Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/Tahun 2019


**Pembimbing

INSOMNIA

Oleh

Syukri G1A218060
Ai Rusmayanti G1A218066
Puja Pramudita G1A218074
Nareswari Sekar U. G1A218078

Pembimbing: dr. Susiati M.Ked, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH
PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

INSOMNIA

DISUSUN OLEH

Syukri G1A218060
Ai Rusmayanti G1A218066
Puja Pramudita G1A218074
Nareswari Sekar U. G1A218078

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
Program Studi Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Maret 2019

PEMBIMBING

dr. Susiati M.Ked, Sp. KJ

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Insomnia”. Laporan ini merupakan bagian
dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Susiati M.Ked, Sp. KJ selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Case
Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I ............................................................................................................... 1

BAB II ............................................................................................................. 2

BAB III ............................................................................................................ 13

BAB IV ............................................................................................................ 33

BAB V.............................................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 38

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang


untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan
beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan
memulai tidur dan / atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di
antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Sebanyak 95% orang
Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu
selama hidup mereka. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk
mengalami insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek.
Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut
sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks
situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini
biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan
stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau
serupa muncul dalam kehidupan pasien.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya
berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti
kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis
adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat
dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien
dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia.
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh
mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih,
dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan
fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup,
pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur

1
siang.Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari
sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya
menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi
medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan
resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami
bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan
dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien mereka.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 RIWAYAT PSIKIATRI


Pemeriksaan dilakukan tanggal 13 Maret 2019 pukul 09.20 WIB di Poli
RSJD Jambi. Riwayat psikiatri diperoleh dari autoanamnesis dengan pasien.

2.2 IDENTITAS PASIEN


1. Nama : Nn. BA
2. Tangga Lahir/Umur : 20 Januari 1961 /58 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Alamat : Jl. Fatalaside No.54 RT 01 Kel.Kebun Handil
5. Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
6. Agama : Islam
7. Status Perkawinan : Sudah Menikah
8. Pekerjaan : Petani
9. Pendidikan : SMA
10. MRS tanggal : 13 Maret 2019

2.3 ANAMNESIS
2.3.1 KeluhanUtama
Os tidak bisa tidur ±4 bulan terakhir

2.3.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
bersama dangan anak kandungnya. Menurut pasien, pasien tidak bisa tidur
selama ± 4 bulan terakhir
Menurut pasien pada siang hari pasien mencoba untuk tidak tidur
siang dengan bekerja di kebun, agar dapat tidur di malam harinya.
Sementara pada malam harinya pasien saat pasien tidak tidur, pasien

3
mencoba untuk beribadah (mengaji) sampai mengantuk tetapi tetap tidak
bisa tertidur. Menurut pasien, walaupun pasien mengantuk, kemudian
pasien mencoba tidur di kasur, disaat itu juga kantuknya menghilang. Pasien
menceritakan saat pasien beraktifitas misalkan menonton televisi, pasien
sempat mengantuk dan tertidur, tetapi cepat terbangun karena hal-hal
aktifitas orang-orang disekitarnya.
Setelah pasien mencoba untuk mensibukan dirinya dengan berbagai
aktifitas, pasien merasa mulai lelah, merasa detak jantungnya meningkat,
kemudian pasien mencoba untuk mengurangi intensitas kerjanya. Pasien
juga merasa terganggu dengan suara-suara bising atau keras karena letak
rumahnya yang dengan jalan raya.
Pasien menceritakan bahwa pasien tidak merasa nyenyak tidur
semenjak usia sekitar dua puluh lima tahun, tetapi saat masa muda tersebut
pasien masih bisa tidur sekitar ± 3 jam. Pasien juga mengaku bahwa dia
tidak merokok dan tidak meminum kopi, tetapi pasien hanya meminum teh
disetiap pagi, terkadang sore hari.
Pasien mengeluhkan sering batuk akhir-akhir ini, sempat berobat ke
spesialis THT tetapi tidak tuntas. Pasien juga sempat melakukan
pemeriksaan radiologi dinyatakan paru dalam batas normal.
Pasien juga menceritakan bahwa tidak ada masalah yang berarti di
kehidupannya, hubungan dengan istri sangat baik dan seluruh anaknya
menempuh pendidikan dengan baik sampai sarjana, untuk hubungan dengan
anggota keluarga juga baik. Akan tetapi pasien terkadang memikirkan salah
satu anaknya yang sudah sarjana tetapi belum bekerja.

2.3.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada keluhan serupa
2.3.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan serupa disangkal.

4
2.3.5 Riwayat Kehidupan Pribadi
Pasien tinggal bersama dengan istrinya dan 5 orang anaknya. Pasien
adalah pribadi yang memegang teguh prinsipnya. Pasien mendapat
dukungan penuh untuk berobat mengenai keluhannya.

2.3.6 Riwayat Ekonomi


Pasien memiliki penghasilan yang cukup untuk kehidupan sehari-
harinya dan menyekolahkan ke enam anaknya.

2.3.7 Status Internistik


Keadaan Umum
a. Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15)
b. Tekanan Darah : 150/80 mmHg
c. Nadi : 88 x/menit
d. RR :18 x/menit
e. Suhu : 36,5 0C
f. Tinggi badan : 168 cm
g. Berat badan : 58 kg
h. IMT : 20,06 kg/m2 (Normal)

Pemeriksaan Fisik
a. Kulit : Turgor baik
b. Kepala : Normocephalik
c. Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor, refleks cahaya (+/+)
d. Leher : Pembesaran KGB (-)
e. Toraks : Bentuk dan pergerakan simetris
f. Jantung : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
g. Pulmo : Sonor, vesikuler (+/+)
h. Abdomen : Datar, soepel
i. Ekstremitas : Edema (-)

5
- Pemeriksaan Neurologis : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pemeriksaan Psikometrik : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pemeriksaan Laboratorium : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4 Status Psikiatri


A. Keadaan umum
Penampilan : Pasien datang dalam keadaan tenang,
penampilan sesuai usianya, kondisi fisik
terlihat sehat, berpakaian yang cukup rapi
Kesadaran : Compos Mentis
Orientasi : Waktu :baik
Tempat :baik
Orang :baik
B. Sikap & tingkah laku : Kooperatif
C. Gangguan berpikir
Bentuk pikir : Realistik
Arus pikir : Koheren
Isi pikir : Baik
D. Alam perasaan
Mood : Eutimik
Afek : Luas
E. Persepsi
Halusinasi : Tidak ada
Ilusi : Tidak ada
F. Fungsi intelektual
Daya konsentrasi : Baik
Orientasi : Waktu :baik
Tempat :baik
Orang : baik
Daya ingat : Segera (immediate) : Baik

6
Baru saja (recent) : Baik
Agak lama (recent past) : Baik
Jauh (remote) : Baik
Pikiran abstrak : Baik
G. Pengendalian impuls : Baik
H. Daya nilai : Baik
I. Tilikan/insight :6
J. Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya

2.5 Diagnosis Banding


Depresi Ringan tanpa gejala somatik

2.6 Diagnosis Multiaksial


Aksis I : F51.0 Insomnia Non Organik
Aksis II : Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III : J00-J99 Penyakit sistem pernapasan
Aksis IV : masalah perumahan
Aksis V : GAF 70-61 ( beberapa gejala ringan dan menetap,
disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik)

2.7 Penatalaksanaan
Terapi pada pasien ini yaitu :
 Antidepresan Trisiklik
 Golongan Benzodiazepine
 Golongan Non-Benzodiazepine
2.8 Prognosis
a. Quo Ad Functionam : dubia ad bonam
b. Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam
c. Quo Ad Vitam : dubia ad bona

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Fisiologi Tidur

Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis; nonrapid eye movement (NREM)
dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1
sampai 4, sebagian besar fungsi fisiologis sangat berkurang dibandingkan
dengan keadaan terjaga. Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri
dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase
NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam. Tidur
NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, sedangkan tidur REM
meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur, tidak dibagi-bagi dalam stadium
seperti dalam tidur NREM. Tidur NREM dibagi dalam empat stadium, antara
lain :1

 Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium


ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7
siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
 Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu
tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle
shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat,
dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat
dibangunkan dengan mudah.
 Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga
2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
 Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG
hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah

8
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam,
atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)

Gambar 2. Stadium 1 sampai 4 pada pola tidur NREM1

Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda, ditandai
dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat aktivitas fisiologis yang
menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira-kira 90 menit setelah awitan
tidur, NREM menghasilkan episode REM pertama malam tersebut. Latensi
REM 90 menit ini merupakan temuan yang konsisten pada orang dewasa
normal, pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti
gangguan depresif dan narkolepsi

Pada orang normal, tidur NREM merupakan keadaan tentram dibandingkan


saat terjaga. Denyut jantung secara khas melambat lima hingga sepuluh denyut
per menit dibawah tingkat saat terjaga sedang istirahat dan sangat teratur
denyutnya. Pernapasan juga dipengaruhi dan tekanan rendah cenderung rendah,
dengan beberapa variasi dari menit ke menit. Potensial otot istirahat pada otot-
otot tubuh lebih rendah pada tidur REM daripada keadaan terjaga.

Pada periode neonatus, tidur REM menunjukkan lebih dari 50% waktu
tidur, dan pola EEG bergerak dari keadaan siaga langsung ke keadaan REM
tanpa melalui tahap 1 sampai 4. Neonatus tidur kira-kira 16 jam sehari dengan

9
periode bangun yang singkat. Pada usia 4 bulan, pola bergeser sehingga
presentase total tidur REM berkurang hingga kurang dari 40% dan jatuh tertidur
menjadi disertai periode tidur REM lebih awal. Saat dewasa muda, distribusi
tahap tidur pada NREM 75% (tahap 1 : 5%, tahap 2 : 45%, tahap 3: 12%, tahap
4 : 13%). Distribusi ini relatif tetap konstan sampai usia tua, walaupun
pengurangan terjadi pada tidur gelombang pendek dan tidur REM pada orang
yang berusia lebih tua.1

3.2 Definisi Insomnia

Merupakan keluhan gangguan tidur, ada kesulitan dalam memulai tidur atau
mempertahankan tidur, dan/atau awal bangun dari tidur. Insomnia lebih sering
menyerang perempuan daripada laki-laki, serta sering terjadi pada usia lanjut.
Insomnia bisa diklasifikasikan kepada primer, yaitu insomnia yang terjadi tanpa
disertai penyakit lain, dan juga sekunder, dimana insomnia tipe ini terjadi
disebabkan oleh penyakit lain, masalah psikis, lingkungan, perilaku atau efek
samping dari obat-obatan. Insomnia juga bisa diklasifikasikan sebagai insomnia
akut (kurang dari 1 bulan) ataupun kronis, yaitu 1-6 bulan. Insomnia lebih tepat
disebut sebagai suatu gejala dan bukan meupakan suatu diagnosis.

Walaupun semua definisi insomnia didasarkan pada presentasi gelaja,


definisi diagnosis standar tidak ada. Tiga teks terpisah menyatakan kriteria
diagnosis insomnia : The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM); The International Classification of Sleep Disorders; and The
ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorder. Beberapa definisi
hanya didasarkan pada laporan gangguan tidur malam hari, sementara yang lain
termasuk ciri-ciri seperti gangguan siang hari yang terkait (misalnya, kelelahan,
lekas marah, atau penurunan memori atau konsentrasi), pengakuan
ketidakpuasan tidur, atau kriteria lainnya.2,3

3.3 Etiologi Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi
resiko insomnia meningkat jika terjadi pada :1

10
 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan
hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan
peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot
flashes sering mengganggu tidur.
 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur,
insomnia meningkat sejalan dengan usia.
 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder,
mengganggu tidur.
 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan
sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari,
sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti
kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan
pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
Beberapa penyebab lain yang juga mendukung insomnia, yaitu :
 Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
 Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat
alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
 Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang
mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan
stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang
yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih
dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
 Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.

