Anda di halaman 1dari 7

BAB I

Bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Bahkan dengan bahasa kita bias
mengetahui budaya orang lain. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan suatu bangsa tercermin dari
budayanya. Cerminan bahasa dan budaya tidak hanya dalam kosa kata kata, pararaf, wacana atau
retorika. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan adalah hal yang menarik untuk dibicarakan,
sehingga membuat masyarakat luas dengan berbagai latar belakang tertarik untuk
membicarakannya. Ditinjau dari sudut kebudayaan, bahasa adalah wujud dari kebudayaan.
Bahasa sebagai wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya dan dari bahasa kita
dapat mengetahu seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa. Koentjoroningrat dalam
Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama
berkembangnya masyarakat manusia.

Permasalahannya adalah beberapa ahli linguistic bersepakat bahwa mempengaruhi


budaya seseorang. Pendapat ini dipopulerkan oleh dua pakar linguistic bernama Edward Sapir
dan Benjamin Whorf, sehingga teori mereka terkenal dengan sebutan ‘Teori Sapir- ‐Whort.
Teorinya menyebutkan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran manusia dan karena itu
mempengaruhi juga tingkah lakunya,

BAHASA DAN KULTUR / KEBUDAYAAN

1. BAHASA
Batasan bahasa ditegaskan Widjono (2007:15) adalah system lambing bunyi
ujaran yang digunakan untuk berkomuniksi oleh masyarakat pemakainya. Digunakan
dalam berbagai lingkungan, tingkatan dan kepentingn yang beraneka ragam, misalnya
komunikasi ilmiah, bisnis, kerja, sosial dan budaya.

Secara umum fungsi bahasa, yaitu alat komunikasi antar anggota masyarakat.
Dijelaskan Nababan (1993:38), jika dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dapat
dibedakan menjadi empat golongan fungsi, (1) kebudayaan, (2) kemasyarakatan, (3)
perorangan, dan (4) pendidikan. Keempat fungsi tersebut berkaitan, sebab ‘perorangan’
adalah ‘anggota masyarakat’ yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pla-‐pola
‘kebudayaan yang diwariskan dan dikembangkan melalui ‘pendidikan”.

1
Sebagai makhluk social, manusia tidak dapat hidup seorang diri. Dalam
memenuhi kebutuhannya setiap orang memerlukan kerjasama dengan orang lain, terlebih
lagi kebutuhan manusia banyak dan beragam. Mereka perlu berkomuikasi dalam berbagai
lingkungan di tempat mereka berada.

2. KULTUR / KEBUDAYAAN
Hakikat kultur / kebudayaan sangat kompleks sehingga para ahli selalu
memberikan pengertian, pemahaman dan batasan yang bervariasi. Wilson dalam Siberani
(1992:99), mengatakan bahwa kebudayaan adalah pegetahuan yang ditransmisi dan
disebarkan secara social, baik bersifat eksistensi, normative maupun simbolis yang
tercermin dalam tingka laku dan benda-‐benda hasil karya manusia.

Sementara Koentjoroningrat merumuskan kerangka kebudayaan memiliki dua


aspek, yaitu (1) wujud kebudayaan yang berupa gagasan, perilaku dan kebudayaan fisik
yang bersifat kongkret, (2) isi kebudayaan yang terdiri dari bahasa, system teknologi,
system mata pencaharia atau ekonomi, organisasi social, system pengetahuan, system
teligi dan sistem kesenian.

Dari beberapa definisi mengenai kebudayaan dapat kita temukan dasar pijakan
yang sama yaitu manusia dengan segala macam kelebihannya dibanding dengan makhluk
lain. Kebudayaan selalu dipandang sebagai suatu yang khas manusia dan karena itu selalu
dihubungkan dengan keindahan, kebebasan dan keluhuran.

