Anda di halaman 1dari 23

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX (LPR)

A. Pendahuluan
Sejak akhir tahun 1960an, penyakit refluks gastoesofangeal
(gatroesophageal reflux disease) diketahui memiliki hubungan dalam
patogenesis penyakit ekstraesofagus, termasuk laringitis. Meskipun hubungan
sebab-akibat telah diperkuat dengan bukti yang lebih baru, namun kita masih
membutuhkan bukti-bukti ilmiah untuk menentukan penyebab, diagnosis dan
pengobatannya.1
Laryngopharyngeal reflux (LPR) pertama kali ditemukan oleh
Kaufman pada tahun 1981.2 Berbagai istilah seperti laryngopharyngeal
reflux (LPR), gatroesophageal reflux disease (GERD) supraesofagus, GERD
atipikal, komplikasi GERD ekstraesofagus, gastrofaringeal refluks, refluks
supraesofageal

dan

refluks

ekstraesofageal

telah

digunakan

untuk

mengambarkan sekelompok gejala dan tanda.1,3 Meskipun telah digunakan


berbagai istilah, namun pada dasarnya refluks laringofaringeal merupakan
dampak dari refluksnya asam lambung ke dalam esofagus yang berdampak
terhadap laring, faring dan paru.1 Meskipun gejala ini sebelumnya dianggap
merupakan spektrum dari GERD, laryngopharyngeal reflux (LPR) sekarang
dianggap sebagai penyakit yang berbeda dan memerlukan penatalaksanaan
yang berbeda pula.1,3
Refluks laringofaringeal dan refluks gastroesofageal adalah sesuatu
yang berbeda. LPR disebabkan oleh iritasi dan perubahan dari faring
sedangkan GERD disebabkan oleh refluks isi lambung ke dalam esofagus,
yang menyebakan kerusakan jaringan atau esofagitis dan rasa terbakar.
Pasien dengan LPR terjadinya refluks saat pasien sedang berdiri atau saat
beraktifitas, tidak ada hubungan dengan lamanya paparan asam lambung dan
tidak berhubungan dengan kelainan motilitas dari esofagus maupun gaster.
Akibatnya banyak pasien dengan LPR jumlah dan lamanya refluks esofagus
masih dalam kisaran normal. Meskipun kisaran refluks esofagus tidak

menyebabkan rasa terbakar dan esofagitis, hal ini berbeda dengan epitel
pada laring yang mudah rapuh, sehingga refluks esofagus yang ringan dapat
menyebabkan kerusakan pada epitel laring. 4 Berbeda pada esofagus bagian
distal, pada saluran nafas tidak memiliki mekanisme pelindung antireflux
clearance dan lapisan mukosa pelindung asam.5
Dalam menentukan diagnosis LPR perlu dilakukan anamnesis yang
teliti, pemeriksaan penunjang seperti laringoskopi fleksibel, pH dan lain-lain.
Pengobatan LPR meliputi kombinasi diet, modifikasi perilaku, antasida,
antagonis reseptor H2, proton pumpinhibitor (PPI) dan tindakan bedah.3
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
a. Faring
Faring merupakan peralihan ruang antara rongga mulut dan
sistem pernapasan dan pencernaan. Ia membentuk hubungan antara
daerah hidung dan faring. Berdasarkan letaknya faring dapat dibagi
menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).6
Disebelah atas faring berbatasan dengan basis cranii sampai
tuberculum pharyngeum, ke caudal batas peralihan pharynx menjadi
oesofagus adalah pada setinggi vertebra cervicalis enam. Faring atau
kerongkongan dibentuk oleh otot-otot konstriktor, yaitu berturut-turut
dari atas ke bawah : musculus constrictor pharyngis superior,
musculus constrictor pharyngis media dan musculus constrictor
inferior. 7
Faring penting untuk mekanisme menelan (=deglutition) dan
pernafasan. Mucosa nasopharynx adalah epitel respirasi yang berupa
epitel bertingkat bersilia, sedangkan bagian lain ditutup oleh epitel
berlapis gepeng. 7

Gambar 1. Anatomi Faring


Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di
bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung,
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang
relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong
rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh
n. glosofaring, n. vagus, dan n. asesorius spinal saraf kranial dan v.
jugularis interna, bagian laserum dan muara tuba eustachius. 7
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya
adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke
depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra
3

servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding


posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior
dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum. 7

Gambar 2. Anatomi Orofaring


Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan ikat dengan
kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatine, dan tonsil lingual yang ketiganya
membentuk suatu lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. 7
b. Laring
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas
bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan
bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Batas atas laring
adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal
kartilago krikoid. 5
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu
tulang hyoid dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk
seperti huruf U yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah,
mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot. Tulang rawan yang
menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago
krikoid,

kartilago

aritenoid,

kartilago

kornikulata,

kartilago

kuneiformis, dan kartilago tritisea.7

Gerakan

laring

dilaksanakan

oleh

kelompok

otot-otot

ekstrinsik dan intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada


laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan
gerakan bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan gerak pita
suara. Otot ekstrinsik laring terdiri dari suprahioid (m. digastrikus, m.
geniohioid, m. stilohioid, m. milohioid) dan infrahioid (m.
sternohioid, m. omohioid, m. tirohioid). Otot intrinsik laring berada
pada bagian lateral dan posterior laring, otot-otot ini kebanyakan
adalah otot aduktor. 7
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang n. vagus yaitu, n.
laringis superior dan n. laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan
campuran saraf motorik dan sensorik. 7
Perdarahan laring berasal dari percabangan a. tiroid superior
dan inferior. Arteri yang memperdarahi laring secara langsung dari
kedua cabang arteri tersebut adalah a. laringis superior dan a. laringis
inferior. 7

Gambar 3. Anatomi Laring


Laring memiliki rongga laring yang memiliki batas atas aditus
laring, batas bawah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago
krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglotis,
tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua

belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas


lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus
elastikus, dan arkus kartilago krikoid. Sedangkan batas belakangnya
ialam m. aritenois transverses dan lamina kartilago krikoid. 7
c. Esofagus
Esofagus merupakan organ memanjang seperti tabung yang
menghubungakan faring dengan gaster. Sebagian besar esofagus
terdapat didalam rongga thorax dan menembus diafragma untuk masuk
kedalam cavitas abdominalis melalui foramen esofagus, setelah masuk
cavitas abdominalis beberapa sentimeter, esofagus lalu mencapai
gaster pada sisi kanannya. Nervus vagus terdapat dianterior dan di
posteriornya. Peralihan esofagus ke gaster berfungsi sebagai sfingter
esofagus bagian bawah. Makanan yang masuk tertahan akan sementara
disini dan sfingter ini juga berguna untuk mencegah kembalinya
(=reflux) isi gaster kedalam esofagus.6

Gambar 4. Anatomi Esofagus


2. Fisiologi
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur
yang berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintigrasi

dan berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung


dari beberapa faktor, yaitu :7

Ukuran bulus makanan

Diameter lumen esofagus

Kontraksi peristaltik esofagus

Fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah

Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah


Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem

neuromuskular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan


sensorik dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta
persarafan intrinsik otot-otot esofagus bekerja denggan baik, sehingga
aktivitas motorik berjalan dengan lancar. Kerusakan pada pusat menelan
atau kerusakan pada organ-organ menelan dapat menyebabkan
kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot lurik esofagus dan
sfingter esofagus bagian atas maupun bagian bawah. 7
C. Definisi
Refluks laring faring/ laringofaringeal refluks (Laryngopharyngeal
Reflux/LPR) adalah pergerakan asam lambung secara retrograde menuju
faring dan laring serta saluran pencernaan atas.3 Referensi lain menjelaskan,
laringofaringeal refluks adalah suatu keadaan dimana kembalinya isi perut ke
dalam esofagus dan masuk ke dalam tenggorokan.4,8
B

eberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literatur kedokteran

yaitu : extraesophageal reflux, supraesophageal reflux, reflux laryngitis


gastroesophagopharyngeal reflux, posterior laryngitis, silent reflux,
laryngeal reflux, pharyngoesophageal reflux, atypical reflux disease.1,8,9
D. Epidemiologi
Kejadian refluks sering ditemukan di

negara-negara barat dengan

angka kejadian 10-15% dan umumnya mengenai usia di atas 40 tahun (35%).

Hal ini berhubungan dengan pola konsumsi masyarakat barat, olahraga,


genetik dan kebiasaan berobat.3 Di Amerika Serikat insiden LPR mencapai
sekitar 20% dari populasi orang dewasa. Berdasarkan data audit Inggris (data
tidak dipublikasikan), 4% dari 500 juta dihabiskan untuk membeli obat
proton pump inhibitors setiap tahunnya oleh the National Health Service
digunakan untuk pengobatan LPR.10
E. Etiologi
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograde dari asam
lambung atau isinya seperti pepsin ke saluran esofagus atas dan menimbulkan
cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi kerusakan silia yang
menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem (throat clearing)
dan batuk kronis akibatnya akan sebabkan iritasi dan inflamasi pada faring.1,3
F. Patofisiologi
Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Sampai
saat ini dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses
terjadinya LPR.1,3 Seperti yang diketahui mukosa faring dan laring tidak
dirancang untuk mencegah cedera langsung akibat asam lambung dan pepsin
yang terkandung pada refluxate. Laring lebih rentan terhadap cairan refluks
dibanding esofagus karena tidak mempunyai mekanisme pertahanan
ekstrinsik dan instrinsik seperti esofagus.3
Pada orang normal, sfingter esofagus atas (UES) dan sfingter
esofagus bawah (LES) bekerja secara bersama untuk mencegah terjadinya
refluks ini. Karenanya patologi utama penyebab LPR berhubungan dengan
disfungsi sfingter esofagus terutama UES. Sfingter esofagus atas (UES)
terdiri dari cricopharingeus, thyropharyngeus dan proksimal cervical
esofagus dan menempel pada kartilago tiroid dan krikoid yang membentuk
seperti huruf C (C-shape), yang membungkus daerah sekitar esofagus
servikal dan mendapat persarafan dari pleksus faringeal. Ketika UES
memungkinkan terjadinya refluks dan menyebabkannya kontak dengan

segmen laringofaringeal, asam lambung dan pepsin yang teraktivasi dapat


menyebabkan

kerusakan

langsung

pada

mukosa

laring.

Hal

ini

mengakibatkan gangguan klirens mukosilier yang menyebabkan stasis lendir


yang dapat memperburuk terjadinya iritasi mukosa dan berkontribusi
terhadap gejala yang dialami pasien misalnya postnasal drip, throat clearing
dan globus sensation.2
Disfungsi UES bukan merupakan penyebab satusatunya LPR,
karena menurut beberapa studi ditemukan bahwa terdapat peran dari aspek
biokimia. Didapatkan bahwa terdapat hubungan antara LPR dan penurunan
isoenzim karbonik anhidrase III (CA-III). Penurunan kadar CA-III, yang
dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi pepsin, merupakan hal yang
penting untuk dipertimbangkan karena pada kondisi ini menyebabkan
penurunan jumlah anion bikarbonat yang ada dan berguna untuk menetralisir
isi lambung dan akibatnya lebih sedikit buffer kimia yang memproteksi
mukosa faring. 2
Pada literature lain, dijelaskan terjadinya LPR, yaitu :
1. Kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal
dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan
paru.7 Byrne menyimpulkan bahwa cairan asam dan pepsin merupakan zat
berbahaya bagi laring dan jaringan sekitarnya. Pepsin merupakan enzim
proteolitik utama lambung. Aktivitas optimal pepsin terjadi pada pH 2,0
dan tidak aktif dan bersifat stabil pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika
pH dapat kembali ke pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari
sebelumnya. 1,3
2. Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang refleks
vagal sehingga akan mengakibatkan bronkokontriksi/spasme bronkus,
batuk kronis sering meludah, gerakan mendehem (throat clearing) dan
menyebabkan inflamasi pada laring dan faring.3,7 Lama kelamaan akan
menyebabkan

lesi

pada

mukosa.

Mekanisme

keduanya

akan

menyebabkan perubahan patologis pada kondisi laring. Bukti lain juga


menyebutkan bahwa rangsangan mukosa esofagus oleh cairan asam

lambung juga akan menyebabkan peradangan pada mukosa hidung,


disfungsi tuba dan gangguan pernafasan. Cairan lambung tadi
menyebabkan

refleks

vagal

eferen

sehingga

terjadi

respons

neuroinflamasi mukosa dan dapat saja tidak ditemukan inflamasi di


daerah laring. 1,3
Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari
patofisiologi LPR. Yang menyebutkan adanya fungsi proteksi dari enzim
carbonic anhydrase. Enzim ini akan menetralisir asam pada cairan refluks.
Pada keadaan epitel laring normal kadar enzim ini tinggi. Terdapat hubungan
yang jelas antara kadar pepsin di epitel laring dengan penurunan kadar protein
yang memproteksi laring yaitu enzim carbonic anhydrase dan squamous
epithelial stress protein Sep70. Pasien LPR menunjukkan kadar penurunan
enzim ini 64% ketika dilakukan biopsi jaringan laring.3,11

Gambar 5. patofisiologi LPR.


G. Manifestasi Klinik
Pasien dengan LPR yang paling umum adalah suara serak, globus
pharyngeus, disfagia, batuk kronik, post nasal drips dan sakit tenggorokan.
Gejala-gejala ini sering intermiten atau 'kronis-intermiten'. Namun, gejala ini
tidak spesifik untuk LPR, dan bisa disebabkan oleh rhinitis, asma, kanker
laring, dan banyak kondisi patologis lainnya.4,9

10

Table 1. Key Symptoms of LPR.

Cervical dysphagia
Chronic cough

Dysphonia

Globus sensation
Hoarseness
Sore throat

Throat clearing
Upright reflux (daytime
eflux)

Kelainan pada Laring


Pada penelitian terhadap binatang menunjukkan refluks isi lambung
yang berulang mengakibatkan peradangan pada laring posterior,
ulserasi kontak dan yang terakhir terbentuknya granuloma. Kelainan
pada laring yang dianggap umum terkait dengan refluks meliputi
edema dan eritema pada mukosa yang melapisi tulang rawan
aritenoid, interaritenoid, dan sering juga pada vocal folds (posterior
laryngitis).5

Otitis Media
Otitis media merupakan penyakit yang sering menyebabkan
penurunan pendegaran pada anak-anak. Pada kasus LPR seseorang
bisa saja bermanifestasi otitis media, hal ini terjadi karena refluks isi
lambung sampai ke telinga tengah sehingga menjadi faktor resiko
yang besar untuk terjadinya otitis media. Dari hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Recently, Tasker et al melaporkan bahwa
terdapat kadar konsentrasi yang tinggi dari pepsin/pepsinogen
dalam 59 dari 65 sampel anak-anak dengan OME. 5

Batuk Kronis
Proses patogenis batuk kronis orang-orang dengan GERD atau LPR,
terjadi kerena adanya mikroaspirasi pada saluran pernapasan oleh
refluks isi lambung sehingga mengaktifkan reflek batuk. 5

Sinusitis Kronik
Banyak studi observasional yang menyatakan bahwa anak-anak dan
orang dewasa dengan kelainan refluks gastroesofangeal sering kali

11

disertai dengan penyakit sinusitis kronik. GERD dan LPR dapat


berkontribusi dalam proses pathogenesis sinusitis kronis dengan
menyebabakan sinonasal congestion, compromised sinus drainage
(gangguan pada drainase sinus) dan proses inflamasi. 5
H. Diagnosis
Diagnosis LPR ditegakkan berdasarkaan anamnesis/gejala klinis
(Reflux Symptoms Index/RSI), pemeriksaan fisis/laring (Reflux Finding Score/
RFS), dan pemeriksaan penunjang. 3,9
1. Anamnesis
Hal yang penting ditanyakan apakah ada perubahan suara terutama
perubahan suara yang intermitten di siang hari. Jika ada keluhan ini perlu
ada kecurigaan akan LPR.3,11 Gejala lain yang sering dikeluhkan pasien
adalah rasa seperti tersangkut di tenggorok (globus sensation),
mendehem (throat clearing), batuk dan suara serak. Gejala lain seperti
nyeri tenggorok, penumpukan dahak di tenggorok, obstruksi jalan nafas
intermiten, post nasal drip, wheezing, halitosis dan disfagia dapat timbul.
Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata dan
utama. 3
Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain
seperti keeadaan alergi dan kebiasaan merokok. Gerakan paradoks dari
pita suara dan spasme laring juga dapat dikarenakan LPR sehingga perlu
ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan dan perubahan
suara. 3,4,8,9
Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks sering
dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang
asam lambungnya dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan
perbaikan keluhan pada kasus asma 78%.3,5
Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti
rasa seperti terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat
mengkonsumsi obat gastritis seperti antasida perlu ditanyakan serta

12

riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan seperti ini


membantu penegakan diagnosis penyakit refluks karena pasien sering
datang dengan keluhan yang tidak pasti. Pola hidup seperti kebiasaan
merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92% ditemukan pada pasien
dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol ditenggarai sebagai salah
satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah, kelemahan tahanan
mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan merangsang
sekresi lambung. 3
Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan
rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma
laring ditemukan riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik 56%. Skor RSI
adalah 0-45 dengan skor = 13 curiga LPR. 3

Tabel 2. Reflux Symptom Index


2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi
komissura posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme,
stenosis subglotik dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada

13

laring dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling


bermakna seperti adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura
posterior.3

Gambar 6. Hipertrofi komissura Posterior


Laringitis posterior ditemukan pada 74% kasus begitu juga edema
serta eritema laring dijumpai pada 60% kasus LPR. Dapat juga terjadi
hipertrofi mukosa interaritenoid dan pada kasus lanjutan dapat
berkembang menjadi hyperkeratosis epitel pada komissura posterior.
Granuloma dan nodul pita suara dapat terjadi pada kasus-kasus yang
tidak diobati. 3

Gambar 7. Granuloma
Belfasky (2002) membuat tabel penilaian gejala LPR melalui
pemeriksaan laringoskop fleksibel (Reflux Finding Score/ RFS). Skor
dimulai dari nol (tidak ada kelainan) dengan nilai maksimal 26 dan jika
nilai RFS =7 dengan tingkat keyakinan 95% dapat di diagnosis sebagai

14

LPR. Nilai ini juga dapat dengan baik memprakirakan efektifitas


pengobatan pasien. 3,8

Tabel 3. Reflux Finding Score


Edema subglotik (Pseudosulkus vokalis-gambar 8) ditemui pada
90% kasus, adalah edema subglotik dimulai dari komissura anterior
meluas sampai laring posterior. 3

Gambar 8. Obliterasi ventrikel


Obliterasi ventrikel (gambar 9) ditemukan pada 80% kasus.
Dinilai menjadi parsial atau komplit. Pada obliterasi parsial ditemukan
gambaran pemendekan jarak ruang ventrikel dan batas pita suara palsu
memendek. Sedangkan pada keadaan komplit ditemukan pita suara asli
dan palsu seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang ventrikel. 3

15

Gambar 9. Obliterasi ventrikel


Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gambaran LPR
yang tidak spesifik. Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti
kualitas sumber cahaya, monitor video dan kualitas endoskop fleksibel
sendiri jadi kadang-kadang sulit terlihat. Edema pita suara dinilai
tingkatannya. Gradasi ringan (nilai 1) jika hanya ada pembengkakan
ringan, nilai 2 jika pembengkakan nyata dan gradasi berat (nilai 3) jika
ditemukan pembengkakan yang lebih berat dan menetap sedangkan nilai 4
(gradasi sangat berat) jika ditemukan degenerasi polipoid pita suara.
Edema laring yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran laring
dengan ukuran jalan nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4
(obstruksi). Hipertrofi komissura posterior gradasi ringan (nilai 1) jika
komissura posterior terlihat seperti kumis, nilai 2 (gradasi sedang) jika
komisura posterior bengkak sehingga seperti membentuk garis lurus pada
belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat penonjolan laring
posterior ke arah jalan nafas dan gradasi sangat berat apabila terlihat ada
obliterasi ke arah jalan nafas. Gambaran lain yang mungkin ditemukan
adalah sinusitis berulang dan erosi dari gigi.3
3. Pemeriksaan Penunjang3
a. Laringoskopi fleksibel : Merupakan pemeriksaan utama untuk
mendiagnosis LPR. Biasanya yang digunakan adalah laringoskop
fleksibel karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik
dibandingkan laringoskop rigid.

16

b. Monitor pH 24 jam di faringoesofageal : Pemeriksaan ini disebut


ambulatory 24 hours double probe pH monitoring yang merupakan
baku emas dalam mendiagnosis LPR. Pertama kali diperkenalkan oleh
Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan pasien
dengan keluhan LPR tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ada
kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam mendiagnosis refluks
karena pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan adanya
refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan dibawah sehingga
dapat menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan
ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman dan dapat ditemukan hasil
negatif palsu sekitar 20%. Hal ini dikarenakan pola refluks pada
pasien LPR yang intermitten atau berhubungan dengan gaya hidup
sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan.
Pemeriksaan ini hanya dapat menilai refluks asam sedangkan refluks
non asam tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini disarankan pada pasien
yang tidak respons terhadap pengobatan supresi asam.
c. Pemeriksaan Endoskopi : Dengan menggunakan esofagoskop dapat
membantu dalam penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya
ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut
dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar
barret dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.
d. Pemeriksaan videostroboskopi : Pemeriksaan video laring dengan
menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang diaktifasi oleh
pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan
lambat.
e. Pemeriksaan Histopatologi : Pada biopsi laring ditemukan gambaran
hyperplasia

epitel

skuamosa

dengan

inflamasi

kronik

pada

submukosa. Gambaran ini dapat berkembang menjadi atopi dan


ulserasi epitel serta penumpukan fibrin, jaringan granulasi dan fibrotik
di daerah submukosa.

17

f. Pemeriksaan esofagografi dengan bubur Barium : Pemeriksaan ini


dapat melihat gerakan peristaltik yang abnormal juga motilitas, lesi di
esofagus, hiatus hernia, refluks spontan dan kelainan sfingter esofagus
bawah. Kelemahannya pemeriksaan ini tidak dapat menilai efluks
yang intermiten. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan jika
pengobatan gagal, terdapat indikasi klinis ke arah GERD, disfungsi
esofagus atau diagnosis yang belum pasti.
g. Pemeriksaan laringoskopi langsung : Pemeriksaan ini memerlukan
anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi. Dapat melihat secara
langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat dilakukan
tindakan biopsi.3 Dengan pemeriksaan laringoskopi, tanda umum yang
dapat ditemui adalah eritema/hiperemis pada 88% pasien dengan
ventricular obliteration dan 76% pada pasien dengan hipertrophy
komisura posterior.4
I. Penatalaksanaan
Standar intervensi terapi pada LPR adalah modifikasi gaya hidup,
medikamentosa, dan pembedahan.4

Edukasi dan perubahan perilaku


Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang
tepat agar terapi berjalan maksimal. Pasien akan mengalami
pengurangan keluhan dengan perubahan diet dan gaya hidup sehat.
Misalnya pola diet yang dianjurkan pada pasien seperti makan terakhir
2-4 jam sebelum berbaring, pengurangan porsi makan, hindari makanan
yang menurunkan tonus otot sfingter esofagus seperti makanan
berlemak, gorengan, kopi, soda, alkohol, mint, coklat buahan dan jus
yang asam, cuka, mustard dan tomat. Koufman (2011) menganjurkan
pola diet bebas asam atau rendah asam (A strict low acid or acid free)
dalam penelitiannya ada manfaat yang nyata pada perbaikan RSI dan
RFS pada populasi yang diteliti. Anjuran lain seperti menurunkan berat
badan jika berat badan pasien berlebihan, hindari pakaian yang ketat,
18

stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring 10-20 cm dan


mengurangi stress.3

Medikamentosa
Penghambat pompa proton merupakan pilihan utama dalam
pengobatan medikamentosa LPR. Proton Pump Inhibitor merupakan
terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks
dan dianggap sebagai landasan untuk terapi farmakologi dari LPR. Efek
yang optimal diberikan ketika diminum 30-60 menit sebelum makan, PPI
mengurangi produksi asam lambung dengan memblokir pompa proton
dan menurunkan kadar ion hidrogen cairan refluks tetapi tidak dapat
menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan refluks
asam lambung sampai lebih dari 80%. Akan tetapi efektifitas obat
terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya pada kasus GERD. 2,3

Operasi
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier
pada daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah
refluks seluruh isi gaster ke arah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada
pasien yang harus terus-menerus minum obat atau dengan dosis yang
makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung. 3

Gambar 10. Gambar Panatalaksanaan LPR


19

J. Komplikasi
LPR yang tidak diobati akan menyebabkan komplikasi seperti:
odinofagia, batuk kronis, sinusitis, infeksi telinga, pembengkakan pita suara,
ulkus pada plika vokalis, pembentukan granuloma (massa) di tenggorokan,
dan perburukan asma, emfisema, serta bronchitis. LPR yang dibiarkan saja
juga kemungkinan berperan dalam perkembangan kanker pada daerah
laring.12
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti
faringitis, sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan
keganasan laring. Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan
mengancam nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR ditemukan pada 75%
pasien stenosis laring dan trakea.3
K. Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet dan gaya hidup yang tepat.
Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien
dengan laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi
selama 6 minggu dengan Omeprazole, dan sekitar 79% kasus mengalami
kekambuhan setelah berhenti berobat. Sedangkan prognosis keberhasilan
dengan menggunakan Lansoprazole selama 8 minggu memberikan angka
keberhasilan 86%.3
L. Kesimpulan
LPR adalah suatu kondisi dimana terjadi gerakan retrograde dari isi
lambung ke dalam saluran aerodigestive atas (kerongkongan, faring, laring,
rongga mulut dan nasofaring). Etiologi dari LPR sampai saat ini diperkirakan
akibat

disfungsi

dari

Upper

Esofagus

Sphincter

(UES)

sehingga

menyebabkan refluks asam lambung sampai ke daerah faring. Gejala klinis


dari LPR tidak spesifik dan sangat beragam, namun kebanyakan pasien
mengeluhkan rasa mengganjal di tenggorokan, batuk-batuk lama, dan suara

20

serak. Diagnosis LPR dapat ditegakkan dengan bantuan skoring Reflux


Symptoms Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS). Terapi utama pada
LPR adalah pemberian PPI.
GERD dan LPR memiliki banyak kesamanaan mulai dari etiologi,
faktor predisposisi, patofisiologi, sampai dengan penatalaksanaan. Masih ada
beberapa referensi yang menyampaikan bahwa kedua penyakit ini saling
berhubungan. Kebanyakan menyatakan bahwa LPR merupakan kelanjutan
atau komplikasi dari GERD yang gagal diobati. Namun kenyataannya dari
beberapa jurnal penelitian ditemukan bahwa hampir sebagian besar pasien
dengan LPR tidak memiliki gejala klinis bahkan kelainan anatomi seperti
yang telah dikemukakan pada tinjauan pustaka mengenai GERD.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Amirlak

B.

Reflux

Laryngitis.

2012.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview#showall.
2. Pham

V.

Laryngopharyngeal

Reflux

With

An

Emphasis

On

Diagnostic And Therapeutic Considerations.2009. Available from :


www.utmb.edu/otoref/grnds/laryng-reflux-090825/laryng-reflux090825.doc
3. Irfandy

Dolly.

Laryngopharyngeal

Reflux.

Available

from

http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Laryng-reflux-090825/laryng-reflux090825.pdf
4. Patigaroo SA, Hashmi SF, Hasan SA, Ajmal MR, Mehfooz N.
Clinical Manifestations and Role of Proton Pump Inhibitors in the
Management of Laryngopharyngeal Reflux. Indian J Otolaryngol Head
Neck Surg 2011. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
5. Poelmans J, Tack J. Extraesophageal Manifestations of Gastrooesophageal

Reflux.

2005.

Available

from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/.
6. Wibowo DS, Paryana Widjaya. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Elsevier
(Singapore) : Graha Ilmu Publishing.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Jakarta: Gaya Baru.
8. Peter C, dkk. Indetifying and Managing Laryngopharyngeal Reflux. 2007.
Available

from

http://www.turner-white.com/memberfile.php?

PubCode=hp_jul07_reflux.pdf
9. Koufman JA et al. Laryngopharyngeal reflux: Position statement of the
committee on Speech, Voice and Swallowing Disorders of the American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. OtolaryngologyHead and Neck Surgery. 2002.

22

10. Rees LE, Pazmany L, Gutowska-Owsiak D, Inman CF, Phillips A,


Stokes CR, et al. The Mucosal Immune Response to Laryngopharyngeal
Reflux. American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine.
2008. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
11. Charles N, MD Ford. Evaluation and Management of Laryngopharyngeal
Reflux.

2010.

Available

from

http://homepages.wmich.edu/~stasko/sppa640/readings/Ford%20LPR
%20JAMA.pdf
12. Laryngopharyngeal

Reflux.

Available

from:

http://my.clevelandclinic.org/head-neck/diseases-conditions/hiclaryngopharyngeal-reflux-lpr.aspx

23

Anda mungkin juga menyukai