Anda di halaman 1dari 22

REFLEKSI KASUS

Non ST Segment Elevation Myocardial Infarction


NSTEMI

Disusun oleh :
I Made Fajar Sutrisna Himawan
42190365

Pembimbing :
dr. Lidwina BR Tarigan, Sp. JP (K) FIHA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNVIERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2020
BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien

1. Nama : Ny. E.
2. Usia : 82 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Alamat : Gunung Kidul
5. Tanggal masuk : 3 Februari 2020

B. Anamnesis
a. Keluhan Utama

Sesak nafas

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas dan dada terasa berat sejak 4 jam SMRS. Os
menyatakan bahwa sebelum merasa sesak, dada terasa berat dan tertindih dengan skala nyeri 2.
Nyeri dada yang dirasakan Os berlangsung ketika beraktivitas maupun istirahat. Keluhan
penyerta berupa rasa tidak nyaman pada area abdomen dan menjalar mulai dari epigastrium
menuju area perut lainnya, sempat merasa mual, muntah (-), diare (-), melena (-). Os batuk dan
merasa dahak susah keluar.

Os menyatakan bahwa 2 hari sebelumnya, os merasakan dada terasa berat dan tertindih
yang berlangsung sekitar 1 jam (tanpa disertai sesak dan keluhan lainnya). Os memiliki riwayat
Hipertensi dan rutin minum obat.

c. Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi


d. Riwayat penyakit keluarga : Ibu Hipertensi dan DM
e. Riwayat operasi :-
f. Riwayat alergi :-
g. Riwayat pengobatan : Obat Hipertensi
h. Gaya hidup :

Pasien memiliki pola makan 3 kali sehari dan teratur, tidak merokok, obat penenang dan
minuman keras disangkal (alkohol). Jarang berolahraga, melakukan aktivitas memasak, dan
menyiram tananaman. Sebelum nyeri dada, os merasa mengalami penurunan nafsu makan.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis (4/2/2020)
 Keadaan Umum : Lemas
 Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : E4 V5 M6
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/70mmHg
Nadi : 88x/menit
Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
 Status Psikologis : Baik
 Resiko Jatuh : Iya
 Fungsional : Mandiri
2. Status Lokalis
 Kepala Normocephali,
Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera ikterik (-)
Bibir sianosis (-)
Mukosa bibir basah (+)
 Leher Pembesaran limfonodi (-)
Nyeri tekan limfonodi (-)
Pembesaran tiroid (-)
 Thoraks
- Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat.
Palpasi : iktus cordis di SIC 5 linea axila anterior sinistra.
Perkusi : jantung redup dengan kesan membesar
Batas atas jantung : SIC III linea midclavicula sinistra.
Batas jantung kanan : SIC II – SIC IV linea parasternalis dextra.
Batas jantung kiri : SIC V linea axillaris anterior.
Auskultasi : S1-S2 reguler cepat, Bunyi tambahan (-),
- Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-).
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan, ketinggalan gerak (-).
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
 Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak jejas di bagian lain abdomen, distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi : Nyeri tekan regio epigastric (-) , hepatomegaly (-), massa(-)
 Ekstremitas : Tremor (-), Akral hangat, Nadi teraba, Edema (-),
CRT < 2s

D. Pemeriksaan Penunjang
03/02/2020
Pemeriksaan Darah

Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Darah Lengkap
Hb 9.97 g/dl 13.2-17.3
Leukosit 12.15 mm³ 4.5-11.5
HCT 29.1 % 40 -54
Eritrosit 2.93 jt mm³ 4,5-6,2
Trombosit 200.7 ribu mm³ 150.000-450.000
MCV 85.2 L fl 82-95
MCH 29.5 g/dl 27-31
MCHC 34.6 H g/dl 32-36
Basofil 0.38 % mm³ 0-1
Eosinofil 0.64 % mm³ 2-4
Segmen 53.5 % mm³ 50-70
Limfosit 5.09 % mm³ 18-42
Monosit 1.03 % mm³ 2-6
Kimia Darah
GDS 226 mg/dL 70 – 140
Ureum 20.0 mg/dL 19 – 44
Creatinine 0.80 mg/dL 0.73- 1.18
CK-MB 15 U/L 0 – 25
HS Tropinin 1100.4 Ng/L <2

