Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

AMPUTASI ET CAUSA GANGREN PEDIS


PADA DM TIPE II

Disusun Oleh:
Muhammad Horman Latuconsina, S.Ked
1102015148

Pembimbing:
Dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEODKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
24 JUNI – 31 AGUSTUS 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam di RSUD Kota Cilegon yang berjudul “AMPUTASI ET CAUSA
GANGREN PEDIS PADA DM TIPE II”
Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
yang didapat saat kepaniteraan di RSUD Cilegon. Dari laporan kasus ini saya
mendapat banyak hal dan dapat lebih memahami terapi dan keadaan pasien.
Dalam menyusun laporan kasus ini tentunya tidak lepas dari pihak-pihak yang
membantu saya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD FINASIM atas bimbingan, saran, kritik dan
masukannya dalam menyusun laporan kasus ini. Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada orangtua yang selalu mendoakan dan teman-teman serta pihak-pihak
yang telah mendukung dan membantu dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini,
kesalahan dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun tata
bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan
dan kekhilafan yang dibuat. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat, khususnya
bagi penulis dan pembaca dalam memberikan sumbang pikir dan perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia kedokteran.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu
merahmati kita semua.

Cilegon, 20 Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
IDENTIFIKASI KASUS ......................................................................................... 2
RESUME ............................................................................................................... 13
FOLLOW UP......................................................................................................... 16
ANALISA KASUS ................................................................................................ 20
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 25
KESIMPULAN...................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 43

iii
PENDAHULUAN

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes


Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya (ADA. 2010). DM dapat terjadi karena beberapa faktor risiko seperti gaya
hidup tidak sehat, kurang aktifitas, dan stres. World Health Organization (WHO)
memproyeksikan akan adanya kenaikan jumlah penduduk yang terkena diabetes
melitus pada tahun 2030 (PERKENI. 2015).
World Health Organization (WHO) memproyeksikan pada tahun 2030,
diabetes melitus sebagai urutan ke tujuh penyebab kematian di dunia (WHO, 2013).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, pada daerah
perkotaan proporsi DM menyebabkan kematian sebesar 14,7%. Prevalensi DM di
daerah urban pada usia diatas 15 tahun sebanyak 5,7%. Data morbiditas pasien
rawat inap RS di seluruh Indonesia pada tahun 2009, diabetes tertinggi pada
kelompok usia 45-65 tahun (KEMENKES RI, 2012).
Ulkus kaki diabetes merupakan komplikasi DM kronik yang lebih sedikit
terjadi dibandingkan komplikasi lain, namun memiliki efek yang besar pada kondisi
diabetisi di seluruh dunia. Kaki diabetik merupakan penyebab umum dilakukannya
tindakan amputasi pada klien dengan Diabetes Mellitus (DM) (Arianti, dkk. 2012).
Diperkirakan 40% hingga 70% amputasi ekstremitas bawah dialami oleh klien
dengan DM yang bermula dengan ulkus kaki. Menurut PDPERSI, kasus amputasi
akibat komplikasi DM masih banyak ditemukan di Indonesia. Pada tahun 2007 di
ruang perawatan penyakit dalam RSUP. Cipto Mangunkusumo Jakarta terdapat 111
klien diebetes yang dirawat dengan masalah kaki diabetik dan 35% di antaranya
harus dilakukan tindakan amputasi yang terdiri dari 30% amputasi mayor dan 70%
amputasi minor dengan jumlah angka kematian akibat amputasi tersebut sekitar
15%. Selanjutnya data pada tahun 2010 hingga 2011 di rumah sakit yang sama
memperlihatkan peningkatan jumlah amputasi menjadi 54% yang sebagian besar
terdiri dari amputasi minor sebesar 64,7% dan amputasi mayor sebesar 35,3%
(Agustin, dkk. 2013).

1
PRESENTASI KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

Topik : Amputasi et causa Gangren Pedis pada DM tipe II


Penyusun : Muhammad Horman Latuconsina (1102015148)

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. J

Usia : 03-04-1958 (61 tahun)

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Agama : Islam

Alamat : Link Krenggot, Jombang

No. CM : 01-**-**

Pembiayaan : BPJS

Tanggal masuk : 17 Juni 2019 (19:05 WIB)

Tanggal keluar : 28 Juni 2019

Ruangan : Aster RSUD Cilegon

2
II. Anamnesis

Dilakukan secara auto-anamnesis dengan pasien dan allo-anamnesis dengan


anak kandung pasien pada hari Rabu, 26 Juni 2019 di Bangsal Aster RSUD
Cilegon pukul 14.00 WIB

o Keluhan Utama:
Pasien mengeluh nyeri pada luka di kaki kanan.

o Keluhan Tambahan:
Pasien mengeluh lemas 5 hari SMRS, nyeri kepala (+), mual (+),
muntah (-), demam (-), kesemutan dan baal pada kaki (+), bernanah (+) sedikit,
bau (-), sudah pernah dilakukan debridement pada 1 Mei, mata buram (+),
mudah lapar (+), sering BAK (+), mudah haus (+).

o Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 17 Juni 2019 dengan
keluhan nyeri pada luka di kaki kanan. Keluarga pasien mengatakan bahwa
awalnya terdapat luka kecil pada bagian metatarsophalangeal V dextra, lalu
sempat dibawa ke IGD RSUD Cilegon dan dilakukan debridement pada tanggal
1 Mei 2019. Kemudian, pasien dan keluarga menerapkan perawatan luka di
rumah pada kaki pasien setelah dilakukan debridement. Namun beberapa
minggu kemudian luka menyebar ke sebagian kaki kanan pasien.

o Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat penyakit DM sejak 8 tahun yang lalu saat terdapat ulkus pada kaki
pasien, dan pasien belum mengetahui terdapat DM sebelumnya. Pasein
sebelumnya memiliki pola diet yang kurang sehat, yaitu sering
mengkonsumsi minuman kemasan dan makanan tinggi lemak, pasien juga
mengalami penurunan berat badan sebelumnya.

