Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

Anestesi Umum pada Pasien TMD

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Anestesi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:

dr. Qurniawan, Sp.An

Disusun Oleh:

Dinda Ines Secsaria

20184010081

BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD TIDAR KOTA MAGELANG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. Wt
Umur : 71 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Tonjong RT 3/RW 3
Tanggal masuk : 2 November 2018

B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit
1. Keluhan utama : Benjolan di selangkangan kanan
2. Keluhan tambahan :-
3. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD tanggal 2 November 2018
dengan keluhan terdapat benjolan pada selangkangan kanan. Benjolan ini tidak balik lagi
dalam 6 bulan yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak (+), nyeri ulu hati, dan
batuk (+).
4. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat penyakit alergi obat disangkal
 Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat operasi dan pembiusan disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis; GCS: E4 V5 M6
Vital sign : TD 128/85 mmhg
Nadi 105 x/menit reguler, isi dan tegangan cukup
RR 28 x/menit
Suhu 36, 8 C
Primary survey :
A : Clear, MP I
B : Spontan, SD vesikuler Rbk -/-, Rbh -/-, Wh -/-, RR 28 x/menit
C : N : 92 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, TD : 120/70 mmHg, S1>S2 murmur
(-) gallop (-)
D : GCS E4M6V5

a. Kulit
Tidak tampak ikterik, tidak tampak pucat, tidak hipo atau hiper pigmentasi, tidak
tampak tanda peradangan.
b. Kepala

Bentuk kepala : mesochepal, simetris, tidak ditemukan deformitas.


Muka : tidak terdapat luka maupun jejas.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Mulut : bibir simetris, tidak tampak pucat dan kering, gigi lengkap.
Leher : JVP tidak meningkat, mallampati 1
c. Thorax
Pulmo
INSPEKSI PARU DEPAN PARU BELAKANG
Simetris Simetris
Barrel chest (-) Barrel chest (-)
ICS melebar (-) ICS melebar (-)

PALPASI
Simetris (+/+), Simetris (+/+),
Nyeri tekan (-/-), Nyeri tekan (-/-),
PERKUSI
 KANAN Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
 KIRI Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
AUSKULTASI PARU DEPAN PARU BELAKANG
Vesikuler Vesikuler

Cor:
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :
• Batas atas jantung : ICS II parasternalis
sinistra.
• Batas pinggang jantung : ICS III
parasternalis sinistra.
• Batas kanan bawah jantung : ICS V
sternalis dextra.
• Batas kiri bawah jantung : ICS IV 1-2
cm ke arah medial midclavicula kiri.
- Auskultasi :
• Suara jantung murni: SI, SII (normal)
reguler
• Suara jantung tambahan bising diastolik
(-)
d. Ekstremitas
Ekstremitas atas : Bentuk normal anatomis, deformitas (-), edem (-).
Ekstremitas bawah : Palmar eritem (-), odem (-), akral dingin (-).

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hemoglobin : 12 g/dl (13,0 – 18,0)
Leukosit : 19,6 103 / µL (4 - 11)
Eosinofil :2% (1 – 6)
Basofil :0% (0 - 1)
Netrofil : 61 % (40 - 75)
Limfosit : 30 % (20 - 45)
Monosit :7% (2 - 10)
Hematokrit : 36,3 (40 – 54)
Eritrosit : 4 106/ µL (4,5 – 6,5)
Trombosit : 369 103 / µ (150 - 450)
MCV : 89,9 fL (76 - 96)
MCH : 29,7 pg (27.5 - 32)
MCHC : 33,1 g/dl (30 - 35)
Ureum : 102,3 mg/dL (16.6-48.5)
Creatinin : 1,46 mg/dL (0,67 – 1,17)
Natrium : 142 mEq/L (136-146)
Kalium : 4,60 mEq/L (3,50-5,10)
Klorida : 111 mmol/L (98,0-106,0)
SGOT : 42 U/L < 40
SGPT : 26 U/L >41
HbSAg : negatif negatif

D. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI


- Hil Dx Inkarserata dengan ASA III
- Rencana Anestesi Spinal

E. LAPORAN ANESTESI PASIEN


a) Diagnosis pra-bedah : Hernia Inguinalis Lateralis dextra acreta
b) Diagnosis post-bedah : Hernia Inguinalis Lateralis dextra acreta
c) Jenis pembedahan : Hernioraphy
Persiapan Anestesi : Informed concent
Puasa ± 8 jam sebelum Operasi

