Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah Laryngopharyngeal reflux (LPR) pertama kali diperkenalkan oleh

Kaufman pada tahun 1981.1 Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah variasi

ekstraesofageal dari penyakit refluks gastroesofageal yang melibatkan aliran balik

isi lambung ke laring dan faring.1-5 Sinonim lain dari LPR yang sering digunakan

antara lain refluks supraesofageal, refluks ekstraesofageal, refluks atipikal, refluks

gastroesofagofaringeal, laringitis refluks dan posterior laringitis.3-5

LPR dapat dikaitkan dengan pola laringitis akut, kronis, atau intermiten.

LPR berperan terhadap terjadinya granuloma pada pita suara, stenosis laring,

spasme laring yang berulang, globus pharyngeus, disfagia, asma, karsinoma laring

dan batuk kronis. LPR merupakan suatu gangguan yang kurang terdiagnosis dan

tertatalaksana dengan baik, karena tanda-tanda, gejala dan mekanismenya berbeda

dari pasien gastroenterologi yang khas memiliki gejala berupa rasa terbakar di
6
dada, regurgitasi, dan esofagitis. Pasien dengan LPR biasanya datang dengan

gejala disfonia, batuk, excessive throat clearing (mendehem yang berlebihan),

sekret di belakang hidung, disfagia, halitosis dan globus pharyngeus (perasaan

mengganjal di tenggorokan).3-6

Prevalensi pasien dengan manifestasi keluhan laryngopharyngeal reflux

(LPR) berkisar 4% - 10% dari semua pasien yang datang berobat ke dokter

spesialis THT (Koufman dkk, 1988, 1991, 2000; Toohill dkk., 1990; Ross dkk.,
2

1998).3 Lebih dari 50 % pasien yang datang dengan keluhan suara serak biasanya

berhubungan dengan penyakit refluks ini.3,5,7-10 LPR semakin diakui memiliki

kontribusi sebagai faktor penyebab asma nonalergi, dan berbagai keluhan telinga,

hidung, dan tenggorokan. Beberapa penelitian menunjukkan refluks asam

ditemukan pada 50%-80% pasien asma, 10%-20% pada pasien batuk kronis, dan

hingga 80% pasien dengan suara serak, dan 25%-50% pasien dengan rasa

mengganjal di tenggorokan.7 Wiener dkk (1989) melaporkan 78% dari 32 pasien

dengan keluhan gangguan pada suara memiliki LPR yang dibuktikan dengan

pemeriksaan monitoring pH. Koufman dkk (2000) menemukan LPR pada 78%

pasien dengan suara serak, dan kira-kira 50% dari semua pasien dengan keluhan

gangguan suara.1,3

Refluks laryngopharyngeal berbeda dari penyakit refluks gastroesofageal

(gastroesophageal reflux disease (GERD)), dimana LPR terjadi terutama di siang

hari, selama posisi ortostatis, tidak berhubungan dengan esofagitis dan tidak

dipengaruhi oleh fungsi motorik esofagus (tabel 1).6 Mukosa laringofaring rentan

terhadap asam lambung karena tidak mempunyai fungsi mekanisme pertahanan

sehingga pasien akan datang dengan keluhan laringofaring tanpa adanya

regurgitasi dan rasa terbakar di ulu hati.5,10,11

Tabel 1. Perbedaan manifestasi antara pasien LPR dengan GERD6


3

Manifestasi LPR GERD

Gejala respirasi Ya tidak

Rasa terbakar di ulu hati Jarang ya

Disfonia Ya tidak

Bersihan asam di esofagus Normal terlambat

Proteksi mukosa yang bagus Tidak ya

Refluks posisi berdiri Sering kadang-kadang

Refluks posisi berbaring kadang-kadang sering

Kesalahan dalam mengenali LPR dapat berdampak buruk bagi

penderitanya, dimana penderita akan mengalami gejala LPR yang berkepanjangan

dan kesembuhan yang tertunda. Sementara itu overdiagnosis dapat menyebabkan

pengeluaran biaya yang berlebihan dan kesalahan dalam mendiagnosis. LPR juga

secara signifikan membawa dampak negatif bagi kualitas hidup penderitanya.5,7

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING, LARING, DAN ESOFAGUS

2.1 Anatomi Faring


4

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,

dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra

servikal ke-6. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,

ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan

ke bawah berhubungan dengan laring melalui aditus laring dan juga esofagus

(gambar 1). Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14

cm yang merupakan dinding faring yang terpanjang.12-14

Gambar 2.1 Faring terbagi menjadi nasofaring,

orofaring, dan laringofaring14

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan

memanjang (longitudinal). Otot-otot sirkular terdiri dari m. konstriktor faring

superior, media, dan inferior, berfungsi untuk mengecilkan lumen faring dan

dipersyarafi oleh n. vagus. Otot-otot longitudinal adalah m. stilofaring dan m.

palatofaring. M. stilofaring berguna untuk melebarkan faring dan menarik laring,

dipersyarafi oleh n. glossofaringeus. M. palatofaring mempertemukan ismus


5

orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring, dipersyarafi oleh n.

vagus.12-14

2.2 Anatomi Laring

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas.

Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan bagian bawahnya ialah batas

kaudal kartilago krikoid.12,15,16 Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan

beberapa kartilago yang berpasangan ataupun tidak. Tulang hioid berbentuk

seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula,

dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring

adalah epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago

kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea (gambar 2).15,16


6

Gambar 2.1 Anatomi laring16

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan

intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terbagi menjadi 2 yaitu suprahioid dan infrahioid.

Otot-otot suprahioid ialah m. digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, dan m.

milohioid. Otot-otot infrahioid ialah m. omohioid, m. tirohioid, m. sternohioid.

Otot-otot intrinsik terdiri dari m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m.

vokalis, m. tiroaritenoid, m. ariepiglotika dan m. krikotiroid yang terletak di

bagian lateral laring, sedangkan di bagian posterior laring terdapat m. aritenoid

transverum, m. aritenoidnoblik dan m. karikoaritenoid posterior.13,15,16

Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi mengangkat laring di

bawah dasar lidah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke bawah. Otot-otot

intrinsik sebagian besar adalah otot adduktor (kontraksi yang akan mendekatkan

pita suara ke tengah) kecuali m. krikoaritenoid posterior yang merupakan otot

abduktor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral). Fungsi otot-

otot intrinsik adalah untuk mempertahankan dan mengontrol jalan udara


7

pernapasan melalui laring, mengontrol tahanan terhadap udara ekspirasi selama

fonasi dan membantu fungsi sfingter dalam mencegah aspirasi benda asing selama

proses menelan.13,16

Persyarafan laring berasal dari cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.

