Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

EPILEPSI

Oleh:

Mia Rizki Aprilla 04054822022057

Nursarah Salsabila Khansa 04084822124013

Prasetya Dwi Anugrah 04084822124159

Andrian Tinambunan 04084822124116

Pembimbing:
dr. Arinta Atmasari, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUD SITI FATIMAH SUMATERA SELATAN 2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
EPILEPSI

Oleh:

Mia Rizki Aprilla 04054822022057

Nursarah Salsabila Khansa 04084822124013

Prasetya Dwi Anugrah 04084822124159

Andrian Tinambunan 04084822124116

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan


Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUD Siti Fatimah Sumatera Selatan Periode 19
April – 22 Mei 2021.

Palembang, Mei 2021


Pembimbing

dr. Arinta Atmasari, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi,
karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Epilepsi”. Laporan kasus ini disusun
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan
Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Siti Fatimah Sumatera Selatan. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.
Arinta Atmasari, Sp.A atas bimbingan yang telah diberikan.

Proses dalam menyelesaikan penulisan ini tentu tidak luput dari


kesalahan dan kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang
disajikan. Penulis menyadari laporan kasus ini masih memiliki kekurangan.
Penulis mengharapkan kritik dan saran agar laporan ini dapat menjadi lebih
baik lagi. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, Mei 2021

Tim Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB II LAPORAN KASUS .......................................................................... 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 10

BAB IV ANALISIS KASUS ....................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam


keadaan kritis dan apabila tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan
menyebabkan kematian. Salah satu kegawat daruratan di bidang neurologi
adalah epilepsi. Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang bisa
terjadi pada segala usia terutama pada usia anak.1
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan gejala yang
khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara
berlebihan dan paroksismal. Epilepsi ditandai dengan sedikitnya 2 kali atau lebih
kejang tanpa provokasi dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi
disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh penyakit otak akut.
Epilepsi ini bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu kumpulan
gejala. Gejala yang paling umum adalah adanya kejang, karena itu epilepsi juga
sering dikenal sebagai penyakit kejang. Diagnosis epilepsi ditegakkan
berdasarkan anamnesis yang berupa kejang berulang, kejang fokal atau umum
dan apakah disertai perkembangan normal atau terlambat, pemeriksaan fisis dan
neurologis serta pemeriksaan penunjang Electroencephalography (EEG) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala.1,2
Prevalensi epilepsi secara global diperkirakan ada sekitar 3,5 juta kasus baru
per tahun diantaranya adalah 40% golongan anak, 40% golongan dewasa, dan
20% golongan usia lanjut. Prevalensi epilepsi di Indonesia adalah sekitar 5-10
kasus per 1.000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun.3
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas
hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Modalitas terapi pada epilepsi
adalah pemberian obat anti epilepsi (OAE) dengan dosis kecil, kemudian dosis
dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi.
Deteksi yang terlambat dan tatalaksana yang tidak tepat akan menunjukkan
prognosis yang buruk dan dapat berakhir pada epilepsi intraktabel. Keadaan ini
tidak hanya berdampak pada segi medis tetapi juga berdampak pada
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. 4
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An. SAR
Usia/Tanggal Lahir : 6 Tahun 10 bulan /25 Juni 2014
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Suka bangun II, Lorong Pendidikan RT. 35 RW. 10
Rekam Medik : 00-01-69-18
Tanggal MRS : 1 Mei 2021 pukul 23.00 WIB

II. Anamnesis
Tanggal : Senin, 3 Mei 2021 pada pukul 10.30 WIB
Diberikan oleh : Ibu kandung (Alloanamnesis)

a. Keluhan utama : Pasien mengalami kejang seluruh badan sejak 1 hari SMRS
b. Keluhan tambahan : Demam tidak terlalu tinggi

2.1 Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ± 1 hari SMRS, pasien mengalami kejang, kejang terjadi secara
tiba-tiba saat pasien sedang bermain, kejang berlangsung <5 menit, pada saat
kejang mata pasien mendelik ke atas, kaki dan tangan kaku namun tidak
kelonjotan. Post iktal pasien anak masih sadar akan tetapi meracau dan badan
masih kaku. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 1 hari SMRS, demam
terus menerus namun demam tidak terlalu tinggi dan turun setelah diberikan
obat penurun panas, batuk pilek tidak ada, sesak tidak ada, BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Setelah pasien sadar pasien dibawa ke RS Myria dan
diberikan diazepam intravena.
Pada hari Senin tanggal 1 Mei 2021 pukul 23.00 WIB pasien dirujuk ke
RSUD Siti Fatimah Palembang dalam keadaan sudah tidak kejang, tetapi
masih demam untuk tatalaksana lebih lanjut.
3

2.2 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


2.2.1 Riwayat kehamilan dan kelahiran
- Masa kehamilan : Cukup bulan (38 minggu)
- Partus : Spontan
- Tempat : Praktik Bidan
- Ditolong oleh : Bidan
- Tanggal : 25 Juni 2014
- BB Lahir : 3 kg
- PB Lahir : 54 cm
2.2.2 Riwayat imunisasi
Imunisasi Dasar Ulangan
Umur Umur Umur Umur
BCG 1 bln -
DPT 1 2 bln DPT 2 - DPT 3 - -
Hepatitis B 1 2 bln Hepatitis B 2 - Hepatitis B 3 - -
Hib 1 2 bln Hib 2 - Hib 3 - -
Polio 1 1 bln Polio 2 - Polio 3 - -
Campak Polio 4 - -
Kesan : Riwayat Imunisasi tidak lengkap
2.2.3 Riwayat keluarga
- Perkawinan : Kawin
- Umur : Usia pernikahan 12 tahun
- Pendidikan Ortu : SMA
- Penyakit yg pernah diderita: Ayah pasien ada riwayat kejang pada
usia 3 bulan
2.2.4 Riwayat tumbuh kembang
Gigi pertama : ± 1 tahun Berdiri : 10 bulan
Berbalik : 4 bulan Berjalan : 1 tahun
Tengkurap : 3 bulan Berbicara : Normal
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 9 bulan
Kesan : Riwayat tumbuh kembang baik
4

2.2.5 Riwayat Perkembangan Mental


Isap jempol : Tidak ada
Ngompol : Jarang
Sering mimpi : Masih ada
Aktivitas : Aktif
Ketakutan : Tidak ada
Kesan : Riwayat perkembangan mental tidak terganggu

2.2.6 Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


− Riwayat pernah kejang usia 2 bulan
− Riwayat kejang terakhir pada saat usia 3 tahun

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


2.3.1 PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 130x/menit, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 22x/menit, tipe pernafasan Abdominal torakal
Temperatur : 39,2oC
Saturasi Oksigen : 98%
Berat Badan : 31 kg
Panjang Badan : 120 cm
Indeks Massa Tubuh : 21,52 kg/mm2
Lingkar Kepala : 54 cm
Status Gizi : Obesitas
BB/U : 134%, kesan obesitas
TB/U : 99%, kesan normal
BB/TB : >120%, kesan obesitas
Kulit : Pucat (-), sianosis (-), normal.
5

2.3.2 PEMERIKSAAN KHUSUS

Regio Hasil Pemeriksaan


Kepala Kepala : Normal, rambut hitam, tidak mudah dicabut,
ubun-ubun datar
Mata : Sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), mata
cekung (-) pupil bulat, RC (+/+)
Hidung : Deviasi septum (-), napas cuping hidung (-)
sekret (-)
Mulut : Mukoso bibir kering (-), pucat (-)
Gigi : Karies gigi (+)
Telinga : Dismorfik (-), sekret (-)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
dan tiroid
Leher Pembesaran KGB (-), Kaku Kuduk (-)
Thorax Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, tidak ada retraksi
dinding dada, tidak ada jejas
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Cor
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-/-),
S3 gallop (-)
Abdomen Inspeksi : datar, umilikus cekung
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba,
ginjal ballotment (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Bising usus : 8x/ menit, normal
Ekstremitas Akral hangat, deformitas (-), edema (-), sianosis (-), CRT
< 3 detik
6

Pemeriksaan Neurologis

Lengan Tungkai
Fungsi motoric Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Cukup Cukup Cukup Cukup
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Refleks fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks patologis - - - -
Gejala rangsang - - - -
meningeal
Fungsi senosrik Baik Baik Baik Baik
Nervi craniales Normal Normal Normal Normal

Pemeriksaan Laboratorium

Hasil
Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi
Pemeriksaan
Trombosit 150-450 ribu/mm3 192 ribu/mm3 Normal
Hematokrit 34-40% 37% Normal
Hemoglobin 11.5-13 g/dL 12,4 g/dL Normal

Eritrosit 3.1-4.9 juta/μL 4.8 juta/μL Normal

Leukosit 5.000-14.500 mm3 5.550 mm3 Normal

0-1/2-4/25-40/ Leukosit segmen


Diffcount 0/1/19/8/72
2-8/50-70 meningkat

Kalium 3,6-5,5 mEq/L 4,6 Normal

Natrium 130-155 mEq/L 136 Normal

Glukosa sewaktu 80-120 mg/dl 95 Normal


7

Daftar masalah

1. Kejang yang berulang


2. Demam
3. Imunisasi tidak lengkap
4. Obesitas

Diagnosis banding

1. Epilepsi
2. Status epileptikus
3. Meningitis

Diagnosis kerja
Epilepsi

III. Tatalaksana
1. Pemeriksaan Anjuran
− EEG → menentukan diagnosis pasti apakah anak mengalami epilepsi.
− CT Scan Kepala → melihat apakah ada trauma pada anak, perdarahan
di otak, atau kelainan susunan anatomis otak yang dapat menyebabkan
anak kejang.
− Pemeriksaan lab darah lengkap dan cek elektolit
2. Terapi Non Farmakologi
- Pasien bed rest
- Edukasi pasien mengenai penyakit, pengobatan dan komplikasi
- Atur pola makan pasien
3. Farmakologi
− Diazepam 10 mg IV
− Asam valproat 4 ml 2x1 Per oral
− Inj. Ceftriaxone 1x2 gr dalam NS 100 CC
4. Edukasi
- Memberitahu cara penanganan kejang dirumah
- Memeberikan informasi apabila kejang kembali
8

- Pemberhentian obat dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang secara


perlahan-lahan
- Menentukan obat yang akan digunakan Bersama-sama ortu.

IV. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

V. FOLLOW UP

Tanggal Pemeriksaan Terapi

4/05/2021 S: P:

Rawat hari Demam (+), kejang (-), muntah (-), batuk - O2 2 lpm
ke-1 pilek (-) - IVFD Kaen 1B kec 65 cc/jam
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr dalam
O:
NS 100 CC
KU : Sens : Compos mentis
Nadi : 133 x/menit
RR : 29x/menit
T : 37,8°C
HR : 80x/ menit
Kepala: Normosefali,mata cekung (-/),
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Thoraks: Simetris, retraksi interkostal (-),


vesikular (N/N), ronki (-/-)

Cor: BJ I-II normal, mumur (-), gallop(-)

Abdomen: datar, BU (+) normal, hepar lien


tidak teraba

Lipat paha dan genitalia: Benjolan (-),


genitalia normal
9

Ekstremitas: Akral hangat, palmar pucat


(+), sianosis (-), edema (-), CRT < 3 detik

A:

Epilepsi
DD/ Meningitis

5/05/2021 S: P:

Rawat hari Demam (+), kejang (-), muntah (-), batuk - O2 2 lpm
ke-2 pilek (-) - IVFD Kaen 1B kec 65 cc/jam
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr dalam
O:
NS 100 CC
KU : Sens : Compos mentis - R/ EEG
Nadi : 134 x/menit
RR : 26x/menit
T : 37,8°C
Kepala: Normosefali,mata cekung (-/),
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Thoraks: Simetris, retraksi interkostal (-),


vesikular (N/N), ronki (-/-)

Cor: BJ I-II normal, mumur (-), gallop (-)

Abdomen: datar, BU (+) normal, hepar lien


tidak teraba

Lipat paha dan genitalia: Benjolan (-),


genitalia normal

Ekstremitas: Akral hangat, palmar pucat


(+), sianosis (-), edema (-), CRT < 3 detik

A:

Epilepsi

DD/ meningitis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan


epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis
dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung
secara tiba-tiba dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran,
disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).5

B. Etiologi

1. Idiopatik epilepsi: biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,


penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi
genetik.