3
- Riwayat luka di kaki sebelumnya (+) pada tahun 2011 sudah dilakukan
debridement, dan pada tahun 2017 dilakukan amputasi pada
metatarsophalangeal I sinistra.
- Riwayat penyakit hipertensi (+).
- Riwayat pengobatan paru-paru disangkal.
- Riwayat penyakit hepatitis disangkal.
- Riwayat penyakit ginjal disangkal.
- Riwayat asma dan alergi disangkal.

o Riwayat Penyakit Keluarga:


- Riwayat DM pada keluarga disangkal.
- Riwayat TB paru pada keluarga disangkal.
- Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit hipertensi pada keluarga disangkal.

o Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip
(-) menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.
1. Kepala
(-) Trauma (+) Nyeri kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri sinus

2. Mata
(-) Nyeri (-) Sekret
(-) Radang (-) Gangguan penglihatan
(-) Sklera Ikterus (+) Penurunan ketajaman
penglihatan
(+) Conjungtiva Anemis

3. Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran

4
(-) Kehilangan pendengaran

4. Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis

5. Mulut
(-) Bibir (-) Lidah
(-) Gusi (-) Gangguan pengecapan
(-) Selaput (-) Stomatitis

6. Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara

7. Leher
(-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara

8. Dada (Jantung/Paru)
(-) Nyeri dada (+) Sesak nafas
(-) Berdebar-debar (-) Batuk darah
(-) Ortopnoe (-) Batuk kering

9. Abdomen
(-) Rasa kembung (-) Perut membesar
(+) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah darah (-) Melena
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna dempul
(-) Nyeri perut (-) Benjolan

5
10. Saluran Kemih / Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(+) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi urin
(-) Batu ginjal (-) Kencing menetes
(-) Ngompol (+) Kencing seperti air teh

11. Otot dan Syaraf


(-) Anestesi (-) Sukar menggigit
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot lemah (-) Hipo/hiper-estesi
(-) Kejang (-) Pingsan / syncope
(-) Afasia (-) Kedutan (tick)
(-) Amnesis (-) Pusing (Vertigo)
(-) Lain-lain (-) Gangguan bicara (disartri)

12. Ekstremitas
(+) Ulkus (-) Deformitas
(-) Nyeri sendi (-) Sianosis

13. Kulit
(+) Pus /Nanah (-) Rambut (-) Keringat malam
(-) Kuku (-) Ikterus (-) Sianosis

III. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 14:00 WIB (saat di Bangsal
Aster)
VITAL SIGNS:
- Kesadaran : Compos mentis
- Keadaan Umum : Sakit sedang

6
- Tekanan Darah : 140/70 mmHg
- Nadi : 76 kali/menit, regular
- Respirasi : 20 kali/menit
- Suhu : 37,30 C
- Saturasi Oksigen : 97%
STATUS GENERALIS
Ø Kepala
Bentuk kepala normal, simetris.
Ø Rambut
Hitam & putih, lebat, tidak mudah dicabut.
Ø Alis
Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.
Ø Mata
Pupil bulat isokor, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-,
eksoftalmus -/-, RCL +/+, RTCL +/+, tidak terdapat benda asing.
Ø Hidung
Tidak terdapat nafas cuping hidung, septum tidak deviasi, tidak ada
sekret, dan tidak hiperemis.
Ø Telinga
Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, tidak ada darah,
tidak ada tanda radang.
Ø Leher
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis,
pre-aurikula, post-aurikula, oksipital, sternokleidomastoideus, dan
supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran tiroid, trakea tidak deviasi.
Ø Thoraks
Simetris kiri dan kanan, tidak terdapat retraksi sela iga.
Ø Paru-paru
a. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
tidak terdapat retraksi
b. Palpasi : Massa(-), krepitasi (-), fremitus taktil simetris,
fremitus vokal simetris

7
c. Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru kanan dan kiri
d. Auskultasi : VBS +/+, ronkhi -/- dan wheezing -/-
Ø Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V linea midklavikula
sinistra
c. Perkusi : Batas jantung normal, batas kanan atas ICS II
parasternalis dextra, batas kanan bawah ICS IV
parasternalis dextra, batas kiri atas ICS II
parasternalis sinistra, batas kiri bawah ICS IV
midclavicularis sinistra
d. Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-) dan
gallop (-)
Ø Abdomen
a. Inspeksi : Tampak simetris, tidak terdapat kelainan kulit, tidak
ditemukan adanya spider nevy, tidak ada pelebaran
vena.
b. Auskultasi : Bising usus (+), bising aorta abdominalis tidak
terdengar.
c. Palpasi : Supel, turgor baik, nyeri tekan epigastrium(+),
massa(-), hepatomegali(-), splenomegali(-),
ballotement (-), undulasi(-).
d. Perkusi : Suara timpani di keempat kuadran, shifting dullness
(-).
Ø Ekstremitas
Akral hangat(+), edema (-) pada tungkai bawah

8
STATUS LOKALIS
Terdapat ulkus pada sebagian plantar dan dorsum pedis dextra, nanah (+), bau
(-), nyeri sedikit (+), edema (-), kesemutan dan baal (+).

IV. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Rutin 17/6/19 22/6/19 25/6/19 26/619
Hemoglobin 11 (L) 10 (L) 11,5 (L) 10,7 (L)
Hematokrit 32,1 (L) 30 (L) 34,3 (L) 31,2 (L)
Eritrosit 3,89 (L) 3,6 (L) 4,14 (L) 3,63 (L)
MCV/VER 82,5 83,3 82,9 86
MCH/HER 28,3 27,8 27,8 29,5

9
MCHC/KHER 34,3 33,3 33,5 34,3
Jumlah Leukosit 28,01 (H) 23,13 (H) 17,36 (H) 19,8 (H)
Jumlah Trombosit 618 (H) 612 (H) 608 (H) 600 (H)

Kimia
17/6/19 19/6/19 21/6/19 24/6/19 25/6/19 26/6/19
Klinik
Albumin - - - - - 2,5 (L)
127,5 123,5 133,7 133,5 128,7
Natrium -
(L) (L) (L) (L) (L)
Kalium 5,43 (H) - 5,11 5 5,24 4,67
Clorida 100,3 - 98,5 103,6 105,2 100,3
Ureum
84 (H) 92 (H) - - - -
Darah
Kreatinin
1,67 (H) 1,69 (H) - - - -
Darah
Glukosa
110 - - - - -
Sewaktu

Hemostasis 19/6/19
Masa Perdarahan 2
Masa Pembekuan 11

ABO Rh Typing 19/6/19


Golongan Darah B
Rhesus +

Imunoserologi 19/6/19
HbSAg Non Reaktif
Anti HIV Non Reaktif

10
Urin Lengkap 18/6/19
Warna Coklat
Kejernihan Keruh
Berat Jenis 1,030
pH 6
Protein -
Glukosa -
Keton -
Darah -
Bilirubin -
Nitrit -
Urobilinogen -
Sedimen
Leukosit 5-10
Eritrosit 0-1
Silinder -
Sel epitel 1+
Kristal Amorf 3+
Bakteria -

b. Sleeding Scale
Tanggal Jam GDS
24/6/19 06.00 92
24.00 259 (Novorapid 8 unit)
25/6/19 06.00 91
26/6/19 06.00 92
28/6/19 01.00 155

11
c. EKG

Interpretasi EKG :
• Irama : Sinus, Reguler
• HR : 72 kali/menit
• R-R : Reguler
• Gel T : Peak and Tall T

d. USG DOPPLER
Konklusi
• Sistem arteri : Artherosklerosis a. femoralis, a. tibialis anterior dan
posterior kanan serta a. dorsalis pedis dengan stenosis bermakna (70-
90%) pada a. femoralis, a. poplitea, a. tibialis anterior dan posterior
stenosis bermakna (50-60%) pada a. dorsalis pedis.
• Sistem vena : Suspek gambaran insufisiensi katup (CVI) setinggi v.
poplitea kanan.

