Anda di halaman 1dari 21

REFLEKSI KASUS

ONIKOMIKOSIS

Disusun oleh:

Yessica (42190364)

Pembimbing klinik:

dr. Gabriel Erny W, M.Kes, Sp.KK

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

PERIODE 21 SEPTEMBER – 17 OKTOBER 2020

YOGYAKARTA
2020

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Onikomikosis merupakan infeksi jamur yang mempengaruhi kuku. Kuku yang
terinfeksi pada onikomikosis bisa berupa kuku tangan maupun kuku kaki. Walaupun
penyakit ini bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa, namun penderita
onikomikosis bisa mengalami rasa nyeri, rasa tidak nyaman, dan gangguan perubahan
bentuk kuku. Hal-hal tersebut bisa menyebabkan terjadinya keterbatasan fisik maupun
okupasional pada pasien onikomikosis. Selain itu, efek emosional dan psikososial dari
onikomikosis mampu menurunkan kualitas hidup penderitanya. Maka dari itu,
penyakit ini harus mendapatkan perhatian lebih dari para klinisi.
Onikomikosis merupakan penyakit kuku yang paling prevalen. Bahkan,
penyakit ini menempati 50% dari total jumlah penyakit pada kuku. Berdasarkan studi
berbasis populasi, prevalensi dari onikomikosis mencapai 2-8% dalam suatu populasi.
Prevalensi onikomikosis di Eropa ialah sekitar 27%, di Amerika Utara 13.8%, dan di
Kanada sebanyak 6.5%. Di Asia, didapatkan prevalensi onikomikosis sebesar 8.1%.
Di Indonesia, prevalensi onikomikosis ialah sebesar 3.5-4.7%.
Seiring bertambahnya usia, seseorang akan semakin rentan untuk terkena
onikomikosis. Selain itu, penderita penyakit-penyakit tertentu juga lebih rentan
terhadap onikomikosis. Penyakit-penyakit tersebut antara lain diabetes mellitus,
kanker, penderita HIV/AIDS, dan orang-orang yang memiliki keadaan
immunocompromised lainnya. Pada penderita onikomikosis dengan penyakit
komorbid, maka bisa ditemukan komplikasi yang cukup berat. Komplikasi yang dapat
ditemukan antara lain kerusakan permanen pada kuku, selulitis, dan ko-infeksi dengan
mikroorganisme lain yang dapat meningkatkan keparahan penyakit penderita.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa onikomikosis
merupakan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup seseorang dengan sangat
signifikan. Maka dari itu, klinisi dan calon klinisi perlu mengetahui definisi,
patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis dari onikomikosis dengan lengkap.
Harapannya, klinisi dapat menangani kasus onikomikosis secara komprehensif dan
tepat sasaran.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patogenesis dari onikomikosis?
2. Bagaimana manifestasi klinis dari onikomikosis?
3. Bagaimana cara menegakan diagnosis onikomikosis?
4. Bagaimana penatalaksanaan dari onikomikosis?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan refleksi kasus adalah untuk meningkatkan pengetahuan
penyusun laporan mengenai patogenesis, manifestasi klinis, cara menegakkan
diagnosis, dan penatalaksaan dari onikomikosis.
BAB II

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : An. F N A
Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kota Gede, Yogyakarta
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 25 September 2020
No RM : 0103XXXX

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Gatal
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar oleh ibunya ke RS Bethesda dengan keluhan gatal pada kuku-kuku
di tangan kanan sejak 1 bulan SMRS. Keluhan gatal tersebut disertai dengan lesi
di kuku tangan kanan, tepatnya di ibu jari dan jari tengah. Lesi tersebut berupa
kuku yang tampak hancur seperti terkelupas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Keluhan Serupa (-)
 Asma (-)
 Trauma (-)
 Herpes (-)
4. Riwayat Operasi
Tidak ada.
5. Riwayat Alergi
Tidak ada.
6. Riwayat Penyakit Keluarga dan Sekitar
 Keluhan Serupa (-)
 Riw. Penyakit kulit lainnya (+): ibu riwayat eksim
 Riwayat Penyakit keluarga:
a) Hipertensi (-)
b) DM (-)
c) Alergi (-)
7. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah mencoba mengobati dengan salep 88, namun keluhan tidak hilang.
8. Gaya Hidup
Pasien merupakan pelajar yang saat ini sedang duduk di bangku 5 SD. Pasien
memiliki kebiasaan menggigit kuku sehingga kuku pasien sering berada dalam
keadaan basah dan lembab. Selain itu, sejak pandemi Covid-19, pasien
menjalankan sekolah online melalui video call di rumah. Akibatnya, pasien
menjadi jarang mandi dan membersihkan badan, termasuk tangan dan kukunya.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos Mentis (E4M5V6)
 Gizi : Cukup
 Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Denyut Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Nafas : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Lokalis

 Kepala : Tidak ditemukan lesi


 Leher : Tidak ditemukan lesi
 Thorax : Tidak ditemukan lesi
 Abdomen : Tidak ditemukan lesi
 Ekstremitas : Lesi pada kuku ibu jari dan jari tengah tangan kanan
UKK: Ditemukan lesi berupa paronikia pada digiti I dan III manus dextra, dimana
kuku tampak berwarna kekuningan dari proksimal hingga ke distal, disertai dengan
depresi transversal dari kuku dan skuama.

D. Diagnosis Banding
 Onikomikosis
 Psoriasis kuku
 Lichen planus

E. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

F. Diagnosis
Onikomikosis

G. Tatalaksana
R/ Itraconazole tab mg 100 No. XXIV
S 1 d d tab II

R/ Cetirizine HCL tab mg 10 No. XIV


S 1 d d tab I hs (gatal)
H. Edukasi
 Minum obat dengan teratur
 Hilangkan kebiasaan menggigit kuku
 Jaga supaya tangan tetap bersih dan kering
 Tingkatkan kesehatan dengan gaya hidup sehat

I. Prognosis
 Quo ad vitam : Bonam
 Quo ad santionam : Bonam
 Quo ad fungsionam : Bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Onikomikosis merupakan infeksi yang terjadi pada kuku, baik akibat jamur
dermatofita, non-dermatofita, maupun akibat kandida. Onikomikosis bisa terjadi pada
kuku tangan maupun kuku kaki. Infeksi ini juga bisa melibatkan berbagai komponen
dari kuku, termasuk matrix, bed, maupun plate. Ada 5 subtipe dari onikomikosis,
antara lain Distal Lateral Subungual Onychomycosis (DLSO), White Superficial
Onychomycosis (WSO), Proximal Subungual Onychomycosis (PSO), Endonyx
Onychomychosis (EO), dan Candidal onychomycosis.

B. Epidemiologi
Onikomikosis merupakan penyakit pada kuku yang paling sering terjadi di
antara penyakit kuku lainnya. Prevalensi dari penyakit ini di Eropa ialah sekitar 27%,
di Amerika Utara 13.8%, dan di Kanada sebanyak 6.5%. Di Asia, didapatkan
prevalensi onikomikosis sebesar 8.1%. Di Indonesia, prevalensi onikomikosis ialah
sebesar 3.5-4.7% berdasarkan sebuah studi prevalensi.
Onikomikosis lebih sering menyerang orang dewasa dibandingkan dengan
anak-anak. Selain itu, laki-laki juga lebih sering terkena onikomikosis dibanding
perempuan. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada kuku kaki dibandingkan dengan
kuku tangan. Diduga kasus onikomikosis pada kuku kaki semakin meningkat karena
penggunaan sepatu yang menyebabkan kaki menjadi lembab. Selain itu, peningkatan
jumlah individu yang immunosuppressed dan penggunaan loker komunal juga
berkontribusi terhadap peningkatan kejadian onikomikosis.

C. Faktor Resiko
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya onikomikosis antara lain:
 Penuaan: seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan yang terjadi
dalam tubuh sehingga dapat membuat seseorang rentan terkena onikomikosis.
Perubahan tersebut antara lain penurunan sirkulasi darah dan pertumbuhan
kuku yang lebih lambat.
 Perspirasi berlebih: Keringat yang berlebih akan meningkatkan kelembaban
pada kulit maupun kuku, dimana kondisi ini merupakan kondisi yang optimal
bagi pertumbuhan jamur.
 Lingkungan lembab: berada di lingkungan yang lembab akan meningkatkan
risiko seseorang terkena onikomikosis.
 Penggunaan kaus kaki dan sepatu: kaus kaki dan sepatu menciptakan
lingkungan lembab pada kaki sehingga dapat menyebabkan onikomikosis.
 Tidak menggunakan alas kaki di tempat umum yang lembab: tidak
menggunakan alas kaki di tempat-tempat umum seperti kolam renang, gym,
dan tempat mandi umum juga dapat meningkatkan risiko penularan
onikomikosis.
 Keadaan immunocompromised dan immunosuppressed: orang dengan
immunocompromised seperti pasien HIV/AIDS akan lebih rentan terkena
infeksi oportunistik dari jamur. Selain itu, pasien immunosuppressed seperti
pasien transplantasi atau pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid jangka
panjang juga lebih rentan terkena onikomikosis.
 Kebersihan diri buruk: orang-orang yang tidak menjaga kebersihan tubuh
akan semakin rentan terkena onikomikosis.
 Kebiasaan menggigit kuku: kebiasaan menggigit kuku akan menyebabkan
kondisi kuku yang basah dan lembab, dimana hal tersebut merupakan kondisi
yang optimal bagi pertumbuhan jamur.
 Berbagi handuk: berbagi handuk dengan orang lain juga akan meningkatkan
risiko penularan dari onikomikosis.
 Riwayat keluarga: seseorang dengan riwayat keluarga onikomikosis akan
lebih rentan terkena penyakit yang sama.

D. Etiologi
Ada 3 kelas jamur utama yang merupakan etiologi dari onikomikosis. Kelas
jamur tersebut antara lain dermatofita, yeast, dan non-dermatofita. Dermatofita
merupakan jenis jamur yang paling sering menyebabkan onikomikosis. Dua jenis
jamur yang merupakan penyebab dari 90% kasus onikomikosis antara lain
Trichophyton rubrum (70%) dan Trichophyton mentagrophytes (20%). Onikomikosis
yang disebabkan oleh jamur non-dermatofita seperti Fusarium, Scopulariopsis
brevicaulis, dan Aspergillus jarang ditemukan. Namun, saat ini menjadi lebih sering,
dimana 10% kasus onikomikosis disebabkan oleh jamur non-dermatofita. Infeksi oleh
jamur non-dermatofita lebih sering ditemukan pada lansia. Onikomikosis jarang sekali
disebabkan oleh kandida.

