Anda di halaman 1dari 39

i

Laporan Kasus

Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


Senior pada Bagian / SMF Jantung dan Pembuluh Darah
Fakultas Kedokteran Unsyiah RSUD dr. Zainoel Abidin – BandaAceh

Disusun Oleh :

Muhammad Iqbal
2107501010014

Pembimbing:
dr. Maha Fitra ND, Sp.JP(K)-FIHA

BAGIAN/SMF JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi serta berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini dengan judul “Acute
Decompensated Heart Failure (ADHF)”. Shalawat beriring salam penulis
sampaikan kepada Rasulullah nabi Muhammad SAW, atas semangat perjuangan
dan pengorbanan bagi ummatnya.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada dr. Maha Fitra ND, Sp.JP(K)-FIHA yang telah meluangkan waktunya
untuk memberi arahan dan bimbingan dalammenyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan
kritik dari pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan tangan
terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, September 2021

Penulis
Muhammad Iqbal

ii
z

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II LAPORAN KASUS 3
2.1 Identitas Pasien 3
2.2 Anamnesis 3
2.3 Pemeriksaan Fisik 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang 6
2.5 Diagnosis 9
2.6 Tatalaksana 9
2.7 Planning 9
2.8 Prognosis 10
2.9 Follow up harian 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 13
3.1 Definisi 13
3.2 Epidemiologi 13
3.3 Etiologi 14
3.4 Patofisiologi 14
3.5 Klasifikasi 17
3.6 Manifestasi Klinis 19
3.7 Diagnosis 20
3.8 Tatalaksana 23
BAB IV ANALISIS KASUS 26
BAB V KESIMPULAN 29
DAFTAR PUSTAKA 30
1

BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang


mempengaruhi jutaan orang saat ini dinegara berkembang maupun dinegara
maju.(1) WHO menyatakan bahwa penyakit tidak menular menjadi penyebab
utama dari kematian dimana tingkat mortalitas di seluruh dunia mencapai 41 juta
jiwa pada tahun 2018 dan di Indonesia mencapai 1,8 juta jiwa pada tahun 2016.
Di antara keempat jenis utama dari penyakit tidak menular, penyakit
kardiovaskular menjadi penyakit utama dalam menyumbangkan jumlah kematian
terbanyak yang mencapai 17,9 juta jiwa pada skala global di tahun 2018 dan 65
ribu jiwa pada skala nasional di tahun 2016.(2)
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan lebih dari 17 juta
orang didunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, di Amerika
Serikat sekitar 5,7 juta orang mengalami gagal jantung. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian penyakit jantung dan
pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke tahun setidaknya 15 dari 1000
orang atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung.(3,4)
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang disebabkan kerusakan
struktur dan fungsi pada myocardium yang dapat diakibatkan oleh beberapa
etiologi, di antaranya adalah iskemia, hipertensi, dan diabetes. Kerusakan tersebut
akan menyebabkan gangguan pada pemompaan darah dan aliran balik vena.
Kedua gangguan tersebut memiliki manifestasi klinis berupa dispnea, batuk,
edema pada tungkai bawah, rasa letih, mual, nafsu makan yang berkurang, dan
palpitasi.(5,6)
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung akut dan gagal jantung
kronik. Gagal jantung akut (acute heart failure) adalah kejadian atau perubahan
yang cepat dari tanda dan gejala gagal jantung. Gagal jantung akut dapat berupa
gagal jantung akut yang baru terjadi pertama kali (de novo) dan gagal jantung
dekompensasi akut (acute decompensated heart failure).(7) Acute Decompensated
Heart Failure (ADHF) atau gagal jantung dekompensasi akut adalah perburukan
kondisi yang ditandai dengan memberatnya gejala gagal jantung yang terjadi
2

secara cepat dan tiba-tiba. ADHF terjadi pada pasien dengan gagal jantung kronis
yang sebelumnya stabil.(8)
Manajemen terhadap gagal jantung akut dekompensasi berpusat pada
stabilisasi hemodinamik, penunjang untuk oksigenasi dan ventilasi, dan
peringanan gejala-gejala.(9) Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung
meliputi penatalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis,
keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penatalaksanaan
paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan
kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.
Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin
baik prognosisnya.(10)
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. FH
No.CM : 1-26-41-14
Tanggal Lahir : 29-09-1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 25 tahun
Suku : Aceh
Alamat : Lamdom, Lueng bata, Banda Aceh
Tanggal Pemeriksaan : 13 September 2021

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Sesak nafas yang dirasakan sejak 6 jam SMRS


Keluhan Tambahan : bengkak pada kedua belah kaki

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang sudah dirasakan sejak 6 jam
SMRS secara tiba-tiba saat pasien sedang istirahat. Nyeri dada disangkal, batuk
disangkal. Pasien menjamin mengindap penyakit katup jantung longgar. Pasien juga
mengeluhkan bengkak pada kedua kaki

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Diabetes Melitus tipe 2
Efusi pleura bilateral
4

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluarga pasien tidak ada yang memliki riwayat hipertensi, tetapi memiliki
riwayat diabetes melitus dari ibu pasien. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami
keluhan serupa dengan pasien.

Riwayat Pemakaian Obat :


Pasien tidak mengingat nama obat yang dikonsumsi sebelumnya.

