PENDAHULUAN
nyeri pada
tenggorokan, batuk kering, susah menelan ataupun rasa penuh pada tenggorokan.
Adanya kegagalan dari fungsi sfingter atas esofagus atau upper oesophagal
sphincter (UOS) merupakan salah satu faktor untuk terjadinya LPR.1,2
Laryngopharyngeal reflux termasuk dari salah satu manifestasi refluks
ekstra esofagus yang berhubungan dengan gastroesophageal reflux (GERD),
hanya saja kejadian GERD berhubungan dengan disfungsi dari sfingter bawah
esofagus atau lower esophagal sphincter. Angka kejadian LPR cukup sering,
diperkirakan LPR menyerang sekitar 20% dari populasi dewasa di Amerika
Serikat dan pada beberapa studi dikatakan 50% yang mengalami suara serak
menderita LPR.3,4,5
Gejala dari LPR harus dibedakan dari gejala GERD. Kebanyakan pasien
dengan LPR tidak mengeluhkan adanya rasa terbakar di dada. Tujuh puluh satu
persen penderita mengeluhkan suara serak yang disertai rasa penuh di
tenggorokan. Pada setiap penderita yang dicurigai menderita LPR harus dilakukan
2 penilaian untuk melihat skor reflux. Penilaian tersebut adalah Reflux System
Indtex (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS). Dua penilaian ini digunakan untuk
menegakkan diagonosis dari LPR. 6,7
Penatalaksanaan LPR dibagi menjadi 3 yaitu perubahan pola hidup dan
edukasi pasien, terapi medikamentosa dan terapi bedah. Hal yang perlu
diperhatikan dari LPR adalah skreening untuk menilai adanya kanker esofagal dan
esofagus Barret, karena LPR merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya
esophageal adenocarcinoma (EAC).1,3,8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
2.1.1. Faring
Faring merupakan tabung muskular yang berukuran 12,5-14 cm yang
merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus.
9,10
Farinng adalah
kontong fibrous yang membentuk seperti corong dimana kantong ini dimulai dari
dasar tengkorang dan menyambung dengan esofagus setinggi vertebre servikal ke
enam. Faring berhubungan dengan hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dibawahnya berhubungan
dengan laring melalui aditus laring dan kebawahnya berhubungan dengan
esofagus.10 Faring terbagi menjadi tiga, yaitu: 9
1.
eustachius. 10
Orofaring disebut juga mesofaring, dimana batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, batas depan rongga mulut,
sedangkan ke belakang dengan vertebra servikal. Struktur yang terdapat di
rongga faring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil
serta arkus faring anterior dan posterior , uvula, tonsil lingual, dan foramen
3.
sekum.10
Laringofaring mengelilingi mulut esofagus dan laring yang merupakan
gerbang untuk sistem respiratorik selanjutnya(sloane). Batas superiornya
adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior adalah
esofagus, serta batas posterior adalah vertebre servikal. Pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung struktur pertama kali yang terlihat adalah
valekula (pill pockets). Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum
glosoepiglotika lateral. Di bawah valekula terdapat terdapat epiglotis,
epiglotis berfungsi juga untuk melindung (proteksi) glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar
sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting
untuk
diketahui pada saat pemberian anestesi lokal di faring dan laring pada
tindakan laringoskopi langsung. 10
(cabang faring asenden dan fausial) serta dari cang arteri maksilaris interna yakni
cabang dari arteri palatina superior. Persarafan faring terdiri dari sensorik dan
motorik yang berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk dari
cabang nervus vagus, cabang nervus glossofaringeal dan serabut saraf simpatis.
Cabang farin dar nervus vagus berisi saraf motorik. Dari faring yang eksternsif ini
keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali muskulus stilofaring yang
langsung dipersarafi oleh nervus glossofaringeal. 10
Gambar 2.2. Anatomi Otot Penyusun Faring (Dikutip dari Grevers, 2006)
2.1.2. Laring
Laring merupakan suatu penghubung antara faring dan trakea. Laring
berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago tiga
berpasangan dan tiga tidak berpasangan.9 Batas atas laring adalah aditus laring,
sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. Kerangka laring
tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang
hiolid berbentuk huruf U, dimana bagian atasnya berhubungan dengan lidah,
mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi
otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam,
maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakan
lidah. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago
krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kunikulata, kartilago tiroid. 12
Otot-otot
ekstrinsik
yang
suprahioid
ialah
m.digastrikus,
posterior, ialah
m.aritenoid
transversum,
m.aritenoid
oblik dan
Gambar 2.3. Anatomi Laring (Dikutip dari Hermani B & Hutaruk S, 2007)
Gambar 2.4. Otot penyusun Laring (Dikutip dari Hermani B & Hutaruk S, 2007)
Pada laring terdapat pita suara asli ( plika vokalis ) dan pita suara palsu
(plika ventrikularis). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima
glotis, dan bidang antara plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli.
Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian,
yaitu : vestibulum laring/supraglotik (di atas plika ventrikularis), glotik, dan
subglotik (di bawah plika vokalis). 12
Gambar 2.5. Anatomi Perdarahan dan Persarafan Laring (Dikutip dari Iro &
Waldfahrer, 2006)
Gambar 2.6. Aliran darah dan Kelenjar Getah Bening Laring (Dikutip dari
Hermani B & Hutaruk S, 2007)
10
Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan a.
laringis superior dan inferior. Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di
daerah lipatan vokal. Disini mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum
vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior
dan inferior. 12
2.1.3. Esofagus
Esofagus adalah tuba muskulara dengan panjang 9 sampai 10 inch, dengan
diameter 1 inch, dimana esofagus berawal pada area terbawah laringofaring,
melewati diafragma dan hiatus esofagus (lubang) pada torakal kesepuluh dan
membuka ke arah lambung.
14
11
12
struktur anatomi sfingter esofagus atas. Namun sfingter esofagus bawah tidak
mempunyai lapisan serosa. 16
2.2. Definisi
Manifestasi dari penyakit refluks gastroesofagus
di luar esofagus
atau refluks
laringofaring adalah pergerakan retrograde dari isi lambung (asam dan enzimenzim) ke laringofaring. (charles). Sehingga perlu diketahui adanya hubungan
yang kompleks antara penyakit REE yang ditimbulkan oleh Penyakit refluks
gastroesofagus, karena pasien REE sering di obati sebagia rinitis non alergi
dengan sekret belakang hidung, rinofaringitis nonspesifik, sinusitis rekuren.
Keluhan yang timbul akibat REE adalah keluhan tenggorokan terasa nyeri dan
kering, panas di pipi, sensai ada rasa menyumbat (globulus sensation), kelainan
laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.8
2.3. Etiologi
Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan LPR adalah sebagai berikut 8,17 :
13
2.4. Epidemiologi
Selama dekade terakhir
penyakit yang disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara retrograde ini.
Pada penelitian yang di lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk
diperkirakan menderita GERD, dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala
LPR atau extraesophageal reflux (EER). 18
Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih
dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi
keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria,
wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan
anak sering terlewatkan.
Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih
dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi
keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria,
wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan
anak sering terlewatkan.
14
populasi kelompok western mempunyai rasa terbakar pada ulu hati dan regurgitasi
asam satu atau lebih perminggunya. Di asia sendiri di laporkan prevalensi cukup
rendah yaitu 3-5 %. 17
2.5. Patofisiologi
Ada dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab terjadinya LPR
akibar GERD, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks
asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang
berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru. Teori yang
kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang
menyebabkan terjadinya batuk dan bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah,
sehingga menyebabkan perubahan inflamsi dari laring. 8
Refluks laringofaring berbeda dengan Gastro esofageal reflux, dimana
refluks laringofaring tidak menunjukkan gejala rasa terbakar di dada dan
regurgitasi. Dimana ada beberapa agen yang bertanggung jawab menimbulkan
munculnya gejala saluran nafas atas dan kelainan patologi pada laring yaitu HCL,
pepsin, asam empedu dan tripsin. Hubungan dari masing-masing agen dalam
patogenesis munculnya gejala tersebut saih dalam perdebatan. Pepsin yang
dikobinasi kan dengan asam sering ditemukan dan menjadi agen yang paling
banyak melukai dengan gejala yang spesifik pada lesi di laring. Pada penelitian
yang dilakukan pada binatang dan secara invitro menunjukan secara bahwa pepsin
dapat aktif dan menyebabkan kerusakan pada sel samapi Ph 6. Refluks dapat
berupa gas, cairan atau gabungan keduanya. Paling banyak refluks faringeal
adalah berupa gas dengan penurunan pH yang umum terjadi pada pasien LPR. 17
15
muncul ini disebabkan karena epitel respirasi bersilia pada laring lebih sensitif
terhadap asam. Namun waktu dan frekuensi untukmenimbulkan penyakit ini
masih diperdebatkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Koufman dan
kawan- kawan bahwa sekali episode dari refluks cukut untuk menyebabkan
kerusakan pada mukosa hal ini dapat disimpulkan setelah percobaan yang
dilakukan terhadap binatang dimana pada penelitian ini dia memberikan paparan
asam dan pepsin sebanyak tiga kali seminggu pada bagian aritenoid dan itu cukup
membuat kerusakan pada mukosanya. 17
2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di
jumpai adalah suara serak. Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia,
throat clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk
kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan.19,20
2.7 Diagnosis
Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Pada sebuah survei internasional yang dilakukan oleh
American Bronchoesophagological Association ditemukan dari anamesis pasien
yang dicurigai mengalami LPR mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing
(98%), batuk-batuk kronik (97%) dan globus pharingeus (95%).5
Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam menentukan
diagnosis LPR, yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS).
