Disusun oleh:
Kelompok 2
1. Annisa Zahra Putri (6411420008)
2. Silma Maya Yunita (6411420009)
3. Laura Marulia Subroto (6411420010)
4. Dewi Anjani (6411420011)
5. Safira Ristia Wahyu Ningrum (6411420012)
Nomor Rekomendasi
Barang
Judul dan 1 (a) Prediktor BTA non-konversi di antara pengobatan baru TB paru:
abstrak studi kasus control pusat tunggal di Indonesia
(b) LATAR BELAKANG: Penelitian-penelitian sebelumnya
menyimpulkan prediktor BTA non-konversi TB paru (TB) secara
global maupun di Indonesia. Namun, ada data yang terbatas dalam
pengaturan rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
prediktor TB paru BTA non konversi di rumah sakit.
Pengantar
Latar belakang/ 2 Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
alasan serius, termasuk dalam 10 besar penyebab kematian di dunia.
Diperkirakan 10 juta orang menderita TB paru dan 1,2 juta di
antaranya meninggal pada tahun 2018. Secara geografis, sebagian
besar kasus TB terjadi di Asia (44%). Indonesia menempati urutan
ketiga (8%), setelah India (27%) dan China (9%), yang menyumbang
kasus TB terbanyak di dunia. Yang mengejutkan, kasus TB di
Indonesia meningkat 70%, dari 331.703 pada tahun 2015 menjadi
563.879 pada tahun 2018.¹ Kegagalan pengelolaan TB paru sangat
disebabkan oleh keterbatasan sumber daya, rendahnya kualitas sistem
kesehatan, dan tingginya angka infeksi HIV.
Parameter penting dalam evaluasi penatalaksanaan TB paru adalah
angka kesembuhan dan angka konversi BTA. Pada tahun 2018, angka
kesembuhan TB di Indonesia adalah 71,08% yang mana lebih rendah
dari 85%, tingkat yang ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia.
Tingkat konversi noda juga sangat menurun dari 80,6% pada tahun
2013 menjadi 50,5% pada tahun 2014.
Penurunan tingkat konversi smear menyesuaikan dengan peningkatan
tingkat non-konversi smear. Smear non-konversi akan membuat
pengobatan lebih lama dan meningkatkan risiko resistensi obat,
kekambuhan, dan kematian, serta penularan TB ke orang lain. Telah
terbukti beberapa faktor, yaitu kepatuhan pasien, status merokok
diabetes mellitus (DM), koinfeksi HIV, dan penilaian BTA (BTA)
berhubungan dengan TB paru non-konversi BTA. Studi juga
menunjukkan bahwa tingkat konversi di Rumah Sakit Umum
Persahabatan, Jakarta, Indonesia adalah 90,8% pada tahun 2014 dan
Rumah Sakit Umum Pemerintah Sri Venkateswara Ramnarain Ruia,
Tirupati, India adalah 90,4%. Namun, penelitian tersebut tidak
menganalisis faktor risiko. Selain itu, penelitian lain melaporkan
bahwa efek samping obat, konsumsi alkohol, akses perawatan
kesehatan, pendapatan rumah tangga, dan karakteristik perumahan,
yaitu, kondisi perumahan, dan kepadatan perumahan dikaitkan dengan
hasil pengobatan TB.
Studi sebelumnya, menyimpulkan faktor risiko BTA non-konversi
pada TB. Namun, sejauh pengetahuan kami, masih ada kekurangan
data mengenai hubungan antara efek samping obat, konsumsi alkohol,
pendapatan rumah tangga, akses perawatan kesehatan, karakteristik
perumahan, dan non-konversi smear; Selain itu, beberapa data
diketahui di lingkungan rumah sakit Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui prediktor TB paru BTA non konversi.
Tujuan 3 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prediktor TB paru BTA non
konversi.
Metode
Desain studi 4 case-control
Pengaturan 5 Studi kasus kontrol ini dilakukan dari tahun 2017 hingga 2019. Data
sekunder diambil dari rekam medis dan lembar monitoring pasien TB,
sedangkan data primer diperoleh dari wawancara dan observasi
terhadap subjek yang tercatat di register TB paru di RSUD Dr. Rumah
Sakit Umum Kariadi. Semua prosedur yang dilakukan dalam
penelitian ini telah disetujui oleh Institutional Review Board
Committee, Departemen Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri
Semarang (No.052/KEPK/EC/2019). Semua subjek yang terlibat
dalam penelitian ini memberikan informed consent. Ukuran sampel
ditentukan untuk memenuhi sampel minimum sesuai dengan rumus
untuk kasus-kontrol penelitian yang diterbitkan sebelumnya. Tiga
puluh subjek dengan BTA non-konversi TB paru pengobatan baru
ditempatkan sebagai kelompok kasus, sedangkan dua kali ditempatkan
pada kelompok kontrol. Kedua kelompok ditambah minimal 10%
untuk antisipasi ketidaklengkapan, penolakan, dan hal lainnya.
Status non-konversi didefinisikan sebagai BTA positif persisten
setelah 2 bulan fase intensif pengobatan. Itu dikategorikan sebagai
kelompok kasus. Pemeriksaan apusan dilakukan terhadap tiga
spesimen apusan dahak, yaitu bercak pertama, bercak kedua, dan
sampel sputum pagi. Hasil ditentukan sebagai positif jika setidaknya
salah satu spesimen positif, sedangkan negatif jika semuanya negatif.
Subyek dengan hasil negatif kemudian dikategorikan sebagai
kelompok kontrol. Penelitian ini melibatkan subjek yang berusia lebih
dari atau sama dengan 15 tahun. Subyek dengan TB ekstra paru,
HIV/AIDS, atau status pengobatan ulang dikeluarkan dari penelitian.
Sebanyak 674 orang penderita TBC melakukan observasi langsung
pengobatan jangka pendek, yang tercatat di register TB RSUP Dr.
Kariadi dari tahun 2017 hingga 2019. Sedangkan penderita TB paru
terdiagnosis BTA positif sebanyak 254 orang. Di antara mereka, 209
subjek didiagnosis dengan status konversi. Subyek pada kelompok
kontrol diperoleh secara berurutan dari kunjungan terakhir ke rumah
sakit sampai diperoleh jumlah yang ditentukan.
Data sekunder dikumpulkan untuk menentukan status non-konversi
apusan dan karakteristik subjek. Karakteristik subjek meliputi usia,
jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), tingkat pendidikan, dan
status pekerjaan. Tingkat pendidikan dikategorikan tinggi dan rendah.
Pendidikan tingkat tinggi adalah untuk mata pelajaran yang lulus
SMA atau lebih. Penelitian ini juga mengamati determinan TB paru
non konversi yaitu kepatuhan pasien, status merokok, konsumsi
alkohol, adanya efek samping obat, akses pelayanan kesehatan,
grading BTA pertama, DM, kondisi perumahan, kepadatan
perumahan, dan pendapatan rumah tangga. Parameter ini dikumpulkan
langsung dari subjek, kecuali penilaian apusan AFB.
Pasien yang menghentikan pengobatan selama 1 minggu berturut-turut
atau total gangguan 12 hari dalam hari yang tidak berturut-turut
dianggap tidak patuh. Penggunaan rutin alkohol saat ini atau
sebelumnya dalam dosis apa pun dan frekuensi dikategorikan sebagai
pengguna alkohol serta perokok aktif dan mantan perokok. Adanya
efek samping obat meliputi adanya keluhan subjek setelah pengobatan
yaitu mual, gatal, artralgia, gangguan pendengaran, anoreksia, dan
warna urin yang tidak normal. Keterbatasan akses pelayanan
kesehatan ditentukan oleh biaya dan jarak.
Pemeriksaan BTA dilakukan oleh ahli mikrobiologi klinik di
Laboratorium Mikrobiologi Klinik Unit Laboratorium Sentral RSUP
Dr. Kariadi. Data diperoleh dari rekam medis. AFB dikelompokkan
menjadi: 0: nil, 1+: 1 AFB, 2+: 2–9 AFB, 3+: 10 AFB per 10 bidang
pandang. Peringkat AFB smear dikategorikan tinggi jika hasilnya 3+
atau 2+ dan rendah jika hasilnya 1+ atau sedikit.