Riwayat Kebiasaan Sosial :


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, pasien tidak suka
mengonsumsi teh maupun kopi. Pasien juga tidak merokok.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Tanda Vital

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 129/77 mmHg
Nadi : 80x/i, regular, isi cukup, kuat angkat
Pernapasan : 24x/i, regular
Suhu : 36,5o C

Status General
 Kepala dan Leher
Ukuran : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Wajah : Simetris, deformitas (-), edema (-).


Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 3mm/3mm, RCL (+/+), dan RCTL (+/+)
Telinga : Normotia, sekret (-/-), massa (-/-)
5

Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), perdarahan (-/-)


Mulut : Bibir tidak pucat, mukosa bibir tidak sianosis
Leher : Massa (-), pembesaran KGB (-), peningkatan TVJ R(+) 4cmH2O

 Aksila
Pembesaran KGB tidak dijumpai.

 Thorax
Paru Anterior Posterior
Inspeksi Statis & dinamis : Simetris Statis & dinamis : Simetris
Palpasi Nyeri (-), SF kanan = SF kiri Nyeri (-), SF kanan = SF kiri
Perkusi Sonor (+/+) Sonor (+/+)
Auskultasi Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+),
wheezing (-/-) wheezing (-/-)

 Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung
- Atas : ICS II linea midclavicularis sinistra
- Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
- Kiri : ICS V linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : S1 > S2 pada apeks jantung, murmur (+) grade 2/6 di ICS V linea
midclavicula sinistra, gallop (-).

 Abdomen

Inspeksi : Simetris, Distensi (+), jejas (-)


Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar/Lien/Renal tidak teraba
Perkusi : Redup (+), Shifting dullness (+), Undulasi (+)
Auskultasi : Peristaltik usus normal (4 kali per menit)
Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis (-) (-) (-) (-)
6

Edema (-) (-) (+) (+)


Pucat (-) (-) (-) (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Elektrokardiografi

Gambar 2.1 Hasil Pemeriksaan Ekg pasien

Interpretasi hasil EKG :


1. Irama : Sinus
2. Rate : 100x/menit
3. Axis : Normoaxis
4. Gelombang P : 0,08
5. Interval PR : 0,16
6. Q patologis: -
7. QRS : Low Voltage
8. Segmen ST : -
9. Kesan : Sinus, normoaxis, HR 100x/menit, Ekg Normal
7
b. Foto ronsen Thorak

Interpretasi hasil foto toraks


1. Kelayakan foto
a. Identitas : ada
b. Marker : Marker R
c. Kontras : Baik
d. Kesimetrisan : baik
e. Inspirasi : cukup
2. Trakea : tidak deviasi
(ditengah)
3. Soft tissue :tidak ada
pembengkakan
4. Tulang : fraktur (-)
5. Sudut costophrenicus : sulit
dinilai
6. CTR : >50%
7. Sinus cardioprenicus : sulit
dinilai
8. Parenkim paru : tidak ada
infiltrate, corakan
bronkovaskular meningkat

Kesan :

c. Laboratorium (22/09/2021)

Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil


Hemoglobin 14,0-17,0 gr/dl 10,3*
Hematokrit 45-55 % 30*
Trombosit 150-450 x103/ul 313
Eritrosit 4,7-6,1 x106/mm3 3,9*
Leukosit 4,5-10,5 x103/mm3 7,9
MCV 80-100 fL 76*
MCH 27-31pg 26*
MCHC 32-36% 35
RDW 11,5-14,5% 13,4
MPV 7,2-11,1 8,7
PDW 8,4
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 0-6% 4
Basofil 0-2% 0
Netrofil Batang 2-6% 0*
Netrofil Segmen 50-70% 69
Limfosit 20-40% 19*
Monosit 2-8% 8
8

KIMIA KLINIK
Albumin 3,5-5,2 2,24*
Gula Darah Sewaktu <200 173
Ureum 13-43 119*
Kreatinin 0,51-0,95 7,3*
Natrium (Na) 132-146 134
Kalium (K) 3,7-5,4 4,50
Klorida (Cl) 98-106 107*

d. Echocardiografi (14/09/2021)

LVEF: 19%
TAPSE : 1,7CM
LVIDd : 53mm
LVIDs : 19mm
Kesimpulan :
Fungsi Sistolik LV dan RV menurun. Global severe hipokinetik. Disfungsi LV Grade III.
MR Moderate, TR Moderate, PR Mild
Moderate probability of PH, SEC di LV.
Efusi perikard minimal di sekeliling jantung tanpa tanda-tanda tamponade kardiak

2.5 Diagnosis
1. ADHF tipe wet and warm ec susp. DCM, MR Severe

2.6 Tatalaksana
1. Bedrest semi fowler
2. Diet DM MII 1600 kkal/hari
3. O2, 6 liter/menit via sungkup
4. IV Furosemide 40mg (ekstra)  Drip Furosemide 10mg/jam

2.7 Planning
1. Swab Antigen PCR
2. Balance cairan
3. Echocardiogram full study

2.8 Prognosis
- Quo et Vitam : dubia et bonam
- Quo et Functional : dubia et bonam
- Quo et Sanactionam : dubia et bonam
9