E. Patogenesis
Untuk bisa memahami patogenesis dari onikomikosis, maka pemahaman
mengenai anatomi kuku menjadi hal yang penting. Anatomi dari kuku dapat dilihat
pada gambar 1. Unit kuku terdiri dari berbagai struktur, antara lain nail folds
proksimal dan lateral, kutikula, matrix, nail plate, nail bed, dan hyponychium.
Kutikula merupakan lapisan bertanduk dari nail fold proksimal. Struktur ini terdiri
dari stratum korneum yang sudah termodifikasi. Kutikula berfungsi untuk melindungi
matrix dari infeksi. Matrix sendiri merupakan pusat pertumbuhan dari kuku. Ketika
kuku bertumbuh, sel-sel di matrix berdiferensiasi dan mengalami keratinisasi
sehingga bisa menjadi bagian dari nail plate. Nail plate merupakan struktur terbesar
pada unit kuku. Struktur ini mengalami pertumbuhan di atas nail bed, dimana ujung
distalnya terbebas dari nail bed. Hyponychium merupakan bagian paling distal dari
nail bed. Struktur ini terdiri atas epidermis. Kuku tangan tumbuh dengan kecepatan 2-
3 mm tiap bulan, sedangkan kuku kaki tumbuh dengan kecepatan 1 mm tiap
bulannya. Maka dari itu, dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan untuk mengganti kuku
tangan dan 12-18 bulan untuk mengganti kuku kaki. Pada penderita penyakit vaskular
perifer dan lansia, kecepatan pertumbuhan kuku tersebut semakin menurun. Hal ini
meningkatkan kerentanan populasi tersebut terhadap onikomikosis.
Gambar 1. Anatomi Kuku
Patogenesis dari onikomikosis berbeda-beda berdasarkan subtipe klinisnya.
Pada DLSO, jamur menyebar dari telapak kaki atau tangan dan menyerang nail bed
melalui hyponychium. Setelah itu, akan terjadi radang pada apparatus kuku sehingga
muncul tanda-tanda khas dari DLSO. Mulanya akan muncul opasitas putih
kekuningan hingga kecokelatan pada ujung distal dari kuku. Setelah itu, infeksi akan
menyebar ke arah proksimal menuju nail plate ventral. Selanjutnya, akan terjadi
hyperkeratosis subungual akibat hiperproliferasi dari nail bed sebagai respon terhadap
infeksi. Kemudian infeksi akan menyebar hingga nail plate sehingga menyebabkan
kerusakan lebih lanjut pada kuku. Pada WSO, terjadi invasi langsung pada
permukaan nail plate. Pada PSO, jamur mempenetrasi nail matrix melalui proximal
nail fold dan berkolonisasi di proximal nail plate. Pada EO, jamur menginfeksi nail
plate bagian distal lateral langsung dari kulit. Apabila terjadi infeksi pada seluruh
apparatus kuku, maka onikomikosis yang terjadi ialah jenis total dystrophic
onychomycosis.
Infeks kuku oleh kandida sangat jarang terjadi. Namun, orang-orang dengan
gangguan sistem imun lebih rentan terhadap onikomikosis akibat kandida. Hal ini
disebabkan karena kandida mampu mempenetrasi kuku ketika terdapat gangguan
sistem imun. Pada onikomikosis akibat kandida, organisme ini mulanya menyerang
nail plate hingga kemudian menginvasi nail folds proksimal dan lateral.
Jamur dermatofita merupakan jamur hifa yang memiliki septat. Hifa tersebut
mampu mempenetrasi stratum korneum pada kulit dan kuku manusia. Selain itu, sel
jamur tersebut juga mampu memproduksi protease yang bersifat keratinolitik.
Protease ini dapat membantu jamur dalam memasuki sel-sel yang hidup dalam kulit
maupun kuku.

F. Manifestasi Klinis
Onikomikosis biasanya bersifat asimtomatik. Pasien biasanya datang karena
alasan kosmetik tanpa keluhan fisik apapun. Namun, setelah penyakit ini semakin
berkembang, maka akan terjadi gangguan saat pasien hendak berdiri, berjalan,
maupun berolahraga. Keluhan fisik yang dapat muncul antara lan parestesia, nyeri,
dan rasa tidak nyaman pada tangan dan kaki. Selain itu, pasien juga biasanya
mengeluhkan kehilangan rasa percaya diri dan penurunan interaksi sosial.
Manifestasi klinis dari onikomikosis juga berbeda-beda tergantung dari
subtipenya. Pada DLSO, terdapat hyperkeratosis subungual dan onikolisis yang
biasanya tampak sebagai warna putih kekuningan pada kuku. Garis-garis kekuningan
dan atau area onikolitik yang kekuningan pada bagian tengah dari nail plate bisa
tampak pada onikomikosis dengan subtipe ini.

Gambar 2. Distal Lateral Subungual Onychomycosis


Endonyx onychomycosis akan tampak sebagai diskolorasi nail plate menjadi
warna putih susu. Namun, tidak ada tanda-tanda hiperkeratosis subungual maupun
onikolisis pada onikomikosis dengan subtipe ini.
Gambar 3. Endonyx Onychomycosis
WSO biasanya muncul pada kuku kaki. Manifestasi klinis dari onikomikosis
subtipe ini ialah patch multipel kecil berwarna putih pada permukaan nail plate. Kuku
pada WSO juga menjadi tampak kasar dan mudah hancur.

Gambar 4. White Superficial Onychomycosis


PSO biasanya memunculkan tanda berupa area leukonychia pada nail plate
proksimal yang kemudian akan tumbuh ke arah distal mengikuti pertumbuhan kuku.
Leukonychia tersebut biasanya disertai dengan inflamasi periungual.
Gambar 5. Proximal Subungual Onychomycosis
Onikomikosis akibat kandida biasanya mempengaruhi beberapa atau semua
kuku-kuku jari. Infeksi dengan subtipe ini biasanya diaosiasikan dengan inflamasi
periungual, dimana jari-jari biasanya akan memiliki penampilan bulbous atau
drumstick appearance.

Gambar 6. Onikomikosis Kandida

G. Pemeriksaan Penunjang
Karena manifestasi klinis dari onikomikosis bisa beragam, maka diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis penyakit tersebut. Namun, perlu
diingat bahwa hasil pemeriksaan yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis
onikomikosis. Hal ini disebabkan karena hasil negatif bisa muncul pada 10%
pemeriksaan mikroskopis dan 30% pemeriksaan kultur.
1. Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan cara mengambil spesimen dari kuku
yang sakit dan memberikan larutan KOH 20% dalam preparat dimethyl sulfoxide
(DMSO). Sebelum pengambilan spesimen, kuku harus dipotong dan dibersihkan
dengan alkohol swab untuk menghilangkan bakteri dan debris. Pengambilan
spesimen juga harus dilakukan dengan teknik tertentu, tergantung dari jenis
onikomikosis yang dialami oleh penderita.
 DLSO: spesimen diambil dari nail bed dengan cara kuretase. Nail plate
yang mengalami onkolitik harus diambil terlebih dahulu. Sampel harus
diambil pada bagian paling proksimal dari kutikula, dimana konsentrasi
hifa paling banyak.
 PSO: nail plate harus dipotong terlebih dahulu dengan blade no. 15.
Setelah itu, sampel dari nail plate ventral bisa diambil.
 WSO: spesimen diambil dari permukaan kuku menggunakan blade no. 15.
 Onkomikosis kandida: sampel diambil dari nail bed yang paling dekat
dengan batas-batas proksimal dan lateral dari kuku.
Setelah dilakukan pengambilan spesimen, maka dilakukan pemeriksaan
mikroskopis untuk mengidentifikasi keberadaan jamur. Pemeriksa harus bisa
mengidentifikasi keberadaan hifa maupun yeast dalam preparat spesimen kuku
tersebut.

Gambar 7. Hifa pada pemeriksaan mikroskopis


2. Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan mikroskopis tidak dapat mengidentifikasi patogen spesifik yang
menjadi etiologi dalam onikomikosis. Untuk bisa mengetahui subtipe dari
onikomikosis yang dialami oleh penderita, maka perlu dilakukan pemeriksaan
kultur. Spesimen kultur bisa didapatkan dari kerokan atau potongan kuku yang
dihancurkan. Pasien tidak boleh menggunakan medikasi antifungal dalam 2
minggu terakhir supaya hasil kultur bisa valid. Medium pertumbuhan yang bisa
digunakan antara lain medium yang menggunakan cycloheximide (Dermatophyte
Test Medium, Mycosel, Mycobiotic) atau medium yang tidak mengandung
cycloheximide (Sabouraud glucose agar, Littman oxgall medium, inhibitory mold
agar).

H. Diagnosis Banding
1. Psoriasis Kuku
Psoriasis kuku merupakan penyakit inflamatorik pada kuku yang dipengaruhi oleh
kombinasi dari faktor-faktor genetik, lingkungan, dan sistem imun. Manifestasi
klinis dari penyakit ini beragam, tergantung dari bagian kuku yang mengalami
inflamasi. Hasil pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain oil drop atau
salmon patch pada nail bed, depresi transversal dari kuku, leukonychia,
hiperkeratosis subungual, onkolisis, dan kuku yang mudah hancur.

