Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS

POLIP NASI BILATERAL


SINUSITIS MAKSILARIS DEKSTRA

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu THT RSUD Kota Salatiga

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Irawati Hidayah
20174011029

Pembimbing: dr. Yunie Wulandari, Sp.THT-KL

RSUD Kota Salatiga

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG


DAN TENGGOROKAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

POLIP NASI BILATERAL


SINUSITIS MAKSILARIS DEKSTRA

Disusun Oleh :
Irawati Hidayah
20174011029

Telah dipresentasikan
Hari/tanggal: September 2017

Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,

dr. Yunie Wulandari, Sp. THT-KL., M. Kes.

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. MS
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Bekerja
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Prampelan
Tanggal Masuk : 19 September 2017

3
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Hidung tersumbat.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Salatiga dengan keluhan hidung
terasa penuh seperti tersumbat sejak 5 bulan yang lalu. Keluhan hidung tersumbat
ini dirasakan pada kedua hidung. Pasien mengeluhkan sering batuk dan pilek serta
terkadang pusing, sesak napas dan sulit tidur. Selain itu pasien mengeluhkan nyeri
disekitar hidung sebelah kanan ketika pilek kambuh. Sebelumnya pasien pernah
berobat disebuah klinik, akan tetapi pasien tidak mengingat obat yang diberikan
dokter, setelah berobat keluhan sempat mereda namun beberapa waktu kemudian
kambuh lagi. Keluhan mata kabur, penglihatan ganda disangkal oleh pasien. Pasien
mengatakan mempunyai alergi obat amoxilin, debu dan dingin. Pasien mengaku
sering olahraga akan tetapi sering makan tidak teratur.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku sering pilek dan mempunyai riwayat hipertensi serta
penyakit maag. Namun pasien saat ini sudah tidak kontrol dan tidak mengonsumsi
obat rutinnya lagi. Pasien pernah dirawat dirumah sakit serta pernah menjalani
operasi karena kecelakaan.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama atau meninggal
karena keluhan yang sama disangkal oleh pasien.
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien saat ini tinggal dengan istri dan saudara-saudaranya. Lingkungan
sekitar pekerjaan berdebu dan banyak yang merokok.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : cukup
2. Kesadaran : compos mentis
3. GCS : E4M6V5 = 15
4. Vital Sign : TD: 150/90 mmHg, N : 72 x/menit, R: 20 x/menit,
S : 36,3 °C

4
5. Status THT
Telinga Dextra Sinistra
Tragus Nyeri tekan (-), edema Nyeri tekan (-), edema
(-) (-)
Aurikula Normotia, hematoma (- Normotia, hematoma (-
), nyeri tarik aurikula (-) ), nyeri tarik aurikula (-)
Liang Telinga Lapang, serumen (+), Lapang, serumen (+),
hiperemis (-), edema (-), hiperemis (-), edema (-),
otorhea (-) otorhea (-)
Membran Timpani Intak : retraksi (-), Intak : retraksi (-),
bulging (-), edema (-), bulging (-), edema (-),
cone of light (+) cone of light (+)

Hidung Dextra Sinistra


Bentuk Simetris Simetris
Mukosa Hiperemi (-) Hiperemi (-)
Cavum Nasi Sempit, terdapat masa Sempit, terdapat masa
Konka Inferior Hipertrofi Hipertrofi
Polip + +
Dischare - -
Septum Nasi Ditengah, tidak ada deviasi, perdarahan (-)

Tenggorokan Dextra Sinistra


Tonsil T1 T1
DPP Hiperemi (-)
Uvula Ditengah, hiperemi (-), edema (-), bentuk normal