3. BAHASAN DALAM KULTUR / KEBUDAYAAN


Bahasa dan Kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan
sederajat yang keduduknnya sangat tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217)
menyebutkan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu system yang melekat pada
manusia. Atau dengan kata lain kebudayaan adalah suatu sistem yangmelekat pada
manusiamengatur interaksi manusia di dalam bermasyarakat, maka bahasa adalah suatu
system yang berfungsi sebagai sarana berlangsung interaksi tersebut.

2
Tentang hubungan bahasa dan kebudayaan ini juga pernah dibahas oleh: D. Bloomfield,
harris dan Voegeli dalam Oka (1974:113) Menurut mereka bahasa jika ditinjau dari luar
dirinya adalah sebagaialat dan wadah kebudayaan dalam wujud kegiatan berbahasa baik
dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk lisan.

Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit
mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling
mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) adadua macam
hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan
(filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).
Sebagai sarana kebudayaan, dilihat dari pemerkayaan kebudayaan Indonesia melalui
daerah dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Seperti dimaklumi penerima
kebudayaan hanya bisa terwujud apabila budaya itu dimengerti, dipahami, dan dijunjung
masyarakat pemakai bahasa itu. Bahkan sering dinyatakan bahwa kebudayan dapat
terjadi apabila ada bahasa, karena bahasalah yang memungkinkan terbentuknya
kebudayaan.

Tata cara berbahasa seseorang sangat dipengaruhi norma-‐norma budaya suku


bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang sunda juga berbeda
dengan tata cara berbahasa orang Jawa meskipun mereka sama- ‐sama berbahasa
Indonesia. Hal ini menunjukkan kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat
berpengaruh pada bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita perlu memahami norma- ‐norma
kebudayaan sebelum atau selain mempelajari bahasa.

Dalam teori sapir-‐Whorf, kebiasaan tersebut timbul dari bahasa sehingga ia


menegaskan bahwa bahasa mempenagruhi budaya (kebiasaan). Dalam masyarakat
Inggris yang tidak terbiasa (budaya) makan nasi, mereka tidak memiliki kosa kata yang
lengkap untuk menyatakan beras, padi, dan nasi. Dalam bahasa Inggris hanya ada satu
kata untuk itu semua, yakni rice. Contoh lain pada masyarakat Eksimo karena sudah
berbudaya hidup dalam salju, sedangkan dalam ahasa Indonesia hanya ada satu kata
‘salju untuk menyatakan salju dengan beragam jenisnya.Kita juga sering kesulitan dalam

3
dalam menerjemahkan kata-‐kata atau ungkapan dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Contoh, perkataanvillage dalam bahasa Inggris tidaklah sama dengan ‘desa’ dalam
bahasa Indonesia. Sebab konsep villagedalam kebudayaan Inggris atau Amerika sangat
berbeda dari konsep ‘desa’ dalam ebudayaan Indonesia. Karena itu ungkapan yang
pernah dikeluarkan penulis asing menyebutkan kota Jakarta sebagai suatu big village
akan hilang artinya jika diterjemahkan dengan ‘desa yang besar’.

4. KULTUR / BUDAYA MEMPENGARUHI BAHASA


Hal ini jelas memperlihatan bahwa tidak selamanya bahasa itu mempengaruhi
budaya. Namun ada kalanya budaya mempengaruhi bahasa. Menjadi wajar, manakala
teori sapir-‐Whorf masih dipertanyakan saat ini. Bahkan dalam tindakan sehari-‐hari,
kebanyakan budaya lebih dahulu ada disbanding bahasa. Misal dalam masyarakat Aceh,
alat yang digunakan untuk membajak sawah disebut langlai. Benda itu (langlai) semula
tidak ada nama, namun setelah bendanya tercipta dan menjadikebiasaan manusia
membajak sawah dengan benda tersebut, barulah kemudian muncul nama (bahasa) untuk
menyebutkan benda tersebut.

Ada juga yang berpendapat cara berfikir mempengaruhi cara bahasa atau dengan
kata lain pikiran yang masuk kebudayaan mempengaruhi bahasa. Wardhaugh dalam
Sibarani (1992:109), menyatakan pikiran (kebudayaan mental) mengarahkan bahasa
menjadi bahasa yang berisi, bermakna dan bermanfaat. Jikalau terjadi keruskan dalam
pikiran seseorang , maka akan mempengaruhi bahasanya. Mungkin bahasa orang yang
mengalami kerusakan pikiran ini masih dapat dimengerti, tetapi makna, manfaatdan
tujuan tidak dapat dipahami. Padahal bahasa sebagai system komunikasi harus dapat
dipahami makna dan tujuannya terutama bagi penyapa dan pesapa.

Hubungan lain yang perlu diperhatikan dalam komunikasi, tata cara berbahasa
harus sesuai dengan norma-‐norma kebudayaan. Apabila tidak sesuai dengan norma-‐
norma kebudayaan, tak jarang dituduh orang yang aneh, egois, sombong, acuh, tidak
beradat dan berbudaya. Menurut Nababan (1993:53) tata cara berbahasa ini mengatur, (1)
apa yang sebaiknya kita katakana pada waktu dan eadaan tertentu, (2) ragam bahasa apa

4
yang sewajarnya kit pakai dalam situasi sosiolingistik tertentu, (3) kapn dan bagaimana
kita menggunakan giliran berbicara dan menyela pembicaraan orang lain, dan (4) kapan
kita dian dan jangan berbicara.

Tata cara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai system
komunikasi. Suara keras yang menyertai tanda verbal seorang ketika berkomunkasi
dengan atasannya mungkin dianggap kurang sopan. Akan tetapi mungkin hal itu
dimaklumi apabila yang berbicara itu orang dari suku Batak. Sebaiknya kalau kita
menyapa atasan kita pagi-‐pagi di kantor, adalah wajar kalau kita menapa, “Selamat Pagi,
Pak/Bu”, dan tidak wajar mengatakan Apa kabar Pak/Bu”, karena kata-‐kata itu lebih
tepat dipakai kepada orang yang setingkat dengan pembicara dan bernada ragam santai.
Artinya tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-‐norma budaya suku bangsa
atau kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah
mendarah daging sangat berpenagruh pada bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita perlu
mempelajari atau memahami norma-‐norma kebudayaan sebelum atau selain mempelajari
bahasa.

5. HUBUNGAN BAHASA DENGAN KULTUR / KEBUDAYAAN


Ada beberapa teori mengenai hubungan bahasa dengan kultur / kebudayaan. Secara garis
besar, teori-teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu menyatakan
hubungan yang bersifat subordinatif, dimana bahasa dibawah lingkup kebudayaan, dan
hubungan yang bersifat koordinatif, yakni hubungan yang sederajat dengan
kedudukannya yang sama tinggi.
Kebanyakan ahli mengatakan bahwa kebudayaan menjadi mainsystem, sedangkan bahasa
lainnya merupakan subsystem. Berkaitan dengan hubungan yang bersifat koordinatif
antara bahasa dengan kebudayaan, Masinambouw (1985) menyebutkan bahwa bahasa
dan kebudayaan merupakan dua system yang “melekat” pada manusia karena
kebudayaan merupakan system yang mengatur interaksi manusia, sedangkan bahasa atau
kultur / kebudayaan merupakan system yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan
sarana itu (via Chaer, 1995 : 217-218).

5
Sebagai makhluk sosial, mahusia akan selalu berhubungan dan bekerja sama dengan
manusia lain. Setiap orang membutuhkan keberadaan orang lain untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhannya. Dalam hubungan antara individu dengan individu lainnya diperlukan
suatu sarana untuk berkomunikasi, yaitu bahasa. Menurut Djoko Kenjono (dalam Chaer, 2003:
30), bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota
kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentitikasikan diri. Bahasa tidak
hanya sekedar sistem bunyi, morfologis, dan sintaktis yang dirancang untuk menyatakan suatu
pikiran, tetapi juga membawa identitas budaya dan status sosial. Bahasa mencerminkan kondisi
sosial dan hubungan antarmanusia (Paulston, 1986: 116).

