Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

Uveitis Anterior Akut komplikasi Glaukoma Et Causa


Trauma Tumpul

Oleh :
Ari Aprianto 1820221184

Pembimbing :
dr. Retno Wahyuningsih, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT UMUM DR. GUNAWAN MANGUNKUSUMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Dr Gunawan Mangunkusumo

Oleh:
Ari Aprianto 1820221184

Ambarawa, Mei 2021


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing

(dr. Retno Wahyuningsih, Sp. M)

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul “Uveitis Anterior Akut komplikasi glaukoma ec Trauma Tumpul”. Laporan
Kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Mata Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUD dr. Gunawan
Mangunkusumo, Ambarawa periode 2021. Penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada dr. Retno Wahyuning, Sp. M selaku pembimbing Laporan Kasus ini, dan
kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama kepaniteraan. Tidak lupa
ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Kasus ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
agar Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga Laporan Kasus ini dapat memberikan
manfaat bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Ambarawa, Mei 2021

Penulis

2
BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Gembongan
Pekerjaan : Petani
Tanggal Pemeriksaan : 12 Mei 2021
No. Rekam Medis : 20XXXX-2021

2. Anamnesis
Pemeriksaan dilakukan pada 11 Mei 2021 pukul 09.00 WIB, di Poli Mata RSUD
dr. Gunawan Mangunkusumo, Ambarawa.
1.1. Keluhan Utama: Mata kiri buram
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli mata RSGM dengan keluhan mata kiri nyeri,
merah dan buram sejak 10 hari SMRS. pasien sedang mengendarai motor tanpa
helm dan terdapat benda asing yang mengenai mata kiri pasien. Setelah terkena
benda asing, pasien mengeluhkan rasa nyeri dan merah pada mata kiri pasien.
Setelah itu pasien memberikan obat tetes mata yang diberikan oleh tetangganya
namun pasien lupa nama obatnya. Setelah diberikan obat tetes mata, keluhan
nyeri hilang namun secara perlahan mata kiri pasien menjadi buram. Keluhan
pusing, mual, muntah, pandangan silau dan ganda disangkal oleh pasien.

1.2. Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat DM, alergi obat, trauma pada mata :Trauma terkena benda
asing pada mata kiri
Riwayat operasi mata : Disangkal

3
Riwayat penyakit dengan keluhan sama : Disangkal
Riwayat penyakit gigi dan mulut : Disangkal
Riwayat Pengobatan Paru 6 bulan : Disangkal
Riwayat sinusitis : Disangkal
Riwayat penyakit autoimun : Disangkal

1.3. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal

1.4. Riwayat Pribadi :


Pasien mengaku baru pertama kali datang ke rumah sakit untuk keluhannya
dan pasien sudah memberikan obat tetes mata pada mata kiri pasien.

1.5. Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani. Biaya pengobatan pasien
menggunakan BPJS. Kesan sosial ekonomi rendah.

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 Mei 2021 pukul 09.00 WIB di Poli
Mata RSGM Ambarawa
3.1. Status Generalis:
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,3o C
Kepala : Normosefal
Leher : KGB tak teraba membesar
Jantung : Dalam batas normal

4
Paru : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
3.2. Status Lokalis Oftalmologi:
Oculus Dexter Pemeriksaan Oculus Sinister
(OD) (OS)
6/6 Visus 2/60
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Baik ke segala arah Gerakan bola mata Baik ke segala arah
Trikiasis (-), distikiasis Suprasilia Trikiasis (-), distikiasis
(-), bulu mata rontok (-), (-), bulu mata rontok (-),
krusta (-) krusta (-)
Hiperemis (-), edema (-), Palpebra Hiperemis (-), edema (-),
ptosis (-) ptosis (-)
Hiperemi (-), injeksi Konjungtiva Hiperemi (+), injeksi
konjungtiva (-), injeksi konjungtiva (+), injeksi
siliar (-), sekret (-) siliar (+), sekret (-)
Jernih (+), defek (-), Kornea Jernih (+), defek (-),
neovaskularisasi (-), neovaskularisasi (-),
udema (-), corpal (-) udema (-), corpal (-)
Jernih, kedalaman cukup, Camera oculi Jernih, kedalaman cukup,
hifema (-), hipopion (-) anterior hifema (-), hipopion (-)

Coklat (+), Rugae (+), Iris Coklat (+), Rugae (+),


Edema (-), Sinekia (-), Edema (-), Sinekia (-), iris
iris bombe (-) bombe (-)
Bulat, central, regular, Pupil Bulat, central, irregular,
diameter 3 mm, refleks diameter 4 mm, refleks
cahaya (+) normal cahaya (-)
Jernih Lensa Jernih
7/5,5 = 12,2 TIO 6/10 = 31,8

5
4. Slit Lamp
Kornea : Keratic Presipitate (+)
COA : Keruh (+), Flare (+)

5. Diagnosis Kerja
Uveitis anterior akut komplikasi glaukoma ec trauma tumpul

6. Diagnosis Banding
1. Konjungtivitis
2. keratitis

7. Penatalaksanaan
7.1. Non medikamentosa
a. Edukasi kepada pasien tentang penyakit pasien, penggunaan obat pada
pasien, dan kontrol 1 minggu kemudian untuk melihat progress penyakit.
Menjelaskan pada pasien apabila gejala tidak membaik segera ke dokter
mata.