Penilaian skor RSI dikembangkan oleh Belafsky et al pada tahun 2002, sistem RSI
ini didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada pasien, setiap pertanyaan
memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0 menampilkan tidak ada masalah sedangkan
nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total dari RSI adalah 45 dan
dikatakan sugestif LPR apabila skor RSI >13.7,20
Tabel 2.1 Reflux Score Index
18
19
videotoboskopi
merupakan
pemeriksaan
dengan
21
Gambar 2.12 Hipertrofi dan leukoplakia pada plika vokalis pada pemeriksaan
videostroboskopik (dikutip dari: Raghunandhan, 2011)
2.10 Tatalaksana
Terdapat algoritma penatalaksanaan LPR, namun penatalaksanaan LPR
tidak lepas dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien dan perubahan pola hidup,
22
terapi medikomentosa serta terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan bahwa
penyakit ini merupakan penyakit dengan kondisi kronik yang berulang sehingga
pengobatan yang diberikan tidak akan menghasilkan proses penyembuhan yang
cepat.8,10
23
Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau
Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan
obat-obat proteksi sel atau cytoprotective. Pengobatan dengan PPI
dipertimbangkan sebagai pengobatan utama dalam terapi medikamentosa
ini. PPI yang biasanya diberikan adalah Omeprazole dengan dosis 20mg
perhari (terapi rumatan). Obat lain yang dapat dipilih seperti Lanzoprazole
dengan dosis 30mg per hari. Pengobatan PPI ini diberikan selama 6 bulan
sebelum di follow up kembali apakah pengobatan berhasil atau tidak.5,8
Obat lain yang sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan
golongan antagonis reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali
sehari. Obat proteksi yang sering diberikan adalah antasid sedangkan obat
prokinetik yang sering dipakai adalah metoclopramid dengan dosis 5-10
mg dan diminum 4 kali dalam sehari. Obat proteksi dapat menetralisasi
refluks asam serta mengurangi kerusakan dari mukosa serta mencegah
aktivitas pepsin.8
3. Terapi Bedah
Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi
mengobati LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa
operasi bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau
Toupet atau Bore (parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk
memperbaiki
kompetensi
dari
sfingter
esofagus
bawah
(SEB).
2.11 Komplikasi
Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada
saluran pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis
stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba
eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada
orang dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan
mengakibatkan karsinoma esofagus.3,20
24
BAB 3
Kesimpulan
Refluks lagringo Faring (RLF) adalah REE yang menimbulkan manifestasi
dari penyakit penyakit oral, faring, laring dan paru yang disebabkan oleh
pergerakan retrograde dari isi lambung (asam dan enzim-enzim) ke laringofaring.
Ada dua teori mengenai patogenesis, teori yang pertama mengatakan adanya
kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan
segmen esofagus atas yang berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring,
laring, dan paru. Teori yang kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang
merangsang reflek vagal, yang menyebabkan terjadinya batuk dan bronkospasme
bronkus, batuk, sering meludah, sehingga menyebabkan perubahan inflamsi dari
laring.
