Pembimbing :
dr. Poppy Dewi Ratih S, Sp. KJ
Disusun Oleh :
Nida Sofiana
1820221070
1
LEMBAR PENGESAHAN
STATUS UJIAN
Disusun Oleh :
Nida Sofiana 1820221070
Pembimbing :
2
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan status
ujian yang berjudul “Depresi Berat dengan Ciri Psikosis”
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kepada dr. Poppy, Sp. KJ
selaku pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik di bagian Departemen
Ilmu Kesehatan Jiwa RSUD Pasar Minggu atas kerjasamanya selama penyusunan
tugas ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
guna perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat baik
bagi penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang
berkepentingan
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Depresi adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan perubahan
suasana hati, pikiran, perilaku, dan kesehatan fisik. Depresi merupakan penyakit
umum namun serius yang dapat menghilangkan kemampuan seseorang untuk
menikmati hidup dan menyebabkan penurunan kapasitas untuk melakukan tugas
sehari-hari yang paling sederhana. Selain sifatnya yang kronis, gejala yang terkait
dengan gangguan mental ini sering berulang dan mengancam kehidupan. Menurut
World Health Organization (WHO), depresi adalah salah satu penyebab utama
disabilitas menahun dan sekitar 350 orang di seluruh dunia menderita gangguan
mental ini (Fekadu et al, 2017).
Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ke-7 tertinggi di dunia dan
nomor 4 penyebab disabilitas. Prevalensi depresi di seluruh dunia berkisar antara
2.2-10.4%. Menurut riskesdas tahun 2013, prevalensi individu diatas usia 15 tahun
denggan gangguan jiwa ringan atau gangguan mental emosional seperti gangguan
kecemasan dan depresi yaitu sebesar 6% atau sekitar 16 juta orang keseluruhan
populasi di Indonesia (Riskesdas, 2013; Kessler, 2013).
Gangguan depresi disebabkan oleh banyak faktor, seperti halnya gangguan
jiwa lain. Faktor-faktor tersebut diantaranya seperti faktor organobiologik, faktor
genetik, faktor psikososial, faktor kepribadian, faktor psikodinamik, dan faktor lain
(Elvira & Hadikusanto ed, 2018). Ada banyak ragam bentuk depresi, bisa berupa
kondisi ringan atau sangat parah seperti depresi psikotik di mana pasien
menunjukkan gejala seperti halusinasi dan delusi (Fekadu et al, 2017).
Episode depresi dapat diklasifikasikan menjadi episode depresi ringan,
sedang, dan berat. Untuk episode depresif biasanya diperlukan waktu minimal 2
minggu untuk menegakkan diagnosis, akan tetapi periode yang lebih singkat dapat
dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. Kategori
diagnosis depresi dibagi menjadi episode depresi ringan (F32.0), sedang (F32.1),
dan berat (F.32.2) (PPDGJ-III, 2000).
4
BAB II
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Usia : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Rujukan/ Datang Sendiri/ Keluarga : Datang sendiri
Pembiayaan : BPJS/ Umum
5
bahagia, namun pasien malah merasa lebih bersalah dan akhirnya berfikir
bahwa dirinya tidak pantas bahagia. Pasien terkadang mendapatkan ide-ide
untuk menyakiti dirinya sendiri seperti memukul-mukul kepalanya dengan
tangan atau ke tembok, dan pernah terfikir ide untuk mengakhiri hidup
dengan cara lompat dari gedung, namun ide tersebut dapat dikendalikan
oleh dirinya dengan cara mengingat anaknya. Pasien juga mengaku bahwa
konsentrasinya sering terganggu karena perasaan sedih tersebut saat
bekerja. Pasien merasa adanya sedikit kesulitan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Pasien juga mengatakan sulit tidur dirasakan selama kurang
lebih 3 bulan. Berkurangnya energy dan minat juga rasa senang tidak lagi
dirasakan pasien, pasien tidak berminat untuk melakukan apa-apa. Pasien
saat ini tidak merokok, tidak meminum Alkohol dan menggunakan obat-
obat terlarang.
6
normal. Kemudian pasien berobat kembali ke poli psikiatri dan melanjutkan
pengobatan hingga saat ini.
7
Pasien tidak mengalami gangguan dalam bersosialisasi dan pasien
dapat mengikuti kegiatan di sekolah dengan baik.
3. Riwayat Pendidikan
Pasien bersekolah SD, SMP, SMA. Pasien dapat menjalani
pendidikan dengan baik dan bertanggung jawab dalam mengerjakan
tugasnya.
4. Riwayat Pekerjaan
Pasien pernah bekerja sebagai penjual burung.
5. Kehidupan Beragama
Pasien beragama islam. Pasien rajin solat dan beribadah di rumah.
6. Kehidupan perkawinan/psikoseksual
Pasien sudah menikah dan memiliki seorang anak
7. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien tidak pernah punya riwayat masalah dengan aparat penegak
hukum, dan tidak pernah terlibat dalam proses peradilan yang terkait
dengan hukum.
8. Riwayat Sosial
Saat ini pasien kehilangan minat untuk berkomunikasi dan bersosialisasi
dengan orang-orang luar.
9. Riwayat Keluarga
Pasien beragama islam sejak lahir. Pasien lahir dan dibesarkan di
Jakartsa sejak lahir hingga saat ini. Pasien merupakan anak pertama dari
5 bersaudara. Pasien memiliki 2 adik berjenis kelamin laki-laki dan 2
adik berjenis kelamin perempuan. Pasien merasa tidak dekat dengan
adik-adiknya. Saat ini pasien tinggal di rumah bersama ke-dua orang tua
dan istri serta seorang anaknya.
8
Genogram
Laki-Laki Pasien
Perempuan
9
yang ditanyakan. Pasien juga bercerita banyak hal tanpa ditanya
pemeriksa terlebih dahulu.
c. Sesudah wawancara : saat selesai, pasien mengucapkan salam
sebelum berpisah dengan pemeriksa.
4. Sikap Terhadap Pemeriksa
Pasien bersikap kooperatif terhadap pemeriksa.
5. Pembicaraan
Pasien berbicara spontan, cepat, volume suara cukup, intonasi dan
artikulasi baik
6. Alam Perasaan (Emosi)
Mood : Hipotimia
Afek : menyempit
Keserasian : Serasi
7. Proses Pikir
a. Arus Pikir
Produktivitas : Baik
Kontuinitas : Koheren
Hendaya Bahasa : Tidak ada
b. Isi Pikir
Preokupasi : pasien cenderung menyakiti dirinya akibat
rasa bersalah yang menghantuinya
Waham : Tidak ada
Obsesi : Tidak ada
Fobia : Tidak ada
8. Gangguan Persepsi
Halusinasi : mendengar suara yang mengatakan
bahwa dirinya kafir dan laknat
Ilusi : melihat nanah dan darah pada
minumanya
Depersonalisasi : Tidak ada
Derealisasi : Tidak ada
10
9. Fungsi Inteletual dan Kognitif
11
Segera (pasien diminta untuk mengingat nama 3 buah benda yang
disebutkan oleh pemeriksa yaitu buku, pensil, penghapus,
kemudian pasien diajak berbincang kembali mengenai hal lain.
Saat ditanya kembali nama 3 benda yang tadi disebutkan, pasien
dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan baik. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi memori segera pasien masih dalam
keadaan baik)
Kemampuan membaca Baik (pasien diminta untuk membaca kalimat “pejamkan mata anda”
& menulis dan melakukan perintah pejamkan mata tersebut)
Pikiran Abstrak Baik (pasien dapat menjawab pertanyaan mengenai persamaan
mobil dan motor serta perbedaannya)
Visuospasial Baik (pasien dapat menggambar pohon, rumah, orang sesuai
instruksi pemeriksa)
Kemampuan Baik (pasien bisa makan, minum, mandi serta merawat diri
menolong diri sendiri)
12
ataupun perasaan bahwa orang lain membicarakannya, ingin
mencelakainya, ataupun mengetahui isi pikiran pasien.
12. Tilikan
Pasien diberikan pertanyaan “apakah merasa ada gangguan dalam diri
bapak?”, pasien menjawab bahwa dirinya paham sepenuhnya akan
dirinya sendiri merasa ada gangguan dalam dirinya yang berhungan
dengan penyesuaian aktivitas sosial sehari-hari dan membutuhkan
bantuan, dan pasien menyatakan bahwa dirinya membutuhkan bantuan
dengan obat. Hal ini menandakan bahwa tilikan pasien derajat 5.
13. Reliabilitas
Pemeriksa mempreoleh kesan secara menyeluruh bahwa jawaban pasien
dapat dipercaya karena pasien menjawab dengan konsisten terhadap
pertanyaan yang diberikan.
IV. Pemeriksaan fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampaik baik
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tanda Vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Pernafasan : 19 x/menit
Nadi : 88 x/menit
Suhu : 36.7 C
Kepala : normocephal
Mata : isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklrea
ikterik (-/-)
Hidung : sekret (-), darah (-), deviasi (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak ada gusi
berdarah
Leher : tidak terabanya pembesaran KGB
Paru : Bentuk dada normal, simetris, retraksi
(-), Suara napas vesicular, rhonki -/-,
wheezing -/-
Jantung : BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
13
Abdomen : Datar, supel, NT (-), BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema, CRT ≤ 2
detik
B. Status Neurologis
Saraf kranial : kesan dalam batas normal
Refleks fisiologis : kesan dalam batas normal
Refleks patologis : tidak ada kelainan
Motorik : kesan dalam batas normal
Sensibilitas : kesan dalam batas normal
Fungsi Luhur : tidak ada kelainan
V. Resume
Pasien laki-laki, usia 47 yahun, tampak sesuai dengan usianya,
berpenampilan rapih, mengenakan baju polos berwarna hitam dengan jaket,
celana panjang jeans dan menganakan topi. Badan kurus, tinggi sekitar 160cm.
Pasien tampak takut dan cemas.
Pasien datang dengan keluhan dihantui perasaan bersalah di masa lalu.
Keluhan dirasakan selama kurang lebih dua tahun yang lalu, dan masih
dirasakan hingga saat ini. Pasien mengatakan perasaan dihantui masa
lalunya muncul hampir setiap hari, perasaanya terfokus pada rasa berdosa dan
penyesalan yang amat dalam tentang perbuatan buruk yang pernah pasien
lakukan semasa mudanya, terfikir tentang azab dan kematian. Pasien juga
mengatakan merasa gelisah dan mendegar suara-suara dalam hatinya bahwa
dirinya adalah laknat dan kafir, terkadang pasien juga berhalusinasi melihat
nanah dan darah dalam minumanya. Terkadang muncul ide-ide untuk
mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara loncat dari gedung.
Pemeriksaan psikiatri didapatkan kesadaran neurologisnya compos
mentis, perilaku dan aktivitas motorik normoaktif, suasana perasaan (mood)
hipotimia, afek luas dan keserasian serasi, terdapat gangguan isi pikir berupa
halusinasi dan arus pikir, terdapat gangguan persepsi, fungsi kognitif baik,
produktivitas pembicaraan baik, pengendalian impuls baik, daya nilai sosial
14
baik, daya nilai realitas terganggu, tilikan pasien berada pada derajat 5. Pada
pemeriksaan fisik, tanda vital dalam keadaa normal serta tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis.
VI. Diagnosis Multiaksial
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan yang telah dilakukan pada
pasien ini terdapat gejala atau perilau yang secara klinis menimbulkan
penderitaan (distress) dan yang berkaitan dengan terganggynya fungsi
(disfungsi. Berdasarkan hasil tersebut, pasien dikatakan menderita
Gangguan Depresi berat dengan ciri psikotik.
Diagnosis Aksis I
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, pasien tidak pernah memiliki
riwayat cedera kepala, kejang, dan riwayat penyakit fisik lainnya yang dapat
mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, berdasarkan hasil pemeriksaan fisik,
secara keseluruhan dalam batas normal, pada pasien tidak ditemukan adanya
penurunan kesadaran secara biologis. Hal ini dapat dinilai dari tingkat
kesadaran, fungsi kognitif, daya ingat, dan orientasii yang tergolong baik,
sehingga pasien ini bukan penderita Gangguan Mental Organik (F.0).
Dari hasil anamnesis, pasien juga tidak pernah mengonsumsi NAPZA maka
dari itu dapat disimpulkan bahwa pasien ini bukan penderita Gangguan
Mental dan Perilaku Akibat Zat Psikoaktif atau Alkohol (F.1).
Dari hasil anamnesis pasien, pasien memiliki gangguan mood dan afektif
berupa depresi (merasa sedih terus-menerus, konsentrasi terganggu,
berkurangnya energi untuk beraktivitas, sulit tidur, gagasan untuk bunuh
diri, kepercayaan diri menurun, gagasan merasa bersalah, serta merasa
cemas akan masa depan). Keluhan ini memuncak pada pertengahan tahun
2019, saat ini pasien baru memulai kembali pengobatan rawat jalan.
Berdasarkan PPDGJ-III saat ini pasien dinyatakan memiliki Gangguan
Episode Depresif Berat dengan ciri psikotik (F32.3).
Diagnosis Aksis II
Dari hasil anamnesis pasien, pasien masih dapat berkomunikasi dengan
lingkungannya dengan baik, dapat melakukan tanggung jawabnya bekerja
15
dengan baik, tidak terdapat keterlambatan dalam berbahasa, dapat merawat
diri dengan baik, serta tidak memiliki gangguan dalam hal akademik. Tidak
ada gangguan terkait kepribadian dan tidak terdapat gangguan retardasi
mental. Aksis II tidak ada diagnosis.
Dignosis Aksis III
Dari hasil anamnesis pasien dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan kondisi
medik lainnya. Aksis III tidak ada diagnosis.
Diagnosis Aksis IV
Masalah sosial: pasien merasa kurang percaya diri akan dirinya dan
menghindari sosialisasi dengan lingkunganya.
Masalah ekonomi, pendidikan, akses ke pelayanan kesehatan, berkaitan dengan
hukum tidak ada
Diagnosis Aksis V
Pada pasien ini didapatkan beberapa berat (ide bunuh diri), tidak mampu
bekerja, tidak ingin bersosialisasi. Maka pada aksis V didapatkan GAF scale
50-41
VII. Evaluasi Multiaksis
Aksis I : F32.3 Gangguan depresi berat dangan ciri psikotik
Aksis II : tidak ada diagnosis
Aksis III : tidak ada diagnosis
Aksis IV : masalah sosial
Aksis V : GAF scale 50-41
VIII. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Risperidon 2x3 mg
THP 2x2 mg
Sertralin 1x50mg pagi
Clozapine 1x25mg malam.
b. Non Farmakologi
Psikoterapi suportif
16
IX. Prognosis
Quo Ad Vitam : ad bonam
Quo Ad Functionam : ad bonam
Quo Ad Sanationam : ad bonam
Follow Up
Tanggal Keluhan
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Depresi
III.1.1 Definisi
Depresi adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan perubahan
suasana hati, pikiran, perilaku dan kesehatan fisik. Depresi merupakan penyakit
umum namun serius yang dapat menghilangkan kemampuan seseorang untuk
menikmati hidup dan menyebabkan penurunan kapasitas untuk melakukan tugas
sehari-hari yang paling sederhana. Selain sifatnya yang kronis, gejala yang terkait
dengan gangguan mental ini sering berulang dan mengancam kehidupan. Menurut
World Health Organization (WHO), depresi adalah salah satu penyebab utama
disabilitas menahun dan sekitar 350 orang di seluruh dunia menderita gangguan
mental ini (Fekadu et al, 2017).
Ciri khas gangguan depresi adalah terjadinya suasana perasaan yang tertekan
(hipotimia–suasana perasaan yang tidak menyenangkan), berkurangnya energi
yang menyebabkan individu menjadi mudah lelah dan berkurangnya aktivitas, serta
hilangnya minat pada aktivitas yang menyenangkan di masa lalu (anhedonia)
selama setidaknya dua minggu. Gejala-gejala ini juga harus disertai oleh setidaknya
4 gejala seperti perubahan nafsu makan, pola tidur, aktivitas psikomotorik,
perasaan tidak berharga atau rasa bersalah, kesulitan berkonsentrasi atau membuat
keputusan, dan pikiran berulang tentang kematian atau ide bunuh diri (Fekadu et al,
2017).
III.1.2. Epidemiologi
Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ke-7 tertinggi di dunia dan
nomor 4 penyebab disabilitas. Prevalensi depresi di seluruh dunia berkisar antara
2.2-10.4%. Menurut Riskesdas tahun 2013, prevalensi individu diatas usia 15 tahun
denggan gangguan jiwa ringan atau gangguan mental emosional seperti gangguan
kecemasan dan depresi yaitu sebesar 6% atau sekitar 16 juta orang keseluruhan
populasi di Indonesia (Riskesdas, 2013; Kessler, 2013).
Gangguan depresi berat lazim ditemukan dengan prevalensi seumur hidup
sebesar 15%. Gangguan depresi berat lebih banyak diderita perempuan dengan
18
presentase mencapai 25%. Insidensi gangguan depresi berat yaitu 10% pada pasein
yang berobat di fasilitas kesehatan primer dan 15% di asilitas rawat inap. Pada anak
sekolah didapatkan prevalensi sebesar 2% dan usia remaja 5% (Elvira &
Hadikusanto ed, 2018).
A. Jenis Kelamin
Perempuan 2 kali lipat lebih besar dibandingkan laki-laki.
Diduga karena adanya pengaruh hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan
stressor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku
yang dipelajari tentang ketidakberdayaan
B. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun. Hampir 50% awitan diantara 20-50 tahun.
Gangguan depresi berat dapat timbul pada anak atau usia lanjut.
Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20
tahun mungkin berhubungan dengan meningkatnya penggunaan alkohol
dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.
C. Status Perkwainan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah.
Perempuan yang tidak menikah memiliki kecnderungan lebih rendah untuk
menderita depresi dibandingkan dengn yang enikah namun hal ini
berbanding terbalik pada laki-laki.
D. Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonmi dan gangguan depresi
berat.
Depresi lebih sering terjadi didaerah perkotaan dibanding daerah perdesaan.
III.1.3. Etiologi
Gangguan depresi disebabkan oleh banyak faktor, seperti halnya gangguan
jiwa lain. Beberapa etiologi yang memungkinakn terjadinya depresi adalah sebagai
berikut (Elvira & Hadikusanto ed, 2018):
19
A. Faktor Organobiologik
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolit amin bioenik
seperti 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), humovanilic acid (HVA), dan 3-
methoxy4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin, dan cairan
serebrospinal (CSF) pasien dengan gangguan mood.
1) Amin biogenik: norepinefrin dan serotinin adalah neurotransmiter yang
paling terlibat dalam patofisiologi gangguan mood.
2) Norepinefrin: penurunan regulasi reseptor betaadrenergik dan respon
klinis antidepresi mungin berperan langsung dalam sistem noradrenergik
pada depresi. Bukti lain juga menyebutkan reseptor betaadrenergik
mengalami peningkatan aktivasi sehingga menyebabkan penurunan
jumlah pelepasan norepinefrin.
3) Dopamin: dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur
dopamin mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan
reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif pada depresi
4) Serotonin: aktivitas serotonin berkurang pada depresi, serotonin
bertanggung jawab untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur, dan nafsu
makan.
B. Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan faktor terpenting dalam perkembangan
gangguan mood, tetapi jalur penurunan sangat komplek.
Penelitian dalam keluarga didapatkan hasil bahwa generasi pertama, 2-10
kali lebih serin mengalami depresi.
Penelitian yang berkaitan dengan adopsi didapatkan bahwa anak biologis
berisiko untuk mengalami gangguan mood walaupun anak tersebut
dibesarkan oleh keluarga angkat.
Penelitian yang berhubungan dengan anak kembar menunjukkan bahwa 13-
28% menderita gangguan depresi berat pada anak kembar dizigotik,
sedangkan 53-69% pada kembar monozigotik.
C. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan (stres)
dapat mencetuskan terjadinya stres. Ada teori yang mengemukakan adanya
20
stres sebelum episode pertama menyebabkan perubahan biologik otak yang
bertahan lama. Hal ini menyebabkan perubahan berbagai neurotransmitter.
Data paling mendukung sehubungan dengan peristiwa kehidupan atau
stresor lingkungan yang sering berkaitan dengan depresi adalah kehilangan
orang tua sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan pasangan. Faktor lain adalah
kehilangan pekerjaan; orang yang keluar dari pekerjaannya berisiko 3 kali lebih
besar untuk timbulnya gejala dibandingkan dengan yang bekerja.
D. Faktor Kepribadian
Individu dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi, histirionik dan
ambang, berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan
gangguan kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien dengan angguan distimik
dan siklotimik berisiko mengalami gangguan depresi berat.
E. Faktor Psikodinamik
Pemahaman psikodinamik depresi yang dikemukakakn oleh Sigmund
Freud dan dilanjutkan oleh Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik
depresi. Teori tersebut diantara lain:
1) Gangguan ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor
predisposisi terhadap episode depresi berulang.
2) Depresi dapat dihubungkan dengan cinta nyata maupun fantasi kehilangan
objek
3) Introjeksi merupakan bangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi
penderitaan akibat kehilangan objek cinta.
4) Kehilangan objek cinta, diperlihatkan dalam bentuk campuran antara benci
dan cinta, serta perasaan marah yang diarahkan pada diri sendiri.
Edith Jacobson melihat depresi sebagai berkurangnya kekuatan, misalnya
pada anak yang tidak berdaya terhadap penyiksaa orangtua. Heinz Kohut
mengkonseptualisasikan depresi dimulai dari self-psychology, bahwa
perkembangan jiwa mempunyai kebutuhan spesifik yang harus dipenuhi oleh
orang tua terhadap anaknya yaitu memberikan rasa positif, percaya diri, dan
self-cohesion. Jika orang yang diharapkan tidak memenuhi kebutuhan ini akan
terjadi kehilangan kepercayaan diri yang muncul sebagai depresi.
21
F. Faktor lainnya
Terdapat beberapa jenis obat yang dapat memicu terjadi gangguan depresi,
yaitu (Gautam et al, 2017):
1) Obat kardiovaskular : beta blocker, ca blocker, metildopa, klonidin,
dll
2) Obat sistem saraf pusat : barbiturat, benzodiazepin, fenobarbital,
fenitoin,
levodopa, haloperidol,
3) Obat hormonal : estrogen, progestin, tamoxifen
4) Agen antiinefektif : isoniazid, etambutol, siklosporin,
metronidazole, dll
5) Lain-lain : indometasin, zat psikoaktif, NSAIDs
III.1.4 Klasifikasi
Depresi adalah gangguan heterogen yang sering disalahartikan sebagai
penyakit mental klinis tunggal. Ada banyak ragam bentuk depresi, bisa berupa
kondisi ringan atau sangat parah seperti depresi psikotik di mana pasien
menunjukkan gejala seperti halusinasi dan delusi. Diagnosis gangguan ini rumit
karena terjadi bersamaan dengan banyak kondisi mental lainnya. Beberapa jenis
depresi antara lain (Fekadu et al, 2017):
A. MDD (Major Depressive Disorders)
Pasien-pasien dengan tipe gangguan depresi ini biasanya menunjukkan
suasana hati disforik dan anhedonia disertai dengan perubahan fisik seperti
penurunan atau penambahan berat badan, peningkatan atau penurunan nafsu
makan, perubahan dalam pola tidur serta kelelahan yang berkelanjutan. Gejala
ini minimal berlangsung selama 2 minggu (walaupun sebagian besar episode
berlangsung jauh lebih lama). Gangguan dalam fungsi kognitif dan eksekutif
juga dimanifestasikan oleh kurangnya konsentrasi dan pemikiran yang koheren
serta pemikiran kematian dan bunuh diri. Sebagian besar dari gejala-gejala ini
biasanya hadir hampir setiap hari dan mengakibatkan tekanan yang signifikan
dan gangguan kehidupan sosial dan kinerja pekerjaan (Rajput et al, 2011)
22
B. Gangguan distimik
Gangguan distimik juga dikenal sebagai gangguan depresi persisten. Pasien
menunjukkan perasaan depresi atau kesedihan yang bertahan dengan durasi
selama satu hari untuk minimum dua tahun pada orang dewasa dan satu tahun
pada anak-anak dan remaja. Sebagian besar pasien tidak memenuhi kriteria
lengkap untuk MDD karena ada gangguan oleh remisi yang singkat. Namun,
ada kasus di mana pasien memenuhi kriteria penuh di mana mereka didiagnosis
dengan MDD .
C. Depresi Melankolis
Depresi melankolis adalah depresi yang hampir tidak mampu untuk merasakan
kesenangan. Retardasi psikomotorik dan suasana hati yang memburuk di pagi
hari juga tampak jelas pada kelompok pasien ini. Jenis depresi ini terlihat lebih
umum pada orang tua, pada pasien dengan bentuk depresi yang lebih parah, dan
depresi psikotik (Baghai et al, 2008).
D. Gangguan afektif musiman (Seasonal affective disorder - SAD)
SAD adalah jenis depresi yang digambarkan berulang setiap tahun selama
musim gugur atau awal musim dingin. Selain itu, pasien menunjukkan
peningkatan signifikan dalam nafsu makan dan keinginan untuk makanan tinggi
karbohidrat yang menghasilkan kenaikan berat badan.
E. Post-partum depression (PPD)
Kelompok depresi ini menggambarkan sekelompok gejala depresi yang
heterogen yang mempengaruhi ibu. Gejala-gejala ini dapat muncul sebelum
atau setelah melahirkan. Setengah dari episode "postpartum" dimulai sebelum
waktu melahirkan. Dengan demikian, secara kolektif disebut sebagai episode
"peri-partum". Menurut DSM-V perubahan suasana hati dan gejala kecemasan
selama kehamilan, serta "baby blues" meningkatkan risiko untuk episode
depresi mayor pascapersalinan.
F. Depresi psikotik:
Depresi psikotik adalah jenis gangguan depresi yang sangat parah dan disertai
dengan gejala psikotik. Gejalanya meliputi gejala psikotik seperti halusinasi
atau delusi.
23
III.1.4 Diagnosis
Menurut PPDGJ-III, episode depresi dimasukan ke dalam gangguan suasana
perasaan (mood/afektif) yang diberi kode F32, sedangkan untuk depresi berulang
diberi kode F33. Episode depresi dapat diklasifikasikan menjadi episode depresi
ringan, sedang, dan berat. Untuk episode depresif biasanya diperlukan waktu
minimal 2 minggu untuk menegakkan diagnosis, akan tetapi periode yang lebih
singkat dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kriteria diagnosis mengacu pada gejala utama dan gejala tambahan, yaitu sebagai
berikut (PPDGJ-III, 2000).
A. Gejala Utama
1) Suasana perasaan depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiaraan
3) Berkurangnya energi yang menyebabkan individu menjadi mudah lelah dan
berkurangnya aktivitas
B. Gejala Tambahan
1) Konsentrasi dan atensi berkurang
2) Berkurangnya harga diri dan kepercayaan diri
3) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang atau menurunnya berat badan
Suasana perasaan yang menurun itu berubah dari hari ke hari, dan sering kali
tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar, namun dapat memperlihatkan variasi
diurnal yang khas seiring berlalunya waktu. Pada beberapa kasus, anxietas,
kegelisahan, dan agitasi motorik mungkin lebih menonjol daripada depresinya.
Beberapa diantara gejala diatas mungkin mencolok. Biasanya sindrom
somatik ini hanya dianggap ada apabila sekitar 4 dari gejala. Contoh paling khas
dari gejala “somatik” ini antara lain (PPDGJ-III, 2000):
Kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang sebelumnya dinikmati,
Tidak ada reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya
menyenangkan
24
Bangun pagi atau lebih awal 2jam atau lebih daripada biasanya
Depresi yang lebih parah pada pagi hari
Bukti obektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata
Kehilangan nafsu maan secara mencolok
Penurunan berat badan
Kehilangan libido
Kategori diagnosis depresi ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F.32.2)
hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif
berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan depresi
berulang (F.33.-). Kriteria diagnosis episode depresif adalah (PPDGJ-III, 2000).
A. Episode Depresif Ringan (F32.0)
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari gejala utama dan 3 dari gejala
tambahan
2) Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
4) Hanya sedikit kesulitan dari pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan
5) F.32.00 Tanpa Gejala Somatik: Kriteria untuk depresi ringan dengan tidak
ada atau hanya sedikit sekali gejala somatik
6) F.32.01 Dengan Gejala Somatik: Kriteria untuk depresi ringan dengan 4
atau lebih gejala somatik (atau hanya 2-3 gejala yang luar biasa)
25
6) F.32.11 Dengan Gejala Somatik
26
Gangguan mood cenderung kambuh dan berlangsung lama. Gangguan ini
lebih ringan dibandingkan skizofrenia. Pada gangguan mood lebih sering
ditemukan adanya stresor kehidupan di episode awal dibandingkan di episode
berikutnya. Meskipun episode awal dapat diatasi, perubahan biologi yang menetap
di otak menimbulkan risiko besar untuk timbulnya episode berikutnya. Sebelum
episode pertama teridentifikasi, sekitar 50% gangguan depresi berat
memperlihatkan gejala depresi yang bermakna. Pada pasien depresi berat,
walaupun gejala telah ada, umunnya belum menunjukkan komorbid gangguan
kepribadian (Elvira & Hadikusanto ed, 2018).
Episode depresi yang tidak ditangani akan berlangsung 6-13 bulan.
Kebanyakan penanganan episode depresi sekitar 3 bulan. Prosedur baku tatalaksana
gangguan depresi setidaknya dilakukan selama 6 bulan agar tidak mudah kambuh.
Penghentian antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu mengakibatkan
kambuhnya gejala (Elvira & Hadikusanto ed, 2018).
III.1.5 Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus depresi memiliki gejala ringan hingga sedang dan dapat
dilakukan penatalaksanaan rawat jalan. Namun, beberapa pasien mengalami
depresi berat dan berkaitan dengan gejala psikotik, gejala katatonik, status
kesehatan fisik yang buruk, perilaku bunuh diri atau pembunuhan, dll. Secara
umum, pasien dengan depresi berat dapat dirawat di tempat yang paling aman dan
efektif. Pasien sakit parah yang tidak memiliki dukungan sosial yang memadai di
luar rumah sakit dapat dipertimbangkan untuk masuk ke rumah sakit jika
memungkinkan. Beberapa indikasi untuk dilakukan rawat inap antara lain (Gautam
et al¸2017):
Adanya perilaku bunuh diri yang membahayakan nyawa pasien
Penolakan makan yang membahayakan nyawa pasien
Malnutrisi parah
Katatonik
Adanya kondisi medis umum atau komorbid kejiwaan yang membuat
perawatan rawat jalan tidak aman atau tidak efektif
27
Pilihan pengobatan untuk manajemen depresi secara luas dapat dibagi
menjadi antidepresan, electroconvulsive therapy (ECT), dan intervensi psikososial.
Perawatan lain yang digunakan pada pasien dengan depresi resisten yaitu dengan
pengobatan termasuk stimulasi magnetik transkranial berulang (rTMS), terapi
cahaya, stimulasi langsung transkranial, stimulasi saraf vagus, dan stimulasi otak
dalam. Dalam banyak kasus, benzodiazepin digunakan sebagai pengobatan
tambahan, terutama selama fase awal pengobatan. Beberapa kasus, suplemen
lithium dan tiroid dapat digunakan sebagai agen penambah ketika pasien tidak
merespon antidepresan. (Gautam et al¸2017).
Penatalaksanaan saat ini menekankan farmakoterapi dan psikoterapi yang
ditujukan kepada masing-masing pasien. Penggunaan farmakoterapi spesifik
memungkinkan pasien depresi pulih dalam 1 bulan. Semua antidepresan
membutuhkan waktu antara 3-4 minggu untuk memberikan efek terapeutik yang
signifikan, meskipun beberapa mungkin mulai menunjukkan efeknya lebih awal
(Sadock et al, 2014).
Perawatan antidepresan harus dipertahankan setidaknya 6 bulan atau lamanya
episode sebelumnya. Pengobatan profilaksis dengan antidepresan efektif dalam
mengurangi jumlah dan tingkat keparahan kekambuhan. Faktor lain yang
menunjukkan pengobatan profilaksis adalah keseriusan episode depresi
sebelumnya. Episode yang melibatkan ide bunuh diri yang signifikan atau
penurunan nilai psikososial harus mempertimbangkan pengobatan profilaksis.
Ketika pengobatan antidepresan dihentikan, dosis obat harus dikurangi secara
bertahap selama 1 hingga 2 minggu, tergantung pada waktu paruh senyawa tertentu.
Antidepresan yang telah ada antara lain (Sadock et al, 2014):
28
Tabel 1. Terapi Farmakologi Antidepresan (Gautam et al, 2017)
Obat Dosis (mg/hari) Efek samping
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)
Citalopram 20-40
Fluoxetine (prozac) 20-80 Disfungsi seksual, GI distress,
Fluvoxamien (Luvox) 100-300 penurunan/peningkatan BB, cemas,
Paroxtine (Paxil) 20-60 insomnia
Sertraline (Zoloft) 50-150
Tricyclic tertiary amines (TCAs)
Amitriptyline 50-200
Disfungsi seksual, antikolinergik*, pusing,
Doxepine 75-300
OSH, abnormalitas konduksi, GI distress,
Imipramine 75-300
penurunan BB, cemas, insomnia
Clomipramine 75-300
Tricyclic Secondary Amines
Desipramine 100-300 Pusing, insomnia, OSH, agitasi, CA,
Nortiptyline 25-150 peningkatan berat badan, antikolinergik*
Tetracyclic
Maprotiline 50-75
Unicylic
Gangguan GI, risiko kejang setelah dosis
Bupropion 150-450
450mg/hari
Pre and Postsynaptic Active Agents
Nefazodone 300-600 Antikolinergik, kantuk, ortostasis, kelainan
Mirtazapine 15-30 konduksi, gg. GI, pertambahan berat badan
Norepinephrine Serotonin reuptake Inhibitors (NSRI)
Venlafaxine 75-300
Efek antikolinergik*, mengantuk,
Duloxetine 20-60
gangguan konduksi, dan gangguan GI
Milnacipran 50-200
Mono Amine Oxidase Inhibitors (MAOI)
Phenelzine 45-90 OSH, mengantuk atau insomnia, nyeri
Isocarboxazid 30-60 kepala
29
Tranylcypromine 20-60
GI: gastrointestinal, OSH: orthostatatic hypotension
*Antikolinergik: mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, urinary hesitancy
Secara umum, karena efek samping dan profil keamanan, inhibitor reuptake
serotonin selektif (SSRI) dianggap sebagai antidepresan lini pertama. Pilihan lain
yang disukai termasuk antidepresan trisiklik, mirtazapine, bupropion, dan
venlafaxine. Biasanya obat harus dimulai dengan dosis yang lebih rendah dan dosis
harus dititrasi, tergantung pada respon dan efek samping yang dialami. Kesalahan
klinis paling umum yang menyebabkan gagal obat adalah penggunaan dosis yang
terlalu rendah untuk waktu yang terlalu singkat. Kecuali jika efek samping
mencegahnya, dosis antidepresan harus dinaikkan ke tingkat maksimum yang
disarankan dan dipertahankan pada tingkat itu setidaknya selama 4 atau 5 minggu
sebelum percobaan obat dianggap tidak berhasil (Sadock et al, 2014; Gautam et al,
2017).
Psikoterapi spesifik dan efektif dapat dianggap sebagai modalitas pengobatan
awal untuk pasien dengan gangguan depresi ringan hingga sedang. Kehamilan,
laktasi, atau keinginan untuk hamil juga bisa menjadi indikasi untuk psikoterapi
(IPT) sebagai pengobatan awal. Terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi
interpersonal adalah pendekatan psikoterapi yang memiliki keberhasilan terbaik
dalam manajemen depresi. Beberapa terapi psikoterapi intervensi diantaranya
adalah (Gautam et al, 2017):
a) CBT (cognitive behaviour therapy): Mengidentifikasi masalah,
mengidentifikasi gangguan kognitif, menghasilkan pemikiran alternatif,
pemecahan masalah, penguasaan dan penilaian kesenangan, penjadwalan
kegiatan, strategi manajemen kecemasan hingga latihan relaksasi
b) IPT (interpersonal therapy): Berfokus pada rasa kehilangan, perselisihan peran
dan transisi, isolasi sosial, kurangnya dalam keterampilan sosial, dan faktor
interpersonal lainnya yang dapat berdampak pada perkembangan depresi
c) Psikoterapi suportif: Memberikan dukungan emosional, bimbingan,
meningkatkan harga diri pasien, menerima perasaan pada nilai nominal,
meningkatkan harapan, meningkatkan adaptasi.
30
d) BT (behavioural therapy): Penjadwalan aktivitas, pelatihan keterampilan sosial
dan pemecahan masalah
e) MT (marital therapy): Terapi ini mengkonseptualisasikan depresi sebagai
konteks antarpribadi sehingga kedua anggota pasangan suami istri dimasukkan
dalam terapi. Perawatan termasuk pertukaran perilaku, pelatihan komunikasi,
pemecahan masalah, dan penyelesaian konflik seputar masalah-masalah seperti
keuangan, jenis kelamin, kasih sayang, pengasuhan anak, dan keintiman.
f) Terapi Keluarga: Ketika masalah interpersonal dalam konteks dinamika
keluarga patologis bertanggung jawab untuk depresi, maka terapi keluarga
dapat dipertimbangkan. Ini akan melibatkan semua anggota keluarga dan
memasukkan prinsip-prinsip yang sama seperti untuk terapi perkawinan
III.1.7 Prognosis
Ganguan depresi berat merupakan gangguan yang cenderung kronik dan
kambuh. Episode partama gangguan depresi berat yang dirawat di rumah sakit
sekitar 50% angka kesembuhannya pada tahun pertama. Kekambuhan depresi berat
uga sering terjadi, sekitar 25% pada 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, sekitar
30-50% dalam 2 tahun pertama, 50-75% dalam periode 5 tahun. Relaps berkurang
pada pasien yang melanjutkan terapi psikofarma profilksis dan pada pasien yang
hanya mempunyai 1 atau 2 episode depresi (Elvira & Hadikusanto ed, 2018).
Kemungkinan prognosis baik diantaranya episode depresi ringan, tidak ada
gejala psikotik, waktu rawat inap singkat, indikator psikososial meliputi teman
akrab selama masa remaja, fungsi keluarga stabil, fungsi sosial baik, tidak ada
gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap dengan depresi berat,
onset awal pada usia lanjut .
Kemungkinan prognosis buruk: depresi berat bersaaan dengan distimik,
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala cemas, ada riayat lebih dari
sekali episode depresi sebelumnya (Elvira & Hadikusanto ed, 2018).
31
III.2 ALGORITMA PENATALAKSANAAN DEPRESI
Manajemen depresi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut, fase
lanjutan dan fase pemeliharaan. (Gautam et al, 2017).
A. Fase Akut
Tujuan perawatan fase akut adalah mencapai remisi, karena dengan
adanya gejala residual dapat meningkatkan risiko depresi kronis, kualitas hidup
yang buruk, dan juga mengganggu pemulihan dari penyakit fisik. Perawatan
fase akut dapat mencakup farmakoterapi, psikoterapi yang berfokus pada
depresi, kombinasi obat-obatan dan psikoterapi, atau terapi psikoterapi
intervensif lainnya. Pemilihan pengobatan awal harus memperhatikan gejala
klinis (k eparahan gejala, adanya komorbid lain atau stresor psikososial) serta
faktor-faktor lain (preferensi pasien, pengalaman perawatan sebelumnya)
(APA, 2010).
1. Farmakoterapi
Obat antidepresan dapat digunakan pengobatan awal untuk pasien
dengan gangguan depresi mayor ringan, sedang, atau berat. Pasien dengan
depresi berat dengan gejala psikotik akan membutuhkan kombinasi obat
antidepresan dan antipsikotik dan / atau ECT. Pemilihan awal obat
antidepresan sebagian besar akan berdasar pada efek samping, keamanan
atau tolerabilitas efek samping untuk pasien, sifat farmakologis dari obat
(misalnya, waktu paruh, enzim sitokrom P450, interaksi obat lain), dan
faktor tambahan seperti respons pengobatan dalam episode sebelumnya,
biaya, dan preferensi pasien (Gautam, 2017; APA, 2010).
Untuk sebagian besar pasien, selective serotonin reuptake inhibitor
(SSRI), serotonin norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI), mirtazapine, atau
bupropion adalah optimal. Secara umum, penggunaan inhibitor monoamine
oksidase nonselektif (MAOI) (mis., Fenelzin, tranylcypromine,
isocarboxazid) harus dibatasi untuk pasien yang tidak merespon terapi lain.
Setelah obat antidepresan dipilih, obat ini dapat dimulai dengan dosis yang
lebih rendah dan pemantauan yang cermat dilakukan untuk menilai respons
terhadap farmakoterapi serta munculnya efek samping, kondisi klinis, dan
keamanan. Pada fase awal, tergantung pada keparahan gejala dan jenis
32
gejala, seperti adanya insomnia atau kecemasan, benzodiazepin atau
hipnotik lainnya dapat digunakan untuk durasi singkat (Gautam et al, 2017).
3. Psikoterapi
Psikoterapi biasanya direkomendasikan untuk pasien dengan depresi
yang mengalami peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, konflik
antarpribadi, konflik keluarga, dukungan sosial yang buruk dan masalah
33
kepribadian yang tidak sehat. Dari berbagai intervensi psikoterapi yang
digunakan untuk manajemen depresi, ada bukti kuat pada penggunaan CBT
(Gautam et al, 2017).
