Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

BRONKIOLITIS AKUT

Penyusun:
Juliand Hidayat
030.13.104

PEMBIMBING:
dr. Yosianna Liska, Sp.A

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 19 AGUSTUS – 26 OKTOBER 2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Juliand Hidayat


NIM : 030.13.104
Universitas : Trisakti
Judul : Bronkiolitis
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Pembimbing : dr. Yosianna Liska, Sp. A

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi Salah


Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian
Ilmu Kesehatan Anak

Di RSUD Karawang
Karawang, September 2019

Pembimbing
dr. Yosianna Liska, Sp. A

1
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih merupakan penyebab utama kesakitan
dan kematian balita di Indonesia. Tergolong ke dalam ISPA adalah Bronkiolitis yang secara
anatomik merupakan salah satu ISPA bawah.1,2
Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran
nafas kecil (bronkioli). Sering terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dengan insiden
tertinggi umur 2-8 bulan. Penyakit ini ditandai oleh sindrom klinis berupa nafas cepat,
retraksi dada dan wheezing.1
Penyebab terbanyak disebabkan oleh RSV (respiratory syncytial virus),penyebab lain
pada kasus-kasus yang lebih jarang disebabkan oleh virus parainfluenza tipe 1 dan 3,
Influenza B, Parainfluenza tipe 2, Adenovirus. Penyebab tersering dari bronkiolitis adalah
virus Respiratory Syncytical (RSV), kira-kira 45-55% dari total kasus. Sedangkan virus lain
seperti Parainfluenza, Rhinovirus, Adenovirus, dan Enterovirus sekitar 20%. Bakteri dan
mikoplasma sangat jarang menyebabkan bronkiolitis pada bayi. Sekitar 70% kasus
bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat sehingga harus dirawat di rumah sakit,
sedangkan sisanya biasanya dapat dirawat di poliklinik. Sebagian besar infeksi saluran napas
ditularkan lewat droplet infeksi. Infeksi primer oleh virus RSV biasanya tidak menimbulkan
gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak tahun-tahun pertama kehidupan akan
bermanifestasi berat. Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan imunitas
yang tidak bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis.
RSV adalah golongan paramiksovirus dengan bungkus lipid .1
Walaupun gejala bronkiolitis dapat menghilang dalam waktu 1–3 hari, pada beberapa
kasus dapat lebih berat, bahkan dapat menyebabkan kematian. Mortalitasnya kurang dari 1
%, biasanya meninggal karena jatuh dalam keadaan apnu yang lama, asidosis respiratorik
yang tidak terkoreksi, atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipnu serta kurang
makan dan minum. Disamping itu dapat pula memberikan dampak jangka panjang berupa
batuk berulang, mengi, hiperreaktivitas bronkus sampai beberapa tahun, bronkiolitis
obliterasi, dan sindrom paru hiperlusen unilateral (Swyer-James Syndrome).2
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada hari Kamis tanggal 22
Agustus 2019 pukul 13.00 WIB di Ruang Rawamerta kamar 155 RSUD Karawang.

2.1.1 Identitas pasien


Nama : An. AR

2
Umur : 1 tahun 7 bulan 18 hari
Tempat, tanggal lahir : Karawang, 04 Januari 2018
Pendidikan : Belum sekolah
Alamat : Jl. Poris Kutamukti, Karawang
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku bangsa : Sunda
Agama : Islam
Anak ke : 1 (satu)
No. RM : 00750376

2.1.2 Identitas orang tua


Profil Ayah Ibu
Nama AS U
Umur 28 tahun 20 tahun
Alamat Jl. Poris Jl. Poris
Kutamukti
Pekerjaan Kutamukti
Ibu rumah tangga (IRT)
Penjual cilok
Pendidikan SMP SMP
Suku Sunda Sunda
Agama Islam Islam
Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung.

2.1.3 Keluhan utama


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS.
2.1.4 Keluhan tambahan
batuk, pilek, demam, keringat malam

2.1.5 Riwayat penyakit sekarang


Seorang Anak AR, usia 1 tahun 7 bulan dibawa oleh ibunya ke Poli Anak
RSUD Karawang dan dirawat diruang perawatann Rawamerta pada hari Kamis,
Tanggal 22 Agustus 2019 pukul 13:00 dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Ibu pasien mengatakan sesak nafas ini baru terjadi
pertama kalinya, timbul setelah pasien mengalami batuk yang panjang, saat sesak
tidak terdengar suara “ngik”, sesak tidak dipengaruhi perubahan posisi maupun tanpa
adanya pencetus seperti debu, udara dingin, dan bulu binatang (tidak ada binatang
peliharaan di rumah).
Sebelumnya, sesak nafas didahului oleh batuk yang di rasakan sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit. Batuk awalnya hanya ringan, dirasakan tidak berdahak.
Namun selama 2 hari ini batuk terjadi sangat panjang, sering dan berulang. Batuk
terdengar seperti berdahak namun tidak ada dahak yang keluar. Batuk tidak
3
dicetuskan karena terpapar debu atau dingin, dan tidak ada bersin-bersin di pagi hari.
Batuk semakin lama dirasakan semakin parah yang membuat napas pasien menjadi
berat dan cepat. Pasien juga mengalami pilek bersamaan dengan batuk. Pilek dengan
ingus bening encer.
Bersamaan dengan batuk pilek, ibu pasien mengatakan bahwa anaknya juga
demam. Demam naik turun, lebih sering timbul pada malam hari. Demam tidak
diukur dengan termometer, namun teraba panas yang tidak terlalu tinggi dengan
rabaan tangan. Demam tidak diikuti dengan menggigil, tidak kejang, tidak semakin
berat dan mereda dengan sendirinya. Namun ibu pasien mengatakan tadi malam
pasien berkeringat malam. Selama 1 bulan terjadi penurunan berat badan sebanyak 2
ons, namun tidak ada penurunan nafsu makan dan pemberian asi. Mual dan muntah
disangkal oleh ibu pasien. BAB dan BAK dalam batas normal.