11
Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke,
penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
 Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak
sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu
tubuh.
 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika
mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka
tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau
membaca.

3.4 Epidemiologi

Penyakit insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering


dikeluhkan masyarakat. Prevalensinya bervariasi berdasarkan definisi kasus
dan kriteria diagnostik yang spesifik, sehingga estimasi prevalensi insomnia
memiliki rentang sekitar 10% hingga 40%. Penelitian di Korea Selatan
menunjukkan bagaimana variasi angka prevalensi insomnia berdasarkan
definisinya. Ketika insomnia didefinisikan berdasarkan frekuensi tidur (gejala
muncul selama 3 malam dalam 1 minggu) maka angkanya menjadi 17%. Bila
definisinya mengarah pada kesulitan dalam mempertahankan tidur, nilainya
menjadi 11,5%. Dengan menggunakan DSM-IV nilainya menjadi 5%. Suatu
survey di Singapura menunjukkan 8% sampai 10% pasien yang datang ke
dokter umum mengeluhkan gejala insomnia.4,5
Penelitian ini menunjukkan kuantitas pasien insomnia yang datang kepada
dokter umum tidaklah sedikit. Sebuah artikel menyatakan Riset internasional
yang telah dilakukan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004

12
terhadap penduduk Indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa
penduduk Indonesia, sebanyak 28,035 juta jiwa (11,7%) terjangkit insomnia.6
Angka ini membuat insomnia sebagai salah satu gangguan paling banyak
yang dikeluhkan masyarakat Indonesia. Dari segi jenis insomnianya, hasil
penelitian di Amerika Serikat yang menggunakan DSM-IV menunjukkan 20%
sampai 49% penduduk dewasa mengidap insomnia intermiten dan 10 sampai
20% mengidap insomnia kronis, di mana 25% dari pengidap insomnia kronis
terdiagnosis sebagai insomnia primer. Prevalensi insomnia lebih tinggi pada
wanita dan lansia (65 tahun ke atas). Wanita lebih sering 1,5 kali mengidap
insomnia dibandingkan pria, dan 20-40% lansia mengeluhkan gejala-gejala
pada insomnia tiap beberapa hari dalam 1 bulan.3

3.5 Patofisiologi Insomnia

Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti tetapi
insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal dikaitkan
dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS (ascending reticular
activating system), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi dengan
pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan thalamus.
Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya tingkat
kesiagaan yang merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti lingkungan
tidur.4
Data psikofisiologi dan metabolik dari hyperarousal pada pasien insomnia
meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan
variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh
dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada
pasien insomnia dibandingkan pada orang normal. Data elektrofisiologi
hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang beta pada EEG
selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan aktivitas
gelombang otak selama terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien
insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas gelombang delta. Data
neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan level kortisol dan

13
adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada setengah
bagian pertama tidur pada pasien insomnia. Penurunan level melatonin tidak
konsisten ditemukan. Data menurut functional neuroanatomi studies of arousal
tentang hyperarousal menunjukan pola-pola aktivitas metabolisme regional
otak selama tidur NREM melalui SPECT (single-photon emission computer
tomography) dan PET ( positron emission tomography). Pada penelitian PET
yang pertama pada insomnia primer terjadi peningkatan kecepatan metabolisme
glukosa baik pada waktu tidur maupun terjaga.4
Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan aktivitas
dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal frontal selama
terjaga, hal inilah yang menyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh
pasien baik pada saat terjaga maupun tidur. Pada pasien yang mengalami
insomnia yang karena depresi berat terjadi peningkatan gelombang beta yang
berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik di kortek orbita frontal dan
mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga mendukung hipotesis
mengenai hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada pasien insomnia
primer, selama tidur NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang paling
jelas pada basal ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai menunjukkan
perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan dengan
insomnia primer maupun sekunder.4
3.6 Kriteria Diagnosis Insomnia Primer berdasarkan DSM

Insomnia primer didiagnosis jika keluhan utama adalah tidur yang tidak
bersifat menyegarkan atau kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, dan
keluhan ini terus berlangsung sedikitnya satu bulan. Istilah primer
menunjukkan bahwa insomnia bebas dari adanya gangguan fisik atau
psikologis. Pasien dengan insomnia primer secara umum memiliki preokupasi
mengenai tidur cukup. Semakin mereka mencoba tidur, semakin besar rasa
frustasi dan penderitaan serta makin sulit terjadinya tidur.

14
Tabel 1. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Insomnia Primer1

A Keluhan yang dominan adalah kesulitan memulai atau


mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak bersifat
menyegarkan, selama sedikitnya 1 bulan

B Gangguan tidur (atau kelelahan di siang hari yang terkait)


menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain

C Gangguan tidur tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan


narkolepsi, gangguan tidur yang terkait dengan pernapasan,
gangguan tidur irama sirkadian, atau parasomnia

D Gangguan ini tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan


jiwa lain (contoh gangguan depresif berat, gangguan ansietas
menyeluruh, delirium)

E Gangguan ini bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu


zat (contoh penyalahgunaan obat, suatu obat) atau keadaan
medis umum

Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan melalui anamnesis yang cermat dan
adekuat untuk menentukan insomnia primer atau diagnosis bandingnya serta
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang (tekanan darah, gangguan hormon,
kolesterol, kadar gula darah, dan sejenisnya, termasuk kuesioner) untuk
mengetahui adanya penyakit klinis dan pemeriksaan psikologis untuk
mendeteksi gangguan psikis (depresi, skizofrenia, psikosis,dan sejenisnya).6
Beberapa tanda dan gejala yang dapat membantu menegakkan diagnosis
insomnia, yaitu :

 Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari


 Sering terbangun pada malam hari
 Bangun tidur terlalu awal
 Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

15
 Iritabilitas, depresi atau kecemasan
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
 Ketegangan dan sakit kepala
 Gejala gastrointestinal

3.7 Kriteria Diagnosis Insomnia berdasarkan PPDGJ III

F51.0 Insomnia Non Organik

 Hal tersebut dibawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti :

a. Keluhan adanya kesulitan untuk masuk tidur atau


mempertahankan tidur atau kualitas tidur yang buruk.

b. Gangguan yang terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama


minimal satu bulan. c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur
(sleeplessness) dan peduli yang berlebihan terhadap akibat yang
ditimbulkan pada malam hari dan sepanjang siang hari.

d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur an


penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam
sosial dan pekerjaan.

 Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, kecemasan, atau


obsesi tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.

 Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan


adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama
gangguan yang tidak memenuhi kriteria diatas (seperti pada “transient
insomnia”) tidak didiagnosis disini, dapat dimasukan dalam reaksi stress
akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)

3.8 Diagnosis Banding

 Depresi Ringan Dengan Gejala Somatik (F32.0)

16
3.9 Terapi Insomnia

Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis,


maka terapi yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia
merupakan suatu gejala, namun gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu
aktivitas dan produktivias penderita, terutama penderita dengan usia produktif.
Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang sewajarnya.
Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan farmakologi atau
non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu
sendiri.1,3,8,9

 Terapi Farmakologis

Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus


berdasarkan tingkat keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan
pada penderita dengan insomnia jangka pendek supaya tidak berlanjut ke
insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan dalam memberikan
pengobatan insomnia :
1) memiliki efek samping yang minimal;
2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai
tidur; dan
3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur
hanya digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu.8,11
Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa
diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-benzodiazepine dan
miscellaneous sleep promoting agent.
a. Benzodiazepine7,10,11
Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani
penderita insomnia karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada
era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat golongan ini sudah mulai
ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran dan
menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang

17
menggunakannya. Selain itu, munculnya obat baru yang lebih aman
yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini. Kerja obat ini
adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post-synaptic, dimana
obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di
CNS) yang memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot.
Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah : triazolam, temazepam,
dan lorazepam.10,11
Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan
dengan teliti. Efek samping yang paling sering adalah, merasa pusing,
hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu, obat ini harus
diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis
seperti penyakit paru obstrutif kronis (PPOK). Dari hasil penelitian, obat
ini sering dikaitkan dengan fraktur akibat jatuh pada penderita dengan
usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang lama maupun
kerja singkat.7,10
b. Non-benzodiazepine7,11
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip
dengan benzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih
ringan. Efek samping seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensi
ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian
yang telah dilakukan. Zolpidem merupakan salah satu derivate non-
benzodiazepine yang banyak digunakan untuk pengobatan jangka
pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit GABA
reseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa
menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang
terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical trial yang dilakukan, obat
ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu tidur
dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa
menimbulkan efek rebound dan ketergantungan pada penderita.7,11
Zaleplon adalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat
pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu kerja yang cepat dan

18
sangat pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu
pada reseptor subunit α-1 GABA reseptor.3,11 Efektivitasnya sangat
mirip dengan zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini
memiliki efek yang lebih superior berbanding zolpidem. Sering menjadi
pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena masa kerja
obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-
hari. Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti
eszopiclone dan Ramelteon dimana mempunyai efektifitas yang mirip
dengan zolpidem dan zaleplon.3
c. Miscellaneous sleep promoting agent3
 Melatonin, tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural.
Melatonin secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal
oleh kelenjar pineal. Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan
signal bangun tidur pada suprakiasmatik pada hipotamalamus.
 Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. dephenydramine
citrate, diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate
adalah tiga derivate yang telah mendapat persetujuan dari FDA.
Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan mengantuk di
siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang
mengkonsumsi obat ini. Efikasi dari obat ini dalam penanganan
insomnia belum dapat dipastikan dengan signifikan karena
penelitian keterkaitan anti-histamine dengan penanganan insomnia
belum menemukan bukti yang kuat.3
 Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline,
doxepine, dan mitrazapine sering digunakan pada penderita
insomnia tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas penggunaan
antidepresan pada penderita insomnia sangat tidak mencukupi.
Namun, obat ini bisa diberikan karena tidak memberikan efek
samping dan harga obat ini yang sangat murah.3

19
Tabel 2. FDA Aprroved Seddative-Hypnotic Agents by Mechanism of Action

Tabel 3. Dosis, Awitan dan Waktu Paruh Obat Insomnia

20
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :12

- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)


Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine
(Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis :

- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi


tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut

21
Lama Pemberian :

- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak


lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih
dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan
tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping :

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-


insomnia (waktu paruh) :

- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala


rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala “hang
over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”
- Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat
terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat :

- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan


potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and
respiratory failure”
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

22
Kontraindikasi :

o Sleep apneu syndrome


o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP).

 Terapi Non-Farmakologis

Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe


primer maupun sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa
medikamentosa pada penderita insomnia karena tidak memberikan efek
samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan penderita untuk
menerapkan terapi sesuai keadaan penderita. Terapi tipe ini sangat
memerlukan kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala
nasehat yang diberikan oleh dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa
diterapkan seperti yang dibahas di bawah ini :7,8
a. Stimulus Control
Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset
tidur dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat
dipercepat. Malah dalam suatu studi menyatakan bahwa jumlah tidur
pada penderita insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode ini
sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri
dalam menjalankan metode ini, seperti : 7,8,10
 Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar
kelelahan atau tiba waktu tidur,
 Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual.
 Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di
tempat tidur

23
 Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk
kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali
 Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
 Hindari tidur di siang hari
b. Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur
hanya waktu tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan ini
dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa
menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur. Metode
ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk diterapkan pada
penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk
memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol
sleep restriction seperti di bawah : Hitung rata-rata total waktu tidur
pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan jumlah tidur
yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu Batasi jam tidur
berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur Estimasi tidur yang efisien
setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah jam tidur/jumlah
waktu di tempat tidur x 100) Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika
efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit jika < 80%, atau
pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90% Setiap minggu
sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan Jangan
tidur kurang dari 5 jam Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak
melebihi 1 jam Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya
apabila efisiensi tidur kurang dari 75%.8,11
c. Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup
dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur
penderita itu sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan
insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan, seseorang dengan
kualitas buruk biasanya mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk.

24
Penelitian lain menyatakan, seseorang dengan sleep hygiene yang baik,
bangun di pagi hari dalam suasana yang lebih bersemangat dan ceria.
Terkadang, penderita sering memikirkan dan membawa masalah-
masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain
ke tempat tidur, sehingga mengganggu tidur mereka. Terdapat beberapa
hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan
sleep hygiene yang baik, seperti dibawah : Hindari mengkonsumsi
alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur Meminimumkan
suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang
terlalu dingin atau panas Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang
baik Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita
Hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur Elakkan
membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur
Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan
aktivitas yang berat sebelum tidur7,8,10

d. Cognitive Therapy
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk
mengubah pola pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab
dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika
hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka
yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di
siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak
efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk status
insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive
therapy dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya
menyatakan, metode ini sangat bermanfaat pada penderita insomnia usia
lanjut, dan mempunyai efektifitas yang sama dengan pengobatan
dengan medikamentosa.7,8,11

25
3.10 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang
teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Gambar 3. Komplikasi Insomnia

Komplikasi insomnia meliputi :

 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.


 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

26
3.11 Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini
disertai skizophrenia.1

27
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke Poli Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi bersama
dangan anak kandungnya. Menurut pasien, pasien tidak bisa tidur selama ± 4 bulan
terakhir. Menurut pasien pada siang hari pasien mencoba untuk tidak tidur siang
dengan bekerja di kebun, agar dapat tidur di malam harinya. Sementara pada malam
harinya pasien saat pasien tidak tidur, pasien mencoba untuk beribadah (mengaji)
sampai mengantuk tetapi tetap tidak bisa tertidur. Walaupun pasien mengantuk,
kemudian pasien mencoba tidur di kasur, disaat itu juga kantuknya menghilang.
Pasien menceritakan saat pasien beraktifitas misalkan menonton televisi,
pasien sempat mengantuk dan tertidur, tetapi cepat terbangun karena hal-hal
aktifitas orang-orang disekitarnya. Setelah pasien mencoba untuk mensibukan
dirinya dengan berbagai aktifitas, pasien merasa mulai lelah, merasa detak
jantungnya meningkat, kemudian pasien mencoba untuk mengurangi intensitas
kerjanya. Pasien juga merasa terganggu dengan suara-suara bising atau keras karena
letak rumahnya yang dengan jalan raya.
Pasien menceritakan bahwa pasien tidak merasa nyenyak tidur semenjak
usia sekitar dua puluh lima tahun, tetapi saat masa muda tersebut pasien masih bisa
tidur sekitar ± 3 jam. Pasien juga mengaku bahwa dia tidak merokok dan tidak
meminum kopi, tetapi pasien hanya meminum teh disetiap pagi, terkadang sore
hari.Pasien mengeluhkan sering batuk akhir-akhir ini, sempat berobat ke spesialis
THT tetapi tidak tuntas. Pasien juga sempat melakukan pemeriksaan radiologi
dinyatakan paru dalam batas normal.
Pasien juga menceritakan bahwa tidak ada masalah yang berarti di
kehidupannya, hubungan dengan istri sangat baik dan seluruh anaknya menempuh
pendidikan dengan baik sampai sarjana, untuk hubungan dengan anggota keluarga
juga baik. Akan tetapi pasien terkadang memikirkan salah satu anaknya yang sudah
sarjana tetapi belum bekerja.