2. Kriptogenik epilepsi: Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum


diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai
lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah
sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran
klinis berupa ensefalopati difus.

3. Simptomatik epilepsi: Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang


mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh
darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan
neurodegeneratif.6
11

C. Epidemiologi

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan


angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-
klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga
kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang
mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa
epilepsi, biasanya ka rena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.7

Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen,


tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status
epilept ikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu
distribusi bim odal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.8

Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status


Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status
Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler,
disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian
yang tak tertangani d an merupakan angka kejadian yang paling tinggi.9,11

D. Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena


penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada
umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan –
area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak
(Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis
yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi. Tahun 1981 International League
Against Epilepsy (ILAE) memb uat suatu klasifikasi internasional mengenai
kejang dan epilepsi yang membagi kejang menjadi 2 golongan utama : serangan
parsial (partial onset seizures) dan serangan umum (generalized-onset seizures).
Serangan parsial dimulai pada satu area fokal di korteks serebri, sedangkan
serangan umum dimulai secara simultan dikedua hemisfer. Serangan lain yang
12

sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan dalam golongan tak


terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian membuat klasifikasi yang
diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial pada tahun 1989, kemudian
disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun klasifikasi tahun 1981 tetap masih
sering digunakan.6,10

E. Patofisiologi

Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara berlebihan,


spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik (kejang),
sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional) secara lokal atau
umum. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:12

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya


pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan


hipomagnesemia.

c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan


neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.12,13

F. Diagnosis

Anamnesis
Anamnesis pada pasien untuk menegakkan diagnosa epilepsi, dimulai dari
pertama ditemukan pasien dibawa karena kejang. Pertanyaan berupa
autoanamnesa maupun alloanamnesa sangat diperlukan dalam penegakkan
diagnosis.
Anamnesa yang dapat ditanyakan antara lain adalah mengenai onset
kejang, adakah gejala prodromal atau aura sebelumnya, gambaran secara jelas
13

bagaimana kondisi pasien saat terjadi kejang, durasi kejadian, dan bagaimana
kondisi pasien saat post iktal.
Pemeriksaan Fisik
Gambaran pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosis epilepsi umumnya
hanya dapat ditemukan pada kasus sindrom epilepsi yang disertai dengan
manifestasi klinis berupa kelainan fisik. Contohnya pada kelainan kutaneus pada
penyakit sindrom neurokutaneous seperti Sturge-Weber dan tuberous sclerosis.
Kelainan fisik yang ditemukan pada pasien postictal umumnya bersifat transient.14

Pemeriksaan fisik pasien epilepsi harus dilakukan sesegera mungkin dan


selanjutnya dilakukan pemeriksaan ulang berkala untuk menilai ada tidaknya
kelainan klinis yang menetap. Bila ditemukan kelemahan, afasia, atau lateralisasi
Postictal menetap, bisa saja ini merupakan tanda lokasi sumber lesi berupa
kelainan struktur, contohnya tumor atau stroke. Gejala tersebut merupakan
pertanda kejang simptomatik akut yang bisa saja berkembang menjadi epilepsi.
Pemeriksaan Penunjang:15
• Electroencephalography (EEG)
Pemeriksaan EEG dengan rekaman video disamping tempat tidur pasien
saat ini merupakan pemeriksaan baku emas dalam mendiagnosis epilepsi.
Pemeriksaan EEG juga dapat menjadi predictor rekurensi epilepsi.
Abnormalitas EEG yang dapat menjadi prediktor rekurensi epilepsi antara
lain ditemukan gambaran sebagai berikut:
• Epileptiform discharges
• Focal slowing
• Diffuse background slowing
• Intermittent diffuse intermixed slowing
• Studi Prolaktin
Kadar prolaktin diketahui meningkat pada pasien yang mengalami kejang
epileptik. Kadar prolaktin dapat meningkat 3 hingga 4 kali lipat pada
pasien dengan tipe kejang tonik klonik generalisata. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk membedakan kejang yang terjadi bersifat epileptik atau
14

non epileptik, contohnya akibat psychogenic nonepileptic seizure yang


biasa ditemukan pada orang dewasa dan anak remaja.
• Studi Neuroimaging
Studi neuroimaging yang dilakukan pada pasien epilepsi adalah
pemeriksaan Computed tomography (CT)-Scan dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) yang berguna dalam mendeteksi adanya lesi pada otak
yang menjadi pemicu terjadinya epilepsi, contohnya tumor otak.15