ECG 03/02/2020
ECG 04/02/2020

X-Ray Thorak 03/02/2020


Kesan :

- Tanda edema pulmo dengan effusi pleura bilateral

- Tampak adanya cardiomegaly

E. Diagnosis Kerja 04/02/2020


Non ST Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
CHF
Oedem Pulmo

F. Terapi dan Planning


- Miniaspi 80mg 1x1
- Nebulizer (Flexotide + Combivent) 2x1
- Candesartan 16mg 1x1
- Q-ten 100mg 1x1
- Ambroxol 3x5cc
- Clopidogrel 75mg 1x1
- ISDN 3mg 3x1
- Ceftriaxon 1g 2x1
- Furosemid 20mg 2x1
- Esomeprazole 20mg 1x1
- Sucrolfate 100ml 3x1
- Laxadin 60ml 2x1

BAB II
Non ST Segment Elevation Myocardial Infarction
NSTEMI
1. Dasar Teori
A. Definisi
Secara klinis infark akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) sangat mirip dengan angina
tidak stabil. Yang membedakan adalah adanya enzym jantung yang positif. Angina
pektoris tidak stabil / Ustable Angina Pektoris (UAP) dan infark miokard akut tanpa
elevasi ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak
berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP
menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.

B. Etiologi dan Faktor Risiko


NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan kebutuhan
oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi iskemia miokard dan
dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya
terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST,
namun menyebabkan pelepasan penanda nekrosis. Penyebab paling umum adalah
penurunan perfusi miokard yang dihasilkan dari penyempitan arteri koroner disebabkan
oleh thrombus nonocclusive yang telah dikembangkan pada plak aterosklerotik
terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri koroner mungkin juga bertanggung jawab.
Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya
aterioklerosis, spasme arteri koroner, anemia berat, artritis, dan aorta Insufisiensi. Faktor
resiko pada SKA dibagi menjadi :
1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah:
a. Usia
Angka morbiditas dan mortalitas penyakit SKA meningkat seiring pertambahan usia.
Sekitar 55% korban serangan jantung berusia 65 tahun atau lebih dan yang meninggal
empat dari lima orang berusia di atas 65 tahun.
b. Jenis kelamin
Pria memiliki resiko yang lebih untuk terserang SKA, sedangkan pada wanita resiko
lebih besar setelah masa menopause. Peningkatan pada wanita setelah menopause
terjadi akibat penurunan kadar estrogen dan peningkatan lipid dalam darah.
c. Riwayat keluarga
Tingkat faktor genetika dan lingkungan membantu terbentuknya atherosklerosis belum
diketahui secara pasti. Tendensi atherosklerosis pada orang tua atau anak dibawah
usia 50 tahun ada hubungan terjadinya sama dengan anggota keluarga lain.

