Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

DEMAM TIFOID

Pembimbing :
Prof. Soebandiri, dr., Sp.PD, K-HOM

Penyusun :
M.Dennys Setyo P 2017.04.2.0109
Nurjanah 2017.04.2.0129
Nurmawatin 2017.04.2.0130

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2017

0
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “Demam Tifoid” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah
satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter
Muda di bagian Penyakit Dalam.

Mengetahui,
Pembimbing

Prof. Soebandiri, dr., Sp.PD, K-HOM

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Demam Tifoid” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah
satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian
Penyakit Dalam RSAL dr. RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat
dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan
penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
a. Prof. Soebandiri, dr., Sp.PD, K-HOM selaku Pembimbing Referat.
b. Para dokter di bagian Penyakit Dalam RSAL dr. RAMELAN
Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di Penyakit Dalam RSAL dr. RAMELAN
Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 13 Desember 2017

penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
BAB III KESIMPULAN................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................19

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serovar typhi (S typhi). 9 Salmonella enterica serovar
paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut
demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam
enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah
demam tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi topik yang sering
diperbincangkan.15

Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan
Eropa dengan keterse- diaan air bersih dan sistem pembuangan yang
baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara
berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan
menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun
2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per
tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan
kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per
100.000 populasi per ta- hun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk
rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia
lainnya. 9

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan


merupakan reservoir untuk Sal monella typhi. Bakteri tersebut dapat
bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut
dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau
tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi
pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang
infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi
dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontami- nasi oleh
feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi
9
yang berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga

1
berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan
riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,
menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya
tempat buang air besar dalam rumah. 16

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh salmonella typhi.11

2. ETIOLOGI
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam
paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S.
Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik
(O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri
dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. 14
3. EPIDEMIOLOGI
Tifoid terdapat di seluruh dunia, terutama di negara-negara
yang sedang berkembang didaerah tropis. Penyakit ini telah ada
sejak beberapa abad yang lalu.
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidermis tapi
bersifat endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada
perbedaan yang nyata insiden tifoid pada pria dengan wanita.
Insiden tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa muda.
Simanjuntak (1990) mengemukakan bahwa insiden tifoid di
Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000
penduduk. Demikian juga dari telaah kasus demam tifoid di rumah
sakit besar di Indonesia, menunjukan angka kesakitan cenderung

3
meningkat Setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk.
Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya
pengobatan.
Di negara yang telah maju, tifoid masih ada bersifat sporadis
terutama sehubungan dengan kegiatan wisata ke negara-negara
yang sedang berkembang. Di USA insiden tifoid tidak berbeda
antara laki-laki dan wanita. Karier intestinal kronik lebih banyak
dijumpai pada perempuan dengan perbandingan 3,65:1 dengan
laki-laki. Kurang lebih 85% karier ini dijumpai pada wanita di atas
50 tahun. Secara umum insiden tifoid dilaporkan 75% didapatkan
pada umur kurang dari 30tahun. Pada anak-anak biasanya di atas
1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun dan manifestasi klinik lebih
ringan.8
4. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak
terdapat di masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik.
Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh
manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar dan dapat
juga melalui kontak langsung dengan jari penderita yang
terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. Selain itu,
transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke
janin. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. 4, 7
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal
yang berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa
usus. Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan
IgG untuk memudahkan fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas
seluler sendiri berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler. 10
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik,
kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

4
makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan ke
kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang
terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan
bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke sirkulasi darah
lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan
gejala klinis. 4, 7
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan
berkembang biak kemudian disekresikan secara intermiten bersama
cairan empedu ke lumen usus, sebagian keluar bersama feses, dan
sebagian lagi menembus usus kembali dan difagosit oleh makrofag
yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga melepaskan sitokin
reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit kepala,
sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi,
dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag
hiperaktif sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan
saluran cerna (erosi vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman
terus menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa usus,
dapat mengakibatkan perforasi. 4
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain.
Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh
4
penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau karier.

5
PATHWAY
bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi masuk ke saluran cerna

sebagian dimusnahkan asam lambung sebagian masuk usus halus

peningkatan asam lambung di ileum terminalis membentuk


limfoid plaque peyeri

mual, muntah

sebagian hidup sebagian menembus


intake kurang dan menetap lamina propria

gangguan nutrisi perdarahan masuk aliran limfe

perforasi masuk ke kelenjar


limfe mesenterikus

PERITONITIS menembus aliran darah

nyeri tekan masuk hepar dan lien

5. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi demam tifoid sekitar hepatomegali,
10-14 hari,splenomegali
rata-rata 2
minggu. Spektrum klinis demam tifoid tidak infeksi
khas Salmonella
dari asimtomatik
typhi,
paratypi, dan endotoksin
atau ringan seperti panas disertai diare sampai dengan klinis yang
berat seperti panas tinggi, gejala septik, ensefalopati, atau timbul
dilepasnya zat pirogen
oleh
komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan leukosit
dan perforasi usus. Hal
ini mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan
DEMAM TIFOID
gambaran klinisnya. 1
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam
1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia
karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella
typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada
malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan
pada 1 penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi
dapat menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat

6
dibedakan dengan apendiksitis. Pada tahap lanjut dapat muncul
gejala peritonitis akibat perforasi usus. 4
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar
o
39-40 C), nyeri kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual,
muntah, konstipasi, diare, nyeri perut, nyeri otot, dan malaise.
Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas berwarna putih
(lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor,
koma, atau psikosis). 4, 10
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur
naik selama minggu ke-1, terutama sore dan malam hari (febris
remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam terus-menerus tinggi
(febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang
dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang
disertai epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering
dan pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan tepi
hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien
membesar, lunak, dan nyeri tekan. Pada awal penyakit umumnya
terjadi diare kemudian menjadi obstipasi. 4, 10
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi
pemeriksaan hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi,
mikrobiologi, dan biologi molekuler. Pemeriksaan ini untuk
membantu menegakkan diagnosis, menentukan prognosis, serta
memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya
komplikasi.
1. Hematologi
a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi
komplikasi perdarahan atau perforasi usus.
b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau
tinggi.
c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis
relatif.
d. Laju endap darah (LED) meningkat.
e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).

7
2. Urinalisis
a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi
komplikasi. 7
3. Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran
radang sampai hepatitis akut. 7
4. Imunoserologi
a. Widal 10
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam
darah terhadap antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi
(reagen). Pada uji ini hasil positif jika terjadi reaksi aglutinasi
antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh
karena itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif
palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi silang dengan
spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik
(pernah sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil negatif
palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi antibiotik,
waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan
umum buruk, dan adanya penyakit imun lain.
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan
menderita demam tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi
pada akhir minggu ke-1 demam kemudian meningkat secara
cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4 serta tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O dan diikuti aglutinin H. Orang yang sembuh, aglutinin
O masih dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama 9-12 bulan.
Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan
titer 4 kali, diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H

8
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau
sedangkan Vi untuk deteksi pembawa kuman (karier).
b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal
untuk mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan
infeksi akut sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak,
terinfeksi, reinfeksi, atau di daerah endemik. 7
5. Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard
untuk demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam
tifoid. Jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu
sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera dimasukkan ke media gall
(darah membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap dalam
bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu ke-1 sakit,
sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui
karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7
hari, jika belum ada ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan
pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium lanjut atau
carrier digunakan urin dan feses. 1, 10
6. Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan.
Cara ini dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini
dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitivitas) dan spesifisitas tinggi. Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah, urin, cairan tubuh lain, dan jaringan biopsi. 6

7. DIAGNOSIS
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
dilakukan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk
mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan membiakkan
pada 14 hari awal setelah terinfeksi. 7

9
Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada
hari ke-10 dan titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit.
Pengulangan tes widal selang 2 hari jika peningkatan aglutinin
progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi
aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2 dan
ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat
mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri Salmonella.
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis.
Jika terdapat leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan
limfositosis relatif pada hari ke-10 dari demam, arah demam tifoid
menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN, berarti terdapat infeksi
sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari
leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak
mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada
penderita yang setelah terpapar kuman hanya mengalami demam
kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu dapat terjadi karena
tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman
langsung sakit, tergantung dari banyaknya kuman dan imunitas
seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna,
7
dapat langsung dimatikan oleh sistem imun.

8. DIAGNOSA BANDING
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis
dapat menjadi diagnosis banding seperti influenza, bronkitis,
bronkopneumonia, dan gastroenteritis. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis,
demam berdarah, shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan.
Demam tifoid yang berat dapat didiagnosis banding dengan sepsis,
leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin. 2, 7,

9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:


1. Intestinal
a. Perdarahan usus

10
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis)
dapat terbentuk tukak. Jika tukak menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah, terjadi perdarahan. Jika tukak
menembus dinding usus, terjadi perforasi. Perdarahan juga
dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC). Sekitar
25% penderita mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Namun, perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi dapat
mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini
1, 3,
merupakan suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah.
10

b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat.
Biasanya timbul pada minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada
minggu ke-1. Penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut hebat terutama di kuadran kanan bawah
yang menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda ileus.
Peristaltik melemah pada 50% penderita dan pekak hepar
kadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di
abdomen. Tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan
darah turun, dan bahkan syok. 1, 3, 10
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat
menyokong adanya perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3
posisi ditemukan udara pada rongga peritoneum, hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi
usus pada demam tifoid. 1, 3, 10
c. Ileus paralitik
d. Pankreatitis
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejala-gejalanya
adalah sama dengan gejala pancreatitis. Penderita nyeri perut
hebat yang disertai mual dan muntah warna kehijauan,
meterismus dan bising usus menurun. Enzim amylase dan
lipase meningkat.8
2. Ekstraintestinal
a. Syok Septik :

11
Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena
bakteremia Salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid diatas,
penderita jatuh ke dalam fase kegagalan vaskuler (syok). Tensi
turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Akan
berbahaya bila syok menjadi irreversible.8
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia10
c. Pneumonia :
Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan
mikroba lain yang sering menyebabkan pneumonia. Pada
pemeriksaan didapatkan gejala gejala klinis pneumonia serta
gambaran khas pneumonia pada foto polos toraks. 8
d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.3
e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.10
f. Tifoid Toksik :
Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan
gejala delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan
neurologis lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam batas-
batas normal.8

10. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi
merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain
pemberian antibiotik. Tatalaksana demam tifoid meliputi:
1. Tirah baring

Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur


seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air
besar dapat mempercepat penyembuhan. Kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai juga perlu dijaga. 5
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk
isolasi, observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau ± 14 hari. Tirah
baring bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan

12
atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien. 5
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus
diubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil
harus diperhatikan karena kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
5

2. Managemen nutrisi
Penderita harus mendapat cairan yang cukup oral ataupun
parentreal. Diet mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah
pendarahan dan perforasi. Bila keadaan penderita baik dapat
diberikan diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap
sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. 8
Terapi simtomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk
memperbaiki keadaan umum penderita: Roborantia, vitamin,
antipiretik (untuk kenyamanan penderita, terutama anak-anak), anti
emetic.8
3. Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan paranteral diindikasikan pada penderita
sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit
makan. 8
Dosis cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian
(tetes rumatan). Bila ada komplikasi dosis cairan disesuaikan
dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori
yang optimal.8
4. Managemen Medis
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan
bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari
kematian.9 Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total
9
bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat
Salmonella typhi setempat.9

13
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin,
dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid
yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone
dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan
demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang
dari 2%.9 Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas
fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah
diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi
komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk
levofloxacin terhadap obat standar ciprofl oxacin untuk terapi
demam tifoid tanpa komplikasi.12
Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari
dan ciprofl oxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari
masing-masing selama 7 hari. Selain itu, pernah juga dilakukan
studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan
levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. 13
Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7
hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan
efek samping yang minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel
perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara
berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana
penurunan demam pada levofl oxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari. 13
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009
menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa,
fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk
mencegah kekambuhan.13 Namun, fluoroquinolone tidak diberikan
pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan kerusakan sendi.11
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi
terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari
chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%),
angka terjadi carrier juga tinggi. Dan toksis pada sumsum tulang. 11

14
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis
lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal
carrier terjadi pada kurang dari 4%. 11 Pasien dengan muntah yang
menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun
memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut
diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat. 9

11. PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan
umum, status imunitas, jumlah dan virulensi kuman, serta cepat
dan tepatnya pengobatan. Prognosis buruk jika terdapat gejala
klinis yang berat seperti hiperpireksia atau febris kontinyu,
kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan
terapi antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara
berkembang angka mortalitas > 10%, biasanya disebabkan
keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Angka mortalitas pada
anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% dengan rata-rata
7
5,7%.

12. PENCEGAHAN
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu
menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi,
higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan
lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. 9
Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya
kasus resistensi.9 Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi
terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang
endemik demam tifoid.9
Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:6,9
• Vaksin Vi Polysaccharide Vaksin ini diberikan pada anak
dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara subkutan atau
intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan

15
untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi
perlindungan sebesar 70-80%.
• Vaksin Ty21a Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut
enterik dan cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin
diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik
dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif
selama 3 tahun dan memberikan efi kasi perlindungan 67-82%.
• Vaksin Vi-conjugate Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5
tahun di Vietnam dan memberikan efi kasi perlindungan 91,1% selama
27 bulan setelah vaksinasi. Efi kasi vaksin ini menetap selama 46
bulan dengan efi kasi perlindungan sebesar 89%.

16
BAB 3
KESIMPULAN

 Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut


yang disebabkan oleh salmonella typhi.
 Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, gambaran
klinis dan pemeriksaan tambahan dari laboratorium.
 Terapi yang diberikan adalah istirahat, diet lunak, dan antimikroba.
 Diagnosis demam tifoid ditegakkan secara dini dan disertai
pemberian terapi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi,
kekambuhan, pembawaan kuman (carrier), dan kemungkinan
kematian.
 Strategi pencegahan diarahkan pada ketersediaan air bersih,
menghindari makanan yang terkontaminasi, higiene perorangan,
sanitasi yang baik, dan pemberian vaksin sesuai kebutuhan

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of


Internal Medicine: Harrison 16th Ed. 897-900.

2. Brusch, J.L. 2010. Typhoid Fever. www.emedicine.medscape.com.

3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis 2nd Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

4. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

5. Mansjoer, A. 2000. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran.


Jakarta: FK UI.

6. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract
2006; 14: 266-72.

7. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta:


Infomedika.

8. KepmenkesRI. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.


JAKARTA:2006

9. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid Fever And Paratyphoid


Fever. Lancet 2005; 366: 749-62.

10. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and


Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment 45 th Ed.
1425-6.

11. Askandar Tjokroprawiro, Hendromartono, Ari Sutjahjo, Agung


Pranoto, Sri Murtiwi, Soebagijo Adi S., dkk. 2015. Demam Tifoid.
Dalam Askandar Tjokroprawiro, Poernomo Boedi Setiawan, Chairul
Effendi, Djoko Santoso, Gatot Soegiarto: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 647.

12. Nelwan RHH, Lie KC, Hadisaputro S, Suwandoyo E, Suharto,


Nasronudin, et al. A Single-Blind Randomized Multicentre

18
Comparative Study Of Effi Cacy And Safety Of Levofl Oxacin Vs
Ciprofl Oxacin In The Treatment Of Uncomplicated Typhoid Fever.
Paper presented at: 55th Annual Meeting ASTMH; 2006 Nov;
Atlanta, USA

13. Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on effi


cacy and safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated
typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2006;
37(1): 126-30

14. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar
infeksi & pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ;
2008. h. 338-45.

15. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper


presented at: 12th Jakarta Antimicrobial Update; 2011 April 16-17;
Jakarta, Indonesia.

16. Vollaard AM, Ali S, Van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, Surjadi
C, et. al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta,
Indonesia. JAMA 2004; 291: 2607-15.

19

Anda mungkin juga menyukai