V. Resume
Pasien Tn. J berusia 61 tahun dateng ke RSUD Cilegon dengan keluhan
nyeri luka pada kaki sebelah kanan. Keluhan tambahan didapatkan mual dan
sakit kepala disertai badan lemas. Awalnya terdapat luka kecil yang tidak
diketahui penyebabnya di sekitar jari kelima kaki kanan, sudah dilakukan
debridement di RSUD Cilegon pada bulan Mei namun luka semakin meluas

12
sampai hampir sebagian kaki kanan pasien. Sakit kepala (+), mual (+),
muntah (-), demam (-), mudah lapar (+), sering BAK (+), mudah haus (+).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD : 140/70, denyut nadi : 76 kali/menit,
frekuensi napas : 20 kali/menit, suhu : 37,30 C. Status lokalis terdapat ulkus
pada sebagian plantar dan dorsum pedis dextra, nanah (+), bau (-), nyeri
sedikit (+), edema (-), kesemutan dan baal (+). BAB normal, BAK lancar,
warna kuning, darah (-), batu (-). Riwayat DM sejak 8 tahun yang lalu,
diketahui saat terdapat luka pada kaki pasien, dan tidak diketahui sebelumnya,
dan juga pasien mengalami penurunan berat badan. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukosistosis, anemia, hiponatremi, hipoalbumin,
serta terdapat stenosis pada beberapa arteri pedis dextra. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka pasien didiagnosa
dengan Diabetes Melitus Tipe II dengan Ulkus Diabetikum pada Kaki.

VI. Daftar Masalah


a. Nyeri pada kaki kanan
b. Mual
c. Pusing
d. Lemas

VII. Diagnosis
Ø Diabetes Melitus tipe II dengan Komplikasi Ulkus Diabetikum stadium
V

VIII. Pemeriksaan yang Dianjurkan


- Pemeriksaan GDP dan HbA1c
- Pemeriksaan fungsi ginjal
- Pemeriksaan profil lipid

IX. Tatalaksana yang diberikan


IGD Aster
• IVFD NACL 0,9% 20 tpm Non farmakologis :

13
• Inj. Ranitidine 2x1 IV • Obs TTV dan KU
• Inj. Ketorolac 3x1 IV • Monitor tanda-tanda dehidrasi
• Inj. Ondansetron 2x1 IV • Monitor urin output
• PO. Metronidazole drip • Monitor asupan oral
3x500mg • Cek GDS / 24jam
• PO. Kapsul garam 3x1 tab • Ganti Verban 2 kali /
• PO. Prorenal 3x1 tab hari
• Rawat Inap • Diet DM 1700 kkal
Farmakologis :
• IVFD Nacl 25 tpm
• Inj. Cefotaxim 2x1
• Inj. Ranitidine 2x1
• Inj. Ketorolac 3x1
• Inj. Ondansetron 2x1
• Inj. Metronidazole 3x500mg
• PO. Prorenal 3x1
• PO. Kapsul Garam 3x1
• PO. Bicnat 3x1
• PO. Spironolakton 1x12,5mg
• PO. Aspilet 1x80mg

X. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanactionam : dubia ad malam

14
Follow Up 25 Juni 2019
S O A P
Pasien KS: CM DM II dengan IVFD Nacl 20 tpm
mengeluh TD: 130/70 komplikasi Inj. Cefotaxim
nyeri pada N: 92x/menit ulkus 2x1
luka di kaku RR: 20x/menit diabetikum + Inj. Ranitidine 2x1
kanannya, S: 36,90 C AKI dd acute Inj. Ketorolac 3x1
mual (+), Kepala: Normocephal on CKD + k/p
muntah (+), Mata: CA +/+ SI -/- Hipertensi + Inj. Ondansetron
pusing (+), THT: DBN Anemia + 2x1
lemas(+) Wajah: DBN Hiponatremi Inj. Metronidazole
Cor: S1-S2 reguler, G (-), 3x500mg
M (-) Inj. Tramadol 2x1
Pulmo: VBS +/+, rh -/-, Inj. Antrain 3x1
wh -/- PO. Prorenal 3x1
Abd: Supel, BU (+), NTE PO. Kapsul
(+) Garam 3x1
Eks: Akral hangat (+), PO. Bicnat 3x1
pus (+), ulkus diabetikum PO. Spironolakton
dorsum dan plantar pedis 1x12,5mg
dextra Cek GDS / 24 jam
GV 2x
Input cairan: 2200
Output cairan: 1800
Balance cairan:
+300

Follow Up 26 Juni 2019


S O A P
Pasien KS: CM DM II dengan IVFD Nacl 20 tpm
mengeluh TD: 130/80 komplikasi

15
nyeri pada N: 92x/menit ulkus Inj. Cefotaxim
luka di kaku RR: 16x/menit diabetikum + 2x1
kanannya, S: 36,80 C AKI dd acute Inj. Ranitidine 2x1
mual (-), Kepala: Normocephal on CKD + Inj. Ketorolac 3x1
muntah (-), Mata: CA +/+ SI -/- Anemia + k/p
pusing (-), THT: DBN Hipertensi + Inj. Ondansetron
lemas(-), Wajah: DBN Hiponatremi + 2x1
post Cor: S1-S2 reguler, G (-), post amputasi Inj. Metronidazole
amputasi M (-) pedis dextra 3x500mg
pedis dextra Pulmo: VBS +/+, rh -/-, Inj. Tramadol 2x1
wh -/- Inj. Antrain 3x1
Abd: Supel, BU (+), NTE PO. Prorenal 3x1
(+) PO. Kapsul
Eks: Akral hangat (+), Garam 3x1
post amputasi pedis PO. Bicnat 3x1
dextra PO. Spironolakton
1x12,5mg
Cek GDS / 24 jam
GV 2x
Input cairan: 2000
Output cairan: 1700
Balance cairan:
+300

Follow Up 27 Juni 2019


S O A P
Pasien KS: CM DM II dengan IVFD Nacl 25 tpm
mengeluh TD: 140/70 komplikasi Inj. Cefotaxim
nyeri pada N: 77x/menit ulkus 2x1
luka di kaku RR: 20x/menit diabetikum + Inj. Ranitidine 2x1
kanannya, S: 37,30 C AKI dd acute Inj. Ketorolac 3x1
mual (-), Kepala: Normocephal on CKD + k/p

16
muntah (-), Mata: CA +/+ SI -/- Anemia + Inj. Ondansetron
pusing (-), THT: DBN Hipertensi + 2x1
lemas(-), Wajah: DBN Hiponatremi + Inj. Metronidazole
post Cor: S1-S2 reguler, G (-), post amputasi 3x500mg
amputasi M (-) pedis dextra Inj. Tramadol 2x1
pedis dextra Pulmo: VBS +/+, rh -/-, Inj. Antrain 3x1
wh -/- PO. Prorenal 3x1
Abd: Supel, BU (+), NTE PO. Kapsul
(+) Garam 3x1
Eks: Akral hangat (+), PO. Bicnat 3x1
post amputasi pedis PO. Spironolakton
dextra 1x12,5mg
PO. Aspilet
1x80mg
Cek GDS / 24 jam
GV 2x
Input cairan: 2800
Output cairan: 1500
Balance cairan:
+300