7.2. Medikamentosa
1. Cendo tropin ED 0,5% 2X1gtt OS
Cendo tropin merupakan obat siklopegik yang berfungsi untuk
mengistirahtkan otot-otot iris dan badan silier, sehingga dapat

6
mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan dan mencegah
terjadinya sinekia, atau melepaskan sinekia yang telah ada
2. Alletrol ED 6x1gtt OS
Alletrol merupakan obat yang berisi antobiotik dan kortikosteroid yang
berfungsi untuk mengurangi peradangan yang terjadi dan dapat
menyembuhkan terjadinya infeksi
3. Spiramycin 3x500mg
Spiramycin merupakan antibiotic golongan makrolida untuk mengobati
infeksi bakteri sistemik
4. Lameson 2x8mg
Lameson merupakan kortikosteroid yang berfungsi mengurangi
peradangan sistemik.

8. Prognosis
OD OS
Quo ad vitam : Ad Bonam Ad Bonam
Quo ad functionam : Ad Bonam Dubia ad Bonam
Quo ad sanactionam : Ad Bonam Ad Bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Mata
Mata terdiri dari dua struktur yaitu bagian aksesori mata dan bola mata. Mata
kita adalah struktur rumit yang mengandung reseptor visual yang memungkinkan
kita tidak hanya mendeteksi cahaya, tetapi juga membuat gambar visual yang detail.
Struktur aksesoris dari mata adalah palpebrae atau kelopak mata, bulu mata,
konjungtiva, dan apparatus lakrimalis. Bola mata berbentuk bulat dengan diameter
rata-rata 24 mm dan berat 8 g. Dinding mata memiliki tiga lapisan yaitu lapisan
fibrosa yang terdiri dari sklera dan korena, lapisan uvea yang terdiri dari iris, badan
siliaris dan choroid, dan retina. 1

Gambar 1. Anatomi mata potongan sagital dan horizontal

1. Kelopak mata
Kelopak mata atau palpebrae adalah terusan dari kulit kepala dimana kedipan
mereka yang terus menerus membuat permukaan mata tetap terlumasi. Mereka juga
berfungsi seperti wiper kaca depan yaitu menghilangkan debu dan kotoran. Kelopak
mata juga bisa menutup dengan kuat untuk melindungi permukaan mata.1

2. Konjungtiva

8
Konjungtiva adalah lapisan epitelium transparan dan tipis yang melapisi
bagian dalam kelopak mata disebut konjungtiva palpebralis dan permukaan anterior
sklera yang disebut konjungtiva bulbaris atau konnjungtiva okularis. Struktur ini
berfungsi melindungi kornea dari gesekan, memberikan perlindungan pada sklera
dan memberi pelumasan pada bola mata.1

3. Apparatus Lakrimalis
Apparatus lakrimalis masing-masing terdiri dari glandula lakrimalis dan

duktusnya, kanalikulus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis. Struktur ini berfungsi

memberikan aliran air mata yang konstan dan menjaga permukaan konjungtiva tetap

lembab dan bersih, sehingga mengurangi gesekan, menghilangkan debris, mencegah

infeksi, dan memberikan nutrisi dan oksigen ke epitel konjungtiva.1

4. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat fibrosa yang terdiri dari kolagen dan jaringan
elastis yang lentur dan memberikan bentuk pada mata. Jaringan ini merupakan
bagian terluar yang melindungi bola mata.1
5. Kornea
Kornea adalah struktur kompleks yang bertanggung jawab sebagai tiga
perempat kekuatan optik dari mata. Kornea berbentuk elips, berukuran kira- kira 12
mm (diameter horizontal), 11 mm (diameter vertikal), dan tebal 1 mm. Kornea
berfungsi sebagai permukaan pembiasan mata yang paling penting, dimana kekuatan
dioptriknya kira-kira 43 dioptri.1 Kornea memiliki 5 lapisan dari anterior ke
posterior, yaitu epithelium, lapisan Bowman's, stroma, membrane Descemet's and
endothelium. Lapisan kornea dapat dilihat pada Gambar 2.2

9
Gambar 2. Struktur lapisan kornea potongan transversal.

Lapisan terluar kornea adalah lapisan epitelium skuamosa bertingkat yang


tidak berkeratin. Pada permukaan terluar epitelium terdapat mikroplicae dan
mikrovili yang memfasilitasi penempelan tear film dan mucin. Setelah beberapa
hari, sel-sel superfisial pada epitel akan menjadi tear film.2
Lapisan yang terdapat di posterior epitelium adalah lapisan avascular
Bowman yang terdiri dari serat kolagen, lalu dibawahnya adalah lapisan stroma
yang terdiri dari serat kolagen, proteoglycan dan keratosit. Di bawahnya terdapat
membrane Descemet yang terdiri dari serat kolagen dan memiliki potensi
regeneratif, serta bagian paling bawah dari lapisan kornea adalah lapisan
endothelium yang terdiri dari satu lapis sel-sel polygonal yang berfungsi untuk
menjaga hidrasi kornea dengan memompa cairan berlebihan keluar dari stroma.
Lapisan endothelium tidak dapat beregenerasi.2