2. Faktor resiko yang dapat dirubah:


a. Merokok
Perokok memiliki resiko 2 sampai 3 kali untuk meninggal karena SKA daripada yang
bukan perokok. Resiko juga bergantung dari berapa banyak rokok per hari, lebih
banyak rokok lebih tinggi pula resikonya. Hal ini dikaitkan dengan pengaruh nikotin
dan kandungan tinggi dari monoksida karbon yang terkandung dalam rokok. Nikotin
meningkatkan beban kerja miokardium dan dampak peningkatan kebutuhan oksigen.
Karbon monoksida menganggu pengangkutan oksigen karena hemoglobin mudah
berikatan dengan karbon monoksida daripada oksigen.
b. Hiperlipidemia
Kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah terlibat dalam transportasi, digesti, dan
absorbs lemak. Seseorang yang memiliki kadar kolesterol melebihi 300 ml/dl memiliki
resiko 4 kali lipat untuk terkena SKA dibandingkan yang memiliki kadar 200 mg/dl.
Diet yang mengandung lemak jenuh merupakan faktor utama yang menimbulkan
hiperlipidemia.
c. Diabetes mellitus
Aterosklerosis diketahui berisiko 2 sampai 3 kali lipat pada diabetes tanpa memandang
kadar lipid dalam darah. Predisposisi degenerasi vaskuler terjadi pada diabetes dan
metabolisme lipid yang tidak normal memegang peranan dalam pertumbuhan
atheroma (plak pada dinding pembuluh darah).

d. Hipertensi
Peningkatan resisten vaskuler perifer meningkatkan afterload dan kebutuhan ventrikel,
hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen untuk miokard untuk menghadapi suplai
yang berkurang.
e. Obesitas
Berat badan yang berlebihan berhubungan dengan beban kerja yang meningkat dan
juga kebutuhan oksigen untuk jantung. Obesitas berhubungan dengan peningkatan
intake kalori dan kadar low density lipoprotein.
f. Inaktifitas fisik
Kegiatan gerak dapat memperbaiki efisiensi jantung dengan cara menurunkan kadar
kecepatan jantung dan tekanan darah. Dampak terhadap fisiologis dari kegiatan
mampu menurunkan kadar kepekatan rendah dari lipid protein, menurunkan kadar
glukosa darah, dan memperbaiki cardiac output.
g. Stres psikologis berlebihan
Stres merangsang sistem kardiovaskuler melepaskan katekolamin yang meningkatkan
kecepatan jantung dan menimbulkan vasokontriksi.

3. Faktor penyebab
a) Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
b) Obstruksi dinamik (spasme coroner atau vasokontriksi)
c) Obstruksi mekanik yang progresif
d) Inflamasi

C. Patogenesis
D. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
- Nyeri dada, berlangsung minimal 20 menit. Selain itu pada angina stabil, nyeri akan
hilang dengan beristirahat namun lain halnya dengan NSTEMI.
- Sesak Nafas, disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hiperventilasi. Pada
infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi
ventrikel kiri yang bermakna.
- Gejala gastrointestinal, peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah,
dan biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak
inferior juga bisa menyebabkan cegukan.
- Gejala lain termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel,
gelisah.
2. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang NSTEMI, yaitu:
a. Biomarker Jantung:
Troponin T dan Troponin I
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan yang
sangat penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita Sindroma
Koroner Akut (SKA). Troponin T mempunyai sensitifitas 97% dan spesitifitas 99%
dalam mendeteksi kerusakan sel miokard bahkan yang minimal sekalipun (mikro
infark). Sedangkan troponin I memiliki nilai normal 0,1. Perbedaan troponin T
dengan troponin I:
1) Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen
inhibitorik yang berfungsi mengikat aktin.
2) Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi mengikat
tropomiosin.
b. EKG (T Inverted dan ST Depresi)
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan ST
depresi yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika terjadi iskemia,
gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan biasanya bersifat sementara
(saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini tidak didapatkan kerusakan
miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-MB (creatine kinase-myoglobin)
maupun troponin yang tetap normal, diagnosisnya adalah angina tidak stabil.
Namun, jika inversi gelombang T menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar
troponin, dan diagnosisnya menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI
disebabkan oleh thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi
spontan), atau oklusi yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.
NSTEMI ditetapkan apabila nyeri dada disertai gambar Elektrokardiografi (EKG)
depresi ST dan T inversi yang disertai laboratorium positif.
c. Echo Cardiografi  pada Pasien Non-ST Elevasi Miokardial Infark
1) Area Gangguan
2) Fraksi Ejeksi
Fraksi ejeksi adalah daya sembur jantung dari ventrikel ke aorta. Freksi pada
prinsipnya adalah presentase dari selisih volume akhir diastolik dengan volume
akhir sistolik dibagi dengan volume akhir diastolik. Nilai normal > 50%. Dan
apabila < dari 50% fraksi ejeksi tidak normal.