Follow Up 28 Juni 2019


S O A P
Pasien KS: CM DM II dengan IVFD Nacl 25 tpm
mengeluh TD: 140/70 komplikasi Inj. Cefotaxim
nyeri pada N: 77x/menit ulkus 2x1
luka di kaku RR: 20x/menit diabetikum + Inj. Ranitidine 2x1
kanannya, S: 37,30 C AKI dd acute Inj. Ketorolac 3x1
mual (-), Kepala: Normocephal on CKD + k/p
muntah (-), Mata: CA +/+ SI -/- Anemia + Inj. Ondansetron
pusing (-), THT: DBN Hipertensi + 2x1
lemas(-), Wajah: DBN Hiponatremi +

17
post Cor: S1-S2 reguler, G (-), post amputasi Inj. Metronidazole
amputasi M (-) pedis dextra 3x500mg
pedis dextra Pulmo: VBS +/+, rh -/-, Inj. Antrain 3x1
wh -/- PO. Prorenal 3x1
Abd: Supel, BU (+), NTE PO. Kapsul
(+) Garam 3x1
Eks: Akral hangat (+), PO. Bicnat 3x1
post amputasi pedis PO. Spironolakton
dextra 1x12,5mg
PO. Aspilet
1x80mg
Cek GDS / 24 jam
GV 2x
Input cairan: 2700
Output cairan: 2000
Balance cairan:
+700

18
ANALISA KASUS

1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?


Ø Anamnesis
• Pada pasien terdapat gejala khas DM yaitu sering BAK dan sering
merasa haus
• Kaki terasa kesemutan dan baal
• Pola diet yang tidak sehat
• Pasien jarang mengontrol gula
• Pada tahun 2011, pasien sudah pernah melakukan debridement e.c.
ulkus DM pada kakinya, pasien sebelumnya tidak mengetahui bahwa
dirinya mengalami DM tipe II. Pada tahun 2017 pasien pernah
dilakukan amputasi pada metatarsophalangeal I sinistra e.c. ulkus DM.
Pada bulan Mei 2019 pasien pernah dilakukan debridement e.c. ulkus
DM pada sekitar metatarsophalangeal V dextra, namun beberapa
minggu kemudian luka menyebar ke sebagian kaki kanan pasien. Dari
anamnesis juga pasien tidak mengetahui penyebab luka pada kakinya
tersebut.
Ø Pemeriksaan Fisik
• Kaki terasa kesemutan dan baal
• Terdapat ulkus pada kaki kanan pasien
Ø Pemeriksaan Penunjang
• Terdapat peningkatan leukosit
• Terdapat peningkatan glukosa darah sewaktu pada pasien yaitu 259
(>200) pada tanggal 24 Juni 2019 pukul 24.00, mudah lapar, sering
BAK, mudah haus, dan penurunan berat badan
• Ulkus diabetikum grade V karena ulkus terdapat pada hampir seluruh
kaki.

2. Apakah tatalaksana ini sudah tepat?


• IVFD Nacl 25 tpm Terapi cairan
• Inj. Cefotaxim 2x1 Antibiotik

19
• Inj. Ranitidine 2x1 Antihistamin
• Inj. Ketorolac 3x1 NSAID
• Inj. Ondansetron 2x1 Antiemetik
• Inj. Metronidazole 3x500mg Antibiotik
• PO. Prorenal 3x1 Terapi gangguan ginjal
• PO. Kapsul Garam 3x1 Terapi hiponatremi
• PO. Bicnat 3x1 Penyeimbang pH
• PO. Spironolakton 1x12,5mg Diuretik hemat kalium
• PO. Aspilet 1x80mg Antitrombotik
• Sleeding scale

3. Apakah pasien ini terdapat indikasi rawat inap?


Pasien ini datang ke rumah sakit dengaan keluhan nyeri pada luka di kaki
kanan pasien, kesemutan dan baal pada kaki (+), mual (+), nyeri kepala (+).
Pada tanda klinis didapatkan luka pada hampir seluruh kaki kanan pasien, dan
terdapat pus. Salah satu komplikasi pada pasien DM adalah terjadinya
kenalinan/luka pada kaki yang disebut sebagai ulkus diabetikum.

4. Pada stadium berapa kondisi kaki diabetikum pasien ini?


Pada pasien ini sudah mencapai stadium V
Menurut Wagner dibagi menjadi :

20
Ø Tingkat 0
Tidak ada ulserasi tetapi beresiko tinggi untuk menjadi kaki
diabetik. Penderita dalam kelompok ini perlu mendapat perhatian
khusus. Pengamatan berkala dan perawatan kaki yang baik serta
penyuluhan penting untuk mencegah ulserasi.
Ø Tingkat 1
Ulkus superfisial tanpa infeksi disebut juga ulkus Neuropatik. Oleh
karena itu lebih sering ditemukan pada daerah kaki yang banyak
mengalami tekanan berat badan yaitu didaerah ibu jari kaki dan plantar.
Sering terlihat adalnya kallus.
Ø Tingkat 2
Ulkus dalam disertai sellulitis tanpa absess atau kelainan tulang.
Adanya ulkus dalam sering disertai infeksi tetapi tanpa adanya kelainan
tulang.
Ø Tingkat 3
Ulkus dalam disertai kelainan kulit dan abses luar yang dalam
Ø Tingkat 4
Gangren terbatas. Yaitu hanya pada ibu jari kaki, tumit. Penyebab
utama adalah iskemik. Oleh karena itu, ulkus iskemi terbatas pada
daerah tertentu.
Ø Tingkat 5
Gangren seluruh kaki. Biasanya oleh karena sumbatan arteri besar
tetapi juga ada kelainan neuropati dan infeksi.

5. Tindakan apa yang harus dilakukan pada pasien ini?


Pada pasien ini perlu dilakukan perlu dilakukan amputasi, karena indikasi
paling umum dilakukakn amputasi pada kaki diabetes adalah gangren,
infeksi, dan tidak ada penyembuhan pada ulkus. Tujuan dari amputasi adalah
untuk mengendalikan infeksi dan menghentikan perkembangan gangren.

21
6. Mengapa pasien ini terdapat hipoalbumin?
Hipoalbumin pada pasien ini terjadi bukan karena dari penurunan sintesis
albumin saja tetapi melibatkan proses multifactorial seperti sintesis,
pemecahan, kebocoran ke ruang ekstravaskuler dan asupan protein. Dalam
hal ini kebocoran albumin melalui kapiler merupakan penyebab hipoalbumin
yang penting dalam kasus ulkus diabetikum.

7. Apa yang menyebabkan ulkus semakin meluas pada pasien ini walaupun
sudah dilakukan debridement?
Ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi penyembuhan ulkus, salah
satunya adalah usia. Proses penyembuhan luka akan lebih lama seiring
dengan peningkatan usia, akbiat dari jumlah elastin yang menurun dan prosis
regenerasi kolagen yang berkurang akibat penurunan metabolisme sel.

8. Apa hubungan DM tipe II dengan gangguan fungsi ginjal pada pasien


ini?

Ø Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik


dalam laju kerusakan ginjal. Pada stadium paling dini penyakit ginjal

22
kronik, terjadinya kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan LFG
masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan
peningkatan kada urea dan kreatinin serum.
Ø Hiperglikemi juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari ekspresi
Transforming Growth Factor 𝛽 (TGF- 𝛽) pada glomerulus dan matriks,
serta adanya Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang
berkontribusi terhadap hipertrofi, meningkatkan sintesis kolagen, dan
menginduksi perubahan vaskular. Aktivasi protein C kinase akibat
hiperglikemi juga berkontribusi terhadap penyakit ginjal dan berbagai
komplikasi vaskular diabetes.

9. Apa hubungan DM tipe II dengan hipertensi pada pasien ini?


Salah satu komplikasi makroangiopati diabetes dapat terjadi karena
perubahan kadar gula darah, gula darah yang tinggi akan menempel pada
dinding pembuluh darah. Selain itu terjadi proses oksidasi dimana gula darah
bereaksi dengan protein dari dinding pembuluh darah sehingga menimbulkan
Advanced Glycosylated Endproducts (AGEs). Keadaan ini merusak dinding
bagian dalam dari pembuluh darah, dan menarik kolesterol menempel pada
dinding pembuluh darah, sehingga reaksi inflamiasi terjadi. Leukosit,
trombosit, serta bahan lainnya ikut menyatu menjadi bekuan plak, yang
membuat aterosklerosis dan akhirnya timbul hipertensi.

10. Bagaimana prognosis pada pasien ini?


• Quo ad vitam : dubia ad bonam
Apabila pasien melakukan perawatan luka dengan baik, agar tidak terjadi
infeksi yang luas.
• Quo ad functionam : dubia ad malam
Karena pada kaki kanan pasien dilakukan amputasi
• Quo ad sanactionam : dubia ad malam
Tergantung dari kepatuhan pasien dalam berobat dan perawatan luka

23
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Ulkus Diabetikum


Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM
tipe 2 yang sering ditemui. UKD adalah penyakit pada kaki penderita diabetes
dengan karakteristik adanya neuropati sensorik, motorik, otonom dan atau
gangguan pembuluh darah tungkai (Decroli. 2019).

2. Epidemiologi Ulkus Diabetikum


Angka kejadian DM yang meningkat akan meningkatkan angka kejadian
komplikasi kaki terutama amputasi. Angka kejadian amputasi di dunia 60-
80% disebabkan oleh DM. Data kejadian amputasi di beberapa rumah sakit
di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan jumlah amputasi tiap
tahunnya. Angka kejadian amputasi di Indonesia pada tahun 2010-2011
meningkat dari 33,5% menjadi 54,8% (Aulia. 2017).

3. Etiologi Ulkus Diabetikum


Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara
umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi (Soetjahjo. 1998) :
Ø Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti
kelainan makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan
neuropati otonom.
Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti
neuropati motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility, dan
komplikasi DM yang lain (seperti mata kabur).
Ø Faktor presipitasi
• Perlukaan di kulit (jamur).
• Trauma.
• Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
Ø Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
• Derajat luka.

24
• Perawatan luka.
• Pengendalian kadar gula darah.
Ulkus kaki diabetik menurut International Working Group on the Diabetic
Foot (2011) diklasifikasikan menjadi neuropati, iskemi, atau neuroiskemi,
perbedaannya yaitu:
Karakteristik Neuropati Iskemi Neuroiskemi
Sensasi Kehilangan Nyeri Penurunan
sensorik sensorik
Kalus / Nekrosis Terdapat kalus Terjadi nekrosis Minimal kalis
dan tipis dan nekrosis
Luka Pink dan Pucat dan Granulasi buruk
granulasi, granulasi yang
diikuti kalus buruk

4. Patofisiologi Ulkus Diabetikum


Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada
penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak
kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya
kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi
infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut
menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetik (Soetjahjo. 1998).
1. Vaskulopati
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi ketidakrataan
permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran lamelar berubah menjadi
turbulen yang berakibat pada mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium
lanjut seluruh lumen arteri akan tersumbat dan manakala aliran kolateral
tidak cukup, akan terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas (Soetjahjo.
1998).
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain
berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer yang
terutama sering terjadi pada tungkai bawah. Pada penderita muda, pembuluh
darah yang paling awal mengalami angiopati adalah arteri tibialis. Kelainan

25
arteri akibat diabetes juga sering mengenai bagian distal dari arteri femoralis
profunda, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri digitalis pedis. Akibatnya
perfusi jaringan distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus
yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/gangren yang sangat
sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan amputasi (Soetjahjo. 1998).
Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan membrana
basalis serta penurunan produksi prostasiklin (vasodilator dan anti platelet
aggregating agent) akan memacu terbentuknya mikrotrombus dan
penyumbatan mikrovaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan timbulnya
iskemia organ dan/atau jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut saraf
perifernya (Soetjahjo. 1998).
Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung
secara kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine
dibagi menjadi stadium sebagai berikut: I. rasa kram/kebal, II. claudicatio
intermitten, III. resting pain, IV. iskemia/infark dan/atau gangren
(Soetjahjo. 1998).
2. Neuropati
Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat
dengan patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal
menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung kaki. Hal ini disebut sebagai
fenomena dying back, di mana ada teori yang menyatakan bahwa semakin
panjang saraf maka semakin rentan untuk diserang. Jadi dibandingkan
dengan ekstremitas atas, ternyata ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena
(Soetjahjo. 1998).
Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran
oksigen pada serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses jalur sorbitol
dan mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati) juga akan menurunkan
aliran darah ke perifer sehingga aliran tidak cukup dan menyebabkan
iskemia dan bahkan gangren (Soetjahjo. 1998).
Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat
kekurangan insulin. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan
fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati.

26
Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan
metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan
konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati.
Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan
proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dalam, kelemahan otot, dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-
saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial, atau
sistem saraf otonom. T erserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare
nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis,
hipotensi postural, dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik
dapat menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat
kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak
menyadarireaksi-reaksi hipoglikemia (Soetjahjo. 1998).
a) Neuropati motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot
intrinsik yang menimbulkan kelemahan pada kaki dan keterbatasan
gerak sendi akibat akumulasi kolagen di bawah dermis hingga terjadi
kekakuan periartikuler. Deformitas akibat atrofi otot dan keterbatasan
gerak sendi menyebabkan perubahan keseimbangan pada sendi kaki,
perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tumpu baru pada
telapak kaki serta berakibat pada mudahnya terbentuk kalus yang tebal
(claw foot). Seiring dengan berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus
tersebut mudah terjadi infeksi yang kemudian berubah jadi ulkus dan
akhirnya gangren (Soetjahjo. 1998).
Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat neuropati
yang klasik dengan 4 tahap perkembangan (Soetjahjo. 1998):
1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan
bengkak.
2) Terjadi disolusi, fragmentasi, dan fraktur pada persendian
tarsometatarsal.
3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.
4) Timbul ulserasi plantaris pedis.