2.9 Follow up harian

Tabel 1. Follow up pasien harian

Tanggal/hari Catatan Instruksi


rawatan
22-9-2021/ H- Th/
S/ Sesak napas berkurang
10
O/ TD : 138/88 mmhg - Bed rest
N : 100x/menit - Diet ginjal MII 1600 kkal/hari
ekstra putih telur
RR : 32x/menit
- IV ondansentron 4mg/8jam
T : 36,8 OC
- Drip furosemid 5 mg/jam
SpO2 : 98%
- Drip dopamin 3mcg/kg/menit
Kepala / Leher : TVJ 2cm H2O
- Drip heparin 350 IU/jam
Thorak : ves (+/+), Rh (+/+)
- IV Lansoprazole 30mg/jam
Cor : S1>S2 Murmur negatif - Coralan 2x2,5mg
Abdomen : Soepel, peristaltik normal - N. Asetilcystein 3x200mg
Ekstremitas : edema negatif - Amlodipin 1x5mg
- Recolvar 2x0,5 mg
Ass/ - Paracetamol 3x500mg
-ADHF tipe wet and warm ec DCM - Warfarin 1x2mg
- MR Moderate, TR Mild
- Sec di LV P/
- AKI stage 3 dd Acute on CKD - Balance cairan negatif ( -1500
sd -2000 cc)
- Cardiorenal Syndroms type 2
- Cek PT/APTT, INR/12 jam
- Hipoalbuminemia on koreksi (06.00 dan 18.00) target 2-2,5x
- efusi pleura bilateral baseline
- Cek asam urat
- DR, UR, CR, Albumin
- Elektrolit
10

23-09-2021/ S/ Sesak nafas berkurang Th/

H-11 O/ - Mobilisasi
TD : 130/92 mmhg - Diet ginjal MII 1600 kkal/hari
ekstra putih telur
N : 92x/menit
- IV ondansentron 4mg/8jam
RR : 24x/menit
- Drip furosemid 5 mg/12jam
T : 36,1oC
- Drip dopamin 3mcg/kg/menit
SpO2 : 99%
- Drip heparin 350 IU/jam
Kepala / Leher : TVJ 2cm H2O
- IV Lansoprazole 30mg/jam
Thorak : ves (+/+), Rh (+/+)
- Coralan 2x2,5mg
Cor : S1>S2 Murmur negatif
- N. Asetilcystein 3x200mg
Abdomen : Soepel, peristaltik normal
- Amlodipin 1x5mg
Ekstremitas : edema negatif - Recolvar 2x0,5 mg
- Paracetamol 3x500mg
Ass/ - Warfarin 1x2mg
-ADHF tipe wet and warm ec DCM
- MR Moderate, TR Mild P/
- Sec di LV - Balance cairan negatif ( -1500
sd -2000 cc)
- AKI stage 3 dd Acute on CKD
- Cek PT/APTT, INR/12 jam
- Cardiorenal Syndroms type 2
- Hipoalbuminemia on koreksi
- efusi pleura bilateral
11
24/09/2021
S/ Th/
Hari rawatan - Mobilisasi
Keluhan berkurang,
ke-4 - Diet ginjal MII 1600 kkal/hari
tidak sesak nafas,
ekstra putih telur
dada tidak nyeri lagi
- IV ondansentron 4mg/8jam
O/
- Drip furosemid 5 mg/12jam
TD : 124/74 mmHg Tab 2x40mg
N : 91x/menit - Drip dopamin
RR : 25x/menit 3mcg/kg/menit Stop

T : 36,5oC - Drip heparin 350


IU/jamStop
SpO2 : 99%
- IV Lansoprazole 30mg/jam
Kepala / Leher : TVJ 2cm H2O Stop
Thorak : ves (+/+), Rh (+/+) - Coralan 2x2,5mg
Cor : S1>S2 Murmur negatif - N. Asetilcystein 3x200mg
Abdomen : Soepel, peristaltik normal Stop
Ekstremitas : edema pretibial grade I - Amlodipin 1x5mg
Ass - Recolvar 2x0,5 mg Stop
-ADHF tipe wet and warm ec DCM - Paracetamol 3x500mg
Stop
- MR Moderate, TR Mild
- Warfarin 1x2mg
- Sec di LV
- AKI stage 3 dd Acute on CKD
P/
- Cardiorenal Syndroms type 2
- Rencana PBJ
- Hipoalbuminemia on koreksi
- Efusi pleura
bilateral
12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala tipikal
(sesak napas, bengkak pergelangan kaki, dan kelelahan) yang dapat disertai dengan
tanda lain (seperti peningkatan tekanan vena jugular, ronkhi paru, dan edema
perifer) yang disebabkan oleh penurunan cardiac output atau peningkatan tekanan
intrakardiak saat istirahat ataupun saat aktivitas. Gagal jantung dapat terjadi akut,
yaitu perubahan yang cepat dari tanda dan gejala gagal jantung. Kondisi ini
mengancam kehidupan dan harus ditangani dengan segera.(11)
Terdapat 2 jenis gagal jantung akut, yaitu gagal jantung akut yang baru
terjadi pertama kali (de novo), dan gagal jantung dekompensasi akut (Acute
Decompensated Heart Failure/ADHF) yaitu perburukan kondisi yang ditandai
dengan memberatnya gejala gagal jantung yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba.(8)
Gagal jantung dekompensata akut (Acute Decompensated Heart Failure)
adalah dekompensasi dari gagal jantung kronik yang sebelumnya stabil atau
manifestasi klinis gejala dan tanda kongesti serta perfusi organ yang buruk akibat
dari gagal jantung yang memerlukan terapi segera. ADHF ditandai dengan
abnormalitas hemodinamik dan aktivasi neurohormonal yang berkontribusi
terhadap gejala gagal jantung, disfungsi organ akhir, artimia, dan gagal jantung
progresif.(12)