Gambar 8. Psoriasis Kuku


2. Lichen Planus
Lichen planus merupakan penyakit akibat gangguan respon sistem imun seluler
yang penyebab sebenarnya tidak diketahui. Penyakit ini biasanya ditemukan pada
keadaan gangguan sistem imun lainnya seperti kolitis ulsertatif, alopecia areata,
vitiligo, dan miastenia gravis.

Gambar 9. Lichen Planus Kuku

I. Penatalaksanaan
Tatalaksana farmakologi dari onikomikosis ialah penggunaan obat-obatan
antifungal. Obat-obatan antifungal tersebut bekerja dengan cara menghambat sintesis
ergosterol yang merupakan struktur pembentuk dinding sel jamur. Mulanya,
pengobatan onikomikosis dilakukan secara topikal dengan obat-obatan golongan
imidazole, allylamine, dan pyridine ciclopirox olamine. Namun, obat-obatan topikal
tersebut umumya kurang efektif dalam menangani infeksi jamur pada kuku. Hal ini
disebabkan karena mereka tidak mampu mempenetrasi keseluruhan dari unit kuku
sehingga akan lebih sulit untuk mengeradikasi infeksi. Walau begitu, pengobatan
antifungal topikal masih bisa diberikan pada pasien onikomikosis. Indikasinya antara
lain onikomikosis yang melibatkan kurang dari setengah nail plate distal atau pada
pasien yang tidak bisa mentoleransi pengobatan sistemik. Antifungal topikal yang
dapat diberikan antara lain:
1. Ciclopirox Olamine 8%
Oleskan di seluruh permukaan kuku yang terinfeksi 1 kali sehari selama 48
minggu.
2. Efinaconazole 10%
Oleskan di seluruh permukaan kuku yang terinfeksi 1 kali sehari selama 48
minggu.
Pengobatan onikomikosis saat ini mulai bergeser ke arah pengobatan antifungal
sistemik. Ada beberapa jenis antifungal sistemik yang dapat digunakan untuk
mengatasi onikomikosis, antara lain:
3. Griseofulvin
Pengobatan dengan griseofulvin sebenarnya kurang efektif untuk
onikomikosis. Hal ini disebabkan karena spektrum aktivitas dari obat ini
terbatas pada dermatofita saja. Selain itu, dibutuhkan waktu yang lama bagi
griseofulvin untuk mengatasi infeksi. Hal ini akan mempengaruhi kepatuhan
terapi dari pasien. Dosis griseofulvin yang bisa digunakan ialah 1x500mg.
Efek samping obat yang bisa muncul antara lain reaksi hipersensitivitas, nyeri
kepala, mual, dan fotosensitivitas.
4. Ketoconazole
Ketoconazole memiliki spektrum yang cukup luas dalam melawan jamur.
Dosis ketoconazole yang bisa digunakan ialah 1x200mg. Namun, penggunaan
jangka panjang ketoconazole untuk pengobatan onikomikosis dapat
menghasilkan efek samping dan interaksi obat yang cukup memprihantikan.
Efek samping obat yang bisa muncul antara lain hepatotoksisitas. Maka dari
itu, pasien yang mengkonsumsi ketoconazole sistemik jangka panjang harus
dimonitor fungsi hatinya secara berkala. Efek samping lain yang dapat muncul
antara lain reaksi hipersensitivitas, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri perut,
pruritus, dan demam.
5. Fluconazole
Antifungal generasi baru seperti fluconazole dianggap lebih efektif dalam
menangani onikomikosis. Hal ini disebabkan karena efek samping
penggunaan jangka panjang yang lebih minimal dibandingkan dengan
penggunaan griseofulvin dan ketoconazole. Dosis fluconazole yang dapat
diberikan ialah 150-300mg per minggu selama 6 bulan. Efek samping yang
bisa muncul, walaupun sangat jarang terjadi, antara lain mual, nyeri kepala,
dan nyeri perut.
6. Itraconazole
Itraconazole memiliki spektrum pengobatan yang sangat luas. Selain itu, obat
ini juga memiliki afinitas yang sangat kuat terhadap keratin. Dosis
itraconazole yang dapat diberikan ialah 1x200mg per hari selama 3-7 minggu.
Keunggulan dari obat ini ialah difusinya yang cepat. Bahkan obat ini sudah
mampu mencapai kuku bagian distal setelah pemberian selama 1 bulan. Efek
samping yang bisa muncul, walaupun sangat jarang terjadi, antara lain mual,
nyeri kepala, dan nyeri perut.
7. Terbinafine
Terbinafine merupakan antifungal golongan allylamine yang efektif terhadap
dermatofita dan non-dermatofita, namun kurang efektif dalam menghadapi
infeksi kandida. Dosis terbinafine yang dapat diberikan ialah 1x250mg per
hari selama 12 minggu. Efek samping dari terbinafine sangat minimal.
Namun, efek samping yang bisa muncul antara lain nyeri kepala, gejala
gastrointestinal, dan ruam pada kulit.