6. Iris
Iris merupakan struktur yang termasuk lapisan vaskular atau uvea bola mata.

Iris memiliki struktur cincin berpigmen dan pipih, terlihat melalui permukaan

kornea yang transparan. Iris mengandung pembuluh darah, sel pigmen (melanosit),

dan dua lapisan otot pupil. Ketika otot-otot ini berkontraksi, mereka mengubah

10
diameter pupil, dan mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola mata

secara otomatis dengan mengecilkan (miosis) atau melebarkan (midriasis) pupil. 1,3

7. Badan siliaris
Badan siliar merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi mengubah

tegangan kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk objek dekat maupun jauh

dalam lapang pandang. 3

8. Badan siliaris
Koroid adalah lapisan vaskular yang memisahkan lapisan fibrosa dan lapisan

dalam di posterior ora serrata. Koroid ditutupi oleh sklera dan melekat pada lapisan

terluar retina. Jaringan kapiler yang luas di koroid mengirimkan oksigen dan nutrisi

ke retina. Koroid juga mengandung melanosit, yang jumlahnya sangat banyak di

dekat sklera.1

9. Aqueous humor
Badan siliaris dan lensa membagi bagian dalam mata menjadi rongga
posterior yang besar dan rongga anterior yang lebih kecil, seperti dilihat pada
Gambar 3. Aqueous humor adalah cairan yang disekresi oleh epitelium badan
siliaris, yang bersirkulasi di dalam rongga anterior. Cairan ini melewati dari ruang
posterior ke ruang anterior melalui pupil.
Aqueous humor menyediakan jalur penting untuk pengangkutan nutrisi dan
waste product. Struktur ini juga berfungsi sebagai bantalan cairan, tekanan yang
diberikan cairan ini juga membantu mempertahankan bentuk mata dan menstabilkan
posisi retina. Dalam kata lain, aqueous humor bertindak seperti udara di dalam
balon.1

11
Gambar 3. Rongga anterior dan posterior mata.

10. Badan vitreous dan Vitreous humor


Rongga posterior mata berisi badan vitreous, yang merupakan massa

gelatinosa. Porsi cairannya disebut vitreous humor. Badan vitreous membantu

menstabilkan bentuk mata.1

11. Lensa
Lensa adalah struktur cakram bikonveks (melengkung ke luar) transparan
yang fleksibel dan terletak di posterior kornea serta ditahan oleh ligamentum
suspensorium zonule siliaris yang berasal dari badan siliaris koroid. Tebalnya
sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Di sebelah anterior lensa terdapat aqueous
humor, di posteriornya terdapat vitreous humor.
Lensa terdiri dari lapisan sel konsentris. Serat padat yang elastis menutupi

seluruh lensa. Sel-sel di bagian inferior lensa disebut serat lensa. Sel-sel yang sangat

terspesialisasi ini telah kehilangan inti dan organel lainnya. Struktur sel ini panjang

dan ramping dan diisi dengan protein transparan yang disebut kristalin. Protein ini

memberi lensa kejernihan dan kekuatan pemfokusannya. Kristalin adalah protein

yang sangat stabil dimana mereka tetap utuh dan berfungsi seumur hidup. Fungsi

12
utama lensa adalah untuk memfokuskan gambar visual pada fotoreseptor. Lensa

melakukannya dengan mengubah bentuknya.1,3

B. UVEITIS
1. Definisi
Uveitis adalah peradangan pada uvea, yang selanjutnya dibagi lagi menjadi
komponen anterior dan posterior. Bagian anterior terdiri dari iris dan badan
siliar, sedangkan bagian posterior termasuk koroid. Oleh karena itu, uveitis
adalah peradangan dari salah satu komponen ini dan mungkin juga termasuk
jaringan sekitarnya lainnya seperti sklera, retina, dan saraf optik. Uveitis sering
idiopatik tetapi dapat dipicu oleh mekanisme genetik, traumatik, sistem imun,
atau infeksi.4
2. Epidemiologi
Walaupun kasus uveitis jarang ditemukan, namun uveitis menduduki
urutan ke-3 dari penyebab kebutaan yang dapat dicegah di dunia. Sekitar 2 juta
penduduk dunia mengalami uveitis, dengan prevalensi 38-730 per 100.000.
Penduduk.di Amerika Serikat, terdapat 15 orang di dalam 100.000 orang
penduduk yang terinfeksi uveitis.5
3. Klasifikasi
The International Uveitis Study Group (IUSG) dan The Standardization
of Uveitis Nomenclatur (SUN) membagi uveitis berdasarkan anatomi, etiologi,
dan perjalanan penyakit. Secara anatomi, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior,
uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis. Sedangkan menurut
etiologi, uveitis dibagi menjadi infeksi (bakteri virus, jamur, dan parasit), non-
infeksi, dan idiopatik. Berdasarkan perjalanan penyakit, uveitis dibagi menjadi
akut (onset mendadak dan durasi kurang dari empat minggu), rekuren (episode
uveitis berulang), kronik (uveitis persisten atau kambuh sebelum tiga bulan
setelah pengobatan dihentikan), dan remisi (tidak ada gejala uveitis selama tiga
bulan atau lebih).6
 Berdasarkan reaksi radang yang terjadi
 Non granulomatosa: Diduga akibat alergi, karena tak pernah
ditemukan kumannya dan sembuh dengan pemberian kortikosteroid.