4.2 Epidemiologi
Berdasarkan data April 2018 – Maret 2019 di Inggris, yang dirangkum
dalam National Heart Failure Audit (NHFA) 2020, terdapat 74.696 pasien dengan
diagnosis gagal jantung, dengan usia rata-rata 78 tahun. Jumlah ini mengalami
peningkatan sebesar 21% dibandingkan data tahun 2017 (58.885 kasus).(13)
Organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO)
menggambarkan bahwa meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia,
termasuk Asia diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas,
dislipidemia, dan diabetes. Angka kejadian gagal jantung meningkat juga seiring
13

dengan bertambahnya usia. Menurut studi yang dilakukan Framingham, insiden


tahunan pada laki–laki dengan gagal jantung (per 1000 kejadian) meningkat dari 3
pada usia 50-59 tahun menjadi 27 pada usia 80–89 tahun, sementara wanita
memiliki insiden gagal jantung sepertiga kali lebih rendah dibanding pada laki–
laki.(11) Selain itu, risiko seumur hidup gagal jantung akut pada laki-laki adalah
sebesar 33%, sedangkan pada wanita sebesar 28%.(12)
Data angka kematian dari NHFA 2020, angka kematian pada pasien gagal
jantung dengan usia di atas 75 tahun tercatat lebih besar dari pada pasien dengan
usia kurang dari 75 tahun, yaitu sebesar 10,9% dibandingkan 5,4%.(13) Mayoritas
(80%) pasien yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit gagal jantung hadir
sebagai dekompensasi akut HF Gagal Jantung Dekompensasi Akut. Berdasarkan
data tahun 2006 yang diwakili oleh 5 rumah sakit berbeda di kota yang berbeda,
rata-rata total rawat inap di rumah sakit adalah 7,1 hari, dengan total 3 hari berada
di ICCU. Total kematian di rumah sakit akibat ADHF adalah sebesar 6,5%.(14)

4.3 Etiologi
Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab yang
paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau
hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler
dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).(15)
Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi
penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar
10% dan kardiomiopati sebanyak 10%. Kardiomiopati merupakan gangguan pada
miokard dimana otot jantung secara struktur dan fungsionalnya menjadi abnormal
[dengan ketiadaan penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit katup, atau
penyakit jantung kongenital lainnya] yang berperan terjadinya abormalitas
miokard.(12)

4.4 Patofisiologi
Pada kondisi gagal jantung, jantung tidak mampu untuk memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan ataupun dapat menjalankan
fungsinya tetapi dengan tekanan pengisian yang lebih tinggi dari normal. Pada
kebanyakan kasus gagal jantung, jantung tidak dapat mengikuti ritme kebutuhan
14

dasar jaringan perifer. Pada beberapa kasus, gagal jantung terjadi akibat
peningkatan kebutuhan jaringan akan darah yang meningkat (high-output failure).
Pada definisi perlu dieksklusikan kondisi dimana cardiac output yang tidak adekuat
yang terjadi karena kehilangan darah maupun proses lain yang menyebabkan
penurunan pengembalian darah ke jantung.(16)
Secara mekanis, jantung yang gagal tidak dapat lagi memompakan darah
yang telah dikembalikan melaui sirkulasi vena. Cardiac output yang tidak adekuat
(forward failure) hampir selalu diikuti oleh peningkatan kongesti sirkulasi vena
(backward failure), dikarenakan kegagalan ventrikel untuk mengejeksi darah vena
yang diterimanya. Hal ini menyebabkan peningkatan volume end-diastolic pada
ventrikel, yang mengakibatkan peningkatan tekanan end-diastolic, dan pada
akhirnya meningkatkan tekanan vena.(16)
Sistem kardiovaskular dapat beradaptasi terhadap penurunan kontraktilitas
miokardium ataupun peningkatan kegagalan hemodinamik dengan beberapa
mekanisme, diantaranya adalah mekanisme Frank-Sterling, perubahan
neurohormonal, dan terjadinya hipertrofi ventrikel dan remodelling. Salah satu
yang paling penting adalah aktivasi sistem neurohumoral, terutama pelepasan
neurotransmitter norepinefrin oleh sistem saraf simpatis (peningkatan heart rate
dan kontraktilitas miokardium serta tahanan vaskuler), aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP), suatu
hormon polipeptida yang disekresi oleh atrium pada saat distensi atrium. ANP
menyebabkan vasodilatasi, natriuresis, dan diuresis yang akan membantu
pengaturan volume maupun tekanan.(16)
Mekanisme Frank-Sterling yaitu saat berjalannya kegagalan jantung,
tekanan end-diastolic akan meningkat, menyebabkan masing-masing serat otot
jantung teregang; kejadian ini secara bermakna meningkatkan volume ruang
jantung. Sesuai dengan hubungan Frank-Sterling, awalnya serat otot yang
memanjang ini akan berkontraksi dengan daya yang lebih, yang akan menyebabkan
peningkatan cardiac output. Jika ventrikel yang terdilatasi mampu untuk
mempertahankan cardiac output pada tingkatan yang dapat menyesuaikan
kebutuhan tubuh, pasien dikatakan memiliki compensated heart failure. Tetapi,
peningkatan dilatasi akan meningkatkan tegangan dinding ventrikel, yang akan
15

meningkatkan kebutuhan oksigen dari miokardium. Seiring berjalannya waktu,


miokardium yang mengalami kegagalan tidak lagi dapat memompakan darah yang
cukup untuk mencapai kebutuhan tubuh, walaupun saat istirahat. Pada keadaan ini,
pasien telah memasuki fase yang disebut decompensated heart failure.(16)

Gambar 1. Mekanisme Kompensasi pada Gagal Jantung

Pada awalnya, mekanisme adaptif di atas dapat mencukupi cardiac output


walaupun performa jantung mengalami penurunan. Dalam kondisi fungsi jantung
yang semakin memburuk, perubahan patologis tetap akan terjadi sehingga
mengakibatkan gangguan struktural dan fungsional; seperti misalnya perubahan
degeneratif yang meliputi apoptosis miosit, perubahan sitoskeletal, dan perubahan
sintesis dan remodelling matriks ekstraseluler. Kebutuhan oksigen dari miokardium
yang mengalami hipertrofi akan meningkat sebagai akibat dari peningkatan massa
sel miokardium dan peningkatan tekanan dari dinding ventrikel. Karena kapiler
miokardium tidak selalu meningkat sesuai dengan peningkatan kebutuhan oksigen
dari serat otot yang mengalami hipertrofi, miokardium menjadi rentan mengalami
kejadian iskemi.(16)
16

Gambar 2. Stimulasi neurohormonal sebagai kompensasi pada gagal jantung

Gagal jantung dapat mempengaruhi salah satu sisi baik sisi kiri maupun sisi
kanan secara dominan, maupun kedua sisi dari jantung. Penyebab tersering gagal
jantung sisi kiri antara lain adalah Ischaemic Heart Disease (IHD), hipertensi
sistemik, penyakit katup mitral atau aorta, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung sisi kanan adalah kegagalan ventrikel kiri, dengan
asosiasi kongesti pulmoner dan peningkatan tekanan arteri pulmoner. Gagal jantung
sisi kanan juga dapat terjadi tanpa adanya gagal jantung sisi kiri pada pasien dengan
penyakit intrinsik pada parenkim paru ataupun vaskularisasi pulmoner dan pada
pasien dengan penyakit paru primer dan penyakit pada katup trikuspid. Terkadang
gagal jantung sisi kanan juga mengikuti kelainan jantung kongenital.(16)

4.5 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan gagal jantung,
klasifikasi bentuk gagal jantung akut dari The European Society of Cardiology
(ESC), klasifikasi New York Heart Association (NYHA) untuk menilai derajat
gangguan kapasitas fungsionalnya, klasifikasi Forrester yang lebih memfokuskan
pada keparahan mengenai presentasi klinis pada infark akut dari segi
hemodinamika.
17

 Klasifikasi menurut ESC


Klasifikasi gagal jantung menurut European Society of Cardiology (ESC)
dibagi menjadi 3 tipe yaitu:(12)
a. HFrEF (Heart Failure reduced Ejection Fraction) yaitu gagal jantung
dengan fraksi ejeksi < 40%
b. HFmrEF (Heart Failure mid-range Ejection Fraction) yaitu gagal jantung
dengan fraksi ejeksi rentang 40%-49%
c. HFpEF (Heart Failure preserved Ejection Fraction) yaitu gagal jantung
dengan fraksi ejeksi rentang > 50%.
 Klasifikasi NYHA
NYHA membagi gagal jantung berdasarkan tingkat aktivitas dan timbulnya
keluhan.(17)
Kelas I : penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik.
Aktivitas sehari-hari tidak menimbulkan keluhan.
Kelas II : penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan ringan
aktivitas fisik sehari, merasa lebih baik saat istirahat. Aktivitas sehari-
hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dyspnea, atau angina
Kelas III : penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan berat pada
aktivitas fisik. Merasa lebih baik saat istirahat. Aktivitas yang kurang
dari rutinitas sehari hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, dyspnea,
atau angina
Kelas IV : penderita dengan kelainan jantung tidak mampu melakukan aktivitas
fisik apapun karena keluhan pun timbul saat istirahat.

 Klasifikasi Forrester
18

Gambar 3. Klasifikasi Forrester(17)

4.6 Manifestasi Klinis


Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, kongesti, dan kelelahan yang
sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat
disebabkan oleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi
yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. Variasi bentuk penyakit
pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal,
mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung.(18)
19

4.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat
dengan manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya. Pasien
yang datang dengan keluhan volume overload relatif mudah untuk didiagnosis.
Mereka umumnya memiliki tanda dan gejala kongesti paru (dispneu saat
melakukan kegiatan, Orthopnea, Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), dan
Ronchi). Sedangkan manifestasi cepat kenyang, mual dan muntah merupakan
akibat dari edema traktus gastrointestinal (GI).[15]
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh harus selalu dilakukan untuk
mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Tujuannya adalah untuk dapat
menentukan apa penyebab gagal jantung dan mengevaluasi beratnya sindroma
gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil hemodinamik,
sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah tujuan tambahan
saat pemeriksaan fisik.(19)
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital, tekanan nadi bisa berkurang,
dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa
meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus takikardi adalah gejala non
spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi
perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari
bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan, waktu
pengisian kapiler memanjang >2 detik.(20)
Pada saat pemeriksaan leher akan ditemukannya peningkatan tekanan vena
jugularis. Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat
istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup
lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif). Giant V wave menandakan
keberadaan regurgitasi katup tricuspid.(19,20)
Pada pemeriksaan paru akan ditemukan suara tambahan berupa ronkhi
basah halus yang terjadi akibat adanya transudasi cairan dari rongga intravaskular
ke dalam alveoli. Suara ronkhi biasanya dapat terdengar pada pasien dengan edema
paru, dimana ronkhi terdengar di kedua lapangan paru. Namun apabila pada pasien
20

tidak dijumpai kelainan pada paru, maka ronkhi tersebut mengarah kepada gagal
jantung. (19)
Pada saat dilakukan pemeriksaan jantung, pada beberapa pasien, bunyi
jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex.[12][14] Bunyi jantung ketiga
(gallop) dapat ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami
takikardi dan takipnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik
yang berat.(19)
Pada pemeriksaan abdomen serta ekstremitas, ascites dapat timbul sebagai
akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena yang
berfungsi dalam drainase peritoneum.[16] Edema perifer juga sering dijumpai karena
edema perifer merupakan manisfestasi kardinal gagal jantung. Edema perifer pada
pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal jantung
yang terjadi dan paling sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial
pada pasien yang masih beraktivitas. Pada pasien yang telah mendapatkan terapi
diuretik kondisi edema perifer tidak dijumpai lagi.(19)
3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara
lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine, GDs,
CKMB, Troponin T, natriuretic peptide, dan analisa gas darah pada kondisi yang
berat. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
karena dapat mendeteksi anemia, gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau
hiponatremia), menilai fungsi ginjal dan hati, dan mengukur brain natriuretic
peptide (beratnya gangguan hemodinamik).(19) Pulse oxymetry dibutuhkan untuk
mengetahui saturasi oksigen dari pasien.
Pemeriksaan Biomarker BNP merupakan pemeriksaan yang sangat
disarankan untuk diperiksa pada semua pasien yang dicurigai gagal jantung untuk
menilai beratnya gangguan hemodinamik dan untuk menentukan prognosis.
Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan BNP disekresikan sebagai respon
terhadap meningkatnya tekanan pada dinding jantung dan/atau neurohormon yang
bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh yang pendek, hanya NT-ANP
yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP dan BNP memiliki
21

nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada pasien dengan
disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik peningkatan kadarnya lebih
rendah.(16)

 Pemeriksaan Radiografi
Gambaran radiografi foto thorax normal tidak menyingkirkan diagnosis gagal
jantung. Sebanyak 40-50% pasien dengan tekanan arteri pada paru yang tinggi
memiliki gambaran foto thorax yang normal. Kongesti paru pada CXR ditandai
dengan adanya Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus
bawah paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular
intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada
dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan
tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini
dikarenakan pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga
meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang kelebihan cairan
interstitial dan/atau paru.(21)
 Elektrokardiogram (EKG)
Pada semua pasien yang dicurigai memiliki kelainan pada jantung harus
dilakukan pemeriksaan EKG, begitu juga pada pasien dengan gagal jantung.[9]
Dampak diagnostik EKG untuk gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya
terhadap terapi cukup tinggi. Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi
ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left bundlebranch
block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T pada gagal jantung
dapat ditemukan.(21)
 Echocardiography
Pemeriksaan echocardiography digunakan untuk menilai anatomi dan
fungsi jantung, miokardium dan perikadium, serta mengevaluasi gerakan dinding
jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung.
Pemeriksaan ini bersifat non-invasif, dapat dilakukan secara cepat dan mudah
diulang di tempat rawat, serta memungkinkan penilaian fungsi global dan regional
ventrikel kiri. Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah
penilaian Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel
kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik. Echo dua dimensi sangat berharga dalam
22

menilai fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung.(21)

Kriteria Framingham dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal


jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau (1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor). Kriteria minor tidak boleh berkaitan dengan kondisi penyakit
lain.(21) Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:(9)
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung

Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit

4.8 Tatalaksana
Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah secara
signifikan selama 30 tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart failure
yang digunakan untuk mengevaluasi diagnostik dan prognostik pasien dengan
ADHF antara lain yaitu : (22,23)
1. Tirah Baring.
Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung kongesti
tahap akut dan sulit disembuhkan.
2. Pemberian diuretik
23

Pemberian terapi diuretik bertujuan untuk memacu ekskresi natrium dan air
melalui ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon
pembatasan aktivitas, digitalis dan diet rendah natrium
3. Pemberian morphin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan
aliran balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnea
berat
4. Reduksi volume darah sirkulasi
Dengan metode plebotomi, yaitu suatu prosedur yang bermanfaat pada
pasien dengan edema pulmonal akut karena tindakan ini dengan segera
memindahkan volume darah dari sirkulasi sentral, menurunkan aliran balik
vena dan tekanan pengisian serta sebaliknya menciptakan masalah
hemodinamik segera.
5. Terapi vasodilator
Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan
gagal jantung. Obat ini berfungsi untuk memperbaiki pengosongan
ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian
ventrikel kiri dapat diturunkan dan dapat dicapai penurunan dramatis
kongesti paru dengan cepat
6. Inotropik positif
- Dopamin Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang
alphaadrenergik beta-adrenergik dan reseptor dopamine ini mengakibatkan
keluarnya katekolamin dari sisi penyimpanan saraf. Memperbaiki
kontraktilitas curah jantung dan isi sekuncup. Dilatasi ginjal-serebral dan
pembuluh koroner. Pada dosis maximal 10-20 mg/kg BB akan
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung.
- Dobutamin Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine
memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi dan
tachicardi.
7. Dukungan diet (pembatasan natrium)
Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur, atau
mengurangi edema, seperti pada hipertensiatau gagal jantung. Dalam
24

menentukan ukuran sumber natrium harus spesifik dan jumlahnya perlu


diukur dalam milligram.

Gambar 4. Algoritma Tatalaksana Pasien Gagal Jantung Akut Berdasarkan Profil


Hemodinamik(11)
25

BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien perempuan berusia 25 tahun dengan inisial Ny. FH datang dengan


keluhan sesak napas yang dirasakan sejak 6 jam SMRS. Sesak berlangsung terus
menerus dan semakin lama semakin memberat sehingga sulit untuk melakukan
aktifitas dan sulit untuk tidur. Pasien juga mengaku lebih nyaman dengan posisi
duduk atau setengah duduk daripada berbaring.
Pasien memiliki keluhan sesak napas. Pada disfungsi diastolic, ventrikel
yang terkena akan mempunyai kemampuan ejeksi yang berkurang akibat adanya
gangguan kontraktilitas miokard atau adanya beban tekanan yang berlebihan
sehingga akan terjadi peningkatan resistensi. Tekanan LV yang terus meningkat
saat diastole akan mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik sehingga akan
terjadi transudasi cairan dari kompartemen vascular. Normalnya, kelebihan cairan
di ruang interstisial akan dibersihkan oleh aliran limfatik, namun pada ADHF
akumulasi cairan interstisial yang terjadi melebihi drainase system limfatik
sehingga mengakibatkan edema pulmonal yang mengakibatkan sesak.(24)
Pasien juga mengatakan bahwa keluhan sesak memberat saat tidur dan
membaik saat posisi setengah duduk. Kondisi ini juga disebut Orthopnea.
Orthopnea adalah sensasi sesak napas pada saat berbaring datar dan membaik
dengan duduk tegak. Gejala ini merupakan hasil dari redistribusi darah
intravascular dari berbagai bagian tubuh yang dipengaruhi gravitasi menuju paru-
paru saat posisi berbaring.(25)
Pasien mengeluhkan terdapat adanya pembengkakan pada perut dan kedua
tungkai bawah. Edema perifer adalah manifestasi utama dari gagal jantung, tetapi
tidak spesifik dan biasanya tidak ada pada pasien yang telah diobati secara adekuat
dengan diuretik. Edema perifer biasanya simetris dan tergantung pada gagal
jantung dan terjadi terutama pada pergelangan kaki dan daerah pretibial pada
pasien rawat jalan. Pada pasien yang terbaring di tempat tidur, edema dapat
ditemukan di daerah sakral (edema presakral) dan skrotum. Asites, terjadi sebagai
26

akibat dari peningkatan tekanan pada vena hepatika dan vena yang mengalirkan
peritoneum.(23)
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus. European Society of
Cardiology mengumpulkan data meliputi komorbiditas kardiovaskular yang
diamati pada pasien ADHF yang membutuhkan intervensi segera termasuk
hipertensi (70% pasien), penyakit arterikoroner (50%-60%), dan fibrilasi atrium
(30%-40%). Komorbiditas nonkardiak termasuk diabetes (40%), disfungsi ginjal
(20%-30%), penyakit paru obstruktif kronik (20%-30%), dan anemia (15%-30%).
Diabetes dikaitkan dengan risiko rawat inap berulang dan peningkatan morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular, hiperglikemia akut dan variabilitas glikemik selama
rawat inap dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk. Hiperglikemia meningkatkan
disfungsi endotel, stresoksidatif, fibrosis miokard, penurunan tingkat transportasi
kalsium, serta mempengaruhi metabolisme miokard, yang dapat mempengaruhi
fungsi jantung selama rawat inap ADHF.(26)
Pada pemeriksaan fisik leher pasien ditemukan adanya peningkatan tekanan
vena jugular. Hal ini dapat terjadi sebagai manifestasi adanya fungsi ventrikel
kanan yang mengalami gangguan. Ketika terjadi kegagalan pada ventrikel kanan,
tekanan diastolic yang tinggi akan diteruskan ke atrium kanan kemudian diikuti
oleh kongesti vena sistemik, sehingga akan bermanifestasi sebagai distensi vena
jugularis.(25,27)
Pada auskultasi paru didapatkan ronchi basal sebagai akibat ekstravasasi
cairan dari kapiler paru ke alveoli akibat peningkatan tekanan ventrikel kiri.
Krepitasi paru (ronki atau krepitasi) terjadi dikarenakan transudasi cairan dari
ruang intravaskular ke dalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat
terdengar luas di kedua lapang paru dan dapat disertai dengan mengi saat ekspirasi
(asma jantung). Ketika hadir pada pasien tanpa penyakit paru-paru, rales spesifik
untuk gagal jantung.(23)
Pada pemeriksaan jantung didapatkan murmur grade 2/6 di ICS V linea
midclavicula sinistra. Pada ICS V linea midclavicula sinistra terdapat katup mitral.
Adanya murmur pada bagian ini menandakan adanya gangguan katup.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan kesan irama sinus,
normoaxis, HR 100x/menit. Elektrokardiografi dalam batas normal.
Pada pemeriksaan ekokardiografi pasien didapatkan hasil fungsi sistolik
LV dan RV menurun. Global severe hipokinetik. Disfungsi LV Grade III. MR
Moderate, TR Moderate, PR Mild. Moderate probability of PH, SEC di LV, Efusi
perikard minimal di sekeliling jantung tanpa tanda-tanda tamponade kardiak.
27
Pasien ini memenuhi kriteria Framingham sebanyak 2 kriteria mayor
(distensi vena leher dan rhonki paru) dan 1 kriteria minor (edema tungkai
bilateral). Pada pasien ini didiagnosis menjadi ADHF tipe wed and warm
dikarenakan terdapat ronki basah halus, distensi vena jugularis, edema ekstremitas
bawah (wet) dan akral hangat saat perabaan (warm).
28
BAB V
KESIMPULAN

Pasien dalam kasus ini didiagnosis dengan ADHF tipe wet and warm
berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Tujuan tatalaksana ADHF adalah untuk meningkatkan cardiac output, mengurangi
tekanan pengisian ventrikel dan meredakan gejala melalui diuresis, vasodilatasi,
atau keduanya. Tingkat diuresis harus mencapai status volume yang diinginkan
tanpa menyebabkan pengurangan yang cepat dalam volume intravaskular, yang
dapat menyebabkan gejala hipotensi atau disfungsi ginjal. Selanjutnya, tatalaksana
farmakologi jangka panjang dan tatalaksana nonfarmakologis seperti pengaturan
diet, aktivitas fisik, kontrol gula darah dan tekanan darah, serta kepatuhan minum
obat perlu diedukasikan kepada pasien untuk mencegah perburukan kondisi
pasien.
29
DAFTAR PUSTAKA

1. NICE. (2020). Acute Heart Failure : Diagnosis and Management.


2. World Health Organization. (2018). Non Communicable Diseases Country
Profile 2018.
3. Harahap, V. Y. (2018). Gambaran Karakteristik Penderita Penyakit Jantung
Koroner Di Rspad Gatot Soebroto Tahun 2018. Universitas Esa Unggul.
4. KEMENKES. (2019). Hari Jantung Sedunia (HJS) Tahun 2019.
5. Kemp C, Conte J. The pathophysiology of heart failure. Cardiovascular
Pathology. 2012;21(5):365-371.
6. Inamdar A, Inamdar A. Heart Failure: Diagnosis, Management and
Utilization. Journal
7. Givertz MM, Colucci WS. Strategies for Management of Acute
Decompensated Heart Failure. In: Cardiovascular Therapeutics : A
Companion to Braunwald’s Heart Disease [Internet]. Fourth Edi. Elsevier
Inc.; 2013. p. 281–306.
8. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, et al. 2016 ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur Heart J.
2016;37(27):2129-2200
9. Raj L, Maidman S, Adhyaru B. Inpatient management of acute
decompensated heart failure. Postgraduate Medical Journal.
2019;96(1131):33-42
10. Upadhya B, Kitzman DW. Heart failure with preserved ejection fraction:
New approaches to diagnosis and management. Clin Cardiol
2020;43(2):145–55.
11. PP Perki. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung 2020 edisi kedua.
Perhimpun Dr Spes Kardiovask Indones 2020. 2020;6(11):951-952
12. Kurmani S, Squire I. Acute Heart Failure: Definition, Classification and
Epidemiology. Curr Heart Fail Rep 2017;14(5):385–92.
13. NICOR. National Heart Failure Audit (NHFA) 2020 Summary Report
(2018/2019 data). Published online 2020
14. Siswanto BB. Heart Failure in Indonesia. J Card Fail. 2013;19(10):S108.
15. Xanthopoulos A, Butler J, Parissis J, Polyzogopoulou E, Skoularigis J,
30

Triposkiadis F. Acutely decompensated versus acute heart failure: two


different entities. Heart Fail Rev 2020;25(6):907–16.
16. Maisel A, Krishnaswamy P, Nowak R. Rapid measurement of B-type
natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. Engl J Med
2002;(347):161–7
17. Ali D, Banerjee P. Inpatient Monitoring of Decompensated Heart Failure:
What Is Needed? Curr Heart Fail Rep 2017;14(5):393–7.
18. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: Clinical features
and complications. Br Med J 2000;320(7229):236–9.
19. Mann D. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Harrison’s Principles of
Internal Medicine. New York: McGraw-Hill; 2008. page 1443.
20. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik
Klinis dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. 2016.
page 32–3
21. Hess O, Carrol J. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow
RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia:
Saunders; 2007. page 561–80.
22. Abdo AS. Hospital Management of Acute Decompensated Heart Failure.
Am J Med Sci [Internet] 2017;353(3):265–74
23. Loscalzo J. Harrison’s Cardiovascular Medicine. Mcgraw-Hill PublComp
2010;7–9.
24. Onwuanyi A, Taylor M. Acute Decompensated Heart Failure:
Pathophysiology and Treatment. Am J Cardiol 2007;99(6 SUPPL. 2).
25. Lilly LS. Patophysiology of Heart Disease. China: Wolters Kluwer; 2016
26. Njoroge JN, Teerlink JR. Pathophysiology and Therapeutic Approaches to
Acute Decompensated Heart Failure. Circ Res. 2021;128:1468–86
27. Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, Geltman EM, Douglas L. Mann M.
Acute Decompensated Heart Failure. Texas Hear Inst J [Internet]
2010;37(1)
28. Amin H, Siddiqui W. Cardiomegaly [Internet]. In: StatPearls Pub: Treasure
Island. StatPearls; 2021
29. Meyer TE, Shih JA, Harrington C. Acute heart failure and pulmonary
31

edema [Internet]. Third Edition. Elsevier Inc.; 2018


30. Teerlink JR, Alburikan K, Metra M, Rodgers JE. Acute Decompensated
Heart Failure Update. Curr Cardiol Rev 2015;11:53–62
32
33
34
35
36

Anda mungkin juga menyukai