B. Fase Lanjutan
Selama fase lanjutan, pasien harus dimonitor secara hati-hati untuk melihat
tanda kemungkinan kambuh. Penilaian sistematis terhadap gejala, efek
samping, kepatuhan, dan status fungsional sangat penting. Penilaian ini dapat
difasilitasi melalui penggunaan skala penilaian. Pasien yang telah diobati
dengan antidepresan dalam fase akut perlu dipertahankan dengan dosis yang
sama dari agen ini selama 16-24 minggu untuk mencegah kekambuhan (total
periode 6-9 bulan sejak dimulainya pengobatan). Untuk mencegah
kekambuhan depresi pada fase lanjutan, psikoterapi, seperti CBT,
direkomendasikan. Jika perawatan fase pemeliharaan tidak diindikasikan untuk
pasien yang tetap stabil setelah fase lanjutan, pasien dapat dipertimbangkan
untuk penghentian pengobatan. Jika pengobatan dihentikan, pemantauan yang
hati-hati dilakukan untuk kambuh, dan pengobatan harus segera diberikan
kembali jika terjadi kekambuhan (Gautam, 2017; APA, 2010)
C. Fase pemeliharaan
Tujuan dari perawatan fase pemeliharaan adalah untuk mencegah
berulangnya episode depresi. Rata-rata, 50-85% pasien dengan satu episode
depresi berat memiliki setidaknya satu episode lagi. Oleh karena itu, perawatan
fase pemeliharaan dapat dipertimbangkan untuk mencegah kekambuhan.
Sebagian besar pengobatan yang efektif untuk fase akut dan lanjutan perlu
digunakan dalam fase pemeliharaan. Dosis antidepresan yang sama, yang telah
direspon pasien pada fase sebelumnya dipertimbangkan.
Frekuensi kunjungan untuk CBT dan IPT dapat dikurangi selama fase
pemeliharaan (sebulan sekali). Tidak ada konsensus mengenai lamanya dan
kapan pemberiaan atau penghentian terapi pemeliharaan. Ada kesepakatan
bahwa sebagian besar bahwa pasien yang memiliki riwayat tiga atau lebih
kekambuh perlu diberi perawatan jangka panjang.
34
D. Penghentian Terapi
Ketika farmakoterapi dihentikan, yang terbaik adalah mengurangi
pengobatan selama setidaknya beberapa minggu. Untuk meminimalkan
kemungkinan gejala penghentian, pasien harus disarankan untuk tidak
menghentikan obat secara tiba-tiba dan untuk membawa obat ketika mereka
bepergian atau jauh dari rumah. Keputusan untuk menghentikan terapi
pemeliharaan mungkin didasarkan pada faktor-faktor yang sama saat
mempertimbangkan keputusan untuk memulai perawatan pemeliharaan,
termasuk kemungkinan kekambuhan, frekuensi, dan tingkat keparahan episode
masa lalu, persistensi gejala depresi setelah pemulihan, adanya gangguan
komorbiditas, dan preferensi pasien. Untuk pasien yang menerima psikoterapi,
penting untuk mengangkat masalah penghentian pengobatan jauh sebelum sesi
terakhir. (Gautam, 2017; APA, 2010).
Sindrom penghentian ditemukan lebih sering terjadi setelah penghentian
obat dengan waktu paruh yang lebih pendek, sehingga pasien dengan agen kerja
pendek dapat diberikan lebih lama lagi, dan dilakukan pengurangan bertahap.
Paroxetine, venlafaxine, TCAs, dan MAOIs cenderung memiliki tingkat gejala
penghentian yang lebih tinggi sementara bupropion, citalopram, fluoxetine,
mirtazapine, dan sertraline memiliki tingkat yang lebih rendah. Gejala
penghentian antidepresan termasuk gejala seperti flu, insomnia, mual,
ketidakseimbangan, gangguan sensorik (mis., Sensasi listrik) dan hyperarousal
(agitasi). Jika sindrom penghentian ringan, makan penghentian simptomatik
ringan hingga sedang (analgesik, antiemetik, atau ansiolitik) mungkin
bermanfaat. Jika parah, antidepresan harus dipulihkan dan diturunkan perlahan-
lahan (Gautam et al, 2017).
35
Diperlukan perawatan yang memadai untuk setidaknya 4-6 minggu sebelum
menyimpulkan bahwa pasien tidak responsif terhadap pengobatan tertentu
(Gautam et al, 2017).
Langkah pertama dalam terapi pasien yang tidak merespon terapi adalah
melakukan tinjauan menyeluruh dan penilaian kembali terhadap informasi
psikososial dan biologis, termasuk masalah medis umum, alkohol atau
penyalahgunaan atau ketergantungan zat, gangguan kejiwaan lainnya, dan
masalah psikososial umum yang menghambat pemulihan (Gautam et al, 2017).
Manajemen depresi yang resisten terhadap pengobatan melibatkan
penambahan agen tambahan, menggabungkan dua antidepresan, penambahan
ECT atau perawatan somatik lainnya seperti rTMS (Repetitive Transcranial
Magnetic Stimulation) (Gautam et al, 2017).
Lithium adalah obat yang terutama digunakan sebagai tambahan; agen lain
yang digunakan adalah hormon tiroid dan stimulan. Ada pendapat yang berbeda
mengenai manfaat relatif dari suplementasi lithium dan tiroid. Dilaporkan
bahwa lithium bermanfaat pada lebih dari 50% non-antidepresan dan biasanya
ditoleransi dengan baik. Interval sebelum respons penuh terhadap lithium
dikatakan dalam kisaran beberapa hari hingga 3 minggu. Jika efektif dan
ditoleransi dengan baik, litium dapat dilanjutkan selama pengobatan episode
akut. Suplementasi hormon tiroid, bahkan pada pasien eutiroid, juga dapat
meningkatkan efektivitas pengobatan antidepresan. Dosis triidothyronine yang
diusulkan adalah 25 μg / hari meningkat menjadi 50 μg / hari dalam seminggu.
(Gautam et al, 2017).
36
BAB IV
KESIMPULAN
37
Dengan adanya tilikan yang baik untuk berobat, pasien memiliki prognosis dubia
ad bonam.
38
DAFTAR PUSTAKA
Elvira, SD & Hadikusanto, G, (Ed). 2018. Buku ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Depkes
Sadock, BJ, Sadock, VA, & Ruiz, P. 2015. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry, Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, Eleventh Edition.
Philadeplhia: Lippincott Williams & Wilkins
39