Oleh:
Rusyda Taqiya Rahmi
1930912320072
Pembimbing:
dr. Selli Muljanto, Sp.A(K).
Halaman
2.7 Penatalaksanaan................................................................ 19
BAB IV PENUTUP
i
DAFTAR GAMBAR
Halaman
3.3 Pendekatan klinis anak dengan kemungkinan kejang onset baru ... 25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
dan gejala akibat aktivitas saraf yang berlebihan atau sinkron secara abnormal di
otak yang ditandai dengan aktivitas otot rangka yang tiba-tiba dan tidak
dengan onset dan remisi yang jelas. Kejang secara klinis dimanifestasikan oleh
Kejang dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kejang yang diprovokasi
kondisi spesifik yang bisa memprovokasi kejang antara lain demam, infeksi
Sedangkan pada kejang yang tidak diprovokasi tidak memiliki pemicu yang jelas
bahwa terdapat 103 kasus baru epilepsi anak terbanyak usia 1-5 tahun (45,63%),
1
2
ditunjang dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Hal-hal yang perlu
yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan yang meliputi pola/bentuk
LAPORAN KASUS
I. Identitas
II. Anamnesis
Aloanamnesis dengan ibu kandung penderita, pada tanggal 25 Mei 2021, pukul
17.00 WITA.
Pasien tiba di IGD RSUD Ulin pada Sabtu, 22 Mei 2021 pukul setengah
tujuh pagi. ±1 jam SMRS pasien mengalami kejang pertama kali dengan durasi
<5 menit. Kejang terjadi mendadak, ibu pasien menyangkal jika anak demam
3
4
sebelum kejang. Ibu pasien menjelaskan jika kejang terjadi sekitar pukul 05.30,
berupa pergerakan tangan dan kaki di kedua sisi tubuh secara cepat yang diawali
dengan kekakuan sebelumnya selama <5 menit. Anak tidak sadar dan tidak
gerakan berhenti, anak menjadi lemas. Ketika di IGD, anak kejang lagi dengan
gerakan yang kurang lebih sama selama <5 menit, berhenti setelah diberikan
obat yang dimasukkan lewat dubur dan suhu anak saat diukur mencapai 38,8°C.
Selama kejang, anak tidak sadar, tetapi sebelum dan sesudah kejang anak sadar
dan lemas. Di antara kejang pertama dan kedua, anak sadar. Tidak ada defisit
neurologis sebelum dan sesudah kejang. Ibu pasien menyangkal anaknya ada
keluhan batuk, pilek, sesak napas, BAB cair maupun BAB berdarah. Riwayat
trauma kepala juga disangkal. Saat di bangsal, Senin 24 Mei 2021 pukul 06.50
pagi pasien kejang seluruh tubuh selama <5 menit tanpa didahului demam.
Selama kejang anak tidak sadar, tetapi sebelum dan sesudah kejang anak sadar.
Tidak ada defisit neurologis sebelum dan sesudah kejang. Ibu pasien
warna tubuh kekuningan, diare, dan BAB berdarah sebelum mengalami kejang.
diare, BAB berdarah disangkal. Ibu pasien mengaku anaknya tidak pernah
Kakak dari pasien juga pernah mengalami kejang 1x di usia 3 bulan setelah
sebelumnya mengalami demam tinggi, tetapi hingga saat ini (usia 7 tahun), kakak
pasien tidak pernah mengalami kejang lagi dan juga tidak mengonsumsi obat-
Riwayat antenatal:
Selama kehamilan, ibu pasien rutin untuk periksa ANC ke bidan terdekat. Sakit
Riwayat Persalinan:
Penolong : Bidan
Tempat : Puskesmas
6. Riwayat Neonatal
Tidak ada riwayat pemberian oksigen setelah lahir karena lahir langsung
7. Riwayat Perkembangan
Tiarap : 3 bulan
Merangkak :-
6
Duduk :-
Berdiri :-
Berjalan :-
Saat ini : Saat ini pasien berusia 5 bulan 8 hari dan sudah bisa
kuat, dan merespon suara orang tua dengan tertawa dan menangis.
8. Riwayat Imunisasi
2020.
9. Riwayat Makanan
Sejak usia 1 bulan hingga sekarang pasien mengonsumsi susu formula yang
diberi setiap pasien menangis sekitar 5-6 kali sehari, sebanyak 3 sendok
Ikhtisar keturunan:
Garis Ayah: Garis Ibu:
Susunan keluarga :
No. Nama Umur L/P Keterangan
1. Tn. AR 32 tahun L Sehat
2. Ny. W 28 tahun P Sehat
3. An. T 7 tahun P Sehat
4. An. AAAB 5 bulan L Sakit
komplek yang tidak penduduk, jarak antar rumah cukup jauh dan lokasinya tidak
pencahayaan cukup. Sumber air minum, mandi, dan kakus berasal dari PDAM.
Ayah pasien merokok di rumah. Ayah dan ibu pasien bekerja sebagai wiraswasta.
Suhu : 36,6°C
Respirasi : 40 kali/menit
Panjang badan : 69 cm
Lingkar kepala : 44 cm
6. Kepala/leher :
tidak ada.
sisa susu
pseudomembran.
ada abses.
7. Toraks:
simetris.
b. Jantung
8. Abdomen
teraba massa.
9. Ekstremitas
Ekstremitas atas dan bawah hangat. CRT < 2 detik. Gerakan cukup aktif,
tonus normal, atrofi otot tidak ada, klonus tidak ada, refleks fisiologis
11
normal, reflex patologis tidak ada, tanda meningeal tidak ada. Terlihat
CN I : sulit dievaluasi
CN V : sulit dievaluasi
CN XI : motorik normal
11. Genitalia
12. Anus
HEMATOLOGI
MCV.MCH.MCHC
HITUNG JENIS
Diabetes
Elektrolit
PEMERIKSAAN HASIL
V. Resume
Uraian :
Pasien tiba di IGD RSUD Ulin pada Sabtu, 22 Mei 2021 pukul setengah
tujuh pagi. ±1 jam SMRS pasien mengalami kejang pertama kali dengan durasi
<5 menit. Kejang terjadi mendadak, ibu pasien menyangkal jika anak demam
sebelum kejang. Ibu pasien menjelaskan jika kejang terjadi sekitar pukul 05.30,
berupa pergerakan tangan dan kaki di kedua sisi tubuh secara cepat yang diawali
dengan kekakuan sebelumnya selama <5 menit. Anak tidak sadar dan tidak
gerakan berhenti, anak menjadi lemas. Ketika di IGD, anak kejang lagi dengan
gerakan yang kurang lebih sama selama <5 menit, berhenti setelah diberikan
obat yang dimasukkan lewat dubur dan suhu anak saat diukur mencapai 38,8°C.
Selama kejang, anak tidak sadar, tetapi sebelum dan sesudah kejang anak sadar
dan lemas. Di antara kejang pertama dan kedua, anak sadar. Tidak ada defisit
neurologis sebelum dan sesudah kejang. Ibu pasien menyangkal anaknya ada
keluhan batuk, pilek, sesak napas, BAB cair maupun BAB berdarah. Riwayat
trauma kepala juga disangkal. Saat di bangsal, Senin 24 Mei 2021 pukul 06.50
pagi pasien kejang seluruh tubuh selama <5 menit tanpa didahului demam.
Selama kejang anak tidak sadar, tetapi sebelum dan sesudah kejang anak sadar.
Tidak ada defisit neurologis sebelum dan sesudah kejang. Ibu pasien
warna tubuh kekuningan, diare, dan BAB berdarah sebelum mengalami kejang.
17
Kakak dari pasien juga pernah mengalami kejang 1x di usia 3 bulan setelah
sebelumnya mengalami demam tinggi, tetapi hingga saat ini (usia 7 tahun),
kakak pasien tidak pernah mengalami kejang lagi dan juga tidak mengonsumsi
Ayah pasien yang tinggal dengan pasien merokok di rumah. Ayah dan ibu
Pemeriksaan Fisik :
TD :-
Suhu : 36,6°C
Pernapasan : 40 kali/menit
Antropometri :
Panjang badan : 69 cm
Lingkar kepala : 44 cm
Kepala : normosefali
ikterik (-).
Toraks
wh (-/-).
