit diabetes melitus

tipe 2. Penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi peran efikasi diri sebagai variabel yang

dapat meningkatkan kebertahanan terhadap rencana pengelolaan penyakit serta penurunan

gejala kesehatan fisik dan mental. Mereka memprediksikan bahwa semakin tinggi efikasi

diri yang dirasakan pasien, lebih memungkinkan mereka untuk bertahan dengan rencana

pengelolaan penyakit mereka, sehingga membuat mereka merasa lebih baik (Fiest dan Fiest,

2009).

Penelitian Sacco dan Kolega mengambil sampel orang dewasa yang didiagnosis

diabetes melitus tipe 2. Hasil dari penelitian ini secara jelas memperlihatkan seberapa penting

efikasi diri dalam pengelolaan penyakit kronis. Tingkat yang lebih tinggi dalam efikasi diri

berhubungan dengan kadar depresi yang rendah, peningkatan dalam instruksi dokter, serta

gejala diabetes yang lebih sedikit dan berkurang tingkat keparahannya.

2. Dimensi Efikasi Diri (Self Efficacy)

Menurut Bandura (dalam Ghufron dan Risnawati, 2012) dimensi efikasi diri ada tiga yaitu :

a. Level, berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan dan keyakinan
seseorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas

yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam

memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas.

b. Generality, generality merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada

kontek tugas yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.

c. Strength, merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai keyakinan yang dimiliki. Hal

ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya.

Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya

untuk mengerjakan sesuatu tugas akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak

mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap efikasi diri

yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu

itu pula. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan

tangguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga dimensi efikasi

diri yaitu level, generality dan strength. Selanjutnya Van Der Bijl dkk mengembangkan skala

Diabetes Management Self Efficacy yang kemudian diuji cobakan pada populasi yang berada

di Belanda dan Inggris.

Skala Diabetes Management Self Efficacy yang asli terdiri dari 20 aitem dengan

menggunakan format respon skala Likert. Pada tahun 2006 skala Diabetes Management Self

Efficacy kemudian dimodifikasi oleh Kara, Van Der Bijl, Baggett, Asti dan Erguney, dengan

menggunakan tiga faktor yaitu diet dan mengontrol kaki, perawatan medis atau kontrol, dan

latihan fisik. Penelitian ini mengukur efikasi diri menggunakan skala Diabetes Management

Self Efficacy yang dimodifikasi oleh Kara, Van Der Bijl, Baggett, Asti dan Erguney yang

disusun menurut dimensi efikasi diri dari Bandura.


Diabetes Mellitus

Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan sindrom kronik gangguan metabolisme karbohidrat akibat
sekresi insulin yang tidak mencukupi atau adanya resistensi insulin di jaringan target.12 Menurut
American Diabetes Association (ADA) tahun 2015, DM merupakan suatu penyakit kronis yang
kompleks dan membutuhkan penanganan medis yang berkelanjutan dengan strategi menurunkan
faktor risiko yang multi faktor bersama dengan kontrol gula darah.

Etiologi

Penyebab DM biasanya disebabkan oleh interaksi yang kompleks dari faktor genetik seperti
kelainan genetik yang disebabkan oleh locus HLA pada kromosom 6p21dan faktor lingkungan
seperti infeksi virus, pola hidup dan diet. Faktor tersebut berperan pada peningkatan kadar gula
darah termasuk menurunkan sekresi insulin, penggunaan glukosa oleh sel dan peningkatan produksi
glukosa.

Epidemiologi

Pada tahun 2014 International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan 4,9 juta kematian yang
disebabkan langsung oleh DM.14 Sedangkan prevalensi DM secara global diperkirakan 9% pada
orang dewasa dengan umur di atas 18 tahun.14 Lebih dari 7,7% orang hidup dengan DM di negara
low- dan middle – income. Lebih dari 79.000 anak lahir dengan DM tipe 1 pada tahun 2013. 14
Epidemiologi DM tipe 1 sekitar 5% - 10% dari keseluruhan kasus di dunia15 dan epidemiologi DM
tipe 2 di seluruh dunia sekitar 90%.3

Klasifikasi

Klasifikasi DM dikategorikan berdasarkan proses patogenesisnya yang menyebabkan terjadinya


hiperglikemia. DM diklasifikasikan menjadi dua tipe utama yaitu DM tipe 1 dan 2. Klasifikasi DM
lainnya adalah Gestational Diabetes Mellitus (GDM) yang disebabkan oleh peningkatan glukosa
pada saat kehamilan.5 Menurut Konsensus Perkeni tahun 2011, klasifikasi DM dapat dibagi

menjadi menjadi 4 tipe yaitu:

DM tipe 1 (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus)


Penyebab DM tipe satu yaitu dikarenakan adanya destruksi sel beta pankreas yang umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh autoimun dan idiopatik.

DM tipe 2 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)

Penyebab dari DM tipe 2 bervariasi, mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan efek sekresi insulin.

DM tipe lain

DM tipe lain disebabkan oleh banyak penyebab, diantaranya dikarenakan defek genetik fungsi sel
beta pankreas, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrineopathy, obat dan
zat kimia dan infeksi.

DM Gestational

Biasanya terjadi pada minggu ke 24 – 28 kehamilan, DM gestational terjadi akibat adanya


perubahan-perubahan fisiologis selama kehamilan yang menyebabkan terjadi perubahan kinetika
dan resistensi terhadap efek insulin.

Diagnosis

Untuk mendiagnosis DM dapat digunakan kriteria diagnosis yang berdasarkan kepada kadar
glukosa di dalam darah yaitu dengan pengukuran glycohemoglobin atau HbA1C, Fasting Plasma
Glucose (FPG), Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) dan Random Plasma Glucose Test. Pasien di
diagnosis DM jika salah satu hasil tes HbA1C nya ≥ 6,5%, FPG ≥ 126 mg/dl, OGTT ≥ 200 mg/dl,
Random Plasma Glucose Test ≥ 200 mg/dl.

Patogenesis DM

Patogenesis DM tipe 1

DM tipe 1 merupakan suatu penyakit autoimun yang merusak islet yang disebabkan oleh sel efektor
imun yang bereaksi melawan antigen endogen sel beta. DM tipe 1 bisa disebabkan oleh kelainan
genetik dan juga karena faktor lingkungan. Kelainan genetik disebabkan oleh locus HLA pada
kromosom 6p21. Locus HLA berkontribusi sekitar 50% dari terjadinya kelainan genetik pada DM
tipe 1. Faktor lingkungan yang berkontribusi dalam terjadinya DM tipe 1 terutama disebabkan oleh
infeksi virus yang mencetuskan destruksi cell islet.1 Ada tiga mekanisme faktor lingkungan
menjadi pencetus DM tipe 1 yaitu:
Kerusakan “bystander”, infeksi virus mencetus injury islet dan inflamasi yang menyebabkan
pelepasan antigen asing sel beta dan aktivasi dari sel T autoreaktif.

Virus memproduksi protein yang mirip dengan antigen sel beta dan respon imun terhadap protein
virus reaksi silang dengan jaringan itu sendiri. Infeksi virus terjadi pada saat lahir yang persisten
dan adanya re- infeksi oleh virus lain yang berhubungan yang menyebabkan respon imun yang
menyerang sel islet yang terinfeksi.

Faktor-faktor ini selanjutnya akan menyebabkan kerusakan pada sel islet pankreas sehingga
produksi insulin pun berhenti yang mengakibatkan terjadinya DM tipe 1.

Patogenesis DM tipe 2

Patogenesis DM tipe 2 dimulai dari resistensi insulin yang disebabkan oleh obesitas yang
menurunkan sensitivitas jaringan terhadap insulin dan berefek pada homeostasis glukosa sistemis.
Glukosa yang tidak dapat masuk ke dalam sel akan bersirkulasi di dalam darah sehingga glukosa di
dalam darah menjadi tinggi yang mencetuskan DM tipe 2.

Faktor Risiko

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barbara Fletcher pada tahun 2002, faktor risiko yang
berpengaruh dan berkontribusi pada perkembangan pasien DM yaitu genetik, lingkungan, faktor
risiko metabolik, usia, obesitas dan kurang beraktivitas fisik.

Manajemen DM

Terdapat tiga komponen utama dalam manajemen DM, yaitu:

● Diet (dikombinasikan dengan olahraga jika memungkinkan)

● Terapi hipoglikemia oral

● Terapi insulin

Edukasi pada pasien DM adalah hal yang penting di setiap kasus DM. Untuk memastikan bahwa
terapi berjalan dengan tepat, pengetahuan dasar dibutuhkan oleh pasien, keluarga dan tenaga medis
untuk mencapai dan mem promote self-care.

Hiperglikemia

Definisi Hiperglikemia
Hiperglikemia menurut definisi berdasarkan kriteria DM yang dikeluarkan oleh International
Society for Pediatrics and Adolescent Diabetes (ISPAD) adalah Kenaikan Gula Darah (KD)
sewaktu ≥11.1 mmol/L (200 mg/dL) ditambah dengan gejala diabetes atau KGD puasa (tidak
mendapatkan masukan kalori setidaknya dalam 8 jam sebelumnya) ≥7.0 mmol/L (126 mg/dL).
Definisi lain hiperglikemia menurut World Health Organization (WHO) adalah KGD ≥126 mg/dL
(7.0 mmol/L), dimana KGD antara 100 dan 126 mg/dL (6,1 sampai 7.0 mmol/L) dikatakan suatu
keadaan toleransi abnormal glukosa.

Etiologi

1. Defisiensi insulin, sering dijumpai pada pasien DM tipe 1.

2. Penurunan responsivitas sel terhadap insulin, sering dijumpai pada pasien Diabetes Mellitus
tipe 2.

3. Stress kronis

4. Hipertiroid

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis hiperglikemia yaitu:

1.Sering merasa haus

2.Sering merasa lapar

3.Sering berkemih

4.Terdapat kelainan pada kulit, seperti gatal-gatal dan kulit kering

5.Kesemutan dan baal pada ujung tangan dan kaki.

6.Penurunan berat badan.

7.Mudah letih

8.Luka yang sulit sembuh.

Patofisiologi

Hiperglikemia bisa disebabkan oleh defisiensi insulin, respon sel terhadap insulin yang menurun
dan juga stress. Pada keadaan defisiensi insulin akibat proses autoimun terjadi kerusakan pankreas
yang disebabkan imun tubuh penderita menyerang pankreas yang mensekresikan hormone insulin,
akibatnya insulin dalam darah jadi berkurang sehingga glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel untuk
dijadikan energi sehingga glukosa meningkat. Pada keadaan ini, tubuh bereaksi dengan
mengeluarkan glukagon yang memulai proses glukoneogenesis dengan membentuk glukosa dari
pemecahan lemak. Glukosa yang baru terbentuk juga tetap tidak bisa masuk ke dalam sel
dikarenakan ketiadaan insulin sehingga tetap tinggal dan bersirkulasi di dalam aliran darah sehingga
menyebabkan hiperglikemia.

C. Penderita Diabetes Melitus Tipe 2

Menurut American Diabetes Association (ADA) dalam Soegondo (2013) diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau dua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,

terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik dimana tubuh tidak dapat memproduksi atau

memanfaatkan insulin dengan seharusnya (Hasan, 2008). Insulin merupakan hormon yang

dikeluarkan oleh pankreas yang mengontrol pergerakan glukosa kedalam sel dan metabolisme

glukosa. Disfungsi insulin ini menyebabkan kelebihan glukosa dalam darah yang dikeluarkan

melalui air seni. Secara epidemiologis diabetes sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset

atau mulai terjadinya diabetes adalah tujuh tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga

morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain

menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali

lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang

berubah secara epidemiologis diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih

lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia.

Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan

terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Soegondo, 2013). Diabetes mellitus type 2 atau Non-Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) terjadi ketika pankreas tetap menghasilkan insulin,

namun kadarnya lebih tinggi dan tubuh kebal atau menolak (resistant) terhadap hormon insulin

yang dihasilkan pankreas. Menurut Suyono (2013) terdapat beberapa faktor penyebab resistensi

insulin pada diabetes melitus tipe 2 yaitu obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel),

diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang gerak badan dan faktor keturunan (herediter).

Menurut Soegondo (2013) ada beberapa karakteristik diabetes melitus tipe 2 yaitu, Tidak

mudah terjadi ketoasidosis, Tidak harus dengan insulin, Onset lambat, Gemuk atau tidak gemuk,

Biasanya > 45 tahun, Tidak berhubungan dengan HLA, Tidak ada islet cell antibody (ica),

Riwayat keluarga (+) pada 30%, ± 100% kembar identik terkena.

Kerangka Pemikiran

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang belakangan ini jumlah

penderitanya semakin bertambah. Gaya hidup modern yang tidak sehat saat ini merupakan

pemicu utama dari semakin banyaknya penderita diabetes melitus, khususnya diabetes melitus

tipe 2. Penyakit diabetes melitus sampai saat ini tidak dapat disembuhkan, tetapi kadar gulanya

dapat dikendalikan.

Pengelolaan penyakit diabetes melitus ini akan berlangsung seumur hidup.

Ketidakpatuhan terhadap pengobatan diabetes melitus saat ini masih menjadi masalah besar yang

cukup penting dalam pengelolaan DM (Puspitasari 2012). Tingkat kepatuhan pasien DM tipe 2

dalam medikasi dan minum obat pada penderita memiliki peranan yang sangat penting dalam

mengendalikan kadar gula dalam darah.

Bagi penderita diabetes mematuhi pengobatan merupakan tantangan yang sulit bagi

diabetesi agar tidak terjadi komplikasi. Kepatuhan pengobatan adalah kesesuaian diatesi terhadap

anjuran atas medikasi yang telah diresepkan yang terkait dengan waktu, dosis, dan frekuensi.

Hubungan antara diaetesi, penyedia layanan kesehatan, dan dukungan sosial merupakan faktor
penentu interpersonal yang mendasar dan terkait erat dengan kepatuhan minum obat. Salah satu

faktor yang berperan dalam kegagalan pengontrolan glukosa darah pasien diabetes melitus tipe 2

adalah faktor ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan. Faktor yang mempengaruhi

ketidakpatuhan pengobatan dan penyakit antara lain faktor pasien, faktor demografi, sosio

ekonomi, durasi atau lamanya penyakit, dan keparahan penyakit (Hakim dkk, 2016).

Kepatuhan pada penderita DM ditunjukkan dengan kemampuan dalam melaksanakan cara

pengobatan yang disarankan oleh petugas kesehatan. sesuai dengan Haynes dan Rand (WHO,

2003) bahwa kepatuhan pengobatan didefinisikan sebagai perilaku seseorang ketika minum obat

beserta diet dan melakukan perubahan gaya hidup sesuai dengan persetujuan rekomendasi dari

penyedia layanan kesehatan.

Kemampuan penderita DM mengontrol kehidupannya dapat mempengaruhi tingkat

kepatuhan. Sebagai dampak dari kepatuhan adalah terkendalinya diabetes (Tombokan, dkk ,2005).

Niven (2013) menyatakan derajat ketidakpatuhan ditentukan oleh beberapa faktor seperti:

kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan, lamanya

waktu dimana pasien harus mematuhi nasehat, apakah penyakit tersebut benar

benar menyakitkan, apakah pengobatan tersebut terlihat berpotensi menyelamatkan hidup mereka

dan keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien dan bukan profesional kesehatan.

Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan perilaku kesehatan yang cukup sulit untuk dilakukan

oleh diabetesi. Terlebih jika diabetesi tidak memiliki tujuan yang jelas terhadap pengobatan. Salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan adalah efikasi diri. Individu

yang tidak memiliki efikasi diri mengalami stres yang berdampak pada kesehatan dan sistem

imun nya. Efikasi diri juga terkait dengan potensi individu untuk berperilaku sehat. Individu yang

tidak yakin bahwa mereka dapat melakukan suatu perilaku yang dapat menunjang kesehatan akan

cenderung enggan mencobanya (Friedman & Schustack, dalam Pertiwi 2015).