Jenis anestesi : Regional Anestesi


Premedikasi anestesi : Regivell 3 cc
Sotatic 5 mg
Dexketoprofen 100 mg
Tramadol 50 mg
Pemeliharaan anestesi : O2 3,0 L/mnt
Teknik anestesi : Spinal ; SAB L3 / L4
 Pasien dalam posisi duduk dan kepala menunduk.
 Desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio L3-
L4.
 Blok dengan jarum spinal no.27 pada regio L3-L4.
 LCS keluar (+) jernih.
 Barbotage (+).
Respirasi : Spontan
Posisi : Supine
Infus durante operasi : RL
Status fisik : ASA III
Induksi mulai : 3 November 2018 pukul 09.20 WIB
Operasi mulai : 3 November 2018 pukul 09.30 WIB
Operasi Selesai : 3 November 2018 pukul 10.30 WIB
Berat Badan : 63 Kg
Lama Operasi : 1 jam
Pasien puasa : 8 jam
Input durante operasi
Asering = II Plabot (± 1000 cc)
Kebutuhan cairan selama Operasi
Maintenance Operasi : 2cc/kgBB/jam 2 x 63 = 126 cc
Pengganti Puasa : 8 x maintenance  8 x 126 = 1008 cc
Stress Operasi : operasi berat 8cc/kgBB/jam  8 x 63 = 504 cc
Keb. Cairan jam I : (50% kebutuhan puasa) + MO + SO
(50% x 1008) + 126 + 504 = 1134 cc

F. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN


Airway : Clear, MP I
Breathing : Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-
Circulation : S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )
Disability : GCS ; E4 V5 M6
Instruksi post operasi  observasi : Selama 24 jam
1. Monitoring Kesadaran, tanda vital, dan keseimbangan cairan
2. Bed rest total 24 jam post op dengan bantal tinggi. Boleh miring kanan kiri, tak boleh
duduk
3. Ukur TD dan N tiap 15 menit selama 1 jam pertama. Bila TD < 90 beri efedrin 10 mg,
bila N<60 beri SA 0,5 mg
4. bila tidak ada mual muntah boleh minum sedikit-sedikit dengan sendok
5. bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi
Prognosis : Dubia ad Bonam
BAB II
PENDAHULUAN

A. HERNIA
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau
bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan / Locus Minoris Resistentiae
(LMR). Bagian-bagian hernia meliputi pintu hernia, kantong hernia, leher hernia dan isi
hernia.
Sedangkan dikatakan hernia inguinalis lateral apabila hernia tersebut melalui
annulus inguinalis abdominalis (lateralis/internus) dan mengikuti jalannya spermatid cord
di canalis inguinalis serta dapat melalui annulus inguinalis subcutan (externus) sampai
scrotum. Hernia inguinalis disebut juga hernia scrotalis bila isi hernia sampai ke scrotum.
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan
hernia didapat atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya seperti diafragma,
inguinal, umbilikal, femoral.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat
keluar masuk. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga disebut
hernia ireponibel. Hernia eksterna adalah hernia yang menonjol ke luar melalui dinding
perut, pinggang atau perineum. Hernia interna adalah tonjolan usus tanpa kantong hernia
melalui suatu lobang dalam rongga perut seperti Foramen Winslow, resesus rektosekalis
atau defek dapatan pada mesentrium umpamanya setelah anastomosis usus.
Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit oleh
cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga
perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara klinis hernia
inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase,
sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulate.
Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateral/internus) dan
mengikuti jalannya spermatic cord di canalis inguinalis serta dapat melalui anulus
inguinalis subcutan (externus), sampai scrotum
Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis) adalah
hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis indirek (lateralis), di
mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui locus minoris resistence
(annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk (medialis), di mana isi hernia
masuk melalui titik yang lemah pada dinding belakang kanalis inguinalis. Hernia
inguinalis lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, sementara hernia femoralis
lebih sering terjadi pada wanita.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang
didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus vaginalis yang terbuka,
peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia.
Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi
prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.

Gambar. Hernia Inguinalis

Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan, sering
mengangkat benda berat, atau mengedan. Jika kantong hernia inguinalis lateralis
mencapai scrotum maka disebut hernia skrotalis. Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel
atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat dipakai sebagai pegangan untuk
membedakannya.

Gambar . Hernia scrotalis yang berasal dari hernia inguinalis indirek

B. PENYEBAB
Masih menjadi kontroversi mengenai apa yang sesungguhnya menjadi penyebab
timbulnya hernia inguinalis. Disepakati adanya 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya
hernia inguinalis yaitu meliputi:
1. Processus vaginalis persistent
Hernia mungkin sudah tampak sejak bayi tapi kebanyakan baru terdiagnosis
sebelum pasien mencapai usia 50 tahun. Sebuah analisis dari statistik menunjukkan
bahwa 20% laki-laki yang masih mempunyai processus vaginalis hingga saat
dewasanya merupakan predisposisi hernia inguinalis
2. Naiknya tekanan intra abdominal secara berulang
Naiknya tekanan intra abdominal biasa disebabkan karena batuk atau tertawa
terbahak-bahak, partus, prostat hipertrofi, vesiculolitiasis, carcinoma kolon, sirosis
dengan asites, splenomegali massif merupakan factor resiko terjadinya hernia
inguinalis.
Pada asites, keganasan hepar, kegagalan fungsi jantung, penderita yang
menjalani peritoneal dialisa menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal
sehingga membuka kembali processus vaginalis sehingga terjadi hernia indirect.
3. Lemahnya otot-otot dinding abdomen