Epilepsi
VIII. Prognosis
IX. Penatalaksanaan
Venflon
X. Usulan
XI. Follow Up
S) Tidak ada demam (bebas demam H6), tidak ada kejang (bebas kejang H2)
RR: 40x/m
T: 36,5 C
N: 80x/m
A) - Epilepsi
P) Venflon
Pro BLPL
BAB III
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini akan dibahas bayi usia 5 bulan dengan keluhan
kejang. Pasien mengalami kejang pertama kali sejak 1 jam SMRS, berlangsung <5
menit dan ibu pasien menyangkal bayinya demam sebelum kejang. Sebelum dan
setelah kejang anak sadar, tetapi tampak lemas. Ibu pasien menjelaskan jika kejang
pertama kali berupa pergerakan tangan dan kaki di kedua sisi tubuh secara cepat
yang diawali dengan kekakuan sebelumnya selama <5 menit. Anak tidak sadar dan
tidak respons terhadap stimulus selama mengalami kondisi tersebut, dan setelah
gerakan berhenti, anak menjadi lemas. Kejang kedua terjadi di IGD, jeda ±1,5 jam
dari kejang pertama, saat diukur suhu tubuh pasien mencapai 38,8°C. Lama kejang
<5 menit, berhenti setelah diberikan obat yang dimasukkan lewat dubur. Saat di
bangsal, Senin 24 Mei 2021 pukul 06.50 pagi pasien kejang seluruh tubuh selama
<5 menit tanpa didahului demam. Selama kejang anak tidak sadar, tetapi sebelum
dan sesudah kejang anak sadar. Tidak ada defisit neurologis sebelum dan sesudah
kejang. Pasien tidak pernah sakit sejak lahir, tidak pernah demam, diare, BAB
Riwayat trauma kepala disangkal. Kakak pasien pernah kejang 1x di usia 3 bulan
dan kejangnya didahului demam tinggi 39°C. Dirumah pasien ada 1 orang perokok
Pada pemeriksaan fisik tanggal 25 Mei 2021 didapatkan hasil pasien tampak
sakit ringan, kesadaran kompos mentis, pada pemeriksaan tanda vital didapatkan
21
22
nadi 130 kali per menit, regular, kuat angkat, kecepatan respirasi 40 kali per menit,
saturasi oksigen 99%. Pada pemeriksaan head to toe tidak ditemukan kelainan,
berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, yaitu epilepsi dan kejang
demam sederhana.
Kejang merupakan bentuk tanda dan gejala yang terjadi akibat adanya
aktivitas saraf yang abnormal, berlebihan, dan hipersinkron di otak. Secara klinis,
Pada tahun 2017, ILAE mengeluarkan klasifikasi kejang terbaru. Secara garis
besar, kejang dibagi menjadi kejang fokal (hanya terjadi di salah satu hemisfer otak)
kejang menurut ILAE 2017 dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut.
23
Kejang dapat terjadi dengan atau tanpa provokasi. Kejang yang diprovokasi
eksitatorik dan inhibitorik otak. Hal-hal yang bisa memprovokasi atau menginduksi
terjadinya kejang antara lain infeksi sistem saraf pusat, demam, intoksikasi, trauma
(hipoglikemia).2
24
dilakukan pendekatan klinis dengan langkah-langkah pada Gambar 3.2 dan Gambar
3.3.