2.1.6 Riwayat kehamilan dan kelahiran


Kehamilan Morbiditas Ibu pasien tidak pernah mengalami
kehamilan hipertensi (-), proteinuria (-), eklampsia (-),
DM (-), penyakit jantung (-), ISK (-)
Perawatan antenatal ANC teratur setiap bulan ke bidan setempat.

Kelahiran Tempat persalinan Bidan

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Spontan

Masa gestasi 38 - 39 minggu

Keadaan bayi Berat lahir: 3500 gram

Panjang lahir: 50 cm

Lingkar kepala: orang tua pasien lupa

Langsung menangis: (+)

Kemerahan : (+)

Nilai APGAR : orang tua pasien


tidak mengetahui

4
Kelainan bawaan: (-)

Kesimpulan riwayat kehamilan dan kelahiran: Pasien lahir di Bidan ditolong oleh
Bidan, lahir spontan, cukup bulan, dan saat lahir langsung menangis.

2.1.7 Riwayat perkembangan psikomotor

0-1 bulan : Tangan dan kaki bergerak aktif, bias menoleh ke kiri dan
ke kanan, menatap ibu.
2-3 bulan : mengangkat kepala saat tengkurap, mengeluarkan suara
“ooo”, memegang benda.
4-6 bulan : tengkurap dan terlentang sendiri, tertawa, berteriak,
menoleh kearah suara, mengambil mainan / benda sendiri.
7-12 bulan : Memasuki benda kedalam mulut, berdiri, berkata-kata
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan: Tidak terdapat
keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada pasien.

2.1.8 Riwayat makanan


Umur ASI/PASI Buah Bubur susu Nasi Tim
(Bulan) /Biskuit
0-6 ASI - - -
6-12 ASI/PASI + + -
12-18 ASI/PASI + + +

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah


Nasi 2-3x/hari
Sayur 2-3x/hari
Daging Belum diberikan
Ikan Belum diberikan
Telur 2-3x/hari
Tahu /Tempe 2-3x/hari
Kesimpulan riwayat makanan : Kuantitas dan kualitas makanan pasien cukup baik.

2.1.9 Riwayat imunisasi


Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
Hepatitis B 1 bulan 2 bulan 3 bulan
BCG 1 bulan
Polio 1 bulan 2 bulan 3 bulan

5
DPT/PT 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Hib 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan
Kesimpulan riwayat imunisasi: Riwayat imunisasi pasien yang sesuai usia pasien lengkap.

2.1.10 Riwayat keluarga


2.1.10.1 Corak reproduksi
No Tanggal Jenis Hidup Lahir Abortus Mati Keterangan
lahir (umur) kelamin mati (sebab) kesehatan
1. 04 januari 18 Laki-laki Ya - - - Sehat
(1 th 7 bln)
2.1.10.2 Riwayat pernikahan
Ayah Ibu
Nama AS U
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 25 tahun 17 tahun
Pendidikan terakhir SMP SMP
Suku Sunda Sunda
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Baik Baik
Kosanguinitas (-) (-)

2.1.10.3 Riwayat penyakit keluarga

Pada kakek pasien memiliki riwayat asma. Riwayat penyakit diabetes melitus,
penyakit jantung, penyakit ginjal, dan alergi disangkal oleh orang tua pasien.

2.1.10.4 Riwayat kebiasaan dalam keluarga

Ayah pasien seorang perokok, 1 bungkus sehari. Sehari-hari ibu pasien memasak
makanan sendiri untuk keluarganya. Keluarga tidak olahraga secara rutin.
Kesimpulan riwayat keluarga: Keluarga pasien memiliki riwayat asma dan
memiliki riwayat kebiasaan kurang baik.

2.1.11 Riwayat penyakit yang pernah diderita


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)

6
DBD (-) Kejang (+) Radang paru (-)
Ootitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien belum pernah memiliki
keluhan yang sama seperti sekarang, namun pasien memiliki riwayat kejang.

2.1.12 Riwayat lingkungan tempat tinggal

Pasien tinggal bersama kedua orangtua, serumah 3 orang yang tinggal. Pasien
tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Rumah milik sendiri, 1 kamar, 1 kamar
mandi dengan WC jongkok. Ventilasi dan pencahayaan cukup baik. Air untuk minum
air yang dimasak. Pembuangan sampah, sampah dikumpulkan di bak sampah depan
rumah dan ada petugas yang membuang sampah. Jarak rumah ke rumah cukup padat.
Kesimpulan keadaan lingkungan: Perumahan padat penduduk, namun memiliki
pencahayaan dan ventilasi cukup baik.

2.1.13 Riwayat sosial ekonomi

Penghasilan per bulan ayah pasien cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Orang tua pasien menolak menyebutkan nominal penghasilan per hari atau per
bulannya.
Kesimpulan sosial ekonomi: Penghasilan orang tua pasien cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari.

2.2 Pemeriksaan fisik


Dilakukan pemeriksaan fisik pada anak AR hari Kamis tanggal 22-08-2019 pukul
13.00 WIB di Ruang Rawamerta kamar 155 RSUD Karawang.
2.2.1 Keadaan umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan lain : Ikterik (-), Pucat(-), Perdarahan (-), Sianosis (-), Anemis (-), Mata
cekung (-)

2.2.2 Data antropometri dan status gizi


Pengukuran berdasarkan grafik WHO
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 10,8 kg
Panjang Badan : 78 cm
 BB/U : (-2SD) – +2SD = Berat Badan Cukup
 TB/U : (-2SD) – +2SD = Tinggi Badan Normal

7
 BB/TB : (-2SD) – +2SD = Gizi Baik/Cukup
2.2.3 Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 110 x/menit
Pernapasan : 38 x/menit
Suhu : 36,80C
SpO2 : 93 %