27
b) Neuropati sensorik
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan
daya kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai
ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf
sensoris kaki. Pada keadaan normal sensasi yang diterima
menimbulkan refleks untuk meningkatkan reaksi pertahanan dan
menghindarkan diri dari rangsangan yang menyakitkan dengan cara
mengubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih
besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan di sini sinyal diolah
kemudian respon dikirim melalui saraf motorik (Soetjahjo. 1998).
Pada penderita DM yang telah mengalami neuropati perifer saraf
sensorik (karena gangguan pengantaran impuls), pasien tidak
merasakan dan tidak menyadari adanya trauma kecil namun sering.
Pasien tidak merasakan adanya tekanan yang besar pada telapak kaki.
Semuanya baru diketahui setelah timbul infeksi, nekrosis, atau ulkus
yang sudah tahap lanjut dan dapat membahayakan keselamatan pasien
(Soetjahjo. 1998).
Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada
pasien DM, seperti (Soetjahjo. 1998):
1) Tekanan rendah tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada
tumit karena lama berbaring, dekubitus).
2) Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku).
3) Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki).
c) Neuropati otonom
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama
adalah akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini
mengakibatkan perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang
atau tidak ada, hilangnya tonus vasomotor, dan lain-lain (Soetjahjo.
1998).
Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang
terutama pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita mengalami
dehidrasi, kering, dan pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi lalu

28
selanjutnya timbul selulitis, ulkus, maupun gangren. Selain itu
neuropati otonom juga menyebabkan terjadinya pintas arteriovenosa
sehingga terjadi penurunan nutrisi jaringan yang berakibat pada
perubahan komposisi, fungsi, dan sifat viskoelastisitas sehingga daya
tahan jaringan lunak dari kaki akan menurun dengan akibat mudah
terjadi ulkus (Soetjahjo. 1998).
3. Fokus infeksi
Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui jalur
muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon dan
otot, baik pada kaki maupun pada tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki
diabetik klasik biasanya timbul di atas kaput metatarsal pada sisi plantar
pedis. Sebelumnya, di atas lokasi tersebut terdapat kalus yang tebal dan
kemudian menyebar lebih dalam dan dapat mengenai tulang. Akibatnya
terjadi osteomielitis sekunder. Sedangkan kuman penyebab infeksi pada
penderita diabetes biasanya multibakterial yaitu gram negatif, gram positif,
dan anaerob yang bekerja secara sinergi (Soetjahjo. 1998).
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah
terbentuk gangren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di
samping itu, 50% dari kasus ulkus/gangren diabetes akan mengalami infeksi
akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya
bakteri patogen (Soetjahjo. 1998).
Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih
serius. Hal ini disebabkan karena pada infeksi akan disekresi hormon kontra
insulin (seperti katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan, dan glukagon)
yang menyebabkan meningkatnya kadar gula darah. Peningkatan kadar gula
darah juga menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan gangguan sistem
imunologi. Sebagaimana diketahui, dalam melaksanakan fagositosis sel
PMN membutuhkan energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan
aktivitasnya. Dengan bantuan insulin yang melekat erat pada sel PMN,
glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi. Sumber energi ini
akan berkurang pada pasien diabetes yang mengalami kekurangan insulin
(Soetjahjo. 1998).

29
5. Tatalaksana Ulkus Diabetikum
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik
dan terjadinya ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan
pada kulit. Pencegahan primer ini juga merupakan suatu upaya edukasi
kepada para penyandang DM baik yang belum terkena kaki diabetik,
maupun penderita kaki diabetik untuk mencegah timbulnya luka lain
pada kulit (Waspadji. 2015).
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkna risiko
terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul.
Penggolongan kaki diabetik berdasarkan risiko terjadinya masalah
(Frykberg) yaitu (Waspadji. 2015):
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas
5) Kombinasi/complicated
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas

30
b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan
terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai
usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya risiko
tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait
terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah (Waspadji.
2015).
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk
kaki yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi
kaki yang insensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian
khusus mengenai alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran
tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan permasalahan vaskular, latihan
kaki perlu diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.
Untuk ulkus yang complicated, akan dibahas lebih lanjut pada upaya
pencegahan sekunder (Waspadji. 2015).
B. Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat
diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar
diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai
berikut, dan semuanya harus dikelola bersama (Waspadji. 2015).
1. Mechanical control (pressure control)
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-
bearing area pada plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat
tekanan lebih besar tersebut akan rentan terhadap timbulnya luka.
Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-bearing dapat
dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total contant
casting, temporary shoes, felt padding, crutches, wheelchair,
electric carts, maupun cradled insoles (Waspadji. 2015).
Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi
tekanan pada luka, seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi
abses dan prosedur koreksi bedah (misalnya operasi untuk hammer

31
toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, dan
partial calcanectomy) (Waspadji. 2015).
2. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan
hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus
dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan
setelah debridement yang adekuat. Debridement yang baik dan
adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang
harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat mengurangi
produksi cairan/pus dari ulkus/gangren (Waspadji. 2015).
Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk
mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai
pembersih luka, atau iodine encer, senyawa perak sebagai bagian
dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara debridement non
surgikal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan
jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim (Waspadji. 2015).
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan
luka tidak akan beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses
granulasi dan epitelisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi
kesembuhan luka, dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan
salin. Cara tersebut saat ini umum dipakai di berbagai tempat
perawatan kaki diabetik (Waspadji. 2015).
3. Microbiological control (infection control)
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala
untuk setiap daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus
selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya.
Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran Gram positif dan Gram negatif serta
kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk
lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik
spektrum luas, mencakup kuman Gram positif dan negatif (misalnya

32
golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang
bermanfaat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol)
(Waspadji. 2015).
4. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat
kesembuhan luka. Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat
dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien. Umumnya kelainan
pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara
sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis
pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis,
serta pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga
tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan
pembuluh darah dengan cara noninvasif maupun invasif dan
semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle
pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler serta
arteriografi (Waspadji. 2015).
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat
dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari
sudut vaskular, yaitu berupa (Waspadji. 2015):
Modifikasi Faktor Risiko
• Stop merokok
• Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia,
hipertensi, dislipidemia)
Terapi Farmakologis
Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan
pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak),
mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas
dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah
kaki penyandang DM; tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang
cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki
penyandang DM.