C. PEMERIKSAAN HERNIA
Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral
Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap penonjolan viskus, atau
sebagian daripadanya, melalui lubang normal atau abnormal, 90% dari semua hernia
ditemukan di daerah inguinal. Biasanya impuls hernia lebih jelas dilihat daripada diraba.
Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk atau mengejan.
Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat timbulnya benjolan
mendadak selama batuk, yang dapat menunjukkan hernia. Jika terlihat benjolan
mendadak, mintalah pasien untuk batuk lagi dan bandingkan impuls ini dengan impuls
pada sisi lainnya. Jika pasien mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi nyeri dan
periksalah kembali daerah itu.

Pemeriksaan Hernia Inguinalis


Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari pemeriksa di dalam
skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam. Harus ada kulit skrotum
yang cukup banyak untuk mencapai cincin inguinal eksterna. Jari harus diletakkan
dengan kuku menghadap ke luar dan bantal jari ke dalam. Tangan kiri pemeriksa dapat
diletakkan pada pinggul kanan pasien untuk sokongan yang lebih baik.
Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di lateral masuk ke
dalam kanalis inguinalis sejajar dengan ligamentum inguinalis dan digerakkan ke atas ke
arah cincin inguinal eksterna, yang terletak superior dan lateral dari tuberkulum pubikum.
Cincin eksterna dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan.
Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di dalam kanalis
inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke samping dan batuk atau
mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa impuls tiba-tiba yang menyentuh ujung
atau bantal jari penderita. Jika ada hernia, suruh pasien berbaring terlentang dan
perhatikanlah apakah hernia itu dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terus-
menerus pada massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahan-lahan,
tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.
Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai jari telunjuk
kanan untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih suka memakai jari telunjuk
kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan jari telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kiri
pasien. Cobalah kedua teknik ini dan lihatlah cara mana yang anda rasakan lebih nyaman.
Jika ada massa skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya, suatu hernia
inguinal indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi massa itu dapat dipakai untuk
menentukan apakah ada bunyi usus di dalam skrotum, suatu tanda yang berguna untuk
menegakkan diagnosis hernia inguinal indirek.

Transluminasi Massa Skrotum


Jika anda menemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi. Di dalam suatu
ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi pembesaran skrotum. Struktur
vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis normal tidak dapat ditembus sinar. Transmisi
cahaya sebagai bayangan merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa,
seperti hidrokel atau spermatokel.

D. PENATALAKSANAAN PADA HERNIA


Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang
rasional. Tujuan dari operasi adalah reposisi isi hernia, menutup pintu hernia untuk
menghilangkan LMR, dan mencegah residif dengan memperkuat dinding perut. Prinsip
dasar operasi hernia terdiri dari herniotomy, hernioraphy, dan hernioplasty.
Pada herniotomy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya,
kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi ke
cavum abdomen seperti semula. Kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu
dipotong. Pada hernioraphy leher hernia diikat dan digantungkan pada conjoint tendon
(pertemuan m. transverses internus abdominis dan m. obliqus intenus abdominis). Pada
hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
Pada bayi dan anak-anak dengan hernia kongenital lateral yang faktor penyebab
adanya prosesus vaginalis yang tidak menutup sedangkan anulus inguinalis internus
cukup elastis dan dinding belakang kanalis cukup kuat, hanya dilakukan herniotomi tanpa
hernioplastik.
Pada operasi hernia inguinalis, ada 3 prinsip yang harus diperhatikan, yaitu eksisi
kantong hernia, ligasi tinggi kantong hernia, dan repair dinding kanalis inguinalis.
Tehnik operasi
 Insisi inguinal 2 jari medial SIAS sejajar ligamentum inguinal ke tuberculum
pubicum
 Insisi diperdalam sampai tampak aponeurosis MOE → tampak crus medial dan lateral
yg merupakan annulus eksternus
 Aponeurosis MOE dibuka kecil dengan pisau, dengan bantuan pinset anatomis dan
gunting dibuka lebih lanjut ke cranial sampai annulus internus dan ke kaudal sampai
membuka annulus inguinal eksternus.
 Funiculus dibersihkan, kemudian digantung dengan kain kasa dibawa ke medial,
sehingga tampak kantong peritoneum
 Peritoneum dijepit dengan 2 pinset → dibuka → usus didorong ke cavum abdomen
dengan melebarkan irisan ke proksimal sampai leher hernia. Kantong sebelah distal
dibiarkan
 Leher hernia dijahit dengan kromik → ditanamkan di bawah conjoint tendon dan
digantungkan.
 Selanjutnya dilakukan hernioplasty secara:
Ferguson
Funiculus spermaticus ditaruh disebelah dorsal MOE dan MOI abdominis MOI dan
transverses dijahitkan pada ligamentum inguinale dan meletakkan funiculus di dorsalnya,
kemudian aponeurosis MOE dijahit kembali, sehingga tidak ada lagi kanalis inguinalis.
Bassini
MOI dan transverus abdominis dijahitkan pada ligamentum inguinal, funiculus
diletakkan disebelah ventral → aponeurosis MOE tidak dijahit, sehingga kanalis
inguinalis tetap ada. Kedua musculus berfungsi memperkuat dinding belakang canalis
sehingga LMR hilang
Halsted
Dilakukan penjahitan MOE, MOI dan m. transverses abdominis, untuk memperkuat
/ menghilangkan LMR. Funiculus spermaticus diletakkan di subkutis.