Definisi bahasa di atas mengandung makna bahwa bahasa tidak hanya digunakan sebagai
alat komunikasi dan bekerja sama, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk mengidentitikasikan
diri suatu kelompok sosial. Melalui bahasa dapat diketahui identitas individu atau kelompok
sosial. Oleh karena keberadaan bahasa dalam suatu komunitas sangat penting. maka ia
dijadikan sebagai salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1974). Sebagai unsur suatu
budaya, bahasa mempunyai hubungan erat dengan identitas suatu budaya. Tulisan ini membahas
bagaimana bahasa digunakan untuk mengidentifikasi identitas personal, kelas sosial, etnis, dan
nasional.

IDENTITAS KULTUR / BUDAYA

Identitas mengacu pada karakter khusus individu atau anggota suatu kelompok atau
kategori sosial tertentu. Identitas berasal dari kata "idem" dalam bahasa Latin yang berarti sama.
Dengan demikian identitas mengandung makna kesamaan atau kesatuan dengan yang lain dalam
suatu wilayah atau hal-hal tertentu (Rummens, 1993:157-159), Selain mengandung makna
kesamaan, identitas juga mengandung makna perbedaan. Identitas dapat juga bermakna suatu
karakter yang membedakan suatu individu atau kelompok dari individu atau kelompok lainnya.
Dengan demikian identitas mengandung dua makna, yaitu hubungan persamaan dan hubungan
perbedaan. Hubungan persamaan dalam identitas muncul ketika suatu individu mempunyai
kesamaan dengan individu lain dalam suatu kelompok. Hubungan perbedaan dalam identitas
muncul

6
Identitas yang dimiliki oleh seorang individui dapat berupa identitas personal (persona/
identity) dan identitas sosial (soc/a/ identity). Identitas personal merupakan hasil dari suatu
identifikasi diri, oleh dirinya sendiri, dengan penilaian dari orang lain. Identitas personal
merupakan suatu karakter tertentu yang dimiliki oleh seorang individu yang membedakan dari
orang lain. Identitas personal dapat berupa ciri-ciri fisik seperti wajah dan tinggi badan, atau ciri
psikologis seperti sifat, tingkah laku, dan gaya bicara. Identitas sosial merupakan hasil dari
identifikasi diri oleh orang lain, dan merupakan suatu identifikasi yang disetujui atau diberikan
seorang pelaku sosial (social actor) kepada seorang individu (Rummens, 1993). Secara lebih
jelas, identitas sosial merupakan suatu pengetahuan dan pengakuan diri individu sebagai anggota
suatu kelompok serta pengakuan kelompok kepada individu tersebut sebagai anggotanya (Giles
dan Johnson, 1987).
Identitas kultur / budaya merupakan kesadaran dasar terhadap karakteristik khusus
kelompok yang dimiliki seseorang dalam hal kebiasaan hidup, adat, bahasa, dan nilai-nilai
(Dorais, 1988). Identitas etnis berhubungan erat dengan identitas budaya, karena untuk
mengategorikan suatu masyarakat, seseorang harus mengetahui ciri khas budaya mereka, atau
dengan kata lain identitas etnis dapat menunjukkan identitas budaya suatu kelompok. Identitas
etnis pada umumnya berkaitan erat dengan budaya, politik, dan ekonomi. Identitas ini
mempunyai hubungan yang kuat dengan politik yang didefinisikan sebagai kekuatan untuk
mengontrol dan mengatur distribusi dan ketersediaan sumber-sumber daya.

Anda mungkin juga menyukai