5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
Lekosit 12.09 4.5-11 Ribu/ul
Eritrosit 4.95 4.50-6.5 Juta/ul
Hemoglobin 14.9 13-18 g/dl
Hematokrit 45.1 40-54 Vol%
Trombosit 295 150-450 Ribu/ul
MCV 91.1.3 85-100 Fl
MCH 30.1 28-31 Pg
MCHC 33.0 30-35 g/dl
Golongan darah ABO O
PPT 12.2 11-18 Detik
APTT 27.5 27-42 Detik
Hitung Jenis
Eosinofil% 0.5 1-6 %
Basofil% 0.4 0.0-1.0 %
Limfosit% 26.8 20-45 %
Monosit% 4.3 2-8 %
Neutrofil% 68.0 40-75 %
Kimia
Glukosa Darah 81 <140 Mg/dl
Sewaktu
Ureum 38 10-50 Mg/dl
Kreatinin 0.8 1.0-1.3 Mg/dl
SGOT 12 <37 U/L
SGPT 13 <42 U/L
Imuno/Serologi
HBs Ag (rapid) Negatif Negarif

6
Foto CT Scan

Hasil:
1. Tampak deviasi septum nasi kekanan
2. Tampak Massa Intra Cavum Nasi Dx/Sn dengan HU: 34,5
3. Tampak Massa Intra Sinus Maxillaris Dx dengan HU: 23.6
4. Tak tampak gambaran dekstruksi tulang-tulang SPN dan sekitarnya
5. Concha Nasalis Superior, Medium dan Inferior tak membesar
6. Tak tampak gambaran metastasi pada Basis Cerebrum dan Cerebellum
Kesan:
1. Cenderung gambaran polyp nasi bilateral
2. Gambaran sinusitis maxillaris kronis dx
3. Tak tampak gambaran metastasis pada parenkhym otak region basal

7
E. DIAGNOSA KERJA
Polip nasi bilateral, sinusitis maksilaris dekstra
F. PENATALAKSANAAN PASIEN
Injeksi Cefotaxime 1 gr
Injeksi Ketorolac 30 mg
Injeksi Metilprednisolone 125 mg
Injeksi Asam tanexamat 500 mg
Pro Polipektomi
Pro CWL (Caldwell luck)

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
POLIP NASI

A. DEFINISI POLIP NASI


Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.
Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak
karena banyak mengandung cairan (polip edematosa) akibat inflamasi mukosa.
Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah –
merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).1,2
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan
dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke
arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.3
Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia
anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak dibawah usia 2 tahun, harus
disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.4
B. ANATOMI5
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke
bawah:
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Dorsum nasi
c. Puncak hidung
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung (nares anterior)

9
Gambar II.1. Hidung luar
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi.

Gambar II.2. Bagian-bagian pembentuk hidung luar

10
Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
a. Superior : os frontal, os nasal, os maksila
b. Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.
Perdarahan :
a. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
b. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
c. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
a. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
b. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
2. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas – batas kavum nasi :
a. Posterior : berhubungan dengan nasofaring
b. Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan
sebagian os vomer
c. Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini
dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
d. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan
subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago
ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
e. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,
konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

11
Gambar II.3 Septum Nasi
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan
di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan
meatus nasi suprema terletak di bagian ini.

Gambar II.4. Konka nasalis

12
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale
anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus
yang terletak submukosa yang berjalan bersama – sama arteri.

Gambar II.5. Perdarahan Hidung


Persarafan :
a. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
b. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N.
Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

Gambar II. 6. Persarafan Hidung

13
3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan
sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong
ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat – obatan.

Gambar II.7 Histologi Mukosa Hidung


Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya

14
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

C. FISIOLOGI HIDUNG5
1. Sebagai Jalan Nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi
di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur Kondisi Udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai Penyaring dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

15
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau.
6. Proses Bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun
untuk aliran udara.
7. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
D. ETIOLOGI POLIP NASI
Polip nasi biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau
sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal
dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian
menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat.1-4,6 Polip banyak
mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak
mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang
dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan
gejala dari kistik fibrosis.1
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain : 7
a. Alergi terutama rinitis alergi.
b. Sinusitis kronik.