Kondisi rumah terdiri dari kondisi dinding, kondisi lantai, dan
pencahayaan. Kepadatan perumahan ditentukan sebagai jumlah luas
bangunan dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam
satu rumah. Kondisi yang memenuhi kriteria seperti yang
dipublikasikan dalam penelitian sebelumnyadigunakan untuk
menentukan status pendapatan rumah tangga dianggap adil bila
memenuhi gaji minimum daerah yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah.
Data disajikan dalam frekuensi dan persentase berdasarkan kasus dan
kelompok kontrol. Uji chi-kuadrat dilakukan untuk menganalisis
hubungan prediktor dan status TB paru BTA non-konversi. A p-nilai
<0,05 dianggap signifikan secara statistik. Prediktor dengan p-nilai
lebih rendah dari 0,25 terlibat dalam analisis regresi logistik. Semua
analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS versi 16.0 (IBM Corp., USA).
Peserta 6 Kriteria kelayakan: Penderita TBC yang tercatat di register TB
RSUP Dr. Kariadi dari tahun 2017 hingga 2019 berusia lebih dari
atau sama dengan 15 tahun.
Sumber dan metode pemilihan peserta: Data sekunder diambil dari
rekam medis dan lembar monitoring pasien TB, sedangkan data
primer diperoleh dari wawancara dan observasi terhadap subjek
yang tercatat di register TB paru di RSUD Dr. Rumah Sakit Umum
Kariadi. Semua subjek yang terlibat dalam penelitian memberikan
informed consent. Ukuran sampel ditentukan untuk memenuhi
sampel minimum sesuai dengan rumus untuk kasus-kontrol
penelitian yang diterbitkan sebelumnya. Tiga puluh subjek dengan
BTA non-konversi TB paru pengobatan baru ditempatkan sebagai
kelompok kasus, sedangkan dua kali ditempatkan pada kelompok
kontrol. Kedua kelompok ditambah minimal 10% untuk antisipasi
ketidaklengkapan, penolakan, dan hal lainnya. Status non-konversi
didefinisikan sebagai BTA positif persisten setelah 2 bulan fase
intensif pengobatan. Itu dikategorikan sebagai kelompok kasus.
Pemeriksaan apusan dilakukan terhadap tiga spesimen apusan
dahak, yaitu bercak pertama, bercak kedua, dan sampel sputum
pagi. Hasil ditentukan sebagai positif jika setidaknya salah satu
spesimen positif, sedangkan negatif jika semuanya negatif. Subyek
dengan hasil negatif kemudian dikategorikan sebagai kelompok
kontrol. Subyek dengan TB ekstra paru, HIV/AIDS, atau status
pengobatan ulang dikeluarkan dari penelitian.
Sebanyak 674 orang penderita TBC melakukan observasi langsung
pengobatan jangka pendek, yang tercatat di register TB RSUP Dr.
Kariadi dari tahun 2017 hingga 2019. Sedangkan penderita TB
paru terdiagnosis BTA positif sebanyak 254 orang. Di antara
mereka, 209 subjek didiagnosis dengan status konversi. Subyek
pada kelompok kontrol diperoleh secara berurutan dari kunjungan
terakhir ke rumah sakit sampai diperoleh jumlah yang ditentukan.
Variabel 7 Variabel terikat: Pengobatan baru TB paru.
Variabel bebas: Usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT),
tingkat pendidikan, status pekerjaan, kepatuhan pasien, status
merokok, konsumsi alkohol, adanya efek samping obat, akses
pelayanan kesehatan, grading BTA pertama, DM, kondisi
perumahan, kepadatan perumahan, dan pendapatan rumah tangga.
Kriteria diagnostik: Pemeriksaan BTA dilakukan oleh ahli
mikrobiologi klinik di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Unit
Laboratorium Sentral RSUP Dr. Kariadi. Data diperoleh dari
rekam medis. AFB dikelompokkan menjadi: 0: nil, 1+: 1 AFB, 2+:
2–9 AFB, 3+: 10 AFB per 10 bidang pandang. Peringkat AFB
smear dikategorikan tinggi jika hasilnya 3+ atau 2+ dan rendah
jika hasilnya 1+ atau sedikit.
Diskusi
Hasil utama 18 DM dan penilaian BTA pertama yang tinggi merupakan prediktor
status nonkonversi BTA di antara TB paru pengobatan baru.
Keterbatasan 19 Penelitian ini tidak melaporkan kontrol glikemik yang memiliki
dampak yang berarti. Penelitian ini juga tidak mengamati durasi,
keparahan, dan kronisitas DM yang dapat lebih menjelaskan tentang
hasil pengobatan.
Penafsiran 20 Penelitian ini menemukan bahwa DM dan penilaian BTA pertama
yang tinggi merupakan prediktor status nonkonversi BTA di antara TB
paru pengobatan baru. Studi saat ini menambahkan bukti dan
memperkuat studi sebelumnya yang menyimpulkan DM dan penilaian
BTA pertama sebagai prediktor utama nonkonversi BTA di antara TB
paru pengobatan baru. Sebuah penelitian di Mesir menyimpulkan
bahwa keterlambatan dalam konversi kultur sputum, lesi paru sedang
dan luas, dan DM adalah prediktor untuk pengobatan yang tidak
berhasil pada kasus TB yang resistan terhadap banyak obat. Oleh
karena itu, temuan ini berkontribusi untuk menambah pengetahuan
tentang beberapa prediktor non-konversi. status pengobatan baru TB
paru di Indonesia, yang sebelumnya terbatas di rumah sakit. Namun,
penelitian saat ini tidak menemukan hubungan antara efek samping
obat, konsumsi alkohol, pendapatan rumah tangga, dan karakteristik
perumahan dengan nonkonversi smear.
Penilaian apusan AFB pertama yang tinggi ditemukan memainkan
peran penting dalam memprediksi status nonkonversi dengan OR yang
disesuaikan sebesar 11,22 dibandingkan subjek dengan penilaian
apusan rendah. Telah dilaporkan bahwa BTA pertama 3+ memiliki
risiko lebih tinggi untuk tidak mengalami konversi setelah fase
pengobatan intensif.Tingkat kumulatif konversi BTA setelah 2 bulan
fase pengobatan intensif untuk subjek TB dengan BTA 2+ pertama
dan 3+ hanya 34%. Kelas AFB pertama berperan penting dalam
pengelolaan TB paru, yang menggambarkan keparahan TB paru dan
kemampuan penularannya serta menunjukkan resolusi obat yang
terlambat yang terkait dengan keberadaan rongga paru-paru dan
kepadatan Mycobacterium.
Generalisasi 21 Ukuran sampel ditentukan untuk memenuhi sampel minimum sesuai
dengan rumus untuk kasus-kontrol penelitian yang diterbitkan
sebelumnya. Tiga puluh subjek dengan BTA non-konversi TB paru
pengobatan baru ditempatkan sebagai kelompok kasus, sedangkan dua
kali ditempatkan pada kelompok kontrol. Kedua kelompok ditambah
minimal 10% untuk antisipasi ketidaklengkapan, penolakan, dan hal
lainnya.
Informasi lainnya
Pendanaan 22 Penelitian ini didukung oleh dana hibah DIPA PNBP UNNES 2019
No. 1603/UN37.3.1/TU/2019.
Catatan: Artikel Penjelasan dan Elaborasi membahas setiap item daftar periksa dan
memberikan latar belakang metodologis dan contoh pelaporan transparan yang
dipublikasikan. Daftar periksa STROBE paling baik digunakan bersama dengan artikel ini
(tersedia secara bebas di situs Web PLoS Medicine di http://www.plosmedicine.org/, Annals
of Internal Medicine di http:// www.annals.org/, dan Epidemiologi di
http://www.epidem.com/). Informasi tentang Inisiatif STROBE tersedia di http://
www.strobe-statement.org.