d. Angiografi koroner (Coronari angiografi)


Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila pasien
mengalami derajat stenosis <70% pada pasien dapat diberikan obat-obatan. Dan
apabila pasien mengalami stenosis lebih dari 70% maka pada pasien perlu di
intervensi dengan pemasangan stent (stenosis 50% pada Left Main CAD).

E. Stratifikasi Resiko
Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan
selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.
1. TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction)
Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun
pada berbagai spektrum SKA termasuk UAP/NSTEM. Stratifikasi risiko TIMI
ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing- masing setara dengan 1
poin. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-
4 : risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko
tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%).
2. GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events)
Klasifikasi GRACE ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di
rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi
kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap
mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor
risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian menengah
(1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari
rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko
rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-
118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi
(>8%).
3. CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress
ADverse outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines).
CRUSADE digunakan untuk menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan yang
sangat penting untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Dalam skor
CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap berpengaruh
melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan
kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.
Berdasarkan skor CRUSADE, pasien dapat ditentukan dalam berbagai tingkat
risiko perdarahan, yang dapat dilihat dalam table

4. Klasifikasi Killip
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut
dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi
Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi GRACE.
F. Komplikasi
Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien NSTEMI, adalah:
1. Disfungsi ventrikuler
Setelah NSTEMI, ventrikel kiri akan mengalami perubahan serial dalam bentuk,
ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodeling ventikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (puump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi
jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
3. Infark miokardium (IM)
Merupakan kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen
yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap iskemia miokardium
yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami
kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara
aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.
4. Aritmia
Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan dapat
berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun banyak,
berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal
jantung.
5. Gagal Jantung
Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan
disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa
gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis).
Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya
berasal dari infark miokard.
G. Penatalaksanaan
Tatalaksana awal pasien dugaan SKA (dilakukan dalam waktu 10 menit):
1. Memeriksa tanda-tanda vital

2. Mendapatkan akses intra vena

3. Merekam dan menganalisis EKG

4. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik

5. Mengambil sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung, elektrolit serta pemeriksaan

koagulasi.

6. Mengambil foto rongten thorax (<30 menit).

EKG harus dilakukan segera dan dilakukan rekaman EKG berkala untuk mendapatkan

ada tidaknya elevasi segmen ST. Troponin T/I diukur saat masuk, jika normal diulang

6-12 jam kemudian. Enzim CKMB diperiksa pada pasien dengan onset < 6 jam dan

pada pasien pasca infark < 2minggu dengan iskemik berulang untuk mendeteksi

reinfark atau infark periprosedural.

Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.
 Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall
stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen
suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan
secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena : 1-4 mg/jam.
Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per oral.
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam
beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi
pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan
tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :
- Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi
normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan
keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut
dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak stabil
maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang
terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan
dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat
kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin.
Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75
mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir
pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor
tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet
tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- Absiksimab suatu antibodi mooklonal
- Eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- Tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun
untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak
stabil.

3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang
berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja
menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein plasma,
sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat
ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida
heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di
Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena
bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh
plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka
kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak
stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).

 Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner


Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemi
berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di
left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri
yang kurang, tindakan operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke
rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan
pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi
tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.

 Terapi Non Medika Mentosa


1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume
sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut jantung).
Hal ini menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang.
Posisi duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya
berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi peningkatan
volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI). 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (edisi VI). Jakarta:InternaPublishing

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (edisi ketiga). Jakarta:PERKI

Sudoyo A.,W, (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke Empat-Jilid III.
Universitas Indonesia: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai