Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

Angiofibroma Nasofaring

Oleh:
Muhammad Iqbal Cahyana Eka Putra 19710104

Pembimbing :

dr. Tutut Sriwiludjeng T, Sp.THT-KL

SMF ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN-KEPALA


LEHER
RSU DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MOJOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2021
LAPORAN KASUS

Angiofibroma Nasofaring

Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Guna


Mengikuti Ujian Dokter Muda

Oleh :
Muhammad Iqbal Cahyana Eka Putra 19710104

Telah disetujui dan disahkan pada:


Hari :
Tanggal :

Pembimbing,

dr. Tutut Sriwiludjeng T, Sp. THT-KL


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan laporan kasus
ini dengan judul “Angiofibroma Nasofaring”.
Laporan Kasus ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna
mengikuti ujian utama SMF Ilmu Penyakit THT sebagai dokter muda di RSU
dr.Wahidin Sudirohusodo. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini bukanlah
tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.
Terselesaikannya Laporan Kasus ini tentunya tak lepas dari dorongan dan
uluran tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis
mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut
ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Tutut Sriwiludjeng T, Sp. THT-KL selaku kepala bagian Ilmu Penyakit
THT serta sebagai pembimbing Laporan Kasus di RSU dr.Wahidin
Sudirohusodo yang telah memberikan banyak ilmunya kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.
3. Orang tua penulis serta semua keluarga yang selalu mendukung dan
memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan Laporan Kasus
ini.
4. Teman-teman pendidikan dokter umum yang telah banyak membantu
menyelesaikan Laporan Kasus ini.
5. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan Laporan Kasus ini.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang
telah membantu penulis guna menyelesaikan Lapsus ini dengan melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya.
Mojokerto, 21 Maret 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. IDENTITAS

Nama : Tn. Z
Tanggal Lahir : 05 Juni 1997
Usia : 24 Tahun
Alamat : Trowulan, Mojokerto
Pekerjaan : Pengrajin daur ulang
Agama : Islam
Tgl MRS : 21 Februari 2022
Tgl KRS : 25 Februari 2022

1.2. ANAMNESA
1.2.1. Keluhan Utama
Hidung tersumbat
1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik THT RSU Wahidin Sudirohusodo Mojokerto

dengan keluhan hidung terasa tersumbat. Keluhan ini dirasakan sejak +/- 3

bulan yang lalu. Keluhan dirasakan menetap sepanjang hari, dan dirasakan

memberat sejak +/- 3 hari yang lalu. Keluhan hidung tersumbat dirasakan pada

kedua rongga hidung, namun lebih berat dirasakan pada rongga hidung kiri.

Pasien mengatakan tidak ada hal yang memberatkan atau meringankan

keluhan hidung tersumbat ini. Pasien juga mengeluh mulai susah bernafas

akibat sumbatan di hidung. Pasien juga menyadari adanya benjolan pada

rongga hidung sebelah kiri +/- 1 bulan yang lalu. Pasien awalnya melihat

benjolan dengan ukuran yang kecil, namun saat ini benjolan dirasakan

semakin membesar dan tidak nyeri. Pasien sering mengalami pilek lendir
bening yang terkadang disertai dengan adanya darah, suara sengau (+). Selain

itu pasien juga sering mengalami mimisan yang banyak dari rongga hidung

kiri. Keluhan ini dialami sejak +/- 3 bulan yang lalu. Nyeri pada dahi (-), nyeri

pada pipi (-), nyeri pangkal hidung (-), nyeri tenggorokan (-), demam (-),

penurunan BB (-). Lemas (-).

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit gigi (-), riwayat asma (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-).

1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

 Hipertensi disangkal

 Diabetes mellitus disangkal

 Tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit serupa

1.2.5. Riwayat Alergi


Pasien tidak mempunyai alergi obat atau makanan
1.2.6. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien punya kebiasaan merokok sudah 5 thn 3 batang/hari
1.2.7. Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat

1.3. PEMERIKSAAN FISIK

- Keadaan umum : Baik

- Kesadaran : Composmentis

Vital sign

- Tekanan darah : 110/80 mmHg

- Nadi : 98x/menit

- Respiratory rate : 18x/menit

- Suhu : 36,5°C
1.3.1. STATUS GENERALIS

- Kepala/Leher : A/I/C/D : -/-/-/-

Tidak ada pembesaran KGB

Telinga : MAE bersih, MT intak

Hidung : terdapat massa permukaan licin berwarna merah kebiruan di

cavum nasi membesar hingga palatum molle, sekret(+) bening D/S

Tenggorokan : hiperemi (-), odem (-), tonsil T1/T1

- Paru : Vesikuler +/+, tidak ada ronki,tidak ada wheezing

- Jantung : SI- SII tunggal, tidak ada murmur, tidak ada gallop

- Abdomen

Inspeksi : - Flat, Luka (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal, meteorismus (-)

Perkusi : Timpani pada seluruh permukaan abdomen

Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba

- Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas , tidak ada edem

pada keempat eksremitas

1.4. PEMERIKSAN PENUNJANG


1.4.1. Laboratorium

Hematologi Lengkap

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 8.03 103 / uL 3.60 – 11.0

Hemoglobin 8.2 g/dL 11.7 – 15.5


Eritrosit 4.54 106 /uL 3.80 – 5.20

Hematokrit 28.1 % 35.0 – 47.0

Trombosit 638 103/uL 150 – 400

MPV 7.0 fL 9.0 – 13.0

MCV 61.8 fL 80.0 – 100.0

MCH 18.0 pg 26.0 – 34.0

MCHC 29.1 g/L 32.0 – 36.0

RDW-CV 29.4 % 11.5 – 14.5

RDW-SD 48.9 fL 37.0 – 54.0

Hitung Jenis

Neutrofil 61.2 % 50.0 – 70.0

Eosinofil 6.2 % 2.0 – 4.0

Limfosit 23.7 % 25.0 – 40.0

Monosit 8.3 % 2.0 – 8.0

Jumlah Neutrofil 4.92 103 /uL 1.50 – 7.00

Jumlah Limfosit 1.90 103 /uL 1.00 – 3.70

Jumlah Monosit 0.66 103 /uL 0 – 0.7

Ratio N/L 2.59 <3.13


Kimia Darah

Glukosa Sewaktu 88 mg/dL <200

1.5. PLANNING DAN DIAGNOSA

PLANNING DIAGNOSA DIAGNOSA SEMENTARA

Angiofibroma Nasofaring
CT Scan Kepala

PLANNING TERAPI PLANNING TINDAKAN

 Inf PZ 14 tpm  Operasi


 Transfusi PRC sampai Hb >10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Nasofaring

Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan

dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada

orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi

anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8cm dari aparatus piriformis

sepanjang dasar hidung. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh

permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra

servikal I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak

yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum

molle. Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m.konstriktor

faring superior. Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot,

jaringan fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh

muskulus konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor

superior dan dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi oleh

fasia faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini. Ujung

medial dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang

terletak di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba

Eustachius terdapat sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus

salpingofaringeus, berjalan ke bawah dan turun secara bertahap pada dinding

faring bagian lateral. Lapisan fibrosa terdiri dari dua lapisan yan berada di sebelah

dalam dan di sebelah luar muskulus konstriktor. Kedua lapisan ini bersambunng

dengan fasia di leher. Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian
superfisial muskulus kons triktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis

faringeal yang berada di antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah

bagian dari fasia faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus

konstriktor superior naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri. (4)

Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksillaris

yang terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan

posterior maksilla. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina.

Hal ini penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi

penyebaran patologi di antara mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke

superior dengan orbita melalui bagian posterior dari fissura orbitalis inferior.

Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi superior, menghubungkannya

dengan fossa kranialis media. Di sisi lateral, fossa pterigopalatina berhubungan

secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa pterigopalatina

berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada pelat

tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis

palatine mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla.

Fossa pterigopalatina berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima, yang
berjalan melalui foramen rotundum dan ke dalam orbita melalui fissura orbitalis

inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi segmen pterigopalatina dari arteri

maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan memberikan dari cabang ke

fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung , palatum dan faring.
(1)

Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah

arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan

cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari

arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di

bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah

superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas

otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris

saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf

ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal

dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim

tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion

sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1). (2,3)

2. Angiofibroma Nasofaring

Definisi

Angiofibroma Nadofaring atau dapat disebut dengan Angiofibroma Juvenil

adalah tumor jinak hipervaskuler. Secara histologi, juvenile angiofibroma

merupakan lesi pseudo kapsuler yang ditandai dengan komponen vascular


irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah dengan caliber berbeda yang

menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan fibroblas. Pembuluh darah

mempunyai dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan serabut elastis, memiliki

lapisan otot yang tidak lengkap atau bahkan tidak ada, sehingga mudah terjadi

perdarahan. Angiofibroma di luar nasofaring sangat jarang dan cenderung terjadi

pada pasien yang lebih tua dan banyak pada wanita, namun tumor kurang berifat

vaskuler dan kurang agresif dari pada juvenile angiofibroma nasofaring. (4,5)

Epidemiologi

Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di

nasofaring, yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan

frekuensi satu diantara 5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun

jarang, juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang paling sering

mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif pada laki-laki,sehingga

wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat terkena umumnya

pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25

tahun.

Pradillo dkk melaporkan bahwa persentasi pasien dengan usia lebih dari

25 tahun hanya 0.7% dari semua pasien angiofibroma nasofaring, sedangkan

jumlah kasus di Rumah Sakit M.Djamil Padang bagian THT-KL, Juli 2008-

Desember 2010 berjumlah 9 orang dengan usia antara 13-21 tahun. (5)
Etiologi

Etiologi juvenile angiofibroma nasofaring tidak diketahui tetapi diduga

berhubungan dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara

khas muncul pada remaja laki-laki dan bahwa lesi sering regresi setelah

perkembangan lengkap karakteristik seks sekunder memberikan bukti pengaruh

hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti peningkatan reseptor

androgen dan regresi tumor setelah terapi anti-androgen. (3)

Patofisiologi

Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa

pendapat dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi

dua kelompok yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya

gangguan hormonal. Pada teori tentang jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi

karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah

oksipital os spenoidalis. (1,6)

Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma

diduga karena ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti

memperlihatkan secara langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada

angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan

mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24

angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi

imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor androgen (RA),

reseptor progesteron (RP), dan reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan

nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24


kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil

menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada

angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara

tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja

laki-laki. (6)

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi

proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1

(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang

disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan

kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi

fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi

pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua

spesimen angiofibroma nasofaring juvenile (1,2).

Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan

mengenai fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang

dengan cara erosi tulang dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai

basis kranii.Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan

submukosa, tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan

menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola penyebarannya dapat

diprediksi. Dari fossa pteri gopalatina, tumor tumbuh ke medial ke dalam

nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral. Pertumbuhan ke

lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan infra temporalis, melalui fissura

pterigo-maksilaris yang melebar dengan gambaran khas pergeseran ke anterior

dari dinding posterior maksilaris, sampai berhubungan dengan otot mastikatordan


jaringan lunak pipi. Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis

interna melalui kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan

apeks orbita melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus

terjadi jika fissura orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi

melalui dua mekanisme utama yaitu : (1) resorpsi karena tekanan langsung

dengan aktivasi osteoklast atau ( 2) langsung tersebar di sepanjang arteri perfora

nates ke dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior

berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan

erosi tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial.

Pelebaran fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke

intrakranial. (6)

Gejala Klinis

Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang

paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren,

nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal,

pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia,

deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit

untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada

permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif (2).

Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret

sehingga timbul rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba

eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya

menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial (1).


Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena

anemi, atau hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta

pada permukaan tumor atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang

sekali karena erosi pembuluh darah besar (4).

Diagnosa

Diagnosis biasanya ditegakkan melalui anamnesis gejala klinis yang

dirasakan pasien. Selain itu juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan

penunjang. Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi pisterior akan terlihat massa

tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah

muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput

lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring

berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia

yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya.

Mukosa yang mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya

ulserasi (1).

Secara mikroskopis tampak terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam

stroma yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh

darah menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari

endothelial tunggal yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk

menyebabkan perdarahan yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki suatu

lapisan muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang

memiliki ciri-ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu.

Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang


diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional, CT scan dan

arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala AP-lateral,

Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut tanda Holman Miller yaitu

pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo-palatina

akan melebar. Akan terlihat juga massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang

dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.

Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan

massa tumor serta destruksi tumor ke tulang sekitarnya. (7)

Pada foto polos gambaran pada sinus dapat tampak seperti polip

nasofaring dan lengkungan ke depan serta opasifikasi dari dinding posterior sinus

maksila. Pada CT scan tampak perluasan tumor pada sinus sfenoid, erosi pada

tulang sfenoid, atau invasi pada pterigomaksila dan fosa infratemporal terkadang

dapat dilihat 7.

CT scan coronal memperlihatkan lesi yang mengisi cavum nasi kiri dan sinus

etmoid, memblok sinus maksila dan tampak deviasi septum nasi ke sisi

kanan
CT scan axial tampak lesi meliputi cavum nasi kanan dan sinus paranasal

Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan

dan menentukan batas tumor terutama pada kasus yang sudah meluas ke

intrakranial (8).

MRI scan coronal memperlihatkan perluasan lesi ke sinus cavernosus

Angiografi memperlihatkan cabang dari arteri carotis eksterna sebagai

vaskularisasi utama pada tumor (94%). Vaskularisasi utama pada tumor berasal

dari arteri maksilaris interna, tetapi arteri vidianus atau arteri faringeal ascenden

juga berkontribusi daram memperdarahi tumor. Akan tampak arteri maksilaris


interna terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior

ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa pterigomaksila. Selain itu massa

tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum

setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan. Pada kasus yang jarang terdapat juga

perdarahan dari cabang arteri carotis interna (7).

Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis

intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah

pengangkatan tumor (1,3).

Gambaran angiografi sebelum dilakukan embolisasi

Gambaran angiografi setelah dilakukan embolisasi


Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan immunohistokimia

terhadap reseptor estrogen, progesteron dan androgen sebaiknya dilakukan untuk

melihat adanya gangguan hormonal. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat

dilakukan, karena biopsi merupakan kontraindikasi sebab akan mengakibatkan

perdarahan yang masif (2,3)

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang

paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions

sebagai berikut (3) :

- Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

- Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan

perluasan ke satu sinus paranasal.

- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi

ke tulang orbita.

- Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang

minimal.

- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke

dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :

- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi

tulang.

- Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan

destruksi tulang.
- Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah

parasellar sampai sinus kavernosus.

- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau

fossa pituitari

Penatalaksaan

Penanganan tumor angiofibroma nasofaring tergantung dari luas dan

besarnya tumor, bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup

dilakukan eksterpasi tumor, tetapi bila tumor sudah sampai ke dalam kranium,

radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan (4).

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal dan

radioterapi. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi

tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi

sublabial (sublabial mid-fasial degloving), atau kombinasi dengan kraniotomi

frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. (3)

Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering

didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk
mengurangi perdarahan selama operasi. Material yang digunakan untuk

embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl

alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. (6)

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain dilakukan

embolisasi untuk mengatasi perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri

karotis eksterna dan anestesi dengan teknik hipotensi. (5)

Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II

dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan radioterapi

dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (gama knife) atau jika tumor

meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi. (8)

Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi

dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula

diberikan terapi hormonal 6 minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak

sebaik radioterapi (8).

Komplikasi

Komplikasi tidak dapat dispisahkan dengan perluasan intracranial

(penyakit stadium IV), perdarahan yang tidak terkontrol dan kematian, iatrogenic

injury terhadap struktur vital dan tranfusi perioperatif. Komplikasi lainnya

meliputi perdarahan yang banyak, transformasi keganasan, kebutaan sementara

sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. (1)

Prognosis
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus

menyebar, dan dapat pula hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup

tinggi setelah operasi, sekitar 6-24%. (1,)

BAB III
KESIMPULAN

Pada kasus ini berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat ditegakan diagnosa

Angiofibroma Nasofaring.

Angiofibroma Nadofaring atau dapat disebut dengan Angiofibroma Juvenil

adalah tumor jinak hipervaskuler. Secara histologi, juvenile angiofibroma

merupakan lesi pseudo kapsuler yang ditandai dengan komponen vascular

irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah dengan caliber berbeda yang

menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan fibroblas.

Angiofibroma Nasofaring dapat ditegakan dengan anamnesa dari

gejala-gejala yang didapatkan seperti gejala dininya diawali adanya

keluhan pada hidung seperti hidung tersumbat ataupun adanya mimisan

yang banyak. Pada pemerikssan fisik didapatkan tumor permukkan licin

berwarna merah kebiruan. Lalu pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan seperti pemeriksaan Radiologi dan Angiografi.

Penanganan tumor angiofibroma nasofaring tergantung dari luas dan

besarnya tumor, bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup

dilakukan eksterpasi tumor, tetapi bila tumor sudah sampai ke dalam kranium,

radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan

Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar,

dan dapat pula hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah

operasi, sekitar 6-24%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia.

Dalam :Soepardi EA, Iskandar N. (Ed). Buku Ajar Ilmu THT. Edisi 6.

Jakarta :Balai Penerbit FKUI ; 2007. Hal 221-5.

2. Fauzi et al. (Ed) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition

McGraw-Hill Companies, Inc. USA 2008 ; Part 6; Chapter 79.

3. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma:

Evolution of Management. International Journal of Pedi atric s. 2012: 1 -

11

4. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angioamtous Polyp : A Condition

Difficult to Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International

Journal. 2011; 3(2): 93 -7

5. Hansen JT. Netter’s Clin ical Anatomy. 2nd ed. Saunders Elsevier. 2010

6. Tewfik TL. Juvenile Na sopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh

dari http://emedicine.medscape.com [ updated: Feb 7, 2013]

7. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur

J Gen Med. 2010;7(4): 419 -25

8. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal

Angiofibroma Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence.

Pakistan Journal of Surgery. 2009; 25 (3): 185-9

Anda mungkin juga menyukai