Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di

antara fasia leher akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti infeksi

pada daerah faring dan tonsil, gigi, kelenjar liur, telinga tengah atau bisa juga

akibat trauma pada saluran cerna, limfadenitis, serta penggunaan obat injeksi

secara intravena dan subkutan. Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan

angka kesakitan dan kematian kasus abses leher dalam menurun secara drastis.

Walaupun demikian, abses leher dalam sampai saat ini masih menjadi salah satu

kasus kegawatdaruratan di bidang THT.1,2

Abses leher dalam adalah terbentuknya pus pada salah satu atau lebih

ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari

berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal serta telinga

tengah dan leher. Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan

pus pada ruang parafaring. Sebelum era antibiotika, 70% dari abses leher dalam

merupakan penjalaran infeksi dari tonsil dan faring. Akan tetapi saat ini penyebab

abses leher dalam yang sering ditemukan adalah infeksi gigi dan sekitar 20%

kasus abses leher dalam dengan sumber infeksi yang tidak ditemukan. 2

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,

Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher

dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses

submandibula dan angina ludovici.1

1
Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi kedua

setelah abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh dunia

adalah 1 dalam 6-10.000 orang setiap tahun. Abses parafaring ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ruang

parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat

tonsilektomi, limfogen dan hematogen. Gejala klinis berupa demam, nyeri

tenggorok dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan trismus,

pembengkakan disekitar angulus mandibula, pembengkakan dinding lateral

faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos

jaringan lunak leher dan tomografi komputer.1,3,4

Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan

drainase. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman

aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinis yang

timbul. Drainase abses dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu insisi

eksterna dan intra oral.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI FARING

Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,

yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari

dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.

Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan

berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan

laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan

dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang

lebih 14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia

faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.1


Otot faring tersusun dalam lapisan melingkar dan memanjang.

Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior,

media dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan

berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian otot

bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan otot-otot ini bertemu satu sama

lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah

untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh nervus vagus.1,4

Gambar 1. Struktur muskulus penyusun faring5

3
Otot-otot faring yang

tersusun memanjang terdiri dari

m.stilofaring dan

m.palatofaring. M. stilofaring

gunanya untuk melebarkan

faring dan menarik laring,

sedangkan m.palatofaring

mempertemukan ismus

orofaring dan menaikkan bagian

bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerja sebagai elevator, kerja

kedua otot ini penting untuk proses menelan. 1


Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang

tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna

(cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri

maksila interna yakni cabang palatina superior.1

Gambar.2 Pendarahan faring5


Untuk keperluan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu

nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring.

Gambar 3. Bagian-bagian Faring6


Nasofaring merupakan

sepertiga bagian atas faring, yang

tidak dapat bergerak kecuali

palatum mole di bagian bawah.

Orofaring terdapat pada bagian

tengah faring, meluas dari batas

bawah palatum mole sampai

permukaan lingual epiglotis. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang

menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan

bagian atas.1,2

Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :

1) Nasofaring

Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian

bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke

belakang adalah vertebra servikal.1

Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat

dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada

dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa

5
rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur

embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring

diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang

dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal

saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan

foramen laserum dan muara tuba eustachius.1

2) Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,

batas bawahnya adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut

sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di

rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa

tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan

foramen sekum. 1

3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah

valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan

minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus

piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke

esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis

pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan

ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas

inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal.

Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di

bawahnya terdapat muara esophagus. 1

6
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada

pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada

pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di

bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah

cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan

ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga

“kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang

bila menelan pil akan tersangkut disitu. 1


Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini

berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun

kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa.

Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan

tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak

menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi)

glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus

tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring

superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi

laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia

lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.1


II. RUANG PARAFARING

Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang

faringeal lateral atau ruang perifaring. Ruang ini berbentuk kerucut terbalik

dengan dasarnya pada bagian superior di dasar tengkorak dan puncaknya pada

inferior tulang hyoid. Batas ruang ini adalah dasar tengkorak di bagian superior

7
(pars petrosus os temporal dan os sphenoid), os hyoid di inferior, rafe

pterygomandibular di anterior, fasia prevertebra di posterior, fasia bukofaringeal

di medial dan lapisan superfisial fasia servikal profunda yang meliputi mandibula,

pterygoid medial dan parotis di lateral. Ruang parafaring berhubungan dengan

beberapa ruang leher dalam termasuk ruang submandibula, ruang retrofaring