13
Timbulnya sangat akut. Reaksi vaskuler lebih hebat dari reaksi
seluler sehingga injeksinya hebat. Di iris tak tampak nodul. Sinekia
posterior halus-halus oleh karena hanya sedikit megandung sel.
Cairan COA mengandung lebih banyak fibrin daripada sel. Badan
kaca tak bayak kekeruhan. Rasa sakit lebih hebat, fotofobia dan bisus
juga banyak terganggu. Pada stadium akut karena banyak
mengandung fibrin dapat terbentuk hipopion. Lebih banyak
mengenai uvea anterior. Patologi anatomis: di iris dan badan siliar
didapatkan sel plasma dan sel-sel mononuclear7,8
 Granulomatosa: Terjadi karena invasi mikrobakteri yang patogen ke
jaringan uvea, meskipun kumannya sering tidak ditemukan sehingga
diagnose ditegakkan berdasarkan keadaan klinis saja. Timbulnya
tidak akut. Reaksi seluler lebih hebat daripada reaksi vaskuler.
Karenanya injeksi siliar tidak hebat. Iris, gambaran bengkak,
menebal bergarisnya kabur. Di permukaannya terdapat nodul
busacca. Di pinggir pupil juga didapat nodul Koepe. Keratic
presipitat besar-besar, kelabu dan disebut mutton fat deposit. Coa
keruh seperti awan, lebih banyak sel daripada fibrin. Badan kaca
keruh. Rasa sakit sedang, fotofobia sedikit. Visus terganggu hebat
oleh karena media yang dialui cahaya banyak terganggu. Keadaan ini
terutama mengenai uvea posterior. Patologis anatomis nodul, terdiri
dari sel raksasa, sel epiteloid dan limfosit.8

Tabel 1. Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa


Non- Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau
Fotofobia Nyata ringan
Penglihatan Kabur Sedang Ringan
Merah Sirkumneal Nyata Nyata

14
Keratic precipitates Putih halus Ringan
Pupil Kecil dan tak teratur Kelabu besar
Sinekia posterior Kadang-kadang (“mutton fat”)
Noduli iris Tidak ada Kecil dan tak
Lokasi Uvea anterior teratur
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Perjalanan penyakit Akut Uvea anterior,
Kekambuhan Sering posterior,difus
Kronik
Kadang-kadang

4. Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung
suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya
mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun kadang-kadang dapat juga
terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang
menginfeksi jaringan tubuh diluar mata. Secara patologis, radang saluran uveal
dapat dibagi menjadi supuratif (purulen) dan non supuratif (non-purulen).
Uveitis non-supuratif dapat dibagi menjadi jenis nongranulomatous dan
granulomatosa (Khurana, 2007). Inflamasi purulen dari uvea biasanya
merupakan bagian dari endophthalmitis atau panophthalmitis, infeksi eksogen
oleh organisme piogenik yang meliputi staphylococcus, streptokokus,
psuedomonas, pneumokokus dan gonococcus. Reaksi patologis ditandai dengan
eksudat purulen yang banyak dan infiltrasi oleh sel polimorfonuklear jaringan
uveal, anterior chamber, posterior chamber dan rongga vitreous. Akibatnya,
jaringan uveal seluruh menebal dan nekrotik dan rongga mata menjadi penuh
dengan pus (Khurana, 2007).
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari
dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba
yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah

15
proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas. Radang
iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga
terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu
partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang berupa pus di dalam COA yang disebut hipopion, ataupun migrasi
eritrosit ke dalam COA, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang
berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada
endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic
precipitate, yaitu :
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen
yang difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan
berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan
fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian
anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang
disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil,
yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut oklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular
oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata
belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata
belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans
(iris bombe). Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan
akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa yang
menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila
peradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif
berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan

16
kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan
kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera
ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang
semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi
akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier.