laringis superior dan n. laringis inferior. Kedua syaraf ini merupakan campuran

syaraf mototrik dan sensorik. Sedangkan perdarahan untuk laring terdiri dari 2

cabang, yaitu a. laringis ruperior dan a. laringis inferior.15,16

2.3 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke

lambung.17-19 Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Dimulai dari batas

bawah tulang rawan krikoid atau kira-kira setinggi vertebra servikal ke-6, berjalan

sepanjang leher, mediastinum superior dan mediastinum posterior, didepan

vertebra servikal dan torakal, melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi

vertebra torakal 10, berakhir pada orifisium kardia lambung setinggi vertebra
18,19
torakal 11. Empat tempat penyempitan esofagus : (1) pada sfingter esofagus

atas, (2) pada tempat dimana esofagus kontak dengan aorta, (3) pada persilangan

dengan bronkus sinistra, dan (4) setinggi sfingter esofagus bawah dan diafragma.17

Esofagus berada di garis tengah, sedikit agak ke kiri. Di dalam

mediastinum kembali ke tengah setinggi vertebra torakal 5. Di bagian inferior

mediastinum, membelok ke kiri sewaktu menuju anterior dan masuk ke dalam

hiatus esofagus diafragma. Penting untuk diperhatikan adalah lengkungan pada

bidang anterior superior yang sesuai dengan bagian cembung dari korpus vertebra
8

servikal dan bagian cekung korpus vertebra torakal. Bagian esofagus abdominal

yang panjangnya hanya 1,25 cm, berada pada permukaan posterior lobus kiri

hepar. Permukaan kiri dan depan esofagus abdominal diliputi oleh peritonium.18

Di dalam leher, esofagus berada di belakang trakea, berdekatan dengan

arteri karotis komunis. Nervus laring rekurens terletak di sudut antara esofagus

dan trakea. Duktus torasikus berada pada sisi kirinya. Kedua lobus kelenjar tiroid

berdekatan dengan esofagus, tetapi daerah kontak tersebut lebih besar pada sisi

kiri, karena di leher, esofagus letaknya agak ke kiri. Di mediastinum superior,

esofagus berjalan ke posterior ke sisi kanan arkus aorta, untuk kemudian turun ke

sisi kanan aorta desendens sampai mencapai bagian inferior mediastinum,

kemudian berjalan ke anterior dan sedikit ke sisi kiri aorta. Bronkus kiri

menyilang dan membuat lekukan pada esofagus di anterior, inferior terhadap

arkus aorta. Vena azygos berada di sisi kanan esofagus di dalam torak (gambar

3).18-21
9

Gambar 2.3 Traktus digestivus bagian atas dan struktur anatomi yang

berdekatan.21

Otot esofagus terdiri dari lapisan sirkuler di bagian dalam dan lapisan

longitudinal di bagian luar. Lapisan sirkuler merupakan lanjutan otot konstriktor

inferior pada faring.17-19 Pada sepertiga bagian atas berotot lurik, sepertiga tengah

sebagian berotot lurik dan sebagian otot polos, dan pada sepertiga bawah hampir

semua berotot polos. Lapisan luar atau fibrosa terdiri atas jaringan fibroelastik

longgar. Setinggi tulang rawan krikoid lapisan otot sirkuler agak lebih tebal, dan

membentuk muskulus krikofaring, yang melekat pada bagian posterior kartilago

krikoid yang lebar. Sfingter esofagus atas merupakan daerah bertekanan tinggi

pada pemeriksaan manometri esofagus, dan daerah ini berhubungan dengan

muskulus krikofaring. Sfingter esofagus bawah panjangnya kira-kira 3 cm, dapat

turun hingga 1 sampai 3 cm pada pernapasan normal dan naik sampai 5 cm pada

pernapasan dalam. Belum ditemukan suatu otot tunggal tertentu yang berperan
10

pada sfingter esofagus bawah, tetapi otot polos sirkuler pada daerah ini berperan

pada kerja sfingter.17-20

Aliran darah esofagus mengikuti segmen-segmen dari esofagus, ada

banyak variasi pada tiap individu. Sepertiga atas esofagus dialiri arteri dan vena

tiroid inferior yang berasal dari arteri dan vena subklavia. Sepertiga tengah dialiri

oleh arteri yang berasal dari aorta torakika, venanya terdiri dari pleksus venosus

dan azigos yang berlanjut ke vena cava inferior. Sepertiga bawah dialiri arteri

prenikus inferior sebelah kiri yang berasal dari aorta sedangkan venanya

merupakan vena porta.17-20

Esofagus dipersarafi oleh nervus vagus (parasimpatis dan simpatis).

Esofagus bagian servikal menerima persarafan dari nervus laringis rekuren.

Serabut saraf ini kemudian bergabung membentuk dua jalan utama yaitu nervus

vagus anterior kiri dan nervus vagus pesterior kanan. Secara motoris esofagus

dikontrol oleh nervus vagus meskipun fungsi saraf simpatis dari esofagus tidak

begitu diketahui.17-20

2.4 Fisiologi Esofagus

Esofagus berperan dalam proses menelan, dimana proses ini di bagi

menjadi 3 fase, yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esofageal. Esofagus

terutama berfungsi pada fase esofageal yaitu menghantarkan bahan yang dimakan

dari faring ke lambung. Fungsi esofagus dapat dinilai melalui rekaman


11

manometri. Ini untuk mengevaluasi mekanisme kerja yang diselaraskan secara

halus, yang akan menghasilkan proses menelan yang nyaman.19

Pada fase esofageal masuknya bolus makanan dari faring ke lambung

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara laian :

1. Sfingter esofagus atas

Badan esofagus ditutup di proksimal oleh sfingter esofagus atas

(UES = upper esophageal sphincter). Sfingter esofagus atas merupakan

zona tekanan tinggi yang terjadi akibat kerja muskulus krikofaringius,

yang melekat ke ujung posterior kartilago krikodea. Melalui rangsangan

vagus dan glossofaringius, muskulus krikofaringius dipertahankan dalam

keadaan tonik saat istirahat dengan akibat tekanan 20 sampai 80 mmHg.

Selama menelan, penghambatan persarafan tonik ke sfingter terjadi

dengan relaksasi zona tekanan tinggi ke tekanan istirahat esofagus pars

servikalis sekelilingnya. Relaksasi ini timbul serentak dengan kontraksi

faring, suatu koordinasi yang memungkinkan akomodasi normal bolus

yang didorong oleh faring. Kontraksi pasca menelan menutup sfingter,

yang menciptakan tekanan yang sering dua kali tekanan sfingter istirahat.

Lalu tekanan istirahat normal dimulai lagi dalam sfingter esofagus atas.

Dengan penutupan sfingter esofagus atas, kontraksi peristaltik mulai

berjalan ke esofagus servikalis. Kedua mekanisme ini mencegah

regurgitasi bolus yang ditelan dari esofagus servikalis kembali ke dalam

faring.17-19,22
12

Gambar 2.4 Area sfingter esofagus atas.21

2. Badan Esofagus

Dalam respon terhadap rangsangan kolinergik, kontraksi badan

esofagus berjalan dengan kecepatan 2 sampai 3 cm per detik. Bagian

esofagus bergaris memperlihatkan aktivitas lebih rendah. Kontraksi

dipercepat pada bagian otot polos untuk melambat lagi pada esofagus

bagian bawah, tepat sebelum sfingter bawah. Tekanan istirahat pada badan

esofagus mencerminkan tekanan intratoraks negatif. Pada setengah bagian

atas esofagus, tekanan kontraksi bisa bervariasi antara 20 dan 70 mmHg,

sedangkan kontraksi ini menimbulkan tekanan 50 sampai 100 mmHg

dalam setengah bagian bawah esofagus. Kontraksi berlangsung dari 4

sampai 6 detik.
13

Proses menelan menginduksi gelombang peristaltik yang berjalan

menuruni esofagus dan disebut kontraksi primer. Tanpa menelan, distensi

atau iritasi esofagus bisa memulai gelombang propulsif normal. Ini

merupakan peristaltik sekunder, suatu respon terhadap rangsangan lokal

dinding esofagus normal. Kontraksi tersier nonpropulsif dan ditandai pada

bacaan manometri oleh tekanan yang meningkat serentak pada tingkat

bacaan berbeda. Mekanisme ini timbul spontan atau sebagai respons

terhadap menelan. Kontraksi tersier biasanya dianggap abnormal, tetapi

kadang-kadang ia dapat terlihat pada individu sehat.17-19,22

3. Sfingter esofagus bawah

Esofagus dipisahkan dari lambung oleh sfingter fisiologi yang

menyebabkan adanya zona tekanan tinggi sepanjang 2 sampai 4 cm.

Mekanisme miogenik dan neurogenik membantu mempertahankan tonus

istirahat sfingter esofagus bawah (lower esophageal sphincter = LES)

dengan kemungkinan pengaruh hormon.Tonus istirahat bagian esofagus

lain bervariasi dengan teknik rekaman. Biasanya berkisar antara 15 dan 25

mm Hg dan menyebabkan barier dalam bentuk tekanan positif terhadap

refluks gastroesofagus. Dengan menelan dan sementara gelombang

peristaltik esofagus berlanjut pada badan esofagus, relaksasi terhadap

tekanan intragaster istirahat timbul, yang memungkinkan pemindahan

bolus pencernaan dari esofagus ke lambung. Relaksasi ini penting untuk

fungsi sfingter normal dan masa pembukaan sfingter harus disesuaikan

dengan lama kontraksi badan esofagus. Karena menyilang area sfingter,


14

maka gelombang peristaltik menciptakan kontraksi menutup, kemudian

sfingter esofagus bawah kembali ke tekanan istirahat normal.

Tekanan sfingter bawah bisa bervariasi dari saat ke saat dalam

individu mana pun. Pengaruh neurologi, miogenik dan hormon telah

disebutkan. Penting pengaruh mekanik dan emosi (walaupun sulit

ditentukan jumlahnya) bisa mempunyai suatu efek atas fungsi sfingter

esofagus bawah maupun atas.19-22

Gambar 2.5 Area sfingter esofagus bawah.21

BAB III
15

PATOFISIOLOGI LARINGOFARINGEAL REFLUKS

LPR merupakan aliran balik isi lambung ke dalam laring, faring, dan

traktus aerodigestif atas. Beberapa keadaan atau faktor yang dapat menyebabkan

aliran balik asam lambung antara lain hiatal hernia, obesitas, kehamilan, olah raga

berat, diet, gaya hidup yang salah dan obat-obatan. Diet yang dimaksudkan antara

lain konsumsi makanan yang berlemak dan berminyak, mengandung mint, coklat,

alkohol dan minuman bergas, citrus, bawang dan tomat. Gaya hidup yang salah

seperti merokok, berbaring setelah makan, menggunakan pakaian yang terlalu

ketat dan kebiasaan makan sebelum tidur. Obat-obatan yang dapat menyebabkan

aliran balik asam lambung antara lain teofilin, kodein, benzodiazepin, calcium

chanel blocker, ibuprofen (nonsteroid anti inflamasi drugs) dan erythromycin.

Pada traktus aerodigestif terdapat 4 pertahanan fisiologis yang

melindunginya dari trauma akibat refluks, yaitu : sfingter esofagus bawah, fungsi

motorik esofagus dengan bersihan asam , pertahanan jaringan mukosa esofagus,

dan sfingter esofagus atas.5 Dalam keadaan normal, sfingter esofagus atas dan

sfingter esofagus bawah bekerja sama untuk mencegah aliran balik isi lambung

sampai esofagus. Sfingter esofagus atas yang lemah merupakan faktor patologis

utama dalam LPR sehingga bahan refluks dapat mencapai faring dan laring. Dari

beberapa penelitian yang menggunakan cairan asam yang diberikan pada bagian

distal dari esofagus pada orang normal dan penderita yang mengalami

peradanganesofagus, maka terjadi peningkatan tonus dari sfingter esofagus bagian

atas. Keadaan ini tidak dijumpai pada pasien dengan LPR. 1,21
16

Epitel pernafasan yang halus pada posterior laring dalam keadaan normal

berfungsi untuk membersihkan lendir yang berasal dari trakeobronkial, akan

berubah saat pertahanan-pertahanan ini gagal. Disfungsi silier akan

mengakibatkan penumpukan lender. Penumpukan ini selanjutnya menimbulkan

sensasi post nasal drip dan throat clearing (mendehem). Iritasi akibat material

refluks secara langsung, dapat menyebabkan batuk dan rasa tercekik (spasme

laring) karena sensitifitas dari ujung persyarafan laring di regulasi oleh

peradangan lokal. Kombinasi faktor-faktor ini dapt menyebabkan edema pita

suara, ulkus, dan granuloma yang menimbulkan gejala lain yang masih

berhubungan dengan LPR, antar lain suara serak, globus pharingeus, dan nyeri

tenggorokan.5

Penelitian lain menyatakan bahwa jaringan di laring di lindungi dari

kerusakan akibat refluks oleh efek regulasi pH dari karbonik anhidrase pada

mukosa posterior laring. Karbonik anhidrase mengkatalisasi hidrasi karbon

dioksida untuk menghasilkan biokarbonat yang berfungsi melindungi jaringan

dari material refluks. Dalam esofagus, terdapat produksi aktif bikarbonat pada

ruang ekstraseluler yang berfungsi menetralisir refluks asam lambung, sedangkan

pada epitel laring tidak dijumpai pompa aktif bikarbonat. Selain itu terdapat

penurunan karbonat anhidrase isoenzim III (CA-III) yang mungkin berhubungan

dengan peningkatan konsentrasi pepsin, dimana kondisi ini ditafsirkan sebagai

penurunan jumlah anion bikarbonat yang berfungsi menetralisir asam lambung,

dan sebagai buffer untuk melindungi mukosa laring.1,2,5


17

Mekanisme lain yang diajukan adalah refleks vagal. Refleks vagal ini

diaktivasi di esofagus distal oleh kandungan refluks, yang menyebabkan

bronkokonstriksi, batuk kronis dan throat clearing berulang yang dianggap

bertanggung jawab terhadap gejala dan kelainan klinis yang timbul.1,23

Gambar 3.1 Patofisiologi LPR23

Beberapa ahli menduga refluks non-asam seperti pepsin dan cairan

empedu juga dapat merusak mukosa laring sehingga kedua zat ini diduga berperan

penting dalam penyebab LPR. Namun pendapat lain menyatakan bahwa pepsin

hanya aktif dalam lingkungan asam, karena itu tidak berbahaya bila terdapat

dalam lingkungan netral (pH 6,8) seperti di laring.1,9


18

BAB IV

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

LARINGOFARINGEAL REFLUKS

4.1 Diagnosis Laringofaringeal Refluks

Diagnosis refluks laringofaringeal biasanya ditegakkan berdasarkan :

1. Gejala klinis

Gejala klinis LPR bermacam-macam diantaranya disfonia, chronic

throat clearing, sekret di tenggorokan yang berlebihan, batuk, sensasi post

nasal drip, halitosis, nyeri tenggorokan, dan rasa mengganjal di tenggorokan

(globus pharyngeus).4 Berdasarkan International survey of American


19

Bronchoesophagological Association gejala LPR yang paling sering adalah

throat clearing (98%), batuk yang persisten (97%), globus pharyngeus (95%),

dan suara serak (95%).5 Namun demikian gejala-gejala ini bukan merupakan

gejala khusus LPR karena bisa ditimbulkan oleh alergi, penyakit neurologi

degeneratif, infeksi, gangguan perilaku, obat-obatan, dan neoplasma.4,5

Dikarenakan gejala-gejala ini tidak spesifik, maka untuk mendapatkan

diagnosis yang akurat harus dikombinasi dengan pemeriksaan laringoskopi,

pH monitoring, dan percobaan empiris penghambat pompa proton (proton

pump inhibitor).5

Sekret di tenggorok yang berlebihan dan chronic throat clearing

merupakan dua gejala LPR yang paling sering. Asam lambung yang masih

berada dalam esofagus menyebabkan peningkatan saliva yang cepat. Salivasi

yang berlebihan menyebabkan perasaan penuh di faring yang dapat

merangsang penderita untuk mengosongkan tenggorokannya. Pengosongan

yang berlebihan ini dapat menyebabkan edema pada hipofaring.5 Sensasi post

nasal drip merupakan gejala lain yang sering ditemukan pada LPR, dimana

biasanya penderita tidak mempunyai gejala rinitis alergi yang lain seperti

rinorea, hidung tersumbat, bersin-bersin, mata gatal atau berair dan sakit

kepala. Pasien dengan rinitis alergi biasanya sadar akan warna dan bau dari

post nasal drip, sedangkan pada pasien LPR tidak.

LPR dapat menyebabkan sensasi benda asing di tenggorokan (globus).

Prevalensinya pada populasi umum sekitar 16%. Walaupun terdapat penyebab

lain dari globus (seperti keganasan laringofaringeal, kista valekula, disfungsi


20

krikofaringeal), refluks merupakan faktor penyebab pada duapertiga individu

dengan globus. Mayoritas pasien dengan globus yang berhubungan dengan

refluks akan membaik dengan terapi antirefluks. Laringoskopi diindikasikan

pada semua penderita dengan rasa mengganjal di tenggorokan, karena 25%

penderita dengan globus memiliki penyebab yang mendasarinya.4

Disfonia yang disebabkan LPR biasanya bersifat intermiten. Pasien

dengan suara serak yang kronis dan terus menerus, atau disfonia yang

progresif biasanya bukan disebabkan oleh LPR. Dengan demikian

pemeriksaan endoskopi yang dini sangat diperlukan.4

Belafsky dkk (2002) mengembangkan suatu penilaian yang dilakukan

sendiri oleh penderita yaitu Reflux Symptom Index (RSI), yang terdiri dari

skala tingkatan 0 – 5 poin (tabel 2).


Tabel 4.1 Reflux Symptom Index
5

How do the following problems 0 = No problem


affect you? 5 = Severe problem
1. Hoarseness or a problem with 0 1 2 3 4 5
your voice
2. Clearing your throat 0 1 2 3 4 5

3. Excess throat mucous or postnasal 0 1 2 3 4 5


drip
4. Difficulty swallowing food, 0 1 2 3 4 5
liquids, or pills
5. Coughing after you ate or after 0 1 2 3 4 5
lying down
6. Breathing difficulties or choking 0 1 2 3 4 5
episodes
7. Troublesome or annoying cough 0 1 2 3 4 5
8. Sensations of something sticking 0 1 2 3 4 5
in your throat or lump in your
throat
9. Heartburn, chest pain, indigestion, 0 1 2 3 4 5
21

or stomach acid coming up


TOTAL

RSI ini telah terbukti berguna dalam menegakkan diagnosis awal dari LPR,

menilai tingkat keparahan penyakit, dan memantau keberhasilan terapi. Nilai

RSI sampai dengan 10 adalah normal, sedangkan nilai lebih dari 13 dianggap

LPR.1,3-5,24

2. Pemeriksaan laringoskopi

Pada pemeriksaan laringoskopi tanda-tanda nonspesifik sebagai akibat

iritasi laring dan inflamasi biasanya terlihat, tetapi beberapa temuan biasanya

mengarahkan ke LPR. Walaupun temuan tersebut tidak khas, penebalan,

hiperemis, dan edema yang terkonsentrasi pada posterior laring yang

selanjutnya disebut laringitis posterior paling sering ditemukan. 5 Berdasarkan

analisis warna, Hanson dan Jiang4 memperhitungkan derajat eritema untuk

menilai laringitis posterior. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ford dkk

tahun 20055 menyatakan bahwa temuan laringoskopi lain yang berhubungan

dengan LPR seperti granuloma yang dikonfirmasi dengan monitoring pH

ditemukan pada 65% sampai 75% pasien. Pseudosulcus pita suara yang

biasanya dijumpai pada tepi medial dari pita suara, dijumpai hampir pada 90%

kasus dengan LPR.5

Belafsky dkk (2001) mengembangkan 8 item skala derajat keparahan

berdasarkan temuan laringoskopi yang disebut sebagai Reflux Finding Score

(RFS) , yang berguna dalam pemeriksaan dan follow up pasien. Nilai yang

didapat berkisar dari 0 (normal) sampai 26 (parah) dimana jumlah nilai lebih
22

1,5,11,25
dari 7 menunjukkan LPR (tabel 3). Sangatlah penting dicatat bahwa

skoring ini merupakan skala klinis yang sederhana pada semua penyebab

inflamasi laring termasuk infeksi, alergi, neoplasma, gangguan akibat polusi

dan autoimun, penggunaan pita suara yang salah dan berlebihan, dan

penyebab potensial inflamasi laring lainnya.4,25 Dengan demikian skoring ini

bukan merupakan standar utama pemeriksaan LPR.

Tabel 4.2 Reflux Finding Score (RFS)


5

Videolaryngoscopic findings Scoring points

Subglottic edema 0 = absent 2 = present

Ventricular obliteration 0 = absent


2 = partial 4 = complete

Erythema/hyperemia 0 = absent
2 = arytenoids only 4 = diffuse

Vocal cord edema 0 = absent 3 = severe


1 = mild 4 = polypoid
2 = moderate

Diffuse laryngeal edema 0 = absent 3 = severe


1 = mild 4 = obstructing
23

2 = moderate

Posterior comissure hypertrophy 0 = absent 3 = severe


1 = mild 4 = obstructing
2 = moderate

Granuloma/granulation 0 = absent 2 = present

Thick endolaryngeal mucus/other 0 = absent 2 = present

Koufman di 1995 pertama kali menggambarkan edema subglottik

sebagai pseudosulcus vocalis, Hal ini mengacu pada subglottik edema yang

meluas dari komisura anterior ke posterior laring dimana keberadaannya

memberikan nilai 2. Obliterasi ventrikuler sering ditemukan pada pasien LPR

(80%). Pembengkakan pada pita suara asli dan palsu menyebabkan ruang ini

sulit dinilai (obliterasi). Pada obliterasi ventrikuler parsial, ruang ventrikuler

menjadi berkurang dan tepi pita suara palsu sulit dinilai. Sedangkan pada

obliterasi ventrikuler komplit, pita suara asli dan palsu saling bersentuhan

sehingga ruang ventrikuler menghilang. Nilai 2 untuk obliterasi parsial, dan 4

untuk obliterasi komplit.26

Laring hiperemis merupakan temuan yang tidak spesifik yang

bergantung pada temuan endoskopik. Nilai 2 dimana eritema yang hanya

terbatas pada aritenoid, dan nilai 4 pada eritema laring yang difus. Edema pita

suara memiliki tingkatan ringan (nilai 1) jika hanya terdapat edema ringan,

sedang ( nilai 2) dimana edema menjadi lebih jelas. Edema berat (nilai 3)

dimana pembengkakan pita suara menjadi lebih berat dan merata. Terakhir

nilai 4 jika sudah terdapat degenerasi polipoid pada pita suara. Edema laring
24

difus dinilai dengan ukuran relatif antara ukuran laring terhadap saluran

udara. Hal ini dinilai sebagai ringan (nilai 1) sampai obstruksi (nilai 4).26

Hipertrofi komisura posterior sering ditemukan pada LPR, yang

memiliki tingkatan ringan (nilai 1) penampilan mukosa komisura posterior

tampak seperti kumis kucing, sedang (nilai 2) dimana edema pada komisura

posterior membentuk garis lurus pada dinding posterior laring. Hipertrofi

komisura posterior dinilai parah (3 poin) bila terdapat tonjolan dari bagian

posterior laring ke dalam saluran napas, obstruksi (nilai 4) ketika sebagian

besar jalan napas terututup atau mengalami obliterasi. Butir terakhir dari RFS

yaitu granuloma/jaringan granulasi dan lendir endolaryngeal yang tebal,

dimana pasien mendapatkan nilai 2 jika terdapat temuan di atas dan nilai 0

jika sebaliknya.26

3. 24-hour ambulatory double probe pH monitoring

Walaupun LPR sering dijumpai, dalam menegakkan diagnosisnya

tidaklah mudah karena gejalanya tidak jelas dan temuan klinis sering tidak

berhubungan dengan beratnya gejala.27 Sampai saat ini, tidak ada pedoman khusus

untuk menegakkan diagnosis LPR secara pasti. Beberapa penelitian

mempertimbangkan 24-hour ambulatory pH monitoring sebagai standar diagnosis

saat ini.5,7,11,24

Dalam pemeriksaan ini multisensor probe dimasukkan transnasal dengan

bagian ujungnya diletakkan 5 cm di atas tepi atas sfingter esofagus bawah.

Dikarenakan monitor pH bagian distal esofagus tidak menggambarkan pH

proksimal esofagus atau hipofaring secara akurat, maka sensor pH harus

diletakkan di luar dari esofagus yaitu 2 cm di atas sfingter esofagus atas atau 15
25

cm di atas probe pertama agar dapat mendiagnosis LPR secara akurat (gambar

5).28 Multi sensor ini dipertahankan selama 24 jam dan dihubungkan dengan

sebuah mikro komputer kecil yang dipasang di pinggang atau pergelangan tangan

pasien. 4,11,24

Selama pemeriksaan pasien diinstruksikan untuk tetap melanjutkan

aktivitas sehari-hari dan makan seperti biasa kecuali makanan dan minuman

yang bergas, pedas, dan asam. Penggunaan obat-obatan yang menyebabkan

relaksasi pada sfingter esofagus atas dan menstimulasi atau menghambat

sekresi material lambung dihentikan 1 minggu sebelum pemeriksaan. Pasien

mencatat kapan waktu mulai makan dan berhenti makan, saat menelan air,

tidur, periode posisi terlentang, rasa panas di ulu hati, regurgitasi, dan gejala-

gejala lain yang ada.28

Data yang dianalisa adalah jumlah episode refluks (pH<4) dan

persentase waktu pH < 4 (waktu terpapar asam) pada posisi tegak dan

terlentang. Hasil tes pH dianggap abnormal jika satu episode refluks

terdeteksi pada hipofaring dan esofagus proksimal, total persentase waktu

pada pH < 4 adalah 1% atau lebih. Penurunan nilai pH yang terjadi di sensor

faring dianggap suatu episode LPR jika :

1. Penurunan nilai pH < 4 ;

2. Penurunan nilai pH di faring segera setelah terpapar asam dari

distal esofagus;

3. Tidak ada pengurangan pH selama makan atau menelan ; atau


26

4. Penurunan pH secara cepat dan tajam dibandingkan penurunan pH

yang terjadi bertahap.5,28

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang invasif namun aman

dilakukan, tetapi karena faktor biaya, ketidaknyamanan pasien dan ketidak

tersediaan alat ini di semua rumah sakit menyebabkan pemeriksaan ini bukan

merupakan modalitas yang umum dipakai sebagai alat diagnostik.

4. Tes penghambat pompa proton (proton pump inhibitors test)

Proton pump inhibitor (PPI) saat ini merupakan obat antirefluks untuk

LPR yang paling efektif. PPI juga dapat menekan produksi asam lambung.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PPI lebih efektif pada pengobatan

LPR jika dibandingkan dengan H2 reseptor antagonis. Terdapat lima macam

PPI yaitu: omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, pantoprazol, dan rabeprazol.

Obat PPI mempunyai efek langsung terhadap H+, K+, ATPase yang

merupakan enzim pompa proton di jalur akhir produksi asam dari sel parietal

yang menyebabkan penghambatan enzim tersebut. PPI mengeliminasi dan

mengurangi produksi asam dengan cara mengurangi aktivitas pepsin dan

mengurangi kadar asam sehingga kerusakan jaringan bisa dicegah.27

Pemilihan tes PPI ini dengan pertimbangan bahwa banyak

ketersediaan obat PPI, mudah dilakukan, biaya yang diperlukan relatif murah,

tidak invasif, serta sensitivitas (78,3%) dan spesifisitas (85,7%) cukup tinggi

dengan tingkat kepercayaan (90%).27 Pasien dilakukan tes PPI dengan cara

pemberian secara empirik PPI (omeprazol) 40 mg, sehari dua kali selama dua
27

minggu, pasien mengisi kuesioner gejala refluks (reflux symptom index)

sebelum terapi empirik omeprazol, setelah 2 minggu terapi empirik omeprazol

pasien diharuskan mengisi kembali kuesioner gejala refluks. Tes PPI positif

apabila terdapat perbaikan dari gejala tersebut > 50%.27

4.2 Diagnosis banding

Laryngopharyngeal reflux merupakan suatu kondisi kronis, yang sering

berulang sebagai akibat paparan dari material lambung. Kondisi lain yang

menyebabkan laringitis kronis harus dimasukkan dalam diagnosis banding yang

tergantung pada tampilan klinis pasien. Jika pasien dengan demam, lesu, dan

onset yang tiba-tiba, gejala, penyebab infeksi harus dipertimbangkan, seperti

infeksi bakteri supraglotik (kelompok A streptokokus, Hemofilus influenza), atau

infeksi virus (parainfluenza, influenza, rhinovirus, adenovirus, herpes simpleks).

Dalam bentuk yang lebih kronis dari laringitis, diferensial harus mencakup alergi,

penyakit granulomatosa, penyakit autoimun, cedera inhalansi, dan terapi radiasi.2

4.3 Komplikasi

Jika tidak diobati, LPR dapat mengakibatkan manifestasi pada faring dan

laringotrakea. LPR dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas antara lain karena

spasme laring, gangguan pergerakan pita suara, granuloma, stenosis, degenerasi

polipoid, dan bahkan karsinoma laring. Gangguan gerakan pita suara dan spasme

laring sering dapat dikelola dengan terapi agresif antirefluks dikombinasikan

dengan terapi wicara. Lesi laring seperti granuloma dan stenosis subglotik sering

menunjukkan peningkatan yang drastis atau resolusi dengan terapi antirefluks.


28

Pasien yang memerlukan intervensi bedah seperti degenerasi polipoid, karsinoma

laring, granuloma, dan stenosis, harus dimulai dengan terapi antirefluks preoperasi

dan pemeliharaan paska operasi untuk mencegah tingkat kekambuhan yang

tinggi.2

4.4 Penatalaksanaan Laringofaringeal Reflux

1. Modifikasi diet dan gaya hidup


Pasien dengan LPR harus menghindari makanan yang mengganggu kerja

otot sfingter esofagus bawah seperti gorengan, makanan berlemak, kopi, alkohol,

cokelat, peppermint, minuman bersoda, buah citrus, saus tomat, kecap, mustard,

dan cuka. Beberapa macam obat yang turut berpengaruh juga harus dihindari,

seperti ibuprofen, teofilin, dan kodein. Porsi makanan tidak boleh terlalu banyak.

Menghindari makan selama 2-3 jam sebelum tidur atau berbaring dan tidak boleh

makan terlalu cepat.2,5,23,29

Pengaturan gaya hidup yang dianjurkan adalah mengurangi berat badan

bila kegemukan, berhenti merokok, menghindari pakaian terlalu ketat dan bagian

kepala tempat tidur ditinggikan 4-6 inchi. Giachi dkk29 menyatakan bahwa

menghindari makan dan minum sebelum tidur dan elevasi bagian kepala tempat

tidur menunjukkan hubungan yang bermakna dengan perbaikan gejala LPR.29

Steward dkk29 mendapati bahwa modifikasi gaya hidup selama 2 bulan dengan

atau tanpa terapi medikamentosa secara signifikan dapat memperbaiki gejala-

gejala laringitis kronis, walaupun beberapa penelitian lain menyatakan masih

kontroversi.5
29

2. Terapi farmakologik

Dalam pengobatan LPR, ada 4 jenis obat-obatan yang digunakan, yaitu :

proton pump inhibitor (PPI), antagonis reseptor H2, prokinetik, dan obat-obat

proteksi mukosa.5,29 Sama seperti GERD, proton pump inhibitor merupakan terapi

awal yang dianjurkan untuk LPR. Namun terapi untuk LPR membutuhkan waktu

dan frekuensi yang lama daripada pasien GERD. Proton pump inhibitor saat ini

merupakan obat antirefluks untuk LPR yang paling efektif. PPI juga dapat

menekan produksi asam lambung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PPI

lebih efektif pada pengobatan LPR jika dibandingkan dengan H2 reseptor

antagonis. Obat PPI mempunyai efek langsung terhadap H+, K+, ATPase yang

merupakan enzim pompa proton di jalur akhir produksi asam dari sel parietal yang

menyebabkan penghambatan enzim tersebut. PPI mengeliminasi dan mengurangi

produksi asam dengan cara menaikkan pH lambung di atas 5, kondisi dimana

pepsin menjadi inaktif. Dianjurkan meminum obat 30-60 menit sebelum makan,

bukan sebelum tidur.

Terdapat lima jenis PPI yaitu: omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,

pantoprazol, dan rabeprazol. Berdasarkan penelitian tentang respon terapi PPI

didapatkan rabeprazol cara kerjanya cepat, esomeprazol paling poten untuk

menurunkan kadar asam, sementara omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol

mempunyai efektivitas yang sama untuk menurunkan kadar asam. Dosis yang

digunakan biasanya untuk omeprazol 2x20 mg, lansoprazol 2x30 mg, pantoprazol

2x40 mg, rabeprazol 2x20 mg, dan esomeprazol 2x40 mg. Jenis yang biasa

dipakai adalah omeprazol dan lansoprazol. Terapi PPI ini di berikan selama 8-12
30

minggu (tabel 4) , jika terdapat perbaikan maka dosis di turunkan, namun jika

tidak ada respon terapi dilanjutkan sampai 6 bulan atau dilakukan pemeriksaan

lain seperti monitoring pH, manometri atau pemeriksaan barium (dapat dilihat

pada bagan penilaian dan manajemen RLF).5,28,29 Menurut Federal Drug

Administration, omeprazol dan lansoprazol aman digunakan pada anak-anak

kecuali anak usia di bawah 1 tahun. Omeprazol (0,7-3,5 mg/kgBB/hari) dan

lansoprazol (1,4 mg/kgBB/hari) memiliki keamanan jangka pendek dan panjang,

yaitu 6 bulan untuk lansoprazol dan sampai 2 tahun untuk omeprazol.30

Obat-obatan antagonis reseptor H2 antara lain cimetidine (2x400mg),

ranitidine (2x150 mg), famotidine (2x20 mg), dan nizatidine (2x150 mg). Semua

antagonis reseptor bekerja dengan cara menempati reseptor histamin H 2 pada sel

parietal lambung sehingga dapat mencegah efek stimulasi sekresi asam lambung

oleh histamin.

Obat-obatan prokinetik seperti metoclopropamide, domperidon dan

cisaprid. Metoclopropamid dan domperidon berupa antagonis dopamine, dapat

memperbaiki pengosongan lambung, peristaltik esofagus, dan meninggikan

tekanan sfingter esofagus bawah. Metoclopropamid mempunyai efek samping

ekstrapiramidal dan sedatif. Sedangkan cisaprid obat kolinergik pilihan yang

dapat melepaskan acethylcoline dari pleksus myenterik, menghilangkan efek

ekstrapiramidal dan sedatif dari metoclopramid, dapat menekan produksi asam

lambung.29 Namun cisaprid tidak lagi tersedia karena dapat menyebabkan aritmia

yang mengancam jiwa bila dikombinasi dengan beberapa obat. 30 Obat-obat

proteksi mukosa seperti antasida, dan sukralfat dapat menetralisir refluksat asam,
31

mengurangi kerusakan mukosa dan mencegah aktivitas pepsin, mempunyai efek

samping paling sedikit tetapi memerlukan pemberian dosis berulang.29

Tabel 4.3 Kesimpulan dari beberapa penelitian yang menilai efek terapi PPI pada
pasien denga gejala-gejala LPR 9
32

Sejumlah besar penelitian mengangkat isu mengenai peran infeksi

Helicobacter pylori (HP) dalam patofisiologi mekanisme GERD, walaupun

perannya dalam LPR belum begitu banyak diteliti. Berdasarkan penelitian Tarek

dkk di Mesir tahun 2010 terhadap 212 pasien dengan keluhan LPR yang di

evaluasi dengan menggunakan pH monitoring, laringoskopi, dan Helicobacter

pylori stool antigen (HPSA), membandingkan esomeprazol monoterapi dengan

esomeprazol yang digabungkan dengan amoksisilin dan clarithromycin (triple

therapy) pada pasien dengan infeksi HP. Dari hasil penelitian tersebut pasien

dengan tes HPSA positif ditemukan pada 57% populasi. Pasien dengan tes HPSA

negatif diterapi dengan esomeprazol tunggal dengan hasil 96,6% pasien

dilaporkan mengalami perbaikan. Pasien dengan tes HPSA positif dibagi menjadi

2 kelompok, dimana kelompok pertama hanya mendapat terapi esomeprazol

tunggal dengan perbaikan klinis hanya pada 40%, sedangkan kelompok kedua

diterapi dengan esomeprazol ditambah amoksisilin sodium dan clarithromycin

(triple therapy) dan hasilnya menunjukkan 90% populasi memperoleh perbaikan

gejala. Sebagai kesimpulan penggunaan triple therapy (esomeprazole magnesium

40 mg, ditambah amoksisilin sodium 1 g, dan clarithromycin 500 mg) dalam

penatalaksanaan LPR dengan infeksi HP menunjukkan tingkat kesembuhan yang

tinggi.31

3. Terapi bedah

Terapi pembedahan kadang-kadang diindikasikan pada pasien LPR yang

tidak respon terhadap modifikasi gaya hidup dan obat-obatan anti refluks, pasien
33

dengan volume cairan refluks yang tinggi dan inkompeten sfingter esofagus

bawah.5,23 Fundoplikasi baik komplit (Nissen atau Rossetti) atau parsial (Toupet

atau Bore), merupakan prosedur yang paling sering digunakan dengan pendekatan

laparoskopi. Tehnik fundoplikasi dimana fundus lambung (bagian atas) ditarik

dari belakang dan ditempatkan sekitar esofagus bagian distal. Fundus lambung

kemudian dijahit di depan esofagus bagian distal untuk memperkuat fungsi

penutupan sfingter esofagus bagian bawah dan menyempitkan hiatus esofagus

(gambar 9).32

Gambar 9. Tehnik fundoplikasi32

Tujuan pembedahan adalah untuk memperbaiki kemampuan dari sfingter

esofagus bawah, dan pada pasien LPR diharapkan dapat mengurangi episode

refluks faringeal. Hasil yang baik pernah dilaporkan pada 85% - 90% pasien-

pasien refluks tetapi hasil pada pasien dengan LPR tidak begitu memuaskan.5,11,23
34

Tabel 5. Algoritma penilaian dan manajemen LPR berdasarkan


American Medical Association5
35

BAB V

KESIMPULAN

1. Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah suatu keadaan dimana aliran balik

isi lambung masuk ke dalam laring, faring, dan traktus aerodigestif atas.

Keadaan tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa faring dan

laring akibat iritasi bahan-bahan yang terkandung dalam refluks tersebut.

2. Sinonim lain dari LPR yang sering digunakan antara lain refluks

supraesofageal, refluks ekstraesofageal, refluks atipikal, refluks

gastroesofagofaringeal, laringitis refluks, dan posterior laringitis

3. Gejala yang sering ditemukan pada penderita LPR dapat berupa disfonia,

batuk, excessive throat clearing (mendehem yang berlebihan), sekret di

belakang hidung, disfagia, halitosis, dan globus pharyngeus (perasaan

mengganjal di tenggorokan).

4. Patofisiologi LPR yang utama adalah kelemahan pada sfingter atas

esofagus, disfungsi silier pada epitel pernafasan yang halus di posterior

laring sebagai akibat iritasi langsung material refluks, penurunan karbonat

anhidrase isoenzim III (CA-III) pada laring, refleks vagal, dan adanya
36

refluks non asam seperti pepsin dan cairan empedu yang dapat merusak

mukosa laring.

5. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan menggunakan

skoring dari Belafsky (2002) yaitu Reflux Symptom Index (RSI).

Pemeriksaan laringoskopi dengan menggunakan Reflux Finding Score

(RFS), 24-hour ambulatory double probe pH monitoring, dan tes

penghambat pompa proton (proton pump inhibitor test).