2.2.4 Status generalis


Kepala : Normocephali, UUB datar
Rambut : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak
mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, tidak tampak bengkak, tidak tampak
dismorfik
Mata : Edema palpebra -/-, palpebra hiperemis -/-, sklera ikterik -/-,
konjungtiva anemis -/, cekung periorbita -/-, pupil bulat
isokor, reflex cahaya langsung +/+; reflex cahaya tak langsung
+/+
Hidung : Bentuk simetris, sekret -/-, hiperemis pada mukosa -/-napas
cuping hidung -/-, tidak terdapat deviasi septum nasal
Mulut : Mukosa berwarna kemerahan, tak tampak sianosis dan pucat.
Tenggorokan : Uvula terletak ditengah, tonsil T1/T1, tidak hiperemis.
Leher : Tidak tampak deformitas atau benjolan, tidak teraba
pembesaran KGB maupun tiroid
Thoraks
Inspeksi : Gerak napas simetris, tidak tampak lesi maupun deformitas
pada dinding dada, iktus kordis tidak tampak, terdapat retraksi
dada subcostal (+)
Palpasi : Iktus kordis teraba pada telapak pemeriksa
Perkusi : Sonor pada kedua hemithoraks paru
Auskultasi
Paru : SNV +/+, Rhonki +/+, Wheezing +/+ pada seluruh eskpirasi
dan sebagian inspirasi pada kedua lapang paru
Jantung : Bunyi jantung I dan II regular, murmur -, gallop -
Abdomen
Inspeksi : permukaan perut tampak datar, tak tampak smilling umbilicus,
tidak tampak distensi
Auskultasi : peristaltik (+), frekuensi 3-4 x/menit, tidak terdengar arterial
bruit, tidak terdengar venous hum
Palpasi : teraba supel, turgor kulit baik, tidak teraba pembesaran hepar
dan lien, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen
Genitalia : Jenis kelamin laki-laki. Tidak ada pembesaran skrotum. Anus +

8
Kelenjar getah bening
Submental : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Submandibula : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Preaurikuler : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Postaurikuler : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Cervicalis anterior : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Cervicalis posterior : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Supraclavicula : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Suboksipital : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Axilaris : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Inguinalis : Tidak teraba pembesaran kelenjar
Ekstremitas : Simetris, akral teraba hangat pada keempat ekstremitas, tidak tampak sianosis
perifer, tidak terdapat edema, capillary refill time pada keempat ekstremitas < 2 detik.

2.3 Pemeriksaan penunjang


Dilakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 22 Agustus 2019

Parameter Hasil Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,5 g/dL 10,5 – 14,0 g/dL
Eritrosit 5,28x 106/ µL 3,60 - 5,20 x 106/ µL
Leukosit 10,28x 103/ µL 6,30 - 14,00 x 103/ µL
Trombosit 375 x 103/µL 150 - 400 x 103/µL
Hematokrit 33,5 % 35,0 – 53,0 %
MCV 63 fL 72 – 88 fL
MCH 20 pg 24 – 30 pg
MCHC 32 g/dL 32 – 36 g/dL
RDW-CV 19,5 % 12,2 - 15,3 %
SEROLOGI
LED 17 mm/jam 0 - 10 mm/jam
Dilakukan pemeriksaan Rontgen Thorax pada tanggal 23 Agustus 2019:

9
2.4 Resume
Deskripsi
Seorang Anak AR, usia 1 tahun 7 bulan
- Intensitas cukup, simetris, inspirasi
dibawa oleh ibunya ke Poli Anak RSUD cukup.
Karawang dan dirawat diruang perawatann - Mediastinum tidak melebar
- Jantung: kesan jantung tidak membesar,
Rawamerta pada hari Kamis, Tanggal 22 batas jantung kiri, batas jantung kanan
Agustus 2019 pukul 13:00 dengan keluhan jelas
- Pulmo : Tampak perselubungan hiller
sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah dan perihiler kanan, tampak peningkatan
sakit. Ibu pasien mengatakan sesak nafas ini corakan bronkovaskuler yang tersebar
merata pada kedua lapang paru
baru terjadi pertama kalinya, timbul setelah - Diafragma: sinus kostofrenikus dan
pasien mengalami batuk yang panjang, saat hemidiafragma kanan dan kiri baik
sesak tidak terdengar suara “ngik”, sesak tidak
Kesan :
dipengaruhi perubahan posisi maupun tanpa  Cor dalam batas normal
 Bronkiolitis
adanya pencetus seperti debu, udara dingin, dan
bulu binatang (tidak ada binatang peliharaan di
rumah).
Sebelumnya, sesak nafas didahului oleh
batuk yang di rasakan sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Batuk awalnya hanya ringan, dirasakan tidak berdahak. Namun
selama 2 hari ini batuk terjadi sangat panjang, sering dan berulang. Batuk terdengar
seperti berdahak namun tidak ada dahak yang keluar. Batuk tidak dicetuskan karena
terpapar debu atau dingin, dan tidak ada bersin-bersin di pagi hari. Batuk semakin
lama dirasakan semakin parah yang membuat napas pasien menjadi berat dan cepat.
Pasien juga mengalami pilek bersamaan dengan batuk. Pilek dengan ingus bening
encer.
Bersamaan dengan batuk pilek, ibu pasien mengatakan bahwa anaknya juga
demam. Demam naik turun, lebih sering timbul pada malam hari. Demam tidak
diukur dengan termometer, namun teraba panas yang tidak terlalu tinggi dengan
rabaan tangan. Demam tidak diikuti dengan menggigil, tidak kejang, tidak semakin
berat dan mereda dengan sendirinya. Namun ibu pasien mengatakan tadi malam
pasien berkeringat malam. Selama 1 bulan terjadi penurunan berat badan sebanyak 2
ons, namun tidak ada penurunan nafsu makan dan pemberian asi. Mual dan muntah
disangkal oleh ibu pasien. BAB dan BAK dalam batas normal.

10
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usia. Riwayat
makanan kuantitas dan kualitas makanan pasien cukup baik. Riwayat imunisasi pasien
lenkap sesuai usia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum anak tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis dan tampak rewel. Nadi: 110 x/menit, pernapasan: 38

x/menit, suhu : 36,8°C , SpO2 : 93%. Status antopometri anak menurut WHO BB/U (-
2SD)- +2SD , TB/U (-2SD)- +2SD, BB/TB (-2SD)- +2SD. Pada pemeriksaan thorax
didapatkan retraksi substernal (+) serta auskultasi terdengar ekspirasi memanjang
disertai ronki dikedua lapang paru dan wheezing pada kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium, yaitu pemeriksaan darah rutin yang dilakukan
pemeriksaan laboratorium pada tanggal 22 Agustus 2019, didapatkan nilai Eritrosit
5,28 x 106/ µL, Hematokrit 33,5%, MCV 63 fl, MCH 20 pg, RDW-CV 19,5%, LED
17 mm/jam.