5. Manifestasi Klinis
Secara klinis, dapat dibagi menjadi uveitis anterior akut atau kronis.
Gejala utama dari uveitis anterior akut adalah nyeri, fotofobia, kemerahan,
lakrimasi dan penurunan visus. Uveitis kronis, gejala dapat berupa mata tenang
dengan gejala minimal (Khurana, 2007). Keluhan sukar melihat dekat pada
pasien uveitis dapat terjadi akibat ikut meradangnya otot-otot akomodasi. Dari
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda antara lain : Hiperemia perikorneal,
yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus yang memiliki violaceous
hue, dan keratic precipitate. Keratic precipitate adalah kelompok deposito seluler
pada endotel kornea terdiri dari sel epiteloid, limfosit dan polimorf (Kanski,
2016). Pada pemeriksaan slit lamp dapat terlihat flare di bilik mata depan dan
bila terjadi inflamasi berat dapat terlihat hifema atau hipopion. Iris edema dan
warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans. Dapat pula dijumpai
sinekia posterior ataupun sinekia anterior. Pupil kecil akibat peradangan otot
sfingter pupil dan terdapatnya edema iris. Lensa keruh terutama bila telah terjadi
katarak komplikata. Tekanan intra okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma
sekunder. Pada proses akut dapat terjadi miopisi akibat rangsangan badan siliar
dan edema lensa. Pada uveitis non-granulomatosa dapat terlihat presipitat halus
pada dataran belakang kornea. Pada uveitis granulomatosa dapat terlihat
presipitat besar atau mutton fat noduli Koeppe (penimbunan sel pada tepi pupil)
atau noduli Busacca (penimbunan sel pada permukaan iris) (Kanski, 2016).

17
Gambar 1. Injeksi Siliar

Gambar 2. Endothelial dusting by cell

Gambar 3. Hipopion Gambar 4. Aqueous Flare and Cell

Gambar 5. Sinekia posterior Gambar 6. Sinekia anterior

18
a. Uveitis Intermediate
Uveitis intermediate disebut juga uveitis perifer atau pars planitis adalah
peradangan intraokular terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet yang
terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet biasanya
bilateral dan cenderung mengenai pasien remaja akhir atau dewasa muda. Pria
lebih banyak yang terkena dibandingkan wanita. Gejala- gejala yang khas
meliputi floaters dan penglihatan kabur. Nyeri, fotofobia dan mata merah
biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan pemeriksaan yang menyolok
adalah vitritis seringkali disertai dengan kondensat vitreus yang melayang bebas
seperti bola salju (snowballs) atau menyelimuti pars plana dan corpus ciliare
seperti gundukan salju (snow-banking). Peradangan bilik mata depan minimal
tetapi jika sangat jelas peradangan ini lebih tepat disebut panuveitis. Penyebab
uveitis intermediate tidak diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi
sarkoidosis dan multipel sklerosis berperan pada 10-20% kasus. Komplikasi
uveitis intermediate yang tersering adalah edema makula kistoid, vaskulitis
retina dan neovaskularisasi pada diskus optikus (Eva & Witcher, 2007).

Gambar 7. Gambaran snow bank dan snowballs

b. Uveitis Posterior
Uveitis posterior adalah peradangan yang mengenai uvea bagian
posterior yang meliputi retinitis, koroiditis, vaskulitis retina dan papilitis yang
bisa terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Gejala yang timbul adalah
floaters, kehilangan lapang pandang atau scotoma, penurunan tajam penglihatan.
Sedangkan pada koroiditis aktif pada makula atau papillomacular bundle
menyebabkan kehilangan penglihatan sentral dan dapat terjadi ablasio retina.

19
Kekeruhan vitreous karena choroiditis di bagian tengah atau posterior, dapat
terlihat kasar, berserabut, rongga snowball (Khurana, 2007).
Patch choroiditis dalam tahap aktif tampak sebagai pale-yellow atau dirty
white dengan tepi yang tidak jelas. Hasil ini karena eksudasi dan infiltrasi seluler
dari koroid yang tersembunyi dalam pembuluh darah choroidal. Lesi biasanya
lebih dalam pembuluh retina. Retina terlihat berawan dan edema. Pada tahap
atrofi atau tahap penyembuhan, peradangan aktif mereda, daerah yang terkena
menjadi lebih tajam dibandingkan sisa daerah yang normal, daerah yang terlibat
menunjukkan sclera putih di bawah atrofi koroid dan hitam di pinggiran lesi
(Khurana,2007).

Gambar 8. Retinitis

Gambar 9. Koroiditis aktif dan koroiditis tahap atrofi

6. Penegakkan Diagnosis

20
I. Anamnesis
a. Uveitis Anterior
 Mata merah
 Nyeri
 Fotofobia (silau bila terkena cahaya)
 Mata berair (nrocoh)
 Penglihatan kabur

b. Uveitis Intermediate
 Penurunan penglihatan tanpa rasa nyeri
 Floaters

c. Uveitis Posterior
 Kabur tanpa rasa nyeri
 Hilangnya penglihatan yang cukup signifikan
 Penurunan penglihatan tanpa rasa nyeri
 Floaters
 Fotopsia
 Metamorfopsia
 Skotoma
 Nyctalopia, atau kombinasi dari gejala-gejala di atas.
 Riwayat:
- kontak dengan hewan peliharaan (toxoplasma, toxocara)
- Ulserasi oral dan genital (penyakit Behcet)
- Demam, penurunan berat badan, batuk (TBC)
- Riwayat seks bebas tanpa pelindung
- Kondisi imunosupresif (pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid,
obat imunosupresif lain) dan transplantasi organ
- Riwayat penyakit sistemik (diabetes, hipertensi)

21
II. Pemeriksaan Fisik
a. Uveitis Anterior
- Kelopak mata spasme atau disertai edema ringan
- Hiperemi konjunctiva
- Hiperemi perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar
limbus.
- Keratik presipitat (KPs) yaitu fine KPs dan stellate ditemukan pada
uveitis bagian inferior. Macam KPs yaitu fine KPs dan stellate
ditemukan pada uveitus non granulomatous, sedangkan bentuk
mutton fat dan polymorphous terdapat pada uveitis granulomatous.
- Bilik mata depan keruh (flare) disebabkan tingginya kadar albumin
dalam aqueous, disertai adanya fibrin/membran.
- Iris edema dan warna menjadi pucat, pada uveitis granulomatous bisa
didapatkan nodul pada tepi pupil (Koeppe’s nodule), di anterior
stroma iris (Busaca’s nodule), pada iris angle (Berlin nodule), atrofi
iris pada iridosiklitis kronik disebabkan iskemia, perubahan warna
(heterokromia)
- Sinekia, baik anterior maupun posterior, sinekia hingga mencapai
360 (seklusio pupil)
- Pupil miosis disebabkan spasme refleks spinchter atau distensi
pembuluh darah iris, bentuk irreguler, reflek lambat sampai negatif.
- Pada kondisi lanjut dapat terjadi hifema, hipopion, dan
neovaskularisasi pada stroma iris atau pada sudut COA yang dapat
menyebabkan terjadinya glaukoma neuvaskular.
- Anterior chamber cells merupakan tanda awal inflamasi aktif.

b. Uveitis Intermediate
- Segmen anterior biasanya tenang atau minimal (KP’s atau flare cell
minimal)
- Sinekia posterior dapat terjadi atau tidak
- Vitritis merupakan gambaran khas pada uveitis intermediate
(kekeruhan vitreous dari trace ke 4+)

22
- Vitreous snowball
- Snowbank’s formation
- Perubahan retina (misal tortuositi arteri dan vena, sheating vena
perifer, neovaskularisasi dan retinal detachment)

c. Uveitis Posterior
Pada dilated fundus examination :
- Sel-sel radang (infiltrat) pada retina dan choroid
- Inflammatory sheathing pada arteri dan vena
- Perivascular inflammatory cuffing
- Hipertrofi atau atrofi Retina Pigmen Epithelial (RPE)
- Atrofi atau edema retina, choroid atau papil nervus optikus
- Fibrosis pre atau subretina
- Exudative, tractional atau rhegmatogenous retinal detachment
- Neovaskularisasi pada retina atau choroid

III. Pemeriksaan Penunjang


a. Uveitis Anterior
 Pemeriksaan penunjang pada mata:
o USG B-scan pada pasien dengan seklusio pupil untuk menilai
segmen posterior.
o Anterior chamber paracentesis untuk mengetahui penyebab
secara pasti bila fasilitas PCR (Polymerase Chain Reaction)
tersedia.
o OCT (Ocular Coherence Tomography) untuk menilai
komplikasi CME (Cystoid Macular Edema)

 Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan pada kasus:


- Penderita dengan serangan uveitis pertama kali dengan derajat
ringan, unilateral, nongranulomatous dengan riwayat dan
pemeriksaan yang tidak mengarah pada penyakit sistemik

23
- Uveitis dengan penyebab sistemik yang sudah terdiagnosa
(seperti sarcoidosis) atau akibat penggunaan obat-obatan
- Tanda klinis yang khas pada penyakit tertentu (misalnya
herpetic keratouveitis).

penderita yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan


non spesifik, kasus yang rekurens (berulang), berat, bilateral atau
granulomatous, dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
- Pemeriksaan penunjang inti: darah lengkap, ESR, foto rontgen thoraks
PA untuk menyingkirkan kemungkinan tuberkulosis dan sarkoidosis
- Profil sifilis: VDRL, FTA-ABS
- Mantoux test, PPD (positive protein derivate of tuberculin)
- Pada kasus dengan arthritis penderita muda, dilakukan tes ANA
- Pemeriksaan HLA-B27 untuk mencari penyebab autoimun bila fasilitas
tersedia.

Konsultasi untuk mencari kemungkinan adanya penyakit


sistemik.
 Penyakit dalam: diabetes mellitus, rheumatik, dll.
 Penyakit paru: tuberkulosis.
 THT: sinusitis, dll.
 Gigi: abses atau karies gigi.

b. Uveitis Intermediate
- FFA: dapat menunjukkan adanya CME dan perivaskulitis
- USG: dapat menunjukkan kekeruhan vitreus, retinal detachment
- OCT: dapat menunjukkan CME
- UBM (Ultrasound Biomicroscopy): dapat menunjukkan cyclitic
membrane

 Pemeriksaan laboratorium:

24
Untuk mendiagnosis kelainan sistemik. Tes yang dilakukan
tergantung pada kecurigaan kita.
1. Tes darah: darah lengkap, LED
2. Serum ACE, lysozime, kalsium, inorganic phosphorus
sarcoidosis, lyme disease
3. Foto thoraks PA / HRCT chest  TB, sarcoidosis
4. Mantoux tes / quantiferon TB gold
5. MRI otak  multiple sclerosis

c. Uveitis Posterior
 Foto fundus
 FFA: dapat menunjukkan adanya CME, koroiditis, serous retinal
detachment, dan neovaskularisasi koroid
 USG: dapat menunjukkan kekeruhan vitreus, ketebalan koroid,
retinal detachment
 OCT: dapat menunjukkan adanya CME, neovaskularisasi koroid
 Pemeriksaan laboratorium: untuk mendiagnosis underlying disease
spesifik, dilakukan tergantung pada kecurigaan kita. Full blood
counts, ESR (Erythrocyte sedimentation rate), kultur darah, tes
reumatologik (ANA, rheumatoid factor), serum angiotensin
converting enzyme, serologi penyakit infeksius (profil Syphillis,
TORCH, Tuberculosis), HLA typing, untuk melihat faktor genetik
(HLA-B27, HLA-B29 (birdshot chorioretinopathy), HLA-B51
(Behcet), urine lengkap)
 Foto thoraks PA
 Mantoux test
 MRI

7. Penatalaksanaan
a. Uveitis Anterior
 Steroid topikal

25
 Prednisolone acetate 1% (4 kali 1 tetes, hingga tiap jam
per hari) tergantung dari derajat keparahannya. Tappering
steroid topikal pada pemberian lebih dari 4-6 minggu
dilakukan berdasarkan respon terhadap pengobatan.
 Sikloplegik  menyebabkan paresis musculus siliaris dari iris,
menjaga pupil tetap mobie sehingga mencegah pembentukan
sinekia.\
 Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes jika baru terdapat
sinekia posterior untuk melepaskan sinekia.
 Apabila tidak ada perbaikan dengan pemberian topikal steroid
secara maksimal, atau bila uveitis bilateral dan berat, pikirkan
untuk pemberian steroid sistemik dosis antiinflamasi
(metilprednisolon oral 3x8 mg) atau dosis imunosupresif
(prednisone/metilprednisolon oral 1-2mg/kgBB/hari, di tappering
setiap 1-2 minggu). Apabila penggunaan terapi kortikosteroid
diperlukan lebih dari 3 bulan, dapat dipikirkan pemberian agen
imunomodulator
 Non steroid anti inflamatory drug
- indomethacin
- flubiprofen
- diclofenac sodium
Penggunaan NSAID secara tunggal belum diketahui pasti
manfaatnya dalam pengobatan inflamasi intraokular akut.

 Immunosuppresive agents
Digunakan pada kasus resisten steroid sebagai streoid-sparing
agents. Biasanya tidak digunakan pada uveitis anterior akut kecuali
pada beberapa kasus seperti JIA – associated iridocyclitis dan Behcet’s
disease
- methotrexate: diberikan dengan dosis mingguan, biasanya
dimulai dengan 7.5-10.0 mg/minggu dan secara perlahan

26
dinaikkan menjadi dosis maintenance 15-25 mg/minggu  drug
of choice pada anak-anak.
- Azathioprine: dosis 2 mg/kg/hari
 Bila terdapat komplikasi glaukoma sekunder diberikan obat-obatan
antiglaukoma, seperti Timolol 0,5% jika tidak ada kontraindikasi,
namun tidak boleh diberikan pilokarpin dan golongan prostaglandin
analog.
 Konsultasi dan koordinasi pengobatan dengan Rheumatologis/Internist
mungkin diperlukan pada pasien dengan gangguan sistemik.
 Pengobatan komplikasi:
- Ekstraksi katarak bila terjadi katarak komplikata dimana uneitis
harus dalam keadaan tenang (uveitis sanata) tanpa pengobatan
selama 3 bulan.
- Uveitic glaukoma
- terapi dengan antiglaukoma topikal atau sistemik
- jika terapi dengan medikasi antiglaukoma tidak dapat mengontrol
TIO dan telah terdapat kerusakan nervus optikus atau lapang
pandangan maka diperlukan intervensi pembedahan
- Cystoid macular edema
- NSAIDs topikal
- Injeksi steroid subtenon posterior
- Injeksi steroid intrevitreal pada CME kronik

b. Uveitis Intermediate
 Observasi : bila kasus ringan
- visus 6/12
- tidak ada CME
 Terapi :
- Pada kasus yang sedang sampai berat
- Dengan CME
o Menggunakan Modified Four-Step Kaplan Approach

27
 Langkah 1: Injeksi posterior subtenon dengan kortikosteroid (
Triamcinolone acetonide 40 mg) dapat diulang setiap empat
minggu, tiga sampai empat kali.
 Langkah 2 : Bila terapi local tidak efektif atau terdapat gejala
yang berat pada kedua mata maka diperlukan oral kortikosteroid
(Prednisolon 1-1,5 mg/kgBB/hari)
 Langkah 3 : Sistemik imunomodulator , diindikasikan pada
bilateral disease, atau bila dengan kortikosteroid gagal, atau
kontraindikasi kortikosteroid (dengan azathioprine,
methotrexate, mycophenolate mofetil)
 Langkah 4 : dengan Cryotherapy atau Vitrectomy bila terapi oral
gagal atau terjadi rekurensi inflamasi saat penggunaan
kortikosteroid

c. Uveitis Posterior
 Sikloplegia dan kortikosteroid topikal seperti pemberian pada
uveitis anterior
 Periokuler  Posterior subtenon steroid: jika didapatkan lesi
yang melibatkan makula
- Long acting: Methylprednisolone acetat (40-80 mg) atau
Triamcinolone acetonic 40 mg.
- Short acting: Betamethasone 4 mg/cc/hari atau
Dexamethasone 4 mg/cc/hari
 Sistemik:
Kortikosteroid  Prednisone dosis awal 1-2 mg/kgBB
diturunkan bertahap bila sudah ada respons. Atau pada kasus berat,
diberikan steroid intravena dosis tinggi (high pulse)
methylprednisolone (1 gr/hari, intravena selama 1 jam), dilanjutkan
pemberian prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/hari.
 Pada infeksius uveitis: terapi antimikrobial spesifik kausatif
pemberian steroid diberikan setelah  48-72 jam pemberian
antibiotik.

28
 Agen Imunomodulator  diberikan dengan indikasi:
- Inflamasi intraokuler yang mengancam penglihatan
- Proses perjalanan penyakit yang reversibel
- Respon yang inadekuat terhadap terapi kortikosteroid
- Kontraindikasi terhadap pemberian kortokosteroid akibat
kondisi sistemik atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi.
1. Methotrexate: dimulai dosis oral 7,5-10,0 mg/minggu, secara
bertahap dinaikkan sampai dosis maintenance 15-20 mg/minggu.
Tambahkan suplemen asam folat 1 mg/hari diperlukan. Evaluasi:
LFT.
2. Azathioprine: 1-3 mg/kgBB/hari per oral (dosis maksimal: 2,5-4
mg/kgBB/hari). Evaluasi: DL, diff count, LFT.
3. MMF: 1-3 g/hari per oral: 2x1000 mg (1 bulan I)  2x500 mg
(bulan berikutnya). Evaluasi: DL, diff count, LFT, RFT, SE.
4. Cyclosporin: 2,5-5 mg/kgBB/hari (dosis awal 2,5 mg/kgBB/hari),
evaluasi: TD, LFT, RFT.
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada uveitis antara lain :
1. Sinekia posterior
Perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior
akibat sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas
2. Sinekia anterior
Perlekatan iris dengan endotel kornea akibat sel-sel radang,
fibrim, dan fibroblas
3. Seklusio pupil
Perlekatan pada bagian tepi pupil
4. Oklusio pupil
Seluruh pupil tertutup oleh sel radang
5. Iris bombe
Terjadinya perlekatan-perlekatan dan tertutupnya trabekluar
oleh sel radang sehingga aliran akuos humor dari camera oculi
posterior ke camera oculi anterior terhampat yang

29
mengakibatkan akuos humor terkumpil di camera oculi
posterior dan mendorong iris ke depan
6. Glaukoma sekunder
Terjadi karena penimbunan akuos humor dan menyebabkan
peningkatan tekanan bola mata
7. Katarak komplikata
Terjadi gangguan metabolism lensa yang menyebabkan lensa
menjadi keruh
8. Endoftalmitis
Peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di
dalamnya dengan abses di dalam badan kaca akibat dari
peradangan yang luas
9. Panoftalmitis
Perdangan pada seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul
tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses
10. Ablasio retina

DAFTAR PUSTAKA

1. Martini, F., Nath, J. L., & Bartholomew, E. F. (2015). Fundamentals of anatomy &
physiology 11th edition.London: Pearson education.

30
2. Kanski, J. J. (2007). Clinical ophthalmology: a systematic approach. Edinburgh,
Butterworth-Heinemann/Elsevier.
3. Ilyas SH. (2006). Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
4. Muchatuta M. A, 2018. Iritis and Uveitis. Medscape Reference
https://emedicine.medscape.com/article/798323-overview Diakses pada
tanggal 14 Mei 2021.
5. Rumelt, S. 2013. Uveitic glaukoma. Glaucoma basic and clinical aspects. InTech.
6. Kanski J, Bowling B. 2016. Clinical Ophthalmology: a systematic approach. Edisi
ke-8. Australia: Elsevier.
7. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. 2000. Oftalmologi umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya medika.
8. Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. 2010 Current approach in diagnosis
and management of anterior uveitis. Indian J Ophtalmol.
9. Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology
17th Edition. USA: McGrawHill
10. Kanski, Jack J; Bowling B. 2016. Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach, 8th edition. UK: Elveiser.
11. Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India: New Age
International Limited Publisher.
12. Sitompul, Ratna. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Uveitis dalam Upaya Mencegah
Kebutaan. Jurnal Kedokteran Indonesia, vol.4, No.1, April 2016.
13. Hidayat, S.; Himawan, M.; Baswara, N.; Anita, Y.; Fatmawati, N.K.; 2015.
Pedoman Diagnosa dan Terapi Lab/SMF Mata RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda, Edisi VII.

31

Anda mungkin juga menyukai