Anda di halaman 1dari 25

REFLEKSI KASUS

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)

Disusun Oleh:
Vidi Alfiansyah
20130310104
20174011087

Pembimbing:
dr. Widodo Raharjo, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RSUD KOTA SALATIGA

1
2017

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan refleksi kasus dengan judul

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)

Disusun oleh:
Nama: Vidi Alfiansyah
NIM: 20130310104
NIPP: 20174011087

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Rabu, 04 Oktober 2017

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Widodo Raharjo, Sp.PD

2
3
BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Ny. IE

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 34 tahun

Alamat : Kalikendel, RT 20/RW 65, Sugihan, Semarang

Status : Menikah

Masuk RS : 21 September 2017

II. ANAMNESIS

a. Keluhan Utama

Demam selama 3 hari.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Ny. IE datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan utama demam sejak 3
hari SMRS. Pasien juga mengeluh menggigil (+). Riwayat bepergian ke luar pulau
dan jajan sembarangan disangkal. Pasien juga mengeluhkan muntah sudah 2 hari
dan badan lemas SMRS. Pasien juga mengeluh nyeri perut kiri bawah. Riwayat
BAB cair (+). Keluhan BAK disangkal. Pernah mengalami riwayat perdarahan di
bagian gusi.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

4
Riwayat hipertensi disangkal, riwayat DM disangkal, sakit jantung, asma dan
alergi obat disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai keluhan serupa, riwayat


hipertensi, Diabetes Mellitus disangkal, sakit jantung, asma dan alergi obat dari
keluarga disangkal.

e. Riwayat Personal Sosial

Ny. IE tidak merokok dan minum alkohol. Pasien tinggal bersama suami.

III. PEMERIKSAAN FISIK

 Kesan Umum : Lemah


 Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
 Vital Sign
Tekanan Darah : 140/107 mmHg
Nadi : 114x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 38,8oC
 Head to toe
a. Kepala dan Leher
 Inspeksi: Conjungtiva anemis: (-/-), Sklera Ikterik: (-/-)
 Palpasi: Pembesaran Limfonodi: (-), JVP: tidak ditemukan

peningkatan JVP
b. Thorax (Pulmo)
 Inspeksi: Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan

kelainan bentuk.
 Palpasi: Tidak ada ketinggalan gerak, vocal fremitus tidak

ada peningkatan maupun penurunan.


 Perkusi: Sonor
 Auskultasi: Suara dasar vesikuler : +/+ (positif di lapang

paru kanan dan kiri), suara ronkhi : -/- (tidak terdengar di lapang

paru kanan dan kiri), suara wheezing : -/- (tidak terdengar di

kedua lapang paru)


c. Thorax (Cor)
 Inspeksi: Pulsasi tidak terlihat
 Palpasi: Ictus cordis teraba di SIC V midclavicularis

sinistras

5
 Perkusi: Cardiomegali (-)
 Auskultasi: Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak

ditemukan bising atau suara tambahan jantung


d. Abdomen
 Inspeksi: Tidak ada jejas dan kelainan bentuk abdomen
 Auskultasi: Peristaltik usus (+)
 Palpasi: Abdomen terasa supel, nyeri tekan perut kiri bawah

(+), hepar tidak teraba


 Perkusi: Timpani, lien tidak membesar
e. Extremitas
 Inspeksi: Edema (-)
 Palpasi: Pitting edema (-), akral hangat

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Laboratorium
- Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 23 September 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Lekosit 3,64* 4.5-11
Eritrosit 4.20 3.8-5.8
Hemoglobin 12.0 11.5-16.5
Hematokrit 35.4* 37.00-47.00
MCV 84.4* 85-100
MCH 28.6 28-31
MCHC 33.9 30-35
Trombosit 115* 150-450
Hitung Jenis
Eosinofil% 0.9* 1-6
Basofil% 0.7 0.0-1.0
Limfosit% 37.1 20-45
Monosit% 6.3 2-8
Neutrofil% 55.0 40-75
Imuno/Serologi
Dengue Ig G Positif* Negative
Dengue Ig M Positif* Negative

6
V. DIAGNOSA KERJA
- Dengue Hemorrhagic Fever

VI. PENATALAKSANAAN
1. 21/09/2017
a. Infus Asering 500 mL 20 tpm
b. Injeksi IV Ondancentron 1x 1 amp
c. Injeksi IV Ranitidin 2x 4mg
d. Injeksi IV Ceftriaxon 1 amp
e. Cek laboratorium (hematologi, hitung jenis, kimia darah,
imuno/serologi HBsAg)

2. 22/09/2017
a. Infus Ringer Lactate 500 mL 20 tpm
b. Injeksi IV Ranitidine 2x 4mg
c. Injeksi IV Ceftriaxone 1 amp
d. Injeksi IV Scopamin 1 amp
e. PO Neurodex 1x1 tab
f. Cek laboratorium (hematologi, hitung jenis, kimia darah,
imuno/serologi Dengue)

3. 23/09/2017
a. Infus Ringer Lactate 500 ml 20 tpm
b. Injeksi IV Ketorolac 1 amp
c. Injeksi IV Ranitidin 2x 4mg
d. Injeksi IV Ceftriaxone 1 amp
e. PO Neurodex 1x1 tab
f. Cek laboratorium (hematologi, hitung jenis)

4. 24/09/2017
a. Ringer Lactate 500 ml 20 tpm
b. OBH sirup
c. Cek laboratorium (hematologi, hitung jenis)

5. 25/09/2017
a. Injeksi IV Ketorolac 1 amp
b. Injeksi IV Ranitidin 2x 4mg

7
c. Injeksi IV Scopamin 1 amp
d. PO Paracetamol 500 mg
e. PO Curcuma 200 mg 3x1 tab

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dada atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok

B. Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus

8
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN- 1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain
seperti Yellow fever;Japanese enchepalitis dan West Nile virus.

Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia


seperti tikus, kelinci, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemilogi
pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda,
sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.

C. Patofisiologi

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih


diperdebatkan.

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue.

Respons imun yang diketahui berperan delam patogenesis DBD adalah: a).
respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut anti- body
dependent enhancement (ADE); b). limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-
sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue.
Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit
dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.

9
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks
imun meyebabkan terbentuknya terbentuknya C3a dan C5a.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous


infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik
antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus berepllkasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyababkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL- 1, PAF (platelet
activatingf actor), LL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadi kebocoran plasma.

Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi


sumsum tulang, dan 2). destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, ha1 ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit
terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi
trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi
trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar
b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang


menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya

10
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium 111 dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein Cl-inhibitor complex).

D. Gejala Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam bedarah dengue atau
sindrom syok dengue (SSD).

Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,
akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan adekuat.

Perjalanan klinis infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase yaitu, yaitu fase febris,
fase kritis, dan pemulihan.

11
E. Pendekatan Diagnosis
a. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011

12
b. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka


demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit,
saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue
berupa antibodi total, IgM maupun 1gG.-lebih banyak

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:

 leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat


ditemui limfositosis relatif (>45 % dari total leukosit) disertai
adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total
leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
 trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke
3-8.

13
 Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan
ditemukannya peningkatan hematokrit 3 20% dari hematokrit
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
 hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai
terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
 protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat
kebocoran plasma
 SGOT/SGPT dapat meningkat.
 ureum, heatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
 elektrolit: Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
 golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila
akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.
 imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG
terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu
ke-3, menglulang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14,
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeksi hari ke-2.
 Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama
serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk
kepentingan surveilans.
 NS 1 : Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari
pertama sampai hari ke delapan. Sensitivitas anti- gen NS 1
berkisar 63% - 93,4% dengan spesifisitas 100% sama tingginya
dengan spesifisitas goldstandardkultur virus. Hasil negatif antigen
NSl tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
c. Radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan ( pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3- 14 hari),
tirnbul gejala prodormal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang
belakang dan perasaan lelah.