Efikasi diri yang dimiliki oleh individu akan mempengaruhi individu untuk mengambil

keputusan atas perilakunya. Efikasi diri sangat berperan terhadap proses kepatuhan akan

pengobatan. Efikasi diri pada pengobatan diabetes mellitus dapat meningkatkan kepatuhan dan

pencapaian untuk mengontrol kadar gula penderita. Pasien yang terancam oleh penyakitnya

adalah mereka yang memiliki kontrol metabolik yang buruk ,dan mereka yang memiliki perasaan

yang efikasi diri yang tinggi dapat mencapai kontrol yang lebih baik (Taylor, dalam Pertiwi

2015).

Efikasi diri juga berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bertindak untuk kesehatan

dirinya dan mengenai mindset perilaku kesehatan. Efikasi diri akan mempengaruhi pola pikir dan

dapat mengubah pola sikap seseorang sehingga dapat melakukan suatu tindakan (Febriana, 2009).

Efikasi diri adalah keyakinan tentang kemampuan untuk melakukan suatu tindakan yang

diharapkan, efikasi diri juga yang melatarbelakangi seseorang untuk melakukan suatu tindakan

atau mengontrol kondisi tertentu (Bandura, 1994).

Keyakinan diri atau efikasi diri (self efficacy) menurut Badan Kesehatan Dunia pada tahun

2003, merupakan prediktor signifikan dari kepatuhan pengobatan. Efikasi diri diartikan oleh

Pervin (dalam Smeet, 1994) sebagai kemampuan yang dirasakan untuk membentuk perilaku yang

relevan pada tugas atau situasi khusus. Untuk memutuskan perilaku tertentu akan dibentuk atau

tidak, seseorang tidak hanya mempertimbangkan informasi dan keyakinan tentang kemungkinan

kerugian atau keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan sampai sejauh mana dia mampu

mengatur perilaku tersebut.

Menurut Bandura (dalam Smeet, 1994) efikasi diri dapat mempengaruhi setiap tingkat dari

perubahan pribadi, baik saat individu tersebut mempertimbangkan perubahan kebiasaan yang

berkaitan dengan kesehatan, seberapa usaha yang dipilih, seberapa banyak perubahan, dan

seberapa baik perubahan yang akan dipelihara. Selain mempengaruhi kebiasaan yang berkaitan
dengan kesehatan, perasaan efikasi diri akan meningkatkan kekebalan terhadap stres dan depresi

dan mengaktifkan perubahan-perubahan biokimia yang dapat mempengaruhi berbagai macam

aspek dari fungsi kekebalan.

Efikasi diri sangat berperan terhadap bagaimana kesadaran diri penderita diabetes melitus

tipe 2 untuk melakukan perawatan diri dalam mengontrol gejala dan menghindari komplikasi.

Efikasi diri membantu penderita dalam menentukan pilihan, usaha untuk maju, serta kegigihan

dan ketekunan dalam mempertahankan tugas-tugas yang mencakup kehidupan penderita diabetes

melitus tipe 2 tersebut,

Dengan demikian semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki penderita diabetes melitus tipe

2 maka semakin tinggi pula kepatuhan pengobatan tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul “hubungan antara efikasi diri kepatuhan pengobatan

pada penderita diabetes melitus tipe 2 ”.

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang diajukan di atas peneliti merumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut: “Terdapat hubungan yang positif antara efikasi diri dengan kepatuhan

pengobatan pada penderita diabetes melitus tipe 2”. Artinya semakin tinggi efikasi diri seseorang

maka akan semakin tinggi tingkat kepatuhan pengobatan pada penderita diabetes melitus tipe 2

begitu sebaliknya, semakin rendah efikasi diri seseorang, maka akan semakin rendah pula

kepatuhan pengobatan pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Anda mungkin juga menyukai