2.5 Diagnosis kerja


 Bronkiolitis Akut
 Gizi baik/cukup
 Imunisasi Lengkap sesuai usia

2.6 Diagnosis banding


 Asma persisten serangan ringan sedang
 TB Paru

2.7 Pemeriksaan anjuran


 Analisa Gas Darah
 Rontgen Thorax
 Mantoux Test

2.8 Tatalaksana
2.8.1 Non-medikamentosa
o Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien dan menjelaskan
kemungkinan adanya gejala berulang lagi
o Edukasi agar pasien jangan terpapar dengan asap rokok dan menghindari
polusi udara
o Edukasi keluarga untuk lebih memperhatikan lingkungan bermain anak

2.8.2 Medikamentosa
o O2 nasal 2l/menit

11
o IVFD KAEN 1B 3cc/kgbb/jam
o Bronkodilator : Terbutalin (0,05 – 0,1 mg/kgbb) → 2x0,4 mg
o Nebulisasi : Combivent 0,5 cc dalam NaCl 0,9% 1 cc diulang tiap 4-6 jam
o Antibiotik : Inj Ampicillin ( 100-200 mg/kgbb) → 4 x 250 mg
o Steroid : Inj. Dexamethasone (0,6 mg/kgbb) → 3 x 1,5 mg
o Mukolitik : Ambroxol 3 x 5 mg
o Antipiretik : Paracetamol (20mg/kgbb) → 2 x 80 mg bila suhu ≥38°C

2.8 Follow up
FOLLOW TANGGAL
UP 22 Agustus 2019 23 Agustus 2019 24 Agustus 2019
S Sesak (+), Batuk (+), Pilek Sesak berkurang (+), Batuk Tidak ada keluhan
(+), demam (-) (+), Pilek (+), demam (-)

O Kesan sakit: TSS Kesan sakit: TSS Kesan sakit: TSS


Kesadaran: CM Kesadaran: CM Kesadaran: CM
N: 120x/menit N: 110x/menit N: 112x/menit
P: 38 x/menit P: 30x/menit P: 30x/menit
S: 36,5 0C S: 37,50C S: 37,40C
SpO2 : 98 % SpO2 : 98 % SpO2 : 98 %
Kepala : Normocephal Kepala : Normocephal Kepala : Normocephal
Konjungtiva anemis -/-, Konjungtiva anemis -/-, Konjungtiva anemis -/-,
sclera ikterik -/-, sclera ikterik -/-, sclera ikterik -/-,
Thorax: SNV +/+; Rh +/+; Thorax: SNV +/+; Rh -/-; Wh Thorax: SNV +/+; Rh -/-; Wh
Wh +/+, retraksi subcostal -/-, retraksi subcostal (-) -/-, retraksi subcostal (-)
(+) Jantung: S1 S2 reg m (-) g (-) Jantung: S1 S2 reg m (-) g (-)
Jantung: S1 S2 reg m (-) g Abdomen: BU 2-3x/menit, Abdomen: BU 2-3x/menit,
(-) supel, NT-, supel, NT-,
Abdomen: BU 2-3x/menit, Ekstremitas: AH +/+; oedem Ekstremitas: AH +/+; oedem
supel, NT-, ekstremitas -/-CRT < 2” ekstremitas -/-CRT < 2”
Ekstremitas: AH +/+;
oedem ekstremitas -/-CRT
< 2”
A Bronkiolitis Akut Bronkiolitis Akut Bronkiolitis Akut
P  O2 nasal 2l/menit Oksigen nasal 2l/menit  Terbutalin 2x0,4mg
 IVFD KAEN 1B IVFD KAEN 1B  Ampicillin 2x100mg
3cc/kgbb/jam 3cc/kgbb/jam  Ambroxol 3x5mg
 Nebulisasi combivent Nebulisasi combivent 0,5cc  Boleh pulang
0,5cc dalam NaCl 0,9% dalam NaCl 0,9% 1 cc
1 cc Terbutalin 2x0,4mg
 Terbutalin 2x0,4mg Inj. Ampicillin 4x250mg
 Inj.Ampicillin 4x250mg Ambroxol 3x5mg
 Inj.Dexamethasone
3x1,5mg
 Ambroxol 3x5mg

12
2.9 Diagnosa Akhir
 Bronkiolitis Akut
 Gizi baik/cukup
 Imunisasi Lengkap sesuai usia

2.10 Prognosis
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Functionam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang ditandai
dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi disebabkan oleh virus.
Penyakit ini terjadi selama usia 2 tahun pertama dengan insidens puncaknya pada
sekitar usia 6 bulan. Secara klinis ditandai dengan episode wheezing, nafas cepat dan
retraksi dada.4,5
3.2 Etiologi

13
Penyebab utama dari bronkiolitis adalah infeksi Repiratory Syncytical Virus
(RSV) yang memilki morbiditas dan mortalitas tinggi, terutama pada anak dengan
risiko tinggi dan imnunokompromise. Sekitar 95 % dari kasus-kasus tersebut secara
serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Beberapa penyebab lainadalah
Adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza, Rhinovirus dan mikoplasma. Tidak
ada bukti yang kuat bahwa bakteri menyebabkan bronkiolitis.5
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm),
termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan
bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )
yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus
dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi
neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan
B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan
menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari.5
3.3 Epidemiologi

Bronkiolitis mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi


pada bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat, bronkiolitis oleh karena
RSV terbanyak pada usia 2 bulan. RSV menyebar melalui droplet dan kontak
langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang
menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat berthan di udara bebas selama 6 jam,
dan seorang penderita menularkan virus tersebut selama 10 hari.6
Di Negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin
sampai awal musim semi, di Negara tropis pada musim hujan.6
Insiden infeksi RSV sama pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis berat
lebih sering terjadi pada laki-laki. Infeksi terjadi pada anggota keluarga sebanyak
46%, 98% pada anak yang dititipkan pada perawatan harian, 42% pada staff rumah
sakit dan sebanyak 45% pada bayi yang dirawat di RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi
menyebar melalui muntahan dan penggunaan sarung tangan, sedangkan baju khusus
dapat mengurangi penyebaran infeksi nosokomial. 25% anak umur dibawah 1 tahun
dan 13% anak umur antara 1 sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi saluran
napas. Separuh dari angka tersebut didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan
dengan infeksi saluran nafas. RSV dapat ditemukan pada kultur pasien yang dirawat
di RS yang menderita infeksi tersebut dan 80% nya berumur kurang dari 6 bulan.
Diantaranya bayi yang sehat 80% dirawat di RS pada tahun pertama kehidupannya

14
dan sekitar 50% perawatan di rumah sakit adalah bayi antara umur 1-3 bulan. Kurang
dari 5% perawatan di RS pada neonatus, kemungkinan dengan adanya antibodi yang
masih terdapat dari transplasental-maternal.

3.4 Faktor Risiko

Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden


tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Makin muda usia bayi menderita bronkiolitis
biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat
mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang
rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan,
bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan
immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit
yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun
bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Selain itu, faktor resiko terjadinya
bronkiolitis adalah status sosial ekonomi yang rendah, jumlah anggota keluarga yang
besar, perokok pasif, dan berada pada tempat penitipan anak atau tempat dengan
lingkungan yang padat penduduk.4,5
3.5 Klasifikasi
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
 Bronkiolitis akut
 Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus
dan saluran pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan
menyebabkan sejumlah besar jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi jalan
nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh masa noduler granulasi dan fibrosis.
Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim pada transplantasi paru.1

3.6 Patofisiologi

Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudia
menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung
pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi
sistem saluran nafas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan
bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia.
Nekrosis sel epitel saluran nafas menyebabkan terjadi edema submukosa dan
pelepasan debris dan fibrin ke dalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel
bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun didalam bronkiolus.

15
Kerusakan epitel saluran nafas juga mengakibatkan sel aferen lebih terpapar terhadap
allergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptide (neurokinin, substance P)
yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas. Pada akhirnya kerusakan epitel
saluran nafas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adesion Molecule-1 (ICAM-1)
dan produksi sitokin yang akan menarik eosinophil dan sel-sel inflamasi. Jadi,
bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dan proses inflamasi, edema saluran
nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran nafas.7
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran nafas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja
sistem pernafasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran nafas, hiperaerasi, atelektasis,
hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal nafas. Resistensi aliran udara
saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase
ekpirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan
overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir dua kali diatas
normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.7
Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang
infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak ang lebih besar
mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap
RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran nafas
bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-
ulang, terjadi cumulative immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang
dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena
RSV.7
Penyembuhan brokiolitis akut ditandai dengan regenerasi epitel bronkus dan
bronkiolus 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat
sampai 15 hari. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan seluler.
Respon antibodi sitemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda
mempunyai respon imun yang buruk.7

16
3.7 Manifestasi Klinis
 Bronkiolitis Akut
Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer,
batuk, bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung beberapa
hari, kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk paroksimal, mengi,
dispneu, dan iritabel. Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas cepat sehingga
menghalangi proses menelan dan menghisap. 8
Pada kasus ringan, gejala menghilang 1-3 hari. Pada kasus berat, gejalanya
dapat timbul beberapa hari dan perjalananya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi tidak
demam sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi
napas 60 x/menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan
tambahan, retraksi, dan kadang-kadang sianosis. Retraksi biasanya tidak dalam karena
adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa
teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki
pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan mengi kadang-
kadang terdengar dengan jelas. Gambaran radiologik biasanya normal atau
hiperinflasi paru, diameter anteroposterior meningkat pada foto lateral. Kadang-
kadang ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat atelektasis sekunder terhAdap
obtruksi atau anflamasi alveolus. Leukosit dan hitung jenis biasanya dalam batas
normal. Limfopenia yang sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan
pada brokiolitis. Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan
menunjukkan hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat
edem dan hipersekresi bronkiolus.3,4
 Bronkiolitis Obliterans

17
Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis
dimana sudah terjadi obliterasi pada bronkiolus. Pada mulanya dapat terjadi batuk,
kegawatan pernafasan dan sianosis dan disertai dengan periode perbaikan nyata yang
singkat. Penyakit yang progresif terlihat dengan bertambahnya dispnea, batuk,
produksi sputum, dan mengi. Polanya dapat menyerupai bronkitis, bronkiolitis atau
pneumonia.1
Temuan rontgenografi dada berkisar dari normal sampai pola yang memberi
kesan tuberkulosis milier. Sindrom Swyer James dapat berkembang dengan
dijumpainya hiperlusensi unilateral dan pengurangan corak pembuluh darah paru
pada sekitar 10% kasus. Bronkografi menunjukan obstruksi bronkiolus, dengan
sedikit atau tidak ada bahan kontras yang mencapai perifer paru. Tomografi
terkomputasi (CT) dapat menunjukan bronkiektasia yang terjadi pada banyak
penderita. Temuan-temuan uji fungsi paru bervarisasi, yang paling sering adalah
obstruksi berat, namun demikian retreksi atau kombinasi obstruksi dan retraksi dapat
ditemukan. Diagnosis dapat dikonfirmasikan melalui biopsi paru.1

3.8 Diagnosis

Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan


adanya epidemi RSV di masyarakat. Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing
pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan
gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan
pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.5
Pertama sekali dapat dicatat bahwa bayi dengan bronkiolitis menderita suatu
infeksi ringan yang mengenai saluran pernapasan bagian atas disertai pengeluaran
sekret-sekret encer dari hidung dan bersin-bersin. Gejala-gejala ini biasanya akan
berlangsung selama beberapa hari dan disertai demam dari 38,5 0C hingga 390C, akan
tetapi bisa juga tidak disertai demam, bahkan pasien bisa mengalami hipotermi.
Pasien mengalami penurunan nafsu makan, kemudian ditemukan kesukaran
pernafasan yang akan berkembang perlahan-lahan dan ditandai dengan timbulnya
batukbatuk, bersin paroksimal, dispneu, dan iritabilitas. Pada kasus ringan gejala akan
menghilang dalam waktu 1-3 hari. Kadang-kadang, pada penderita yang terserang
lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam serta perjalaan