G. Diagnosis Banding
Epilepsi harus dibedakan dengan kejang non-epileptik dan serangan
paroksismal bukan kejang. Kejang non-epileptik adalah kejang demam, kejang
reflex, kejang anoksik, kejang akibat withdrawal alkohol, kejang yang dicetuskan
obat-obatan atau bahan kimiawi lainnya, kejang pasca trauma, dan kejang akibat
kelainan metabolik atau elektrolit akut. Serangan paroksismal non-epileptik pada
anak:4
- Perubahan atau penurunan kesadaran
• Breath holding spells
• Sinkop
- Gerakan menyerupai kejang
• Tic/ sindrom Tourette
• Hiperekpleksia/ exaggerated startle
• Spasmus nutans
• Refluks gastroesofagus/ sindrom Sandifer
• Diskinesia/ gerakan involunter
• Pseudoseizures
• Benign sleep myoclonus
- Perubahan perilaku
• Nigh terrors
• Somnambulisme
• Melamun/ day dreaming
15

- Fenomena sensorik atau autonomy


• Migren
• Vertigo paroksismal
• Cyclic vomiting
• Hiperventilasi
H. Tatalaksana
Prinsip tatalaksana kejang adalah tercapainya bebas kejang tanpa
mengalami reaksi simpang obat. Idealnya berupa monoterapi dengan dosis obat
terendah yang dapat mengendalikan kejang.15 Setelah diputuskan untuk diberikan
OAE, obat yang dipilih dititrasi meningkat dari dosis terendah. Apabila setelah
dosis tertinggi yang dianjurkan tercapai dan kejang belum terkendali, maka dapat
ditambahkan atau diganti dengan obat kedua.4
a. Fenitoin
Fenitoin berguna untuk kejang tonik-klonik, kejang parsial. Efek
samping yang dapat ditimbulkan adalah nistagmus, ataxia, letargis,
bradikardi, hipotensi. Efek idiosinkrasi fenitoin adalah hyperplasia
ginggiva, jerawat, defisiensi asam folat, kemerahan. Dosis fenitoin
adalah 4 – 10 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis dan akan mencapai kadar
terapeutik (10 – 20 mikrogram/ml) dalam 7-10 hari
b. Fenobarbital
Fenobarbital (asam 5,5 fenil etil barbiturat) merupakan obat yang
efektif untuk kejang parsial sederhana kompleks dan kejang tonik-
klonik umum (grand mal). Efek sedasi serta kecenderungan
menimbulkan gangguan perilaku pada anak telah mengurangi
penggunaannya sebagai obat utama. Dosis awal penggunaan
fenobarbital 3-5 mg/kg/hari dalam 1 – 2 dosis dan akan mencapai
kadar terapeutik dalam 2-3 minggu. Fenobarbital juga dapat
menyebabkan peningkatan profil lipid dan sindrom Stevens-Johnson.
c. Karbamazepin
Karbamazepin merupakan golongan antidepresan trisiklik.
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang
16

parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal natrium


yang mengakibatkan masuknya ion natrium kedalam membran sel
berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi
terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak 5 – 30 mg/kgBB/hari
dimulao dengan dosis rendah dibagi dalam 3 dosis. Efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan
penglihatan, diplopia, pusing, lemah, mengantuk, mual dan akibat
pemberian dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan
peningkatan profil lipid, ganguan fungsi hati, leukopenia, dan sindrom
Steven-Johson.
d. Asam Valproat
Asam valproat merupakan pilihan terapi untuk kejang umum, fokal,
absan, dan kejang mioklonik. Dosis penggunaan asam valproat 10 – 60
mg/kg/hari dalam 2–3 dosis untuk mencapai kadar terapeutik (40 – 150
mikrogram/ml) dalam 1 – 4 hari, maksimal 1000 mg/kali dan 3000
mg/hari. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan
pencernaan, termasuk mual, muntah, anorexia, peningkatan berat
badan, pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, rambut rontok,
dan hepatotoksik.

I. Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan kepada orang tua yang anaknya mengalami
epilepsi:4
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
3. Penghentian pengobatan dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang dan
secara perlahan-lahan
4. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang tua
17

J. SKDI

3A. Bukan gawat darurat


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.16

K. Prognosis
Prognosis epilepsy pada anak:4
1. Kejang yang berlangsung lebih dari 20 – 30 menit dapat menimbulkan
kerusakan otak akibat hipoksia
2. Prognosis untuk tercapainya pengendalian kejang sangat tergantung dari
beberapa faktor, antara lain:
a. Etiologi: epilepsi simtomatik umumnya lebih sulit mengalami remisi
b. Respons awal terhadap pengobatan: pasien yang mengalami remisi
jangka panjang sebagian besar responsive terhadap obat pertama yang
diberikan dengan dosis yang tidak begitu tinggi
c. Pasien dengan jenis kejang fokal atau dengan beberapa jenis kejang
sekaligus (misalnya tonik klonik umum dan mioklonik umum) berisiko
lebih tinggi untuk mengalami kejang refrakter.4
BAB IV
ANALISIS KASUS

An. SAR, perempuan, 6 tahun 10 bulan, BB 31 kg dan PB 120 cm, datang ke


rumah sakit dengan keluhan utama kejang seluruh badan 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Kejang terjadi secara tiba-tiba saat pasien sedang bermain, kejang berlangsung <5
menit, pada saat kejang mata pasien mendelik ke atas, kaki dan tangan kaku namun
tidak kelonjotan. Post iktal pasien anak masih sadar akan tetapi meracau dan badan
masih kaku. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 1 hari SMRS, demam terus
menerus namun demam tidak terlalu tinggi dan turun setelah diberikan obat penurun
panas, batuk pilek tidak ada, sesak tidak ada, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Setelah
pasien sadar pasien dibawa ke RS Myria dan diberikan diazepam intravena.
Anak lahir spontan, aterm, ditolong oleh bidan di praktik bidan pada tanggal 25
Juni 2014. Berat badan lahir anak 3 kg dengan Panjang badan 54 cm. Riwayat
imunisasi anak tidak lengkap, pada usia 1 bulan anak mendapatkan imunisasi BCG dan
Polio 1, kemudian di usia 2 bulan anak mendapatkan imunisasi DPT 1, Hepatitis B 1
dan Hib 1, selanjutnya anak tidak pernah diimunisasi lagi. Riwayat tumbuh kembang
anak baik. Riwayat perkembangan mental anak tidak ada gangguan. Anak pernah
mengalami kejang pada usia 2 bulan dan saat usia 3 tahun.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum anak terlihat sakit sedang, kesadarannya
compos mentis, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 130x/menit dengan isi dan tegangan
yang cukup, pernafasan 22x/menit dengan tipe pernafasan abdominal torakal,
temperaturnya 39.2oC, saturasi oksigen 98%. Berat Badan anak sekarang 31 kg,
panjang badannya 120 cm, IMT 21,52 kg/mm2, lingkar kepala 54 cm. Status gizi anak
tampak obesitas, BB/U anak pada 134% kesan obesitas, TB/U didapatkan 99% normal
dan BB/TB lebih dari 120% artinya obesitas. Pada pemeriksaan kepala, leher, thorax,
abdomen dan ekstremitas tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan neurologis tidak ada
kelainan, kaku kuduk yang merupakan salah satu tanda meningitis tidak ditemukan
pada anak. Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang seperti EEG, CT Scan kepala,
dan pemeriksaan lab darah lengkap dan cek elektrolit. EEG digunakan untuk
menentukan diagnosis pasti apakah anak mengalami epilepsi. CT Scan kepala tidak
menjadi dasar untuk mendiagnosis epilepsi, namun pada kasus ini CT Scan kepala
dilakukan karena pada alloanamnesis, ibu dari anak ini mengatakan bahwa anak demam
19

