RHINITIS ALERGI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian
Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh:
Amina Noor Aisyah
20174011083
Diajukan kepada:
dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL
PRESENTASI KASUS
RHINITIS ALERGI
Oleh:
AMINA NOOR AISYAH
20174011083
Disetujui oleh:
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan
RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo
2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat,
petunjuk, dan kemudahan yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul:
“RHINITIS ALERGI”
Penulis meyakini bahwa presentasi kasus ini tidak akan dapat tersusun tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL, selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan di RSUD KRT
Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan memberikan bantuan,
pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya penulisan
presentasi kasus ini.
2. Seluruh tenaga medis dan karyawan di poli THT RSUD KRT Setjonegoro,
Wonosobo yang telah berkenan membantu dalam proses berjalannya
Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan.
3. Keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan.
Semoga pengalaman dalam membuat presentasi kasus ini dapat memberikan
hikmah bagi semua pihak. Mengingat penyusunan presentasi kasus ini masih jauh
dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi
masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan presentasi kasus
selanjutnya.
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. RT
No. CM : 611487
Tempat, Tanggal Lahir : Wonosobo, 8 Maret 2002
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kejiwan, Wonosobo
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan Terakhir : SMA
Tgl. Masuk RS : 18 Juni 2018
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Bersin terus-menerus disertai hidung tersumbat dan pilek.
5
muncul ketika pasien terpapar oleh debu dan suhu udara yang dingin.
Selama ini jika keluhan muncul pasien hanya mengkonsumsi obat
parasetamol dan keluhan dirasakan tidak berkurang.
6. Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : demam (-), nyeri kepala (-)
Sistem Indra :
❖ Mata : penglihatan kabur (-), berkunang-kunang (-
), nyeri pada bola mata (-), mata merah (+), mata gatal (+)
❖ Telinga : pendengaran berkurang (-), berdengung (-),
mengeluarkan cairan (-)
❖ Hidung : mimisan (-), pilek (+), sekret (+), hidung
gatal (+), hidung tersumbat (+)
6
❖ Mulut : sariawan (-), gusi berdarah (-), mulut kering
(-), nyeri tenggorokan (-)
Sistem Kardiovaskular : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
Sistem Respirasi : sesak nafas (+), batuk (-)
Sistem Gastrointestinal : nyeri perut (-), kembung (-), mual (-),
muntah (-)
Sistem Urogenital : BAK tidak ada keluhan
Sistem Integumentum : gatal (-)
Sistem Muskuloskeletal : kelemahan anggota gerak (-), nyeri sendi (-
), nyeri otot (-), edema (-), kesemutan (-)
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum dan Tanda Vital
• Keadaan Umum : sedang
• Kesadaran : compos mentis
• Vital Sign :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 72x/menit
Respirasi : 20x/menit
Temperatur : 36,7oC
2. Status Generalisata
a. Kepala
1) Bentuk : mesocephal
2) Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
mata merah (+), mata berair (+)
3) Hidung : bentuk normal, sekret bening cair (+),
edema mukosa hidung (+), hidung kemerahan (+)
4) Telinga : bentuk normal, simetris kanan dan kiri,
membrane timpani intak (+/+), serumen minimal
7
5) Mulut : sianosis (-)
b. Leher : JVP tidak diukur
c. Thorax dan Pulmo
1) Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi
intercostal (-), tidak terlihat ada massa maupun deformitas
2) Palpasi : vocal fremitus dbn, nyeri tekan (-)
3) Perkusi : sonor (+) pada seluruh lapang paru
4) Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-),
ronkhi (-)
d. Jantung
1) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : ictus cordis kuat angkat di SIC V, lateral
linea midclavicularis sinistra
3) Perkusi : batas jantung tidak dinilai
4) Auskultasi : S1-S2 reguler, bising jantung (-)
e. Abdomen
1) Inspeksi : datar, simetris, cembung (-), distensi (-),
jejas (-)
2) Auskultasi : bising usus (+)
3) Palpasi : nyeri tekan (-)
4) Perkusi : timpani (+) seluruh lapang perut
f. Ekstremitas : akral hangat, edem (-)
g. Kulit : turgor kulit cukup, ikterik (-)
8
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 13.9 g/dl Normal
Leukosit 12.8x103/ul High
Eosinophil 1.60% Low
Basofil 0.80% Normal
Netrofil 74.20% High
Limfosit 17.60% Low
Monosit 5.30% Normal
Immunoglobulin 0.50% Normal
Hematokrit 43% Normal
Eritrosit 5.2x106/ul Normal
MCV 83 fL Normal
MCH 27 pg Normal
MCHC 32 g/dl Normal
Trombosit 348x103/ul Normal
E. Diagnosis
Diagnosis Utama : Rhinitis Alergi
Diagnosis Banding :
❖ Rhinitis non alergi
❖ Rhinitis vasomotor
F. Tatalaksana
❖ Inf. Ringer Lactate II plabottle/24 jam
❖ Inj. Methylprednisolone 62,5 mg/12 jam
❖ Inj. Cefotaxime 1gr/12 jam
❖ Trifed 2x1
❖ Oxymetazoline Nasal Spray 2x1 gtt
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Rhinitis alergi adalah inflmasi mukosa hidung dengan gejala bersin-
bersin, rasa gatal, hidung tersumbat yang dipicu oleh reaksi hipersensitivitas
tipe 1 setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen (Arifputera &
Irawati, 2014). Berdasarkan American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) rhinitis alergi adalah penyakit
respon inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE) pada
membrane mukosa hidung setelah terjadi paparan terhadap allergen yang
terhirup. Gejala yang terjadi meliputi, rhinorrhea (anterior maupun post
nasal drip), hidung tersumbat, hidung gatal, dan bersin-bersin (Seidman, et
al., 2015).
B. Klasifikasi
AAO-HNSF menyatakan rhinitis alergi dapat diklasifikasikan
berdasarkan tiga hal. Pertama berdasarkan waktu dan paparan:
1. Rhinitis alergi musiman/seasonal (contoh allergen: serbuk sari)
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun/perennial (contoh allergen: dust
mites)
3. Rhinitis alergi episodic (allergen dari lingkungan pasien tetapi
yang tidak selalu dijumpai, contoh: berkunjung ke rumah yang
memiliki peliharaan).
Kedua berdasarkan frekuensi (Arifputera & Irawati, 2014):
1. Intermiten: kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari
4 minggu berturut-turut
2. Persisten: lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4
minggu berturut-turut.
Ketiga berdasarkan keparahan gejala (Arifputera & Irawati, 2014):
1. Ringan/mild, harus memenuhi semua hal berikut ini:
10
❖ Tidak ada gangguan tidur
❖ Tidak ada gangguan pada aktivitas sehari-hari, olahraga,
dan rekreasi
❖ Tidak ada gangguan pada pekerjaan dan aktivitas belajar
❖ Tidak ada gejala yang berat
2. Sedang-berat/moderate-severe, satu atau lebih dari hal-hal
berikut:
❖ Gangguan tidur
❖ Gangguan pada aktivitas sehari-hari, olahraga, dan
rekreasi
❖ Gangguan pada pekerjaan dan aktivitas belajar
❖ Gejala yang berat.
C. Epidemiologi
Rhinitis alergi mempengaruhi sekitar 40% anak-anak dan 20%-30%
orang dewasa. Pada anak (<2 tahun) diagnosis rhinitis alergi lebih sulit
ditegakkan, keluhan pertama biasanya muncul pada usia sekolah
(Arifputera & Irawati, 2014).
Di Amerika, rhinitis alergi merupakan penyakit kronis yang paling
sering pada anak-anak dan menempati urutan ke-5 paling sering terjadi dari
seluruh penyakit kronis secara keseluruhan. Diperkirakan sekitar 1 dari 6
orang Amerika memiliki rhinitis alergi (Seidman, et al., 2015).
Rhinitis alergi merupakan penyakit yang paling umum di seluruh
dunia dan biasanya bertahan selama seumur hidup. Prevalensi dari rhinitis
alergi diperkirakan sekitar 2% hingga 25% pada anak-anak dan 1% hingga
lebih dari 40% pada dewasa. Rhinitis alergi juga sering dihubungkan dengan
kejadian asma, sebanyak 15% hingga 38% pasien rhinitis alergi memiliki
asma dan gejala gangguan hidung muncul pada 6% hingga 85% pasien
asma. Sebagai tambahan, rhinitis alergi merupakan faktor risiko untuk
kejadian asma dan rhinitis alergi sedang-berat yang tidak terkontrol akan
mempengaruhi kontrol dari asma (Brozek, et al., 2017). Rhinitis alergi juga
11
dapat berhubungan dengan otitis media, disfungsi tuba eustachius, sinusitis,
polip nasal, konjungtivitis alergi, dan dermatitis atopic. Selain itu, rhinitis
alergi dapat menyebabkan kesulitan belajar, gangguan tidur, dan mudah
lelah (Sheikh, 2018).
D. Etiologi
Peningkatan kadar IgE terhadap allergen tertentu menyebabkan
degranulasi sel mast yang berlebihan. Degranulasi sel mast melepaskan
mediator inflamasi (sebagai contoh: histamin) dan sitokin yang
menimbulkan reaksi inflamasi lokal (Arifputera & Irawati, 2014). Rhinitis
alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetic
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetic dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rhinitis alergi (Adams, Boies, & Higler, 1997).
Penyebab rhinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis
alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitive
terhadap beberapa allergen. Allergen yang menyebabkan rhinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis alergi perennial
diantaranya debu tungau (dust mites), jamur, dan binatang peliharaan.
Faktor risiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya pada karpet serta
sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban udara yang tinggi merupakan faktor risiko untuk tumbuhnya
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor non-spesifik di antaranya adalah asap rokok, polusi udara,
bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker,
Naumann, & Pfaltz, 1994).
E. Patofisiologi
Rhinitis alergi melibatkan inflamasi dari membrane mukosa hidung,
mata, tuba eustachius, telinga tengah, sinus, dan faring. Inflamasi ini
12
dikarakterkan dengan interaksi kompleks dari mediator inflamasi yang
dipicu oleh immunoglobulin E (IgE) akibat respon terhadap protein
ekstrinsik (allergen). Kemungkinan untuk berkembangnya reaksi alergi atau
reaksi IgE-mediated terhadap allergen sangat berhubungan dengan
komponen genetic. Pada individu tertentu, paparan terhadap protein asing
memicu sensitisasi alergi yang dikarakterkan dengan produksi IgE spesifik
untuk melawan protein ini. IgE ini melapisi permukaan sel mast, yang
kemudian muncul pada mukosa nasal. Ketika protein tertentu terhirup ke
hidung, protein tersebut dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, memicu
pelepasan segara maupun lambat dari berbagai macam mediator (Sheikh,
2018).
Mediator yang segera muncul diantaranya adalah histamin, tryptase,
kimase, kinin, dan heparin. Sel mast secara cepat mensintesis mediator lain
termasuk leukotriene dan prostaglandin D2. Mediator ini melalui berbagai
interaksi memicu munculnya gejala seperti rhinorrhea, hidung tersumbat,
bersin-bersin, gatal, kemerahan, mata berair, edema mukosa, peningkatan
tekanan telinga, dan post nasal drip. Kelenjar mukosa terstimulasi sehingga
terjadi peningkatan sekresi mucus. Permeabilitas vascular juga meningkat,
menyebabkan eksudasi plasma. Vasodilatasi terjadi, menyebabkan kongesti
dan tekanan. Saraf sensoris terstimulasi menyebabkan bersin-bersin dan
gatal. Semua kejadian ini terjadi dalam beberapa menit, oleh karena itu
reaksi ini disebut reaksi awal atau segera (Sheikh, 2018).
Setelah 4 hingga 8 jam, mediator ini melalui berbagai kejadian
kompleks menarik sel-sel inflamasi lain ke mukosa, seperti neutrophil,
eosinophil, limfosit, dan makrofag. Hal ini menyebabkan inflamasi
berlanjut, dan disebut reaksi lambat. Gejala dari reaksi lambat mirip dengan
reaksi awal, tetapi dengan penurunan bersin-bersin dan gatal serta hidung
tersumbat dan produksi mucus terus meningkat. Fase lambat ini dapat
terjadi selama beberapa jam hingga beberapa hari. Gejala sistemik seperti
kelelahan, mengantuk, serta malaise dapat terjadi akibat respon inflamasi.
Hal ini menyebabkan penurunan kualitas hidup (Sheikh, 2018).
13
F. Manifestasi Klinis
Berikut merupakan gejala dan tanda dari rhinitis alergi (Arifputera
& Irawati, 2014):
1. Gejala yang mendukung diagnosis rhinitis alergi (2 atau lebih gejala >1
jam hampir setiap hari): rhinorrhea berair, bersin paroksismal, obstruksi
nasal, hidung gatal, dan konjungtivitis (mata berair, gatal atau bengkak)
2. Gejala yang tidak mendukung diagnosis rhinitis alergi: bersifat
unilateral, obstruksi nasal tanpa disertai gejala lainnya, rhinorrhea
mukopurulen, post nasal drip dengan mucus tebal, tidak ditemukan
rhinorrhea anterior, nyeri, epistaksis berulang, dan anosmia.
3. Tanda klinis yang diasosiasikan dengan rhinitis alergi:
❖ Allergic shiners – lingkaran hitam di sekitar mata dan
berhubungan dengan vasodilatasi atau kongesti nasal
❖ Nasal/allergi crease – suatu garis horizontal di dorsum hidung
yang disebabkan oleh gesekan berulang ke atas pada ujung
hidung oleh telapak tangan (dikenal sebagai allergic salute)
❖ Pemeriksaan hidung dengan speculum hidung: mukosa hidung
edematosa atau hipertrofi, berwarna pucat atau biru-keabuan,
dan sekret cair
❖ Pemeriksaan mata: injeksi dan pembengkakan konjungtiva
palpebra dengan produksi air mata berlebihan, gari Dennie-
Morgan (garis di bawah kelopak mata inferior)
❖ Pemeriksaan faring: penampakan cobblestone (pembengkakan
jaringan limfoid pada faring posterior) dan pembengkakan arkus
faring posterior. Maloklusi dan lengkung palatum yang tinggi
dapat ditemukan pada pasien yang bernafas dengan mulut secara
berlebihan
❖ Pada anak dapat ditemukan hipertrofi adenoid (dari foto lateral
leher).
14
G. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Anamnesis mencakup durasi, lama sakit, derajat
keparahan, dan sifat gejala. Pencetus, respons terhadap pengobatan,
komorbid, riwayat atopi dalam keluarga, pajanan di lingkungan/pekerjaan,
dan efek gejala terhadap kualitas hidup harus ditanyakan. Diagnosis
terhadap kondisi atopi yang berhubungan seperti dermatitis atopic, asma
atau konjungtivitis juga harus ditegakkan. Pemeriksaan fisik dapat dilihat
pada bagian manifestasi klinis (Arifputera & Irawati, 2014).
Pencetus dari kejadian rhinitis alergi juga harus ditegakkan.
Beberapa pencetus dari rhinitis alergi diantaranya adalah serbuk sari dari
pohon maupun rumput, jamur atau hifa, tungau, hewan peliharaan, kecoak,
atau hewan pengerat (Sheikh, 2018).
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah
pemeriksaan darah tepi lengkap dengan eosinophilia, sitologi hidung
dengan jumlah eosinophil >5/LPB, serta IgE total. Pemeriksaan IgE
spesifik, dan tes alergi (skin prick test) biasanya tidak dikerjakan di
pelayanan primer namun sangat bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
rhinitis alergi (Arifputera & Irawati, 2014).
H. Penatalaksanaan
Manajemen tatalaksana dari rhinitis alergi meliputi tiga kategori
utama, yaitu (1) konservatif dengan menghindari allergen serta kontrol
lingkungan, (2) manajemen farmakologi, (3) imunoterapi (Sheikh, 2018).
1. Konservatif
❖ Kurangi atau cegah paparan terhadap allergen. Hal
tersebut merupakan aspek terpenting dalam tatalaksana
rhinitis alergi. Pada umumnya, pengendalian pajanan
cukup untuk mengatasi gejala (meskipun membutuhkan
waktu berbulan-bulan)
❖ Jaga kebersihan dengan salin pencuci nasal
15
2. Farmakoterapi
❖ Antihistamin oral – terapi lini pertama untuk gejala
ringan. Contoh: cetirizine, fexofenadine, loratadine,
levocetirizine atau desloratadine
❖ Kortikosteroid intranasal untuk gejala sedang-berat atau
persisten (gunakan selama 1 bulan secara konsisten
untuk mendapatkan efek terapeutik). Contoh
kortikosteroid intranasal yang dapat digunakan adalah
beclomethasone, fluticasone, dan mometasone furoate
❖ Dekongestan intranasal (penggunaan dibatasi untuk <5
hari untuk mencegah rhinitis medikamentosa) diberikan
jika disertai obstruksi nasal seperti pseudoefedrin,
oksimetazolin, dan fenilepinefrin.
3. Imunoterapi (desensitisasi)
❖ Hanya diindikasikan pada kasus berat yang tidak respons
terhadap agen farmakologik
❖ Injeksi subkutan periodic atau dapat berupa preparat
sublingual.
16
❖ Steroid intranasal dan antihistmain oral direkomendasikan sebagai
tatalaksana lini pertama. Sedangkan leukotriene reseptor antagonis
oral tidak dianjurkan sebagai tatalaksana lini pertama
❖ Imunoterapi sublingual atau subkutan harus ditawarkan pada pasien
yang tidak merespon terhadap terapi farmakologik.
17
BAB III
PEMBAHASAN
18
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G., Boies, L., & Higler, P. (1997). Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Arifputera, A., & Irawati, N. (2014). Rinitis Alergi. In F. L. Chris Tanto, Kapita
Selekta Kedokteran Edisi Ke-4 (pp. 1054-1056). Jakarta: Media
Aesculapius.
Becker, W., Naumann, H., & Pfaltz, C. (1994). Ear, Nose and Throat Disease,
Second Edition. New York: Thieme.
Brozek, J., Bousquet, J., Agache, I., Agarwal, A., Bachert, C., Bosnic-Anticevich,
S., & Brignardello-Petersen, R. (2017). Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma (ARIA) guidelines - 2016 revision. J Allergy Clin Immunology,
950-958.
Seidman, M., Gurgel, R., Lin, S., Schwartz, S., Baroody, F., Bonner, J., . . .
Nnacheta, L. (2015). Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. SAGE.
19