6. Penatalaksanaan pasien dengan LPR yang utama adalah edukasi

modifikasi diet dan gaya hidup. Pemberian obat-obatan seperti

penghambat pompa proton, antagonis reseptor H2, obat-obatan prokinetik,

obat proteksi mukosa dan antibiotik. Jika terapi tersebut tidak berhasil,

maka dilakukan terapi bedah berupa fundoplikasi, dengan harapan dapat

mengurangi episode refluks laringofaringeal.


37

DAFTAR PUSTAKA

1. Pham V, Underbrink M. Laryngopharyngeal reflux with an emphasis on


diagnostic and therapeutic consideration. [cited 2013 Des 14]. Available
from : http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Laryng-reflux-090825
2. Postma GN, Halum SL. Laryngeal and pharyngeal complication of
gastroesopageal reflux disease. GI Motility online.
[cited 2012 Des 13]. Available from:
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo46.html
3. Sataloff RT, Gupta R. Laryngopharygeal reflux and voice disorder : an
overview on disease mechanism, treatments and reseach advances. [cited
2013 Des 10]. http://www.discoverymedicine.com/Robert-T-Sataloff/
4. Belafsky PC, Rees CJ. Identyfing and managing laryngopharyngeal reflux.
Hospital physician. [cited 2013 Des 08]. Availabe from www.turner-
white.com. p. 15-20
5. Ford CN. Evaluation and management of laryngopharingeal reflux.
American Medical Association; 2010;294:1534-1540
6. Handa KK. Laryngopharingeal reflux : current opinion. Indian journal of
otolaryngolgy and head and neck surgery; 2009;57: p. 267-270
7. Gupta SK, Postma GN, Koufman JA. Laryngopharyngeal reflux in Head
and neck surgery Otolaryngology. Fourth Ed. Lippincot Williams &
Wilkins; 2009. p. 833-834
8. Carrau RL, Koufman JA, Khidr A, Gold KF. Validation of a quality-of-
life instrument for laryngopharingeal reflux. Arch Otolaryngol Head and
Neck Surg; 2009; 131; 315-320
38

9. Reimer C, Bytzer P. Management of laryngopharyngeal reflux with proton


pump inhibitor. Therapeutics and Clinical Risk Management 2010:4(1)
225–233
10. Kornel Y, Sarbini Basriyadi S, Madiadipoera T HS. Efektivitas terapi
omeprazole terhadap perbaikan gejala klinis dan patologi laring pada
penderita refluks laringofaring. [cited 2012 Des 03]. Available from
http//www.mkb-online.org/index.php
11. Gupta R, Sataloff RT. Laryngopharyngeal reflux : current concepts and
questions. Current Opinion in otolaryngology & Head and neck surgery;
2010; 17 : 143-148
12. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam : Soepardi BA, Iskandar N,
Bashiruddi J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2010. h. 212-216.
13. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and esophagus. In : Lee KJ.
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 9th ed. Tempat.2009.
P : 530-551.
14. Liston SL. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring,
esofagus dan leher. Dalam : Adams GL, Boies LR, Highler PA. Buku ajar
Edisi keenam. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC,2009:263-267
15. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam : Soepardi BA, Iskandar N.
eds Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal : 231-36
16. Ballenger JJ. Anatomi laring. Dalam : Penyakit telinga, hidung, tenggorok
kepala dan leher Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi 13. Jilid 2. Alih bahasa/Editor : Staf ahli
bagian THT RSCM-FKUI Jakarta-Indonesia. Binarupa Aksara,2009. hal :
424-434
17. Shockley WW, Rose AS. Esophageal Disorders. In: Bailey BJ, ed. Head
and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: JB Lippincott Company,
2014: 690-693.
39

18. Ballenger JJ, MS, MD. Esofagologi. Penyakit telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 2. Alih bahasa/Editor : Staf ahli bagian
THT RSCM-FKUI. Jakarta-Indonesia. Binarupa Aksara, 2010. Hal: 645-
651.
19. Duranceu A, MD, Lafontaine E, MD. Esophagus. Dalam : Sabiston DC,
Jr, MD, eds. Buku ajar bedah. Alih bahasa : Andrianto P, dr, I.S Timan, dr.
Editor : Oswari J, dr. Penerbit buku kedokteran EGC ; 2009 : 460-465.
20. Caparas, Lim, Ejercito, Chiong, Enriques, Jamir. Anatomy of trachea,
bronchus and esophagus. Eds. Basic otolaryngology. Editor : Enriques AE,
MD. Publications committee of the college of medicine, University of the
Philippines.2009 : 194-196.
21. Ahuja V, Yencha MW, Lassen LF. Head and neck manifestations of
gastrofaryngeal reflux desease. [cited 2011 Des 05].
http://www.aafp.org/afp/990901ap/873.html. Access on May 2.
22. Donner MW. Physiology of the esophagus. In : Paparella MM, Shumrick
DA, eds. Otolaryngology. 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Company,
2009 : 383-385.
23. Oguz H, Tarhan E, Korkmaz M. Acoustic analysis findings in objective
laryngopharyngeal reflux patients. Journal of voice. 2010; 21(2); p. 203-
210
24. Khan AM, Hashmi SR, Elahi F, Tariq M, Ingrams DR.
Laryngopharyngeal reflux : a literature review. 2009; 4; p. 221-225
25. Kornel Y, Sarbini Basriyadi S, Madiadipoera T HS. Efektivitas terapi
omeprazole terhadap perbaikan gejala klinis dan patologi laring pada
penderita refluks laringofaring. [cited 2011 Des 05] Available from
http//www.mkb-online.org/index.php
26. Belafsky PC, Pstma GN, Koufman JA. The validity and reliability of the
reflux finding score (RFS).The American laryngologycal, rhinological,
and the otological society, Inc. Philadelphia. 2009; 111; p. 1313-1317.
27. Yunizaf M. Penyakit refluks gastroesofagus dengan manifestasi
otolaringologi. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu
40

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam.


Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2009 : 303-310.
28. Muderris T, Gukcan K. The clinical value of pharyngeal pH monitoring
using a double-probe, triple sensor catheter in patients with
laryngopharyngeal reflux. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg. 2009;
135 (2); p : 163-167.
29. Lam PKY, manwa, Cheung TK, Wong BYH, Tan VP, Fong DY, et al.
rabenprazole is effective in treating laryngopharyngeal reflux in a
randomized placebo controlled trial. Clinical gastroenterology and
hepatology 2010;8;770–776
30. Stavroulaki P. Diagnostic and management problems of
laryngopharyngeal reflux disease in children. International journal of
pediatric otorhinolaryngology. 2009; 70; 579-590.
31. Youssef TF, Ahmed MR. Treatment of clinically diagnosed
laryngopharyngeal reflux disease. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg.
2010; E1-E4.
32. Sjamsuhidjat R, Jong Wd. Esofagus dan diafragma. Buku ajar ilmu bedah.
Edisi revisi. Jakarta-Indonesia. Penerbit buku kedokteran EGC, 2009.
Hal : 681-683.

Anda mungkin juga menyukai