tinggi sehingga terdapat kecurigaan yang mengarah adanya infeksi intrakranial yang
dapat menyebabkan kejang pada anak. Pada CT Scan kepala tidak tampak gambaran
perdarahan intrakranial, infark, SOL intracerebri maupun intracerebelli pada
pemeriksaan saat ini, dan tak tampak kelainan pada neurocranium maupun
viscerocranium. Pada pemeriksaan laboratorium ada peningkatan leukosit segmen dan
penurunan limfosit serta eosinophil yang menandakan adanya infeksi pada anak,
sedangkan pada pemeriksaan elektrolit semuanya dalam batas normal. Dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan beberapa daftar masalah
diantaranya kejang yang berulang, demam, dan obesitas.
Kejang yang berulang pada anak diawali pada anak usia 2 bulan, 3 tahun, dan 6
tahun. Pada usia 2 bulan anak kejang setelah di suntik DPT, kemudian pada usia anak 3
tahun saat sedang bermain anak tiba-tiba kejang, dan pada usia 6 tahun anak kembali
kejang tanpa penyebab yang jelas. Kejang pada anak ini kurang dari 5 menit dan pada
saat kejang di usia 6 tahun disertai dengan demam tinggi. Kejang pada anak ini dapat
saja disebabkan oleh epilepsi dan infeksi intrakranial. Untuk menyingkirkan kejang
karena infeksi intrakranial maka dilakukan CT-Scan untuk melihat apakah benar ada
fokus infeksi pada kepala anak, akan tetapi dari hasil CT-Scan tidak ditemui kelainan
pada hasil CT-Scan kepala, sehingga infeksi pada intrakranial dapat disingkirkan.
Untuk memastikan jika anak benar mengidap epilepsi maka dapat dilakukan
pemeriksaan EEG, akan tetapi EEG pada anak epilepsi tidak selalu abnormal karena
banyak hal yang memengaruhi hasil EEG. Karena anak mengalami kejang yang bersifat
paroksismal dengan bangkitan spontan atau karena gangguan ringan berulang sudah
lebih dari 1 kali dengan interval lebih dari 24 jam maka anak dapat didiagnosis dengan
epilepsi.
Demam pada anak dapat disebabkan oleh banyak hal, bisa karena adanya infeksi
pada paru, infeksi pada otak, atau infeksi pada organ lain. Jika ada infeksi pada paru,
keluhan pasien biasanya demam, ada sesak nafas, batuk akut maupun kronis, akan
tetapi pada kasus, anak ini tidak tidak mengeluhan sesak nafas, batuk akut maupun
kronis, hanya mengeluhkan demam yang tinggi. Pada pemeriksaan fisik juga tidak
ditemukan kelainan pada pemeriksaan thorax, baik di daerah paru ataupun jantung.
Akan tetapi, karena sedang masa pandemic Covid-19, dan mengingat gejala Covid-19
yang bervariasi dapat ringan hingga berat, maka dapat dilakukan swab antigen atau
pemeriksaan foto thorax untuk melihat apakah ada kelainan pada paru. Jika memang
tidak ada kelainan maka untuk kemungkinan ada infeksi pada paru dapat disingkirkan.
20