16
c. Iritasi.
d. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka.
E. PATOFISIOLOGI POLIP NASI
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat
di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler,
sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut,
mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.2
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya
membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila,
kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke
kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang
sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis
alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena
tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu
sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan
obstruksi di meatus media.8
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan ganguan regulasi vaskular yang
mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast yang akan menyebabkan
edema dan lama-kelamaan menjadi polip.1
F. HISTOPATOLOGI1
1. Makroskopis
Secara markroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin, bentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular,
dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak terasa
sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mangandung banyak
cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses

17
peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang
sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak
mengandung jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama di kompleks ostio-meatal di meatus
medius dan sinus ethmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop,
mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.
Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring,
disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari sinus maksila dan disebut
juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus
etmoid.

Gambar II. 8. Makroskopis polip


2. Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-
selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa
mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang
sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,
menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
Berdasarkan jenis sel peradangannya polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip
tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.

18
G. GEJALA KLINIS POLIP NASI1
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di
hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat
keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau
anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya
akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan
iritasi di hidung. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapatkan post nasal drip
dan rinorhea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernapas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka
polipoid ialah :
Polip :
1. Bertangkai
2. Mudah digerakkan
3. Konsistensi lunak
4. Tidak nyeri bila ditekan
5. Tidak mudah berdarah
6. Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
H. DIAGNOSIS POLIP HIDUNG1
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan hinga berat, rinoroe mulai yang jernih sampai purulent, hiposmia, atau
anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didaati post nasal
drip dan rinoroe purulent. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernapas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.
Selain itu harus dinyatakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap
aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.

19
2. Pemerikasaan Fisik
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior terlihat sebagai masaa yang berwarna
pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Deformitas septum
membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip multipel
atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni dengan
cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan efedrin 1% (vasokonstriktor),
konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip
tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium
sinus maksilaris atau dari septum.
Pada rinoskopi posterior kadang - kadang dapat dijumpai polip koanal.
Sekret mukopurulen ada kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung
bagian superior, yang menandakan adanya rinosinusitis
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund (1997)
a. Stadium : Polip masih terbatas di meatus medius
b. Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak dirongga hidung
tapi belum memenuhi rongga hidung
c. Stadium 3 : Polip yang massif

Gambar II.9. Stadium polip nasi


3. Naso-Endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.

20
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal
dari ostium asesorius sinus maksila.Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum
keluar dari kompleks osteomeatal.
4. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan dalam sinus, tapi
kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT
Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan dihidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
5. Biopsi
Dianjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut,
menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi
tulang pada foto polos rontgen.
I. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.2
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :
1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari,
kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap
5 – 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk
rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn
kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman.4,5
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip
(polipektomi) dengan menggunakan senar polip.
Pembedahan dilakukan jika :
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus.

21
3. Polip berhubungan dengan tumor
4. Pada anak – anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitist yang
gagal pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drainase sinus. Oleh karena
itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat
adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip
dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan
pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan.
Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah
pemberian dekongestan dan anestesi lokal. Untuk polip yang besar dan
menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yang lebih besar dan
anestesi umum. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar namun belum
memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki
gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang tersembunyi atau polip yang
sedikit. Surgical micro debridement merupakan prosedur yang lebih aman dan
cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan dengan
visualisasi yang lebih baik. Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional
merupakan tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus, merupakan teknik
yang lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di
meatus media yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan
membantu mengurangi angka kekambuhan. Kriteria polip yang diangkat adalah
polip yang sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks
osteomeatal. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan
sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk
langkah profilaksis pasca operasi.6,7
Pada kasus polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi
etmoidektomi oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi
ada dua cara, yakni :
1. Intranasal
2. Ekstranasal
Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan
tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).1

22
J. PROGNOSIS
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada
rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung
lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi,
yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.

23
SINUSITIS MAKSILARIS

A. DEFINISI SINUSITIS MAKSILARIS


Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusitis sfenoid.9, 10, 11
Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak
ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus
maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.9
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat
sembuh sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan atau
lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari.9, 10, 13
B. ANATOMI SINUS MAKSILA9
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior
adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya
ialah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dining inferiornya ialah
prosesua alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

24
1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi
taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke
dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitus.