J. Edukasi
1. Pengobatan dilakukan dalam jangka panjang, namun penting untuk tetap minum
obat secara teratur untuk mencegah kekambuhan.
2. Gunakan kaus kaki dengan bahan 100% katun dan sering mengganti kaus kaki
tersebut.
3. Gunakan alas kaki pada area-area lembab yang bersifat publik.
4. Gunakan alas kaki yang tidak sempit.
5. Jaga supaya kaki dan tangan tetap kering.
6. Hilangkan kebiasaan menggigit kuku tangan.
7. Usahakan untuk menjaga kebersihan diri dan kesehatan tubuh secara umum.

K. Prognosis
Prognosis dari onikomikosis umumnya cukup baik. Namun, kekambuhan bisa
terjadi apabila kepatuhan minum obat pasien buruk, terutama mengingat bahwa
pengobatan onikomikosis dilakukan dalam jangka panjang. Selain itu, komplikasi
berat seperti selulitis juga bisa muncul pada pasien yang memiliki komorbid seperti
diabetes mellitus maupun gangguan sistem imun seperti pada pasien HIV/AIDS.
Maka dari itu, penting bagi klinisi untuk melakukan tatalaksana dan edukasi yang
tepat kepala pasien onikomikosis.
BAB IV

KESIMPULAN

Onikomikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur pada


kuku. Penyakit ini harus mendapat perhatian lebih karena mampu menurunkan
kualitas hidup penderitanya secara signifikan. Diagnosis onikomikosis dilakukan
melalui anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Setelah itu, dilakukan pengobatan menggunakan obat-obat antifungal topikal maupun
sistemik. Pasien juga harus diedukasi mengenai cara menjaga kebersihan kuku dan
cara mencegah kekambuhan dari onikomikosis. Prognosis dari onikomikosis
umumnya baik. Namun, pasien dengan keadaan komorbid perlu diberikan perhatian
lebih.
DAFTAR PUSTAKA

Carney C, Tosti A, Daniel R, et al. A new classification system for grading the severity of
onychomycosis: Onychomycosis Severity Index. Arch Dermatol. 2011 Nov.
147(11):1277-82.

Chikoi R, Nyawale HA, Mghanga FP. Magnitude and Associated Risk Factors of Superficial
Skin Fungal Infection Among Primary School Children in Southern Tanzania.
Cureus. 2018;10(7):e2993. Published 2018 Jul 18. doi:10.7759/cureus.2993

Fitzpatrick TB, Wolff K, Allen R. 2009. Color atlas & Synopsis of Clinical Dermatology, 6th
edition. New York: McGraw-Hill Inc.

Lipner SR, Scher RK. Part II: Onychomycosis: Treatment and Prevention of Recurrence. J
Am Acad Dermatol. 2018 Jun 27.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia & Kelompok Studi
Dermatomikosi Indonesia. 2013. Dermatomikosis Superfisialis (edisi kedua). FK
UI: Jakarta.

Rodgers, P, Bassler, M. 15 February 2001. Treating Onychomycosis. American Family


Physician. 63(4): 663-672.

Anda mungkin juga menyukai