Infeksi pada intracranial dapat menyebabkan berbagai gejala seperti penurunan


kesadaran, demam, kejang, sakit kepala, dll. Anak pada kasus mengalami kejang
dengan penurunan kesadaran dan demam sehingga fokus infeksi dicurigai dari
intrakranial. Untuk melihat apakah benar infeksi dari intrakranial maka dilakukan
pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan kaku kuduk, pada kasus didapatkan kaku kuduk
negatif, dan dilakukan juga pemeriksaan CT-Scan kepala untuk melihat fokus infeksi,
hasil CT-Scan kepala pada anak ini didapatkan bahwa tidak ada kelainan, sehingga
infeksi pada intracranial dapat disingkirkan dan pemberian antibiotic seperti ceftriaxone
dapat dihentikan.
Untuk terapi non-farmakologis pasien diminta untuk bed rest, kemudian pasien
diedukasi mengenai penyakit pasien, pengobatan, dan komplikasi tentang penyakitnya,
selanjutnya pasien juga diminta untuk mengatur pola makannya karena pasien sudah
mengalami obesitas.
Untuk terapi farmakologi anak ini diberikan diazepam 10 mg IV jika anak masih
mengalami kejang saat di rumah sakit. Sediaan diazepam di pasaran adalah 10 mg
diazepam dalam 2 cc. Sebelum diberikan, diazepam perlu dilarutkan dengan aquades
atau NaCl 0.9% terlebih dahulu. Pemberian diazepam adalah 2 mg/menit dengan dosis
maksimal 20 mg. Anak juga diberikan asam valproat sebagai obat anti epilepsi. Sediaan
obat ini di pasaran ada dalam bentuk sirup. Dalam 5 ml sirup mengandung 250 mg
asam valproate. Untuk anak ini membutuhkan 310-465 mg, jadi anak ini dapat
diberikan 400 mg asam valproate yang dibagi menjadi 2 dosis. Sehingga pemberiannya
4 ml asam valproate diberikan 2 kali sehari.
Anak juga diberikan ceftriaxone 1 kali saat pertama kali datang karena anak
dicurigai mengalami infeksi intracranial. Sediaan ceftriaxone di pasaran adalah 1 vial
mengandung 1 gram ceftriaxone, karena anak memerlukan ceftriaxone sebanyak 2
gram, maka anak diberikan 2 vial. Pemberian ceftriaxone 1 kali sehari dengan cara di
drip. Ceftriaxone di diencerkan terlbihan dahulu menggunakan 100 ml Dextrose 5%
atau NaCl 0.9%, infus IV ceftriaxone dianjurkan habis setidaknya dalam 30 menit.
Pemberian ceftriaxone tidak dilanjutkan karena pada CT-Scan kepala dan pemeriksaan
fisik tidak ditemukan bukti adanya infeksi intracranial.
Sebagai dokter kita juga perlu mengedukasi pasien mengenai cara penanganan
kejang dirumah, memberikan informasi jika kejang kembali berulang, permberhentian
obat yang dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang yang dilakukan secara perlahan dan
menentukan obat yang akan digunakan besama dengan orang tua.
21

Prognosis pada kasus ini quo ad vitam adalah dubia ad bonam karena kasus ini
tidak mengancam nyawa pasien, quo ad functionam dan quo ad sanationam juga dubia
ad bonam dikarenakan faktor usia anak masih muda, fungsi otak nya masih baik namun
kekambuhan penyakit belum tau pasti, mungkin bisa berulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed Z, Spencer S.S. An Approach to the Evaluation of Patient for Seizures


and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal.2004, 103(1):49-55.
2. Bromfield EB, Cavazos JE and Sirven JI. American Epilepsy Society; 2006.
Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2511/
3. PERDOSSI., 2011. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta
4. Panduan praktik klinik departemen Kesehatan anak RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang
5. Hantoro. R., 2013. Buku Pintar Keperawatan Epilepsi. Yogyakarta : Cakrawa
Ilmu
6. International League Against Epilepsy and International Bureau for Epilepsy.
Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy. Geneva. International League
Against Epilepsy and International Bureau for Epilepsy. 2005.
7. Ko,David Y. Epilepsy and Seizures. Medscape. 2020. Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/1184846-overview#a6
8. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003): Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
9. Kusumastuti. K, Gunadharma. S, Kustiowati. E., 2014. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
10. Mardjono M (2003): Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi,
Agoes A (editor); 129-148.
11. McGonigal A, Oto M, Russell AJC, Greene J, Duncan R. Outpatient video EEG
recording in the diagnosis of non-epileptic seizures: a randomised controlled
trial of simple suggestion techniques. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2002;72:549–51.
12. McWilliam, Matthew and Al Khalili, Yasir. Idiopathic Generalized Epilepsy.
Statpearl. 2020. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546611/
13. Nesbitt V, Kirkpatrick M, Pearson G. Risk and causes of death in children with
a seizure disorder. Dev Med Child Neurol. 2012, 54:612-7.
23

14. Oguni H (2004): Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48


(Suppl.8):13-16
15. Rosati, A., De Masi, S., & Guerrini, R. 2015. Antiepileptic drug treatment in
children with epilepsy. CNS drugs, 29(10), 847-863.
16. KKI (2012). Standar kompetensi dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai