INSOMNIA
Oleh
Syukri G1A218060
Ai Rusmayanti G1A218066
Puja Pramudita G1A218074
Nareswari Sekar U. G1A218078
INSOMNIA
DISUSUN OLEH
Syukri G1A218060
Ai Rusmayanti G1A218066
Puja Pramudita G1A218074
Nareswari Sekar U. G1A218078
PEMBIMBING
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Insomnia”. Laporan ini merupakan bagian
dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Susiati M.Ked, Sp. KJ selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Case
Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................. 2
BAB IV ............................................................................................................ 33
BAB V.............................................................................................................. 37
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
siang.Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari
sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya
menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi
medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan
resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami
bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan
dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien mereka.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.3 ANAMNESIS
2.3.1 KeluhanUtama
Os tidak bisa tidur ±4 bulan terakhir
3
mencoba untuk beribadah (mengaji) sampai mengantuk tetapi tetap tidak
bisa tertidur. Menurut pasien, walaupun pasien mengantuk, kemudian
pasien mencoba tidur di kasur, disaat itu juga kantuknya menghilang. Pasien
menceritakan saat pasien beraktifitas misalkan menonton televisi, pasien
sempat mengantuk dan tertidur, tetapi cepat terbangun karena hal-hal
aktifitas orang-orang disekitarnya.
Setelah pasien mencoba untuk mensibukan dirinya dengan berbagai
aktifitas, pasien merasa mulai lelah, merasa detak jantungnya meningkat,
kemudian pasien mencoba untuk mengurangi intensitas kerjanya. Pasien
juga merasa terganggu dengan suara-suara bising atau keras karena letak
rumahnya yang dengan jalan raya.
Pasien menceritakan bahwa pasien tidak merasa nyenyak tidur
semenjak usia sekitar dua puluh lima tahun, tetapi saat masa muda tersebut
pasien masih bisa tidur sekitar ± 3 jam. Pasien juga mengaku bahwa dia
tidak merokok dan tidak meminum kopi, tetapi pasien hanya meminum teh
disetiap pagi, terkadang sore hari.
Pasien mengeluhkan sering batuk akhir-akhir ini, sempat berobat ke
spesialis THT tetapi tidak tuntas. Pasien juga sempat melakukan
pemeriksaan radiologi dinyatakan paru dalam batas normal.
Pasien juga menceritakan bahwa tidak ada masalah yang berarti di
kehidupannya, hubungan dengan istri sangat baik dan seluruh anaknya
menempuh pendidikan dengan baik sampai sarjana, untuk hubungan dengan
anggota keluarga juga baik. Akan tetapi pasien terkadang memikirkan salah
satu anaknya yang sudah sarjana tetapi belum bekerja.
4
2.3.5 Riwayat Kehidupan Pribadi
Pasien tinggal bersama dengan istrinya dan 5 orang anaknya. Pasien
adalah pribadi yang memegang teguh prinsipnya. Pasien mendapat
dukungan penuh untuk berobat mengenai keluhannya.
Pemeriksaan Fisik
a. Kulit : Turgor baik
b. Kepala : Normocephalik
c. Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor, refleks cahaya (+/+)
d. Leher : Pembesaran KGB (-)
e. Toraks : Bentuk dan pergerakan simetris
f. Jantung : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
g. Pulmo : Sonor, vesikuler (+/+)
h. Abdomen : Datar, soepel
i. Ekstremitas : Edema (-)
5
- Pemeriksaan Neurologis : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pemeriksaan Psikometrik : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pemeriksaan Laboratorium : Tidak dilakukan pemeriksaan
6
Baru saja (recent) : Baik
Agak lama (recent past) : Baik
Jauh (remote) : Baik
Pikiran abstrak : Baik
G. Pengendalian impuls : Baik
H. Daya nilai : Baik
I. Tilikan/insight :6
J. Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya
2.7 Penatalaksanaan
Terapi pada pasien ini yaitu :
Antidepresan Trisiklik
Golongan Benzodiazepine
Golongan Non-Benzodiazepine
2.8 Prognosis
a. Quo Ad Functionam : dubia ad bonam
b. Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam
c. Quo Ad Vitam : dubia ad bona
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis; nonrapid eye movement (NREM)
dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1
sampai 4, sebagian besar fungsi fisiologis sangat berkurang dibandingkan
dengan keadaan terjaga. Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri
dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase
NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam. Tidur
NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, sedangkan tidur REM
meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur, tidak dibagi-bagi dalam stadium
seperti dalam tidur NREM. Tidur NREM dibagi dalam empat stadium, antara
lain :1
8
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam,
atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)
Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda, ditandai
dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat aktivitas fisiologis yang
menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira-kira 90 menit setelah awitan
tidur, NREM menghasilkan episode REM pertama malam tersebut. Latensi
REM 90 menit ini merupakan temuan yang konsisten pada orang dewasa
normal, pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti
gangguan depresif dan narkolepsi
Pada periode neonatus, tidur REM menunjukkan lebih dari 50% waktu
tidur, dan pola EEG bergerak dari keadaan siaga langsung ke keadaan REM
tanpa melalui tahap 1 sampai 4. Neonatus tidur kira-kira 16 jam sehari dengan
9
periode bangun yang singkat. Pada usia 4 bulan, pola bergeser sehingga
presentase total tidur REM berkurang hingga kurang dari 40% dan jatuh tertidur
menjadi disertai periode tidur REM lebih awal. Saat dewasa muda, distribusi
tahap tidur pada NREM 75% (tahap 1 : 5%, tahap 2 : 45%, tahap 3: 12%, tahap
4 : 13%). Distribusi ini relatif tetap konstan sampai usia tua, walaupun
pengurangan terjadi pada tidur gelombang pendek dan tidur REM pada orang
yang berusia lebih tua.1
Merupakan keluhan gangguan tidur, ada kesulitan dalam memulai tidur atau
mempertahankan tidur, dan/atau awal bangun dari tidur. Insomnia lebih sering
menyerang perempuan daripada laki-laki, serta sering terjadi pada usia lanjut.
Insomnia bisa diklasifikasikan kepada primer, yaitu insomnia yang terjadi tanpa
disertai penyakit lain, dan juga sekunder, dimana insomnia tipe ini terjadi
disebabkan oleh penyakit lain, masalah psikis, lingkungan, perilaku atau efek
samping dari obat-obatan. Insomnia juga bisa diklasifikasikan sebagai insomnia
akut (kurang dari 1 bulan) ataupun kronis, yaitu 1-6 bulan. Insomnia lebih tepat
disebut sebagai suatu gejala dan bukan meupakan suatu diagnosis.
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi
resiko insomnia meningkat jika terjadi pada :1
10
Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan
hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan
peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot
flashes sering mengganggu tidur.
Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur,
insomnia meningkat sejalan dengan usia.
Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder,
mengganggu tidur.
Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan
sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari,
sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti
kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan
pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
Beberapa penyebab lain yang juga mendukung insomnia, yaitu :
Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat
alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang
mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan
stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang
yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih
dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.
11
Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke,
penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak
sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu
tubuh.
'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika
mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka
tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau
membaca.
3.4 Epidemiologi
12
terhadap penduduk Indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa
penduduk Indonesia, sebanyak 28,035 juta jiwa (11,7%) terjangkit insomnia.6
Angka ini membuat insomnia sebagai salah satu gangguan paling banyak
yang dikeluhkan masyarakat Indonesia. Dari segi jenis insomnianya, hasil
penelitian di Amerika Serikat yang menggunakan DSM-IV menunjukkan 20%
sampai 49% penduduk dewasa mengidap insomnia intermiten dan 10 sampai
20% mengidap insomnia kronis, di mana 25% dari pengidap insomnia kronis
terdiagnosis sebagai insomnia primer. Prevalensi insomnia lebih tinggi pada
wanita dan lansia (65 tahun ke atas). Wanita lebih sering 1,5 kali mengidap
insomnia dibandingkan pria, dan 20-40% lansia mengeluhkan gejala-gejala
pada insomnia tiap beberapa hari dalam 1 bulan.3
Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti tetapi
insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal dikaitkan
dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS (ascending reticular
activating system), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi dengan
pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan thalamus.
Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya tingkat
kesiagaan yang merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti lingkungan
tidur.4
Data psikofisiologi dan metabolik dari hyperarousal pada pasien insomnia
meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan
variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh
dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada
pasien insomnia dibandingkan pada orang normal. Data elektrofisiologi
hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang beta pada EEG
selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan aktivitas
gelombang otak selama terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien
insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas gelombang delta. Data
neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan level kortisol dan
13
adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada setengah
bagian pertama tidur pada pasien insomnia. Penurunan level melatonin tidak
konsisten ditemukan. Data menurut functional neuroanatomi studies of arousal
tentang hyperarousal menunjukan pola-pola aktivitas metabolisme regional
otak selama tidur NREM melalui SPECT (single-photon emission computer
tomography) dan PET ( positron emission tomography). Pada penelitian PET
yang pertama pada insomnia primer terjadi peningkatan kecepatan metabolisme
glukosa baik pada waktu tidur maupun terjaga.4
Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan aktivitas
dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal frontal selama
terjaga, hal inilah yang menyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh
pasien baik pada saat terjaga maupun tidur. Pada pasien yang mengalami
insomnia yang karena depresi berat terjadi peningkatan gelombang beta yang
berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik di kortek orbita frontal dan
mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga mendukung hipotesis
mengenai hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada pasien insomnia
primer, selama tidur NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang paling
jelas pada basal ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai menunjukkan
perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan dengan
insomnia primer maupun sekunder.4
3.6 Kriteria Diagnosis Insomnia Primer berdasarkan DSM
Insomnia primer didiagnosis jika keluhan utama adalah tidur yang tidak
bersifat menyegarkan atau kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, dan
keluhan ini terus berlangsung sedikitnya satu bulan. Istilah primer
menunjukkan bahwa insomnia bebas dari adanya gangguan fisik atau
psikologis. Pasien dengan insomnia primer secara umum memiliki preokupasi
mengenai tidur cukup. Semakin mereka mencoba tidur, semakin besar rasa
frustasi dan penderitaan serta makin sulit terjadinya tidur.
14
Tabel 1. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Insomnia Primer1
Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan melalui anamnesis yang cermat dan
adekuat untuk menentukan insomnia primer atau diagnosis bandingnya serta
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang (tekanan darah, gangguan hormon,
kolesterol, kadar gula darah, dan sejenisnya, termasuk kuesioner) untuk
mengetahui adanya penyakit klinis dan pemeriksaan psikologis untuk
mendeteksi gangguan psikis (depresi, skizofrenia, psikosis,dan sejenisnya).6
Beberapa tanda dan gejala yang dapat membantu menegakkan diagnosis
insomnia, yaitu :
15
Iritabilitas, depresi atau kecemasan
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
Ketegangan dan sakit kepala
Gejala gastrointestinal
16
3.9 Terapi Insomnia
Terapi Farmakologis
17
menggunakannya. Selain itu, munculnya obat baru yang lebih aman
yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini. Kerja obat ini
adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post-synaptic, dimana
obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di
CNS) yang memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot.
Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah : triazolam, temazepam,
dan lorazepam.10,11
Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan
dengan teliti. Efek samping yang paling sering adalah, merasa pusing,
hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu, obat ini harus
diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis
seperti penyakit paru obstrutif kronis (PPOK). Dari hasil penelitian, obat
ini sering dikaitkan dengan fraktur akibat jatuh pada penderita dengan
usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang lama maupun
kerja singkat.7,10
b. Non-benzodiazepine7,11
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip
dengan benzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih
ringan. Efek samping seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensi
ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian
yang telah dilakukan. Zolpidem merupakan salah satu derivate non-
benzodiazepine yang banyak digunakan untuk pengobatan jangka
pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit GABA
reseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa
menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang
terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical trial yang dilakukan, obat
ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu tidur
dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa
menimbulkan efek rebound dan ketergantungan pada penderita.7,11
Zaleplon adalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat
pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu kerja yang cepat dan
18
sangat pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu
pada reseptor subunit α-1 GABA reseptor.3,11 Efektivitasnya sangat
mirip dengan zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini
memiliki efek yang lebih superior berbanding zolpidem. Sering menjadi
pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena masa kerja
obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-
hari. Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti
eszopiclone dan Ramelteon dimana mempunyai efektifitas yang mirip
dengan zolpidem dan zaleplon.3
c. Miscellaneous sleep promoting agent3
Melatonin, tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural.
Melatonin secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal
oleh kelenjar pineal. Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan
signal bangun tidur pada suprakiasmatik pada hipotamalamus.
Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. dephenydramine
citrate, diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate
adalah tiga derivate yang telah mendapat persetujuan dari FDA.
Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan mengantuk di
siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang
mengkonsumsi obat ini. Efikasi dari obat ini dalam penanganan
insomnia belum dapat dipastikan dengan signifikan karena
penelitian keterkaitan anti-histamine dengan penanganan insomnia
belum menemukan bukti yang kuat.3
Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline,
doxepine, dan mitrazapine sering digunakan pada penderita
insomnia tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas penggunaan
antidepresan pada penderita insomnia sangat tidak mencukupi.
Namun, obat ini bisa diberikan karena tidak memberikan efek
samping dan harga obat ini yang sangat murah.3
19
Tabel 2. FDA Aprroved Seddative-Hypnotic Agents by Mechanism of Action
20
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :12
Pengaturan Dosis :
21
Lama Pemberian :
Efek Samping :
Interaksi obat :
22
Kontraindikasi :
Terapi Non-Farmakologis
23
Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk
kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali
Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
Hindari tidur di siang hari
b. Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur
hanya waktu tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan ini
dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa
menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur. Metode
ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk diterapkan pada
penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk
memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol
sleep restriction seperti di bawah : Hitung rata-rata total waktu tidur
pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan jumlah tidur
yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu Batasi jam tidur
berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur Estimasi tidur yang efisien
setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah jam tidur/jumlah
waktu di tempat tidur x 100) Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika
efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit jika < 80%, atau
pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90% Setiap minggu
sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan Jangan
tidur kurang dari 5 jam Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak
melebihi 1 jam Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya
apabila efisiensi tidur kurang dari 75%.8,11
c. Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup
dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur
penderita itu sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan
insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan, seseorang dengan
kualitas buruk biasanya mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk.
24
Penelitian lain menyatakan, seseorang dengan sleep hygiene yang baik,
bangun di pagi hari dalam suasana yang lebih bersemangat dan ceria.
Terkadang, penderita sering memikirkan dan membawa masalah-
masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain
ke tempat tidur, sehingga mengganggu tidur mereka. Terdapat beberapa
hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan
sleep hygiene yang baik, seperti dibawah : Hindari mengkonsumsi
alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur Meminimumkan
suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang
terlalu dingin atau panas Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang
baik Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita
Hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur Elakkan
membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur
Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan
aktivitas yang berat sebelum tidur7,8,10
d. Cognitive Therapy
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk
mengubah pola pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab
dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika
hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka
yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di
siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak
efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk status
insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive
therapy dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya
menyatakan, metode ini sangat bermanfaat pada penderita insomnia usia
lanjut, dan mempunyai efektifitas yang sama dengan pengobatan
dengan medikamentosa.7,8,11
25
3.10 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang
teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
26
3.11 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini
disertai skizophrenia.1
27
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke Poli Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi bersama
dangan anak kandungnya. Menurut pasien, pasien tidak bisa tidur selama ± 4 bulan
terakhir. Menurut pasien pada siang hari pasien mencoba untuk tidak tidur siang
dengan bekerja di kebun, agar dapat tidur di malam harinya. Sementara pada malam
harinya pasien saat pasien tidak tidur, pasien mencoba untuk beribadah (mengaji)
sampai mengantuk tetapi tetap tidak bisa tertidur. Walaupun pasien mengantuk,
kemudian pasien mencoba tidur di kasur, disaat itu juga kantuknya menghilang.