33
Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada
klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat
dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi, diperlukan
pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh
darah yang lebih jelas.
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas
terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur
endovaskular (PTCA). Pada keadaan sumbatan akut dapat pula
dilakukan tromboarterektomi.
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah
distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan
lebih baik, sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung pada
berbagai faktor lain yang turut berperan.
Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk
memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki
diabetik sebagai terapi adjuvant. Walaupun demikian, masih banyak
kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada
pengelolaan umum kaki diabetik.
5. Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki.
Kadar glukosa darah diusahakan agar selalu senormal mungkin,
untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat
menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin
untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus
diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu
kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan
diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat
oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal (Waspadji. 2015).
6. Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki
diabetik. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan

34
ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya diharapkan akan dapat
membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan
untuk kesembuhan luka yang optimal (Waspadji. 2015).

6. Faktor yang Berpengaruh terhadap Penyembuhan Ulkus Diabetikum


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka adalah
(Yunus. 2015) :
1. Usia
Manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis
menurun dengan cepat setelah usia 45 tahun. Proses penyembuhan luka
akan lebih lama seiring dengan peningkatan usia. Faktor yang
mempengaruhi adalah jumlah elastin yang menurun dan proses
regenerasi kolagen yang berkurang akibat penurunan metabolisme sel.
Sel kulit pun berkurang keelastisitasannya diakibatkan dari menurunnya
cairan vaskularisasi di kulit dan berkurangnya kelenjar lemak yang
semakin mengurangi elastisitas kulit. Kulit yang tidak elastis akan
mengurangi kemampuan regenerasi sel ketika luka akan dan mulai
menutup sehingga dapat memperlambat penyembuhan luka (Yunus.
2015).
2. Jenis Kelamin
Taylor (2008) mengemukakan penyebab banyaknya angka kejadian
luka berawal dari kejadian DM pada perempuan karena terjadinya
penurunan hormone estrogen akibat menopause. Hormon estrogen dan
progesterone dapat mempengaruhi sel-sel untuk merespon insulin karena
setelah perempuan mengalami menopause perubahan kadar hormon akan
memicu naik turunnya kadar gula darah. Peningkatan kadar glukosa yang
diakibatkan karena penumpukan glukosa mengakibatkan terhambatnya
aliran nutrisi ke permukaan sel pada pembuluh darah, hal ini
menyebabkan tidak adanya zat nutrisi lain yang menyuplai sel selain
glukosa (Yunus. 2015).

35
3. Stadium luka diabetes
Pengkajian mengenai stadium luka dilakukan untuk menentukan
pelaksanaan berikutnya yang tepat pada pasien. Ulkus diabetikum
merupakan luka kronis yang tidak gampang sembuh diakibatkan karena
terganggunya penyembuhan luka oleh faktor sistemik, lokal, dan lainnya
(Yunus. 2015).
Stadium luka diabetes dibedakan berdasarkan empat tingkatan, yaitu
(Yunus. 2015):
a. Stadium I : luka kemerahan dan tidak merusak epidermis
b. Stadium II : luka memisahkan epidermis dan dermis
c. Stadium III : luka hingga sebagian hypodermis, berbentuk cavity
(rongga)
d. Stadium IV : luka hingga hipodermis hilang, mengenai tulang, otot,
dan tendon
Selain pengkajian stadium luka, pengkajian dari warna dasar luka
juga sangat mendukung dalam proses penyembuhan ulkus diabetikum.
Warna dasar luka memperlihatkan gambaran fisik kondisi luka yang
real.Penilaian warna dasar luka didasarkan pada (Yunus. 2015) :
a. Warna merah merupakan ciri dari jaringan granulasi dan granulasi
baik.
b. Warna kuning merupakan jaringan mati slough (lunak) dengan
vaskularisasi buruk.
c. Warna hitam nekrotik (keras)/ eschar dan vaskularisasi buruk
d. Warna pink merupakan jaringan epitel halus
4. Lama perawatan luka
Arisanty menyatakan bahwa saat ini perawatan luka dilakukan
dengan tertutup untuk dapat tercapai keadaan yang lembab (moist) atau
moisture balance telah dapat diterima secara universal sebagai standar
baku untuk berbagai luka. Alasan yang rasional teori perawatan luka
dalam suasana lembab adalah (Yunus. 2015) :

36
1. Fibrinolis
Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dengan cepat
dihilangkan (fibrinolitik) oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana
lembab.
2. Angiogenesis
Keadaan hipoksi pada perawatan tertutup akan lebih meransang
cepat angiogenesis dan mutu pembuluh darah kapiler. Angiogenesis
akan bertambah dengan terbentuknya heparin dan tumor necrosis
factor- alpha (TNF-alpha).
3. Kejadian infeksi lebih rendah dibandingkan dengan perawatan
kering (2,6% vs 7,1%).
4. Pembentukan growth factor yang berperan pada proses
penyembuhan dipercepat pada suasana lembab.
5. Percepatan pembentukan sel aktif
6. Invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit dan limfosit ke
daerah luka berfungsi lebih dini.
Menurut Wound Care Association waktu yang dibutuhkan selama
perawatan dalam penyembuhan ulkus diabetikum adalah 2-3 minggu
untuk stadium I, 3 minggu-2 bulan untuk stadium II, ≥2 bulan untuk
stadium III, dan 3-7 bulan untuk stadium IV. Meskipun ada taksiran
waktu dalam proses penyembuhan luka hal tersebut masih bersifat relatif
karena masih ada hal lain yang mempengaruhi, seperti keadaan hygiene
luka, terdapat infeksi luka atau tidak, penggantian balutan, serta
teraturnya pasien dalam melakukan perawatan luka (Yunus. 2015).
5. Jadwal perawatan luka
Dalam hal penyembuhan luka, perawatan luka sangatlah penting
karena mendorong kemajuan dari perkembangan penyembuhan luka.
Jadwal perawatan luka ditetapkan berdasarkan tingkat keparahan luka,
sebagai contoh dapat kita angkat dari sisi balutan misalnya saat lukanya
mengandung banyak eksudat penggantian balutan berselang 2 hari,
sedangkan luka yang mengandung sedikit ekdudat penggantian balutan
berselang 3-4 hari. Kepatuhan terhadap jadwal perawatan luka yang telah

37
ditetapkan oleh terapis merupakan salah satu langkah untuk
mempertahankan kondisi lingkungan luka yaitu tetap mempertahankan
suasana lembab pada luka bila dipandang dari sisi balutan luka (Yunus.
2015).
Luka yang terlampau lama dibalut tanpa penggantian balutan dapat
menimbulkan maserasi pada luka tersebut serta pada kulit, sedangkan
pada luka yang rentang waktu penggantian balutannya sangat dekat dapat
menyebabkan efektifitas topical teraphy pada luka tidak maksimal.
Terhadap jadwal perawatan pun dapat meningkatkan kontrol terhadap
ulkus diabetikum yang diderita serta edukasi terhadap pasien dan
keluarganya (Yunus. 2015).

7. Prognosis Ulkus Diabetikum


Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi pada
kaki diabetik. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan
perfusi jaringan kaki kurang baik hingga mekanisme radang menjadi tidak
efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk
perkembangan bakteri patogen; dan faktor ketiga ialah karena adanya pintas
arteriovenosa di subkutis yang terbuka hingga aliran nutrien tidak sampai ke
tempat infeksi.

8. Perawatan Kaki pada Penderita Diabetes Melitus


Seorang penderita DM harus selalu memperhatikan dan menjaga
kebersihan kaki, melatihnya secara baik walaupun belum terjadi komplikasi.
Jika tidak dirawat, khawatir suatu saat kaki penderita akan mengalami
gangguan peredaran darah dan kerusakan syaraf yang menyebabkan
berkurangnya sensitivitas terhadap rasa sakit, sehingga penderita mudah
mengalami cidera tanpa disadari (Hidayat & Nurhayati. 2014).
Di bawah ini ada beberapa langkah dalam melakukan perawatan kaki,
antara lain sebagai berikut (Hidayat & Nurhayati. 2014):
1. Area Pemeriksaan Kaki

38
a. Kuku jari: periksa adanya kuku tumbuh di bawah kulit (ingrown nail),
robekan atau retakan pada kuku
b. Kulit: periksa kulit di sela-sela jari (dari ujung hingga pangkal jari),
apakah ada kulit retak, melepuh, luka, atau perdarahan
c. Telapak kaki: Periksa kemungkinan adanya luka pada telapak kaki,
apakah terdapat kalus (kapalan), palantar warts, atau kulit telapak kaki
yang retak (fisura)
d. Kelembaban kulit: periksa kelembaban kulit dan cek kemungkinan
adanya kulit berkerak dan kekeringan kulit akibat luka
e. Bau: periksa kemungkinan adanya bau dari beberapa sumber pada
daerah kaki
2. Perawatan (mencuci dan membersihkan) kaki
a. Menyiapkan air hangat: uji air hangat dengan siku untuk mencegah
cedera
b. Cuci kaki dengan sabun yang lembut (sabun bayi atau sabun cair)
untuk menghindari cedera ketika menyabun.
c. Keringkan kaki dengan handuk bersih, lembut. Keringkan sela-sela
jari kaki, terutama sela jari kaki ke-3-4 dan ke-4-5.
d. Oleskan lotion pada semua permukaan kulit kaki untuk menghindari
kulit kering dan pecah pecah
e. Jangan gunakan lotion di sela- sela jari kaki. Karena akan
meningkatkan kelembapan dan akan menjadi media yang baik untuk
berkembangnya mikroorganisme (fungi).
3. Perawatan kuku kaki
a. Potong dan rawat teratur. Bersihkan hari pada waktu berikan cream
kuku secara kuku setiap mandi dan pelembab kuku.
b. Gunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak
terlalu pendek atau terlalu dekat dengan kulit, kemudian kikir agar
kuku tidak tajam. Jika ragu, Anda bisa meminta bantuan keluarga atau
dokter untuk memotong kuku Anda.
c. Hindarkan terjadinya luka pada jaringan sekitar kuku. Bila kuku keras,
sulit dipotong, rendam kaki dengan air hangat selama ± 5 menit.

39
4. Senam kaki pada penderita diabetes
Senam kaki dapat membantu memperbaiki peredaran darah yang
terganggu dan memperkuat otot-otot kecil kaki pada pasien diabetes
dengan neuropati. Selain itu dapat memperkuat otot betis dan otot paha,
mengatasi keterbatasan gerak sendi dan mencegah terjadinya
deformitas. Keterbatasan jumlah insulin pada penderita DM
mengakibatkan kadar gula dalam darah meningkat hal ini menyebabkan
rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya sehingga
pasokan darah ke kaki semakin terhambat, akibatnya pasien DM akan
mengalami gangguan sirkulasi darah pada kakinya.

40
KESIMPULAN

a. Pasien Tn. J berusia 61 tahun datang ke RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri
luka pada kaki sebelah kanan. Keluhan tambahan didapatkan mual dan sakit
kepala disertai badan lemas. Awalnya terdapat luka kecil yang tidak diketahui
penyebabnya di sekitar jari kelima kaki kanan, sudah dilakukan debridement
di RSUD Cilegon pada bulan Mei namun luka semakin meluas sampai hampir
sebagian kaki kanan pasien. Dari hasil pemeriksaan terdapat gejala klasik DM
dan ulkus pada kaki kanan pasien. Ulkus DM yang terdapat pada kaki pasien
termasuk dalam stadium V, yang merupakan indikasi dilakukannya amputasi
pada kaki pasien. Tindakan amputasi dilakukan pada tanggal 25 Juni 2019.
b. Pasien memiliki pola diet yang kurang sehat sebelumnya, seperti
mengkonsumsi minuman tinggi gula dan makanan tinggi lemak. Hal tersebut
merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan ginjal dan hipertensi
pada pasien.
c. Pencegahan ulkus DM sebaiknya dilakukan pada pasien DM, dengan cara
mengenali tanda-tanda terjadi gangguan pada kaki seperti paraestesi sampai
anastesi, dan juga rutin melakukan perawatan pada kaki seperti rutin
melakukan pemeriksaan kaki, membersihkan kaki, perawatan kuku kaki, dan
senam kaki pada penderita diabetes.

41
DAFTAR PUSTAKA

ADA (American Diabetes Association)., 2010. Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diabetes Care Vol.33. USA: American Diabetes
Association.
Agustin. Yeni., dkk. 2013. Pengalaman Klien Diabetes Melitus Tipe 2 Pasca
Amputasi Mayor Ekstremitas Bawah. Depok: Jurnal Keperawatan Indonesia.
Ariani, dkk. 2012. Hubungan antara Perawatan Kaki dengan Risiko Ulkus Kaki
Diabetes di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta:
Muhammadiyah Journal of Nursing.
Aulia, K. 2017. Persepsi Penderita Diabetes Melitus Paska Amputasi terhadap God
Locus of Control dalam Self Care Behavior di Wilayah Lombok Nusa
Tenggara Barat. Tesis. Program Studi Magister Keperawatan. Universitas
Muhammadiyah, Yogyakarta.
Hidayat, Anas Rahmad, & Nurhayati, Isnani. 2014. Perawatan Kaki pada Diabetes
Melitus di Rumah.
International Working Group on The Diabetic Foot (IWGD). (2011). International
consensus on the diabetic foot and practical guidelines on the management
and the prevention of the diabetic foot. Amsterdam: IWGD.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES). 2012. Profil kesehatan
Indonesia tahun 2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
PERKENI. 2015. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2
di Indonesia 2015. Jakarta: PERKENI.
Soetjahjo, A. 1998. Peranan Neuropati Diabetik. Padang: Majalah Kedokteran
Andalas, 22.(1).
Waspadji, Sarwono. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI: Kaki
Diabetes. Jakarta: Interna Publishing.
World Health Organization (WHO). 2013. Facts and figure about diabetes.
http://www.who.int/diabetes/en/ diakses tanggal 12 Juli 2019.
Yunus, B. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lama Penyembuhan Luka
pada Pasien Ulkus Diabetikum di Rumah Perawatan ETN Centre Makassar.

42
Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas UIN Alauddin,
Makassar.

43

Anda mungkin juga menyukai