14
F. Penatalaksanaan

Tata Laksana DD atau DBD secara umum adalah tirah baring, pemberian
cairan, medikamentosa simtomatik, dan antibiotik hanya apabila terdapat infeksi
sekunder. Selanjutnya tata laksana spektrum DD/DBD dibagi menjadi 5 protokol
berdasarkan PAPDI, Divisi Tropik dan Infeksi, dan Divisi Hematologi dan
Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

1. Protocol 1. Tata laksana pasien dewasa dengan kecurigaan DBD


tanpa syok

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan


pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Unit Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan


pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 -


150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau
berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan
pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
 Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk
dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
untuk dirawat

15
2. Protocol 2. Tata laksana cairan pada pasien dewasa dengan
kecurigaan DBD tanpa syok

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini:

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :

1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}

Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 X (55 - 20)}=2200 ml.
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah


pemberian cairan tetap seperti mmus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht
trombo dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan
peningkatan Ht > 20%

3. Protocol 3.
Tata laksana DBD pada pasien dewasa dengan peningkatan Ht >20%

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan


sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian

16
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda hematokrit turun, fiekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,
produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5
ml/kg/BB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila
keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tapi keadaan
tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kg/BB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan
didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

17
4. Protocol 4. Tata laksana perdarahan spontan pada DBD dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah:


perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.
Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan
trombosis serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan


tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang

18
dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai
atau tanpa KID.

5. Protocol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa

Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama
yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravaskular yang hilang hams segera dilakukan. Angka
kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita
DBD tampa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatanp enderita
DBD mendapatkan pertolonganlpengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 24 literlmenit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang hams dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap
(DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta
ureum dan kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan
tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg,

19
frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral
teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-l ml/kgBB/jam) jumlah
cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu
60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus
dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan
maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan


terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, temyata cairan kristaloid hanya sekitar
20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian).
Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, fiekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2
mVkgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit
dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,
maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan
kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan,
tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding)
maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat
diulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-
sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan
tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan
tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan

20
pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 u/hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15- 18 cmH20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan
dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai
dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor.

G. Indikasi Untuk Pulang


Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.
 Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
 Nafsu makan telah kembali
 Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan,
dan nadi teratur
 Diuresis baik
 Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
 Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

21
 Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada
umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5
hari.

H. Prognosis

Mortalitas demam dengue relatif rendah. Namun pada DBD/DSS mortalitas


cukup tinggi. Pada usia dewasa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih
ringan dibandingkan anak-anak.

BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan utama demam sejak 3 hari
SMRS. Pasien juga mengeluh menggigil (+). Riwayat bepergian ke luar pulau dan
jajan sembarangan disangkal. Pasien juga mengeluhkan muntah sudah 2 hari dan
badan lemas SMRS. Riwayat BAB cair (+). Keluhan BAK disangkal. Pernah
mengalami riwayat perdarahan di bagian gusi.

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan


untuk mencari penyakit yang mendasari atau pun penyakit penyerta. Setelah

22
pemeriksaan dilakukan ditemukan adanya nyeri tekan pada regio kiri bawah
abdomen dan tidak nampak adanya kelainan pada organ yang lain. Pada
pemeriksaan laboratorium hematologi ditemukan adanya leukopenia, penurunan
hematokrit, penurunan MCV dan trombositopenia. Pada pemeriksaan serologi
ditemukan Dengue Ig G dan Dengue Ig M Positif yang menandakan terjadinya
infeksi sekunder.

Tata Laksana pada kasus ini adalah pemberian cairan, medikamentosa


simtomatik, dan antibiotik. Untuk pemberian cairan terapi yang dilakukan adalah
Infus Asering dan infus Ringer Lactate. Medikamentosa simtomatik pada pasien
diberikan Ondancetron untuk keluhan muntah, Ranitidin untuk keluhan mual,
Scopamin dan Ketorolac utuk keluhan nyeri di perut, Paracetamol menurunkan
demam. Pengobatan dilakukan sampai keadaan pasien membaik dengan
mempertahankan pemberian cairan dan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24
jam.

Tidak ada terapi spesifik untuk DD/DBD. Terapi bersifat suportif dan
dilakukan dengan tujuan untuk pemeliharaan volume cairan.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter


Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, 2016. 75-83 p.

Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th
rev ed. Suhendro, Nainggolan L,Chen K, et al. Jakarta: Interna Publishing,
2009. 2773-2779 p.

Tanto C, Liwang F, Hanifati S, et al. Kapita Selekta Kedokteran. 4th rev ed.
Wibisono E, Susilo A, Nainggolan L. Jakarta: Media Aesculapius, 2016. 716-
721 p.

23
Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus
DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

24
KAkkk Emergency in the ED. Can FamPh

25

Anda mungkin juga menyukai