Gambar II.10. Sinus maksila

C. FISIOLOGI SINUS PARANASAL


Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi
apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.9
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
(1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan
tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga
hidung.9,11

25
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak
didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran
udara total dalam sinus. Mukosa sinus tidak mempunya vaskularisasi dan kelenjar
sebanyak mukosa hidung
2. Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita
dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-organ
yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala kerena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-
hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mucus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius,
tempat yang paling strategis.

26
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa factor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam alergi terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipeertrofi konka, sumbatan
komples ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3 serta
P1 dan P2 (dentogen), kelainan imunologik, dyskinesia silis seperti pada sindroma
Kartanagener, trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal,
barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.
Sinusitis maksilaris dengan asal geligi. Bentuk penyakit geligi-maksilaris yang
khusus bertanggung jawab pada 10 persen kasus sinusitis yang terjadi setelah gangguan
pada gigi. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama,
dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut
terangkat.10

Gambar II. 11. a. Fistula oroantral b. Sinusitis maksilaris


Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan factor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto
polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan sinusitis kronik diantaranya
adalah pneumatisasi yang tidak memadai, makanan yang tak memadai, reaksi
atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi.14

27
Variasi anatomi memegang peranan lebih besar mekanisme etiologi sinusitis
kronis. Variasi anatomi yang sering ditemukan deviasi septum, prosessus unsinatus
melengkung ke lateral, konka media mengalami pneumatisasi, bula etmoid sel dan
etmoid yang meluas.13
E. PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik
lokal maupun sistemik.10,11,13 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga
terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-
jalur yang sudah tertentu polanya.

Gambar II.12 Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus


Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak
dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.9 Bakteri yang sering ditemukan pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman
anaerob jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.9,10,11

28
Gambar II.13. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi
Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.
Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan
mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding
pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi
pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan
produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni
sebagai nanah, tetapi mukopus.14

Gambar II.14. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik

29
Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:14
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan biasanya
mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi berulang-ulang. Waktu
antara dua serangan makin lama makin pendek. Kekebalan makin terkalahkan dan
resolusi terjadi hampir tidak pernah sempurna. Pengaruh terhadap mukosa adalah
penebalan dengan disertai infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub epitel
menyebabkan pengurangan jumlah kelenjar karena iskemia dan bila berlangsung
lebih lanjut akan menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap berikutnya periosteum
akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang kemudian menjadi
osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.14
Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.14 Penderita
memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi umum diatesis yang
timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis dan rinitis yang
kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih tua. Kedua mngkin
tidak didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8 atau 9 tahun secara
berangsur-angsurmukosa makin “penuh terisi air” yang menyebabkan bertambahnya
sumbatan dan secret hidung. Polip dapat timbul karena pengaruh gaya berat
terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air dan dapat memenuhi rongga
hidung.

Gambar II.15. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis

30
F. GEJALA KLINIS
1. Sinusitis Maksilaris Akut
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik
ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang
kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung
tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus,
sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.
Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.9,10,14,15
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).9,14,15

Gambar II.16. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis


2. Sinusitis Maksilaris Kronis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat
biasanya adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan
malaise, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal
drip), gangguan penciuman dan pengecapan.14,16
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.9

31
G. DIAGNOSIS SINUSITIS MAKSILARIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda
khas ialah pus di meatus media (pada sinusitis maksila, etmoid anterior dan frontal)
atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemi. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya bisa menilai kondisi sinus-
sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,
batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT scan sinus
merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung
dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada
sinus yang sakit.9,10,13

Gambar II.17. Gambaran suatu sinus yang opak

32
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
secret dari meatus medius/superior, untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna.
Lebih baik lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila
yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi1.
1. Kriteria diagnosis sinusitis Task Force2:
Gejala mayor Gejala minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal purulen Batuk
Demam Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia
Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan
dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.
2. Kriteria Diagnosis Menurut Epos 2012
Rinosinusitis (termasuk polip hidung) didefinisikan sebagai : inflamasi
hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah
satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/ posterior): ± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, ± penurunan/ hilangnya
penghidu dan salah satu dari: (a) temuan nasoendoskopi: polip dan/ atau, sekret
mukopurulen dari meatus medius dan/ atau, edema/ obstruksi mukosa di meatus
medius dan/ atau (b) gambaran tomografi komputer: perubahan mukosa di
kompleks osteomeatal dan/atau sinus.

33
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Sinusitis Akut
a. Istirahat
Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan
sebaiknya beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu
dan kelembaban udara tetap.
b. Higiene
Harus tersedia tisu untuk mengeluarkan sekrat hidung. Perlu diperhatikan
pada mulut yang cenderung mengering, sehingga setiap selesai makan dianjurkan
menggosok gigi.
c. Medikamentosa
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14 hari,
meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan ialah golongan
penisilin. Diberikan juga obat dekongestan lokal berupa tetes hidung, untuk
memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan analgetik untuk menghilangkan rasa
nyeri
d. Inhalasi
Inhalasi banyak menolong penderita dewasa karena mukosa hidung dapat
istirahat dengan menghirup udara yang sudah dihangatkan dan lembab.
e. Pungsi percobaan dan pencucian
Apabila cara diatas tak banyak menolong mengurangi gejala dan
menyembuhkan penyakitnya dengan cepat, mungkin karena drainase sinus kurang
baik atau adanya kuman yang resisten. Kedua hal tersebut dapat diketahui dengan
pungsi percobaan dan pencucian. Dengan anestesi lokal, trokar dan kanula
dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan menembus dinding naso-antral.
Kemudian dimasukkan cairan garam faal steril ke dalam antrum dan selanjutnya isi
antrum dihisap kembali kedalam tabung suntikan. Apabila setelah dua sampai tiga
kali pencucian infeksi belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan antrostomi
intranasal.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena
ada sekret tertahan oleh sumbatan

34
2. Penatalaksanaan Sinusitis Kronis
Pengobatan sinusitis kronis lebih bersifat paliatif daripada kuratif.5
Pengobatan paliatif yang dapat diberikan pada penderita dengan sinusitis kronis
dibagi menjadi:
a. Pengobatan konservatif 9,1316
Pengobatan konservatif yang adekuat merupakan pilihan terapi untuk
sinusitis maksilaris subakut dan kronis. Antibiotik diberikan sesuai dengan kultur
dan uji sensitivitas. Antibiotik harus dilanjutkan sekurang-kurangnya 10 hari.
Drainase diperbaiki dengan dekongestan lokal dan sistemik. Selain itu juga dapt
dibantu dengan diatermi gelombang pendek selama 10 hari, pungsi dan irigasi sinus.
Irigasi dan pencucian sinus ini dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau
6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen berarti
mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal, maka perlu dilakukan operasi
radikal.
b. Pengobatan radikal1,8
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal
dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc.
Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan
anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan menempatkan tampon kapas yang
dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan dibawah konka
media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin disuntika di fosa
kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi horizontal
dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior
gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum
diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita
diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi.

35
Gambar II.18. prosedur Caldwell Luc
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat
bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari
kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral
meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok.
Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang
dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya
1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding
tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan.
Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi
ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya tidak diperlukan
pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang
mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan kedalam antrum melalui
lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1 atau ke 2. kompres es
di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema, hematoma dan
perasaan tidak nyaman.

36
c. Pembedahan tidak radikal 9
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BESF).
Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang
menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus
dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan
kembali normal.
d. Skema Penatalaksanaan menurut Epos 2012

37
38
I. KOMPLIKASI
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.3
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid kemudian
sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat
timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus
Kelainan Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses
intrakranial. otak dan trombosis sinus kavernosus
Osteomielitis Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
dan abses ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila
subperiostal. dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi

39
Kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya
asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan.

40
BAB III
PEMBAHASAN

Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar dan juga paling sering
mengalami infeksi atau peradangan. Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan sinusitis
maksilaris kronis yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung
dengan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung tersumbat
serta riwayat pilek berulang sejak 5 bulan yang lalu. Pilek disertai pengeluaran sekret
kental berwarna putih. Keluhan hidung tersumbat ini juga disertai keluhan pusing yang
sering dirasakan oleh pasien. Terkadang pasien merasakan nyeri disekitar bagian hidung
jika pilek kambuh. Selain itu, pasien juga mngeluhkan ada benjolan di rongga hidung
sebelah kanan dan kiri, namun keluhan mimisan disangkal pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya massa rongga hidung. Pada
pemeriksaan penunjang CT-scan tampak massa intra cavum nasi dekstra dan sinistra
serta tampak air fluid level intra sinus maxillaris dekstra.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita ini adalah operasi pengangkatan
polip (polipektomi) untuk mengurangi sumbatan yang diakibat oleh massa tersebut dan
operasi CWL/ Caldwell luc untuk mengeluarkan sekret yang ada di sinus maksilaris
dekstra. Sebelum dilakukan operasi, tetap diberikan pengobatan simptomatik untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat, nyeri, serta pusing yang dirasakan oleh pasien.
Untuk menghilangkan agen penyebab infeksi, diberikan antibiotik. Sinusitis maksilaris
kronis umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin
atau golongan sefalosforin. Dalam hal ini dipilih cefotaxime sebagai antibiotik untuk
mengeradikasi kuman penyebab, dengan alasan antibiotik ini merupakan antibiotik
spektrum luas, tingkat resistensi lebih rendah dibanding golongan penisilin. Selain itu
pasien diberikan injeksi ketorolac dan metilprednisolone sebagai anti radang serta asam
traneksamat yang merupakan golongan obat anti-fibrinolitik. Obat ini dapat digunakan
untuk menghentikan pendarahan pada sejumlah kondisi, misalnya pendarahan
pascaoperasi.

41
BAB IV
KESIMPULAN

 Polip nasi merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, bewarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa
dengan manifestasi klinis salah satunya sumbatan hidung.
 Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Yang paling sering ditemukan ialah
sinusitis maksila dan sinusitis etmoid. Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut,
berulang atau kronis.
 Pasien dilakukan penatalaksanaan medikamentosa dan operasi pengangkatan polip
dan operasi caldwell luc.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty Arsyad., Iskandar, Nurbaiti, dkk. 2012. Polip Hidung. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VII.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Mansjoer, Arif, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, dkk. 2001. Polip Hidung.
Kapita Selekta Kedikteran ed.III jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
3. Soetjipto, Damayanti dan Retno Wardani. 2008. Hidung. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VI. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
4. Adams, George, Lawrence Boies and Peter Hiegler. 1997. Rhinosinusitis
Alergika. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok ed.VI. Philadelphia:
W.B. Saunders. Hal.210-217.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007. Polip
Hidung dan Sinus Paranasal (Dewasa) Penatalaksanaan. Guideline Penyakit
THT di Indonesia. Hal.58.
6. Arfandy RB, Pola penanganan polip hidung, dalam : Simposium Penanganan
Alergi dan Polip Hidung, Makassar : Perhati-KL Cab. Sulselra, 2001
7. Dhaeng S, Mulyadi U, Saroso S. Rekurensi Poilp hidung Di Bagian THT RSUP
DR. Sardjito Yogyakarta Periode Januari 1993 – Desember 1995. Kumpulan
Naskah Ilmiah PIT. PERHATI. Batu -Malang.
8. Suheryanto R. Efektivitas Pengobatan Polip Hidung dengan Menggunakan
Kortikosteroid. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang.
9. Soepardi, Efiaty Arsyad., Iskandar, Nurbaiti, dkk. 2012. Sinusitis. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VII.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
10. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
11. Kennedy E. Sinusitis. Available from:
http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm

43
12. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi
Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional Juni 2000.p 8-9
13. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak
S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91
14. Sobol E. Sinusitis, Acute, Medical Treatment. Available from:
http://www.emedicine.com/ent/topic337.htm
15. Razek A. Sinusitis, Chronic, Medical Treatment. Available from:
http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm
16. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta
Indonesia 1994

44

Anda mungkin juga menyukai