Pasien menceritakan saat pasien beraktifitas misalkan menonton televisi,
pasien sempat mengantuk dan tertidur, tetapi cepat terbangun karena hal-hal
aktifitas orang-orang disekitarnya. Setelah pasien mencoba untuk mensibukan
dirinya dengan berbagai aktifitas, pasien merasa mulai lelah, merasa detak
jantungnya meningkat, kemudian pasien mencoba untuk mengurangi intensitas
kerjanya. Pasien juga merasa terganggu dengan suara-suara bising atau keras karena
letak rumahnya yang dengan jalan raya.
Pasien menceritakan bahwa pasien tidak merasa nyenyak tidur semenjak
usia sekitar dua puluh lima tahun, tetapi saat masa muda tersebut pasien masih bisa
tidur sekitar ± 3 jam. Pasien juga mengaku bahwa dia tidak merokok dan tidak
meminum kopi, tetapi pasien hanya meminum teh disetiap pagi, terkadang sore
hari.Pasien mengeluhkan sering batuk akhir-akhir ini, sempat berobat ke spesialis
THT tetapi tidak tuntas. Pasien juga sempat melakukan pemeriksaan radiologi
dinyatakan paru dalam batas normal.
Pasien juga menceritakan bahwa tidak ada masalah yang berarti di
kehidupannya, hubungan dengan istri sangat baik dan seluruh anaknya menempuh
pendidikan dengan baik sampai sarjana, untuk hubungan dengan anggota keluarga
juga baik. Akan tetapi pasien terkadang memikirkan salah satu anaknya yang sudah
sarjana tetapi belum bekerja.
28
Diagnosis Multiaksial
29
Diagnosis banding episode depresif ringan tanpa gejala somatik dapat
disingkirkan karena menurut PPDGJ III pedoman diagnostic depresi ringan
tanpa somatik berupa:
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
2. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
4. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu.
5. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa
dilakukannya
Terapi Farmakologi :
Amitripilin 20 mg
Obat ini merupakan obat anti depresan golongan Trisiklik. Efek samping :
sedasi,mulut kering, pandangan kabur
30
BAB V
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang : Bina Rupa Aksara Publisher.
2. Karl D. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ.2006;12: 14-220
3. Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. April : 2007; Vol 74 : 251-265.
4. Evelyn Mai, Daniel J. Buysse. 2009. Insomnia: Prevalence Impact,
Pathogenesis, Differential Diagnosis, and Evaluation.Fall; p.491-498.
5. R Mahendran. 2001. Characteristics of Patients Referred to an Insomnia Clinic.
Singapore Med J Vol 42(2); p. 064-066.
6. Anonim. 28 Juta Orang Indonesia Terkena Insomnia.(akses 20 Januari 2011).
Download dari situs: http://balagu.com/health/?p=8/
7. Erika N. Susan L. John ED. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June :
2004 ; 17 : 212-218
8. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management on
Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700
9. R Aretoula F. Sleep Disorder Insomnia. Silva Method Research Proper.2005 :
2-8.
10. Anne MMHH, Renee C. Anna L. The Diagnosis and Management of Insomnia
in Clinical Practice. CMAJ. 2000 ; 162 : 216-220
11. L Petit. N Azad. Anna B. Non-pharmacological Management of Primary and
Secondary Insomnia Among Older People. British geriatric Society. 2003 ; 32
: 19-25.
12. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
32