Gejala klinis yang dari LPR bervariasi, yaitu suara serak, disfonia, throat
clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik,
sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan. Sehingga
untuk menegakan diagnosis dari LPR harus berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang. Selain itu untuk menegakan diagnosis LPR
dapat digunakan reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS). Pada
pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran eritema, edema serta
gambaran cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis dengan gambaran
ulkus.
Penatalaksanaan LPR tidak lepas dari edukasi pasien dan perubahan pola
hidup, terapi medikomentosa serta terapi bedah. Pada anak-anak, komplikasi LPR
25
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Spencer M. Laryngopharyngeal Reflux and Singers: Diabolus in Gula.
Journal of Singing. 2006: 63(2):177-81
2. Smith J, Houghton L. The Oesephagus and Cough: Laryngopharyngeal Reflux, Microaspiration and Vagal Reflexes. Smith and
Houghton Cough Journal. 2013: 9(12): 1-4
3. Amirlak B. Reflux Laryngitis. 2014 [Diakses pada 6 Oktober 2014].
Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview
4. Rees L, et al. The Mucosal Immune Response to Laryngopharyngeal
Reflux. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.
2008: 177: 1187-88.
5. Ford C. Evaluation and Management of Laryngipharyngeal Reflux.
JAMA. 2005: 294 (12): 1534-39.
6. Diamond L. Laryngopharyngeal Reflux-Its Not GERD. Blue Ridge
ENT. 2005: 18 (8): 1-3
7. Mattoo O, Muzaffar R, Mir A, Yousuf A, Charag A, Ahmad A.
Laryngipharyngeal Reflux: Prospective Study Analyzing Various
Nonsurgical Treatment Modalities for LPR. Interntional Journal of
Phonosurgery and Laryngology. 2012: 2 (1): 5-7
8. Yunizaf M, Iskandar M. Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan
Manifestasi Otolaringologi. Dalam: Soepardi E, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti R, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2007:303-09
9. Sloane E. Sistem Pernafasan: Anatomi Fungsional Saluran Pernafasan.
Dalam: Widayastuti P, Penyunting. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula.
Jakarta. EGC: 2003 : 267-68.
10. Hermani B, Rusmarjono. Odinofagia. Dalam : Soepardi EA, dkk (eds).
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007; hal 212-5
11. Grevers G.Oral Cavity and Pharynx: Anatomy, Physiology and
Immunology of the Pharynx and Esophagus. In Basic Otorhinolaringy.
Thieme: 2006: 98-100.
12. Sloane E. Sistem Pencernaan: Rongga Oral, Faring, Esofagus. Dalam:
Widayastuti P, Penyunting. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula.
Jakarta. EGC: 2003 : 285.
13. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Hidung dan Telinga Kepala dan Leher, edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal 312.
14. Iro H, waldfahrer F. Larynx and Trachea: Embryology, Anatomy, and
Physiology of the Larynx and Trachea. In Basic Otorhinolaringy.
Thieme: 2006: 338-44
15. Soepardi EA, Esofagoskopi. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung
dan Telinga Kepala dan Leher, edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal 231-6.
27
16. Patti MG, Herbella FA, and Korn M. Benign & Malignant Disorders of
the Esophagus Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head
and Neck. Lange: 2008:486.
17. Andersson O. Laryngopharyngeal reflux-development and refinement
of diagnostic tools. Sweden: Intellecta DocuSys AB. V. Frolunda.
2009; hal 1-75
18. Jecker P, Orloff LA, Mann WJ. Extraesophageal Refl ux and Upper
Aerodigestive Tract Diseases. ORL 2005;67:185191
19. Barry D, Vaezi M. Laryngpharyngeal Reflux: More Questions than
Answers. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2010: 77 (5): 327-33
20. Tarafder K, Datta P, Amin A, Chowdhury M, Tariq A, Das P.
Laryngopharyngeal Reflux A New Paradigm of Airway Disease.
Science Journal of Medicine and Clinical Trials. 2012: 1-5
21. Irfandy D. Laryngophryngeal Reflux. [Diakses pada tanggal 6 Oktober
2014]. Di dapat dari:
http://repository.unand.ac.id/17718/1/laryngopharingeal%20reflux.pdf
22. Raghunandhan S, Nagasundaram J, Natarajan K, Prashant S,
Karneswaran M. Videostroboscopy in Laryngopharyngeal Reflux
Disorder. International Journal of Phonosurgery and Laryngology.
2011: 1(2): 52-56
28