Gambar 3.3 Pendekatan klinis pada anak dengan kemungkinan kejang onset baru 9
26
Berdasarkan kedua alur di atas, maka pertama harus ditentukan dulu apakah
benar pasien mengalami kejang atau sesuatu yang menyerupai kejang. 8,9 Dari
“kejang” pertama kali pada Sabtu, 22 Mei 2021 pukul 05.30 yang berupa
pergerakan tangan dan kaki di kedua sisi tubuh secara cepat yang diawali dengan
kekakuan sebelumnya selama <5 menit. Anak tidak sadar dan tidak respons
terhadap stimulus selama mengalami kondisi tersebut, dan setelah gerakan berhenti,
merupakan kejang tipe motorik, yaitu kejang tonik-klonik. Jenis kejang ini diawali
sering dipersepsikan orang awam sebagai “kejang”, dan kondisi ini berlangsung
dalam hitungan 1-3 menit. Kondisi ini terjadi akibat gangguan di salah satu
karena tedapat gangguan kesadaran selama kejang. Penyebab tersering dari kejang
tipe tonik-klonik adalah epilepsi yang diduga akibat faktor genetik. Selain epilepsi,
penyebab kejang tipe tonik-klonik adalah akibat efek sekunder dari proses infeksi,
gangguan metabolik, atau kondisi patologi yang berkaitan dengan imunitas. 6,9
mencari tahu apakah kejang tersebut terjadi pertama kali atau merupakan kejang
27
berulang. Selain itu, juga penting untuk mengetahui kejang tersebut diprovokasi
Pada anak-anak, kejang yang diprovokasi paling sering terjadi setelah anak
mengalami demam dalam waktu 16-24 jam sebelum muncul kejang.8 Sedangkan
kejang yang terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya provokasi kemungkinan mengarah
ke epilepsi.9
Ibu pasien menyangkal jika anaknya mengalami demam, batuk, pilek, sesak,
diare, BAB berdarah, mual-muntah, riwayat trauma kepala, maupun konsumsi obat-
obatan tertentu. Dari keterangan tersebut, bisa ditarik kesimpulan jika anak
mengalami kejang pertama tanpa provokasi karena tidak ada demam maupun tanda-
tanda infeksi lainnya dan gangguan metabolik maupun gangguan elektrolit. Namun,
pada kejang kedua yang terjadi di IGD, suhu tubuh pasien saat kejang mencapai
38,8°C, sehingga kemungkinan kejang muncul akibat adanya demam yang tidak
suhu rektal ≥38°C tanpa adanya kelainan primer intrakranial. Kriteria kejang
mendahului kejang, 3) kejang umumnya terjadi dalam 24 jam setelah anak mulai
demam, paling sering dalam 16 jam pertama, 4) sebelum dan sesudah kejang anak
sadar dan tidak terdapat kelainan neurologis, dan 5) anak tidak pernah mengalami
terjadi pada pasien tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai kejang demam.
28
Oleh karena itu, kemungkinan lainnya adalah kejang terjadi tanpa provokasi
Jika kejang tanpa provokasi terjadi akibat epilepsi, maka terlebih dahulu
harus memenuhi definisi dari epilepsi. ILAE telah mengeluarkan definisi epilepsi
di tahun 2014 yang sampai saat relevan digunakan. Epilepsi didefinisikan sebagai:
1) >2 kejang tanpa provokasi terjadi muncul dalam jarak >24 jam, 2) satu kejang
tanpa provokasi atau kejang refleks dengan risiko berulangnya kejang ≥60% dalam
10 tahun, dan 3) diagnosis dari sindrom epilepsi. Namun, pada beberapa tipe
epilepsi, trigger spesifik bisa menginduksi jenis kejang tertentu (misalnya kejang
Pada tanggal 24 Mei 2021, pukul 06.50, pasien mengalami kejang ketiga
dengan durasi <5 menit. Kejang terjadi tanpa diprovokasi dan pasien tidak
Kondisi ini sudah memenuhi definisi dari epilepsi, yaitu adanya kejang tanpa
provokasi yang terjadi dalam jarak >24 jam. Untuk menyingkirkan diagnosis
pasien menjalani cek laboratorium darah rutin, kimia darah (gula darah sewaktu),
penunjang lain seperti EEG, CT-scan, dan MRI terutama pada pasien yang sudah
dicurigai epilepsi. Sekitar 50% pasien dengan epilepsi tidak menunjukkan kelainan
29
pada gambaran EEG, sedangkan sensitifitas pada CT-scan mencapai 30-50% dan
diagnosis epilepsi sebenarnya cukup secara klinis dan bisa diperkuat dengan
gambaran khas dari pemeriksaan EEG.8 Namun, EEG dapat membantu menetapkan
apakah jika anak kejang pertama kalinya merupakan bagian dari sindrom epilepsi
tertentu, serta apakah bangkitan kejang merupakan kejang parsial atau umum. EEG
kejang umum (mis. absen, atonik, mioklonik, tonik, klonik, dan / atau tonik-klonik)
dan umumnya memiliki pelepasan gelombang dan lonjakan umum pada EEG ketika
dengan berbagai kejang onset fokal. Pada epilepsi fokal, EEG interiktal mungkin
saja normal atau dapat menunjukkan pelepasan fokal atau multifokal. Klasifikasi
2017 menambahkan kategori baru, yaitu gabungan epilepsi umum dan fokal yang
digunakan untuk anak-anak dengan serangan onset fokal dan umum. Pasien-pasien
ini mungkin mengalami pelepasan fokal dan umum pada EEG. Kategori ini
mencakup variasi serangan awal epilepsi yang resistan terhadap obat, seperti
Pasien sudah menjalani pemeriksaan EEG pada Senin, 24 Mei 2021, tetapi
hingga pasien pulang pada Rabu, 26 Mei 2021 hasil EEG belum keluar, sehingga
diagnosis epilepsi hanya ditegakkan secara klinis saja. Selain itu, pasien tidak
Selama dirawat di bangsal anak, Ruang Tulip IIA RSUD Ulin Banjarmasin,
Parasetamol 3x100 mg jika terdapat demam, dan per oral Asam valproat syr 2x1,3
ml.
tatalaksana kejang pada anak dapat dilihat pada Gambar 3.4 berikut.
mengatasi kejang apabila terjadi di rumah sakit. Dosis tersebut sudah sesuai dengan
berat anak yang 8,7 kg, yakni di rentang 1,74 - 4,35 mg. Antipiretik parasetamol
juga disiapkan apabila anak mengalami demam seperti yang pernah terjadi di IGD.
Dosis paracetamol untuk anak adalah 10-15 mg/kgBB terbagi dalam tiga dosis.
Pada anak ini diberikan dosis 3x100 mg sudah sesudai dengan berat badan anak,
Pemberian per oral Asam valproat dimulai dari tanggal 24 Mei 2021 setelah
diagnosis epilepsi ditegakkan secara klinis. Ini sesuai dengan teori bahwa OAE
diberikan setelah serangan kedua terjadi dan diagnosis epilepsi sudah ditegakkan.
Selain itu, sebelum pemberian OAE, keluarga pasien perlu dijelaskan mengenai
tujuan pengobatan, lama pengobatan, dan efek samping pengobatan. Jenis OAE
yang dipilih harus disesuaikan dengan sifat serangan epilepsi dan pilihan OAE
dimulai dari monoterapi hingga politerapi. Dosis pemberian OAE dimulai dari dosis
terkecil yang kemudian dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau
Pilihan obat antiepilepsi ada beragam, tetapi ada beberapa faktor yang
kejang tipe general. Obat ini lebih unggul dari fenobarbital, topiramate, dan
menunjukkan kontrol kejang dini, tetapi hal ini dapat terjadi dengan mengorbankan
32
efek samping yang merugikan sebagaimana terbukti dari tingkat retensi yang lebih
tahun sambil diatur penyesuaian dosisnya hingga tercapai dosis optimal untuk
menekan serangan epilepsi. Setelah dua tahun bebas kejang, baru dosis OAE dapat
diturunkan.
BAB IV
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus An. AAB dengan usia 5 bulan 8 hari dengan
antipiretik, dan antiepilepsi. Pasien sudah pulang pada tanggal 27 Mei 2021 dan
33
DAFTAR PUSTAKA
2. Bluvstein JS, Moshe SL. First unprovoked seizure current management in child
neurology. 3rd edition. 2005. pp. 89–92.
3. Fisher RS, van Emde BW, Blume W. Epileptic seizure and epilepsy: definitions
proposed by the International League Againts Eplilepsy (ILAE) and the
International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2.
4. Andrianti, Pravita & Gunawan, Prastiya & Hoesin, Faroek. Profil epilepsi anak dan
keberhasilan pengobatannya di RSUD Dr. Soetomo Tahun 2013. Sari Pediatri.
2016;18(1): 34-39.
5. Ko YD. Epilepsy and seizure. [Internet] Medscape. October 2020. Available in:
https://emedicine.medscape.com/article/1184846-overview. [cited June, 6 2021].
6. Fisher R., et al. Instruction manual for ILAE 2017 operational classification of
seizure types. Epilepsia. 2018;58(4):532-44.
8. Muhyi R., Hidayah N., Bab IX Sub Bagian Neurologi. 2017. Dalam: Yunanto A.
Panduan praktik klinis pediatri. Cetakan 3. Yogyakarta: Oceania Press. p 237-67.
34