28
Diagnosis Multiaksial

a) Aksis I : F51.0 Insomnia Non Organik


a. Keluhan adanya kesulitan untuk masuk Keluhan tidak bisa tidur, berusaha untuk
tidur atau mempertahankan tidur atau tertidur tetapi tidak bisa, terkadang
kualitas tidur yang buruk. terkantuk saat menonton tv tetapi tertidur
sebentar karena terganggu dengan hal
seperti mendengar suara dilingkungan
sekitarnya atau aktivitas orang sekitarnya
b. Gangguan yang terjadi minimal 3 kali keluhan tidak bisa tidur ±4 bulan
dalam seminggu selama minimal satu belakangan hingga kini
bulan

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa Pasien merasa terganggu dengan


tidur (sleeplessness) dan peduli yang keluhannya tidak bisa tidur akhir-akhir ini
berlebihan terhadap akibat yang dan merasa khwatir akan dirinya yang
ditimbulkan pada malam hari dan kesulitan tidak bisa tertidur
sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan Walaupun dapat tertidur sebentar, tetapi
atau kualitas tidur dan penderitaan yang pasien merasa tidak puas dengan
cukup berat dan mempengaruhi fungsi kuantitas dan kualitas tidurnya
dalam sosial dan pekerjaan.

b) Aksis II : Tidak ada diagnosis aksis II


c) Aksis III : J00-J99 Penyakit sistem pernapasan
Sering batuk akhir-akhir ini, sempat berobat ke
spesialis THT tetapi tidak tuntas
d) Aksis IV : Masalah perumahan
Letak rumah pasien yang dekat dengan jalan raya
serta letak rumah pasien yang dekat dengan tempat
ibadah.
e) Aksis V : GAF 70-61 ( beberapa gejala ringan dan
menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik)

29
Diagnosis banding episode depresif ringan tanpa gejala somatik dapat
disingkirkan karena menurut PPDGJ III pedoman diagnostic depresi ringan
tanpa somatik berupa:
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
2. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
4. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu.
5. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa
dilakukannya

Terapi Farmakologi :
 Amitripilin 20 mg
Obat ini merupakan obat anti depresan golongan Trisiklik. Efek samping :
sedasi,mulut kering, pandangan kabur

Terapi Non Farmakologi :


 Stimulus Control
 Sleep Hygene

30
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan PPDGJ III, Insomnia merupakan gangguan tidur yang ditandai


keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur atau kualitas
tidur yang buruk, terjadi mknimal tiga kali dalam seminggu selama minimal satu
bulan,adanya prekokupasi tidak bisa tidur dan ketidakpuasan teerhadap kuantitas
dan atau kualitas tidur.
Semakin seseorang lanjut usia, semakin berkurang waktu tidurnya. Banyak
faktor yang menyebabkan timbulnya insomnia seperti faktor biologi, regulasi
hormon, perubahan fisiologis tidur, dan adanya gangguan lainnya seperti depresi,
cemas dan lainnya.
Tatalaksana insomnia merupakan kombinasi farmakologi menggunakan
golongan obat benzodiazepine atau non benzodiazepine, dapat juga menggunakan
obat antidepresan pada kondisi dimana keadaan pasien disertai dengan gangguan
depresi atau cemas.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang : Bina Rupa Aksara Publisher.
2. Karl D. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ.2006;12: 14-220
3. Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. April : 2007; Vol 74 : 251-265.
4. Evelyn Mai, Daniel J. Buysse. 2009. Insomnia: Prevalence Impact,
Pathogenesis, Differential Diagnosis, and Evaluation.Fall; p.491-498.
5. R Mahendran. 2001. Characteristics of Patients Referred to an Insomnia Clinic.
Singapore Med J Vol 42(2); p. 064-066.
6. Anonim. 28 Juta Orang Indonesia Terkena Insomnia.(akses 20 Januari 2011).
Download dari situs: http://balagu.com/health/?p=8/
7. Erika N. Susan L. John ED. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June :
2004 ; 17 : 212-218
8. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management on
Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700
9. R Aretoula F. Sleep Disorder Insomnia. Silva Method Research Proper.2005 :
2-8.
10. Anne MMHH, Renee C. Anna L. The Diagnosis and Management of Insomnia
in Clinical Practice. CMAJ. 2000 ; 162 : 216-220
11. L Petit. N Azad. Anna B. Non-pharmacological Management of Primary and
Secondary Insomnia Among Older People. British geriatric Society. 2003 ; 32
: 19-25.
12. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

32

Anda mungkin juga menyukai