Tehnik operasi terbaru pada hernia inguinalis adalah menggunakan mesh, suatu
materi prostese yang digunakan untuk memperkuat otot-otot di region inguinalis sehingga
mengurangi timbulnya residif.
Keuntungan pemakaian mesh antara lain:
 Aman, terutama pada pasien dengan penyakit penyerta kronik
 Efektif dan kuat
 Penyembuhan berlangsung lebih cepat
 Nyeri pasca operasi minimal
 Jarang menimbulkan komplikasi

B. Anestesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarackhnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal.6
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis 
subkutis  Lig. Supraspinosum  Lig. Interspinosum  Lig. Flavum  ruang epidural
 durameter  ruang subarachnoid.
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal,
dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa
berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/analgesi
spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L5.6
 Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan v
dengan anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut:


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

 Kontra indikasi relatif:


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik

 Persiapan analgesia spinal


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak
teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran


Hb, Ht, PT (Protrombin Time) , PPT (Partial Tromboplastin Time)

 Peralatan analgesia spinal


1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

 Anastetik lokal untuk analgesia spinal


Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik
lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik lokal dengan berat
jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil
dari css disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100mg
(2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg
(1-4ml)
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg (1-3ml)

 Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6cm.
 Penyebaran anastetik lokal tergantung:
1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal
 Lama kerja anestetik lokal tergantung:
1. Jenis anestetia lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal
 Komplikasi tindakan anestesi spinal :
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

 Komplikasi pasca tindakan


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien dengan diagnosis Hil Dx Inkarserata dilakukan anestesi spinal. Sebelum
dilakukan pembedahan pasien diberikan premedikasi sotatic 10 mg.
Setelah diberikan premedikasi, pasien dilakukan induksi anestesi spinal dengan regivel 3 cc.
Diberikan rumatan selama operasi dengan oksigen 3 cc/L serta tanda- tanda vital dipantau mulai
dari tekanan darah, saturasi O2, dan nadi. Pembedahan berlangsung kurang lebih 40 menit, tanda
vital dan saturasi baik selama operasi. Sebelum dan selama pembedahan pasien dilakukan
pemantauan kebutuhan cairan. Cairan yang digunakan adalah Asering.
Pada saat pasien sudah berada di recovery room (RR) oksigenasi dengan O2 tetap diberikan,
kemudian dilakukan pemantauan fungsi vital. Tekanan darah 110/76 mmHg, nadi 80 x/menit, O2
3 L/menit dengan saturasi 100 %.
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien Hil Dx Inkarserata usia 71 tahun datang ke RSUD Tidar Kota Magelang.
Dilakukan tindakan hernioraphy pada tanggal 3 November 2018 di kamar operasi RSUD Tidar
Kota Magelang. Teknik anestesi menggunakan anestesi spinal yang merupakan teknik anestesi
yang dipilih karena pertimbangan anatomi dari letak organ yang akan di operasi.
Diberikan sotatic 10 mg sebagai antiemesis dalam premedikasi. Anestesi dengan
menggunakan regivell 3 cc, untuk maintenance dengan oksigen 3 liter/ menit serta diberikan
analgesik berupa Dexketoprofen 100 mg dan Tramadol 50 mg. Perawatan post operatif dilakukan
di bangsal dan dengan diawasi vital sign dan tanda- tanda perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anastesi spinal : USU. Anestesi. [Online]. Updated March 2014. Available at


http://repository.usu.ac.id. Accessed 20 November, 2018.
2. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta: EGC.
3. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Dan Reanimasi.
Semarang 2002.
4. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta 2014: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta 2014

Anda mungkin juga menyukai