18
penyakitnya akan berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-muntah dan diare
biasanya tidak didapatkan pada pasien ini.5
Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit tersebut, mempunyai riwayat
keberadaan mereka diasuh oleh orang dewasa yang menderita penyakit saluran
pernafasan ringan pada minggu sebelum awitan tersebut terjadi pada mereka.
Disamping itu, kita juga harus menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang
dapat menyebabkan wheezing.5
Pemeriksaan fisik memperlihatkan seorang bayi mengalami distres nafas
dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit (takipneu), kadang-kadang disertai
sianosis, dan nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung,
penggunaan otot pembantu pernafasan yang mengakibatkan terjadinya retraksi pada
daerah interkostal dan daerah sub kostal. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya
hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang
memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta
terdapat crackles. Hepar dan lien akan teraba beberapa cm dibawah tepi batas bawah
tulang iga. Keadaan ini terjadi akibatt pendorongan diafragma kebawah karena
tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Suara riak-riak halus yang tersebar luas juga
dapat terdengar pada bagian akhir inspirasi. Fase ekspirasi pernafasan akan
memanjang dan suara-suara pernapasan juga bisa hampir tidak terdengar jika sudah
berada dalam kasus yang berat.5
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel
respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori
berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan. Pulse oximetry
merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan
penderita. Saturasi oksigen <95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan
merupakan indikasi untuk rawat inap.5

19
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada
pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN. Limfopenia yang
biasanya berhubungan dengan penyakit-penyakit virus, tidak ditemukan pada
penyakit ini. Biakan-biakan bahan yang berasal dari nasofaring akan menunjukkan
flora normal. Virus dapat dapat diperlihatkan di dalam sekresi nasofaring melalui
fluresensi imunologis dalam suatu peningkatan titer-titer darah atau dalam biakan5
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.
Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan
bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau
pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang
bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada,
dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit,
jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior
dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru
tampak tersebar.4,5
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi
atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi
memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus.
Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan
menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah
80-90%.4,5

3.9 Diagnosis Banding9

20
 Asma bronchial
Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang sama,
mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang,
eosinofilia dan respons perbaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol.
 Pneumonia

3.10 Pemeriksaan Penunjang


 Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel
darah putih pada umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis
mungkin normal atau bergeser kekanan atau kekiri
 Urin
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai balance
cairan dan kemungkinan dehidrasi.
 Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh
infeksi/peradangan tetapi dapat membantu menerka beratnya derajat dehidrasi.
 Analisa gas darah
hiperkapnia sebagai tanda dari air tapping, asidosis metabolik atau
respiratorik. Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan
pernafasan berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala
kelelahan dan hipoksia. 9
 Radiologi
Foto sinar-X dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan
lateral. dapat terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit):
o Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah nonspesifik
dan mungkin juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit asma,
pneumonia yang tidak lazim atau karena virus, dan aspirasi cairan.
o Ateletaksis fokal
o Gambaran udara yang terperangkap
o Gambaran sekat diafragma yang rata
o Peningkatan gambaran Garis tengah Antero posterior
o Peribronchial Cuffing
o Foto sinar-X dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk diagnosa
banding, seperti pneumonia lobaris, gagal jantung kongestif, atau aspirasi
benda asing.
 Pemeriksaan lainnya:

21
o Antigen Test pada nasal wash, dapat mengungkap dengan cepat ( pada
umumnya di dalam 30 min) dan akurat (kepekaan 87-91%, ketegasan 96-100%)
dalam pendeteksian RSV.
o Kultur positif dengan direct fluorescent antibody, test hasil percobaan dapat
mengkonfirmasikan infeksi karena RSV .
o Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname dan
anak-anak yang berhadapan dengan resiko berat.
o Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi
dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus
tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. Sensifitas
pemeriksaan ini adalah 80-90%.9
o Kultur RSV lebih sedikit sensitif (60%) tetapi spesifitas mencapai 100%.
o Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV
atau lain virus, atau pendeteksian dengan direct fluorescent antibody atau
dengan polymerase chain reaction mungkin bermanfaat untuk pertimbangan
yang berikut:
 Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya
 Untuk mencari agen lain infeksius yang lain
 Karena tujuan epidemiologik.

3.11 Penatalaksanaan dan Pengobatan

Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian
besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan,
penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi
bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi
seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV,
RSV immunoglobuline (polyclnal) atau humanized RSV monoclonal antibody
(palvizumad).4
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan
peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat
inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3
bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,
defisiensi imun dan distres napas.4
Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis adalah meyakinkan pasien secara
klinis stabil, oksigenasi baik dan hidrasi baik.
Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien dengan bronkiolitis akut adalah :

22
- Dapat melakukan pengawasan terhadap status klinis
- Dapat melakukan pemantauan saluran nafas (melalui penempatan posisi,
pengisapan dan pembersihan cairan).
- Dapat melakukan pemantauan hidrasi cairan tubuh yang adekuat
- Dapat memberikan edukasi kepada orang tua.
- Mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul
- Mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai
- Melakukan pengobatan menggunakan antivirus yang spesifik jika terdapat
indikasi.

Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit :


-
Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan
-
Apnoe
-
Ketidakmampuan untuk makan
-
Hypoksemia4

Pengobatan Suportif
A. Pengawasan
Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem jantung
paru dan jika ada indikasi dilakukan pemasangan pulse oxymetri.4
B. Oksigenasi
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia,
sehingga memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi
ventilasi paru-paru. Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika saturasi
oksigen menetap dibawah 91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap diatas
94%. Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 – 40 % sering digunakan untuk
mengoreksi hipoksia, gunakan nasal kanul (dengan kecepatan maksimun 2L/m);
masker (minimum 4 liter/menit) atau kotak kepala.
Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu
pada kasus gagal nafas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk
mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan
cara membuka saluran napas kecil, mencegah air trapping dan obstruksi.4
C. Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat keluarnya
cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak
terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari

23
kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu >
38,5 0C). Cara pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang
nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat
terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan
menekan diafragma ke paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan.4

Pengobatan Medikamentosa
A. Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk
mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah synthetic
nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin
menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus ke dalam protein virus dan
menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah
gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin
menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin
lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Ada beberapa penelitian prospektif tentang
penggunaan ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per hari atau
dosis kecil.6

B. Bronkodilator
Obat-obat beta 2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan
saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan
mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi pembengkakan
mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari
mukosilier akan lebih baik.6

Tabel 2. Bronkodilator Simpatomimetik untuk inhalasi


Jenis obat Potensi Selektivitas reseptor Efek puncak Lama kerja
ß2 (menit) (jam)

Epinephrine 4 0 2 1-1,5
Isoproterenol 4 0 3-15 1-2

24
Metaproterenol 4 +3 30-60 3-4
Terbutalin 4 +4 60 4
Salbutamol 4 +4 30-60 4-6
Fenoterol 4 +4 30-60 4-6

Pada tabel diatas tampak bahwa salbutamol, terbutalin dan fenoterol merupakan

agonis selektif ß2 yang mempunyai efek simpatomimetik dengan efek kardiovaskular


yang minimal serta lama kerja 4-6 jam. Pemberian salbutamol inhalasi mempunyai onset
kurang dari 15 menit dan efek puncak dicapai dalam 30-60 menit.6
Walaupun pemakaian nebulisasi dengan ß2 agonis sampai saat ini masih
kontroversi, tetapi masih dianjurkan dengan alas an :
1. Pada bronkiolitis, selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada
bronkospasme dibagian saluran napas perifer
2. Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier
3. Sering tak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma
4. Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal disbanding epinefrin6

C. Kortikosteroid
Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid sistemik
mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih dari 5 hari. Dapat
diberikan deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.
Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan. Sedangkan untuk
penanganan pasien pada intensive care unit dengan bronkiolitis berat pemberian
steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid inhalasi
(budesonide & fluticasone) sangat sedikit evidence based yang merekomendasikan.6

D. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis,
karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotik spektrum luas. Pemberian antibiotik justru akan
meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik
tersebut. Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin
100 - 200 mg/kgBB/hari secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan
bayi berusia 1 – 4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis
diberikan kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari dlam 3 kali pemberian.6

25
Edukasi Keluarga
Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. yaitu dengan memberitahukan :
-
Informasi mengenai penyakit bronkiolitis
-
Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap
gelembung.
-
Segera memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika
didapatkan gangguan pernafasan
-
Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak dari
paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan cuci tangan,
dll.8

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Bronkilitis8

2.11 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok
dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan
membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi
penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian
ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.4

26
Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi aktif
(Vaksinasi) dan pasif (Immunoglobulin).4

Immunoglobulin
Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang
mengandung titer antibodi protektif tinggi (respigram). Respigram adalah human
polyclonal hyperimmune globilin. Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap bulan,
diberikan secara intravena pada anak dibawah umur 24 bulan. Indikasi lain adalah
bayi yang lahir dengan umur kehamilan kurang dari 35 minggu. 4
Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan
(augmentation) antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara pemberian
dari luar dan imunisasi dari ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin yang mengandung
neutralizing antibody titer tinggi atau monoklonal terhadap protein F akan
mengurangi beratnya penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit
paru kronis diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal terhadap
protein F yang disebut dengan Palivizumab setiap bulan, diberikan secara
intramuskular setiap hari, lama perawatan RSV akan berkurang secara bermakna.
Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycuprotein antibody,
yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Akan tetapi resiko efek samping
kemungkinan meningkat pada bayi dengan penyakit jantung sianotik. AAP
merekomendasikan profilaksis boleh diberikan hanya pada bayi dengan resiko tinggi
yang tidak menderita penyakit jantung sianotik 1,4

Vaksinasi
Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live
attenuated. Vaksin RSV pertama, yang terdiri dari cold – passaged mutan, efektif
untuk orang dewasa, tetapi pada anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat
berubah menjadi virus biasa kembali. Kemudian dari permukaan glikoprotein murni,
dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin live – attenuated mempunyai
kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas mukosa dan
sistemik. 1,4
Dianjurkan pemberian live attentuated RSV dan PIV3 (Parainfluenza virus
serotipe 3) sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali dengan dosis
pertama sebelum atau pada usia 1 bulan diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan PIV2
pada usia 4-6 bulan.4

27
2.12 Komplikasi

Biasanya komplikasinya bisa berupa apneu, pneumonia, sindrom aspirasi,


gagal nafas yang membutuhkan ventilator mekanik, dehidrasi, atrial tachycardia.
Pneumothorak dapat juga terjadi pada penyakit obstruksi yang berat Ada beberapa
kelompok pasien yang beresiko tinggi terhadap infeksi RSV yang berat yaitu : bayi
prematur (usia kehamilan <35 minggu), penyakit jantung kongenital, penyakit paru
kronik, fibrosis kistik, dan kelainan fungsi imunologi (bisa karena kemoterapi,
transplantasi, dan kelainan imunodefisiensi kongenital atau didapat)10

XIII. Prognosis
 Bronkiolitis Akut
Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama sesudah
batuk dan dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan apneu
terjadi pada bayi yang sangat muda dan asidosis respiratorik mungkin ada. Sesudah
periode klinis, perbaikan terjadi dengan cepat dan seringkali secara drastis.
Penyembuhan selesai dalam beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah 1%,
kematian dapat merupakan akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis respiratorik
berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air
dan takipnea serta ketidakmampuan minum cairan.
Bayi yang memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital,
dysplasia bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi, atau kistik fibrosis mempunyai
angka morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas.
Angka mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang “beresiko tinggi” seperti di masa
yang silam. Perkiraan mortalitas pada bayi beresiko tinggi yang menderita
bronkiolitis. VSR ini telah menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5% pada
tahun 1988.
Komplikasi bakteri seperti bronkopneumonia atau otitis media, tidak lazim
terjadi. Kegagalan jantung selama bronkiolitis jarang, kecuali pada anak yang
memiliki dasar penyakit jantung. Ada proporsi yang bermakna bahwa bayi-bayi yang
menderita bronkiolitis mengalami hiperreaktivitas saluran pernafasan selama akhir
masa anak-anak, tetapi hubungan antara kedua hal ini, jika ada belum dimengerti.
Kesan bahwa satu episode bronkiolitis dapat mengakibatkan kelainan saluran
pernafasan kecil yang jangkanya sangat lama memerlukan pengamatan lebih lanjut.
Kelainan ini sebagian dapat dijelaskan melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki

28
hantaran pernafasan total rendah lebih mungkin mengalami bronkiolitis dalam
responnya terhadap infeksi virus pernafasan.
Bayi dengan bronkiolitis yang padanya berkembang saluran pernafasan reaktif
kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga asma dan alergi, episode
bronkiolitis akut lama, dan terpajan asap rokok.11
 Bronkiolitis Obliterans
Beberapa minggu setelah mulainya gejala-gejala awal, penderita keadaan
umumnya menjelek sampai meninggal, tetapi kebanyakan bertahan hidup, beberapa
anak menderita kecacatan kronis.11

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang keluhan sesak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak pada pasien
disebabkan oleh virus yang bereplikasi di dalam nasofaring dan kemudian menyebar dari
saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran
nafas. Virus mempengaruhi sistem saluran nafas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada

29
mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel
epitel silia yang menyebabkan terjadi edema submukosa. Virus yang merusak epitel bersilia
akan mengganggu gerakan mukosilier sehingga mukus tertimbun dalam bronkiolus.
Akibatnya terjadi penyempitan saluran nafas sehingga pasien sesak.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak. Batuk merupakan mekanisme pertahanan dari
tubuh akibat adanya infeksi atau benda asing. Selain itu, pada bronkiolitis tertimbun banyak
mukus sehingga akan terjadi respon batuk untuk mengeluarkan mukus.
Pasien yang masih berusia 1 tahun 7 bulan sangat rentan untuk mengalami
bronkiolitis karena respon imun yang buruk sehingga virus lebih mudah bereplikasi dan
menginfeksi saluran nafas.
Pasien tinggal di tempat yang padat penduduk dengan sosial ekonomi yang rendah.
Hal ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya bronkiolitis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takipnea dan retraksi sela iga. Takipnea merupakan
frekuensi pernafasan yang cepat dan dangkal yang melebihi normal, pada anak frekuensi
pernafasan normal adalah <50x/menit. Takipnea biasanya terjadi saat adanya
ketidakseimbangan antara karbondioksida dan oksigen. Takipnea merupakan mekanisme
kompensasi agar oksigen bisa masuk dan tersalurkan ke dalam tubuh dan dapat membuang
karbon dioksida yang menumpuk.. Selain itu, adanya ronkhi dan wheezing pada saat inspirasi
dan ekspirasi menandakan bahwa adanya udara yang melewati saluran nafas yang sempit
karena adanya obstruksi saluran nafas.
Pada pemeriksaan labroratorium darah rutin tidak didapatkan peningkatan jumlah
leukosit sehingga meyingkirkan adanya infeksi akibat bakteri.
Pada pemeriksaan foto rontgen thorax didapatkan perselubungan hiller dan perihiler
kanan, tampak peningkatan corakan bronkovaskuler yang tersebar merata pada kedua lapang
paru sehingga dapat ditegakkan kesan bronkiolitis.

BAB V
KESIMPULAN

Bronkiolitis adalah suatu infeksi atau inflamasi akut dari saluran pernapasan atas dan
bawah yang menyebabkan obstruksi pada saluran napas kecil pada anak di bawah usia 2
tahun. Angka insiden tertinggi pada anak berusia di bawah 6 bulan terutama usia 2-3 bulan

30
Penyebab bronkiolitis pada pasien ini cenderung lebih mengarah ke infeksi virus yaitu
paling banyak disebabkan oleh RSV. Respon imun yang buruk pada pasien dibawah 2 tahun
merupakan salah satu risiko untuk terjadinya bronkiolitis
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian
besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan,
penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu,
dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti kortikosteroid,
antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline
(polyclnal) atau humanized RSV monoclonal antibody (palvizumad).
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan
polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan
cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan
bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak
kecil dari kontak dengan penderita ISPA.4 Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah
dengan pemberian imunisasi aktif (Vaksinasi) dan pasif (Immunoglobulin).4

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, R.E., Kliegman R.M., Hal, Jenson, Bronchiolitis, Nelson Textbook of Pediatrics.
17thed,Philadelphia: WB Saunders Company. 2004; 378: 1415-17
2. Setiawati L, Asih R, Makmuri MS. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak. Tatalaksana
Bronkiolitis. Devisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo
Surabaya.2005
3. Krilov RL. Respiratory Syncytial Virus Infection. In: Medscape. Steele RW, Kumar A,
Lutwick LI, et al, editors. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/971488-
overview#aw2aab6b2b2aa. Accessed on June 21th, 2014.

31
4. Menkes JH, Moser FG. Neurologic examination of the child and infant. Dalam: Menkes JH,
Sarnat HB, penyunting. Child neurology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006.h.1-27
5. RahajoeN, Supriyatno B, Setyanto. DB Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI. 2008
6. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi Pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2005.
7. Steiner RWP. Treating Acute Bronchiolitis Associated with RSV. American Family Physician
2004;69:326-30
8. Kim CK, Kim SW, Park CS, Kim BI, Kang H, Koh YY. Bronchoalveolar lavage cytokine
profiles in acute asthma and acute bronchiolitis. J Allergy Clin Immunol 2003;112:64-71
9. Orenstein DM. Bronchiolitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM eds. Nelson’s
Textbook of pediatrics; 17th ed. Philadelphia: WB Saunders , 2004; 1285-7.
10. Garna H Herry. Pedoman Diagnosis Ilmu Kesehatan Anak. Bandung : Penerbit FK Unpad.
2005
11. Orenstein DM. Bronchiolitis. In: Behrman RE, Kliegen RM, Arvin AM, editors. Nelson
Texbook of Pediatrics. 15th. Toronto: WB Saunders Company; 1987. p. 1211-2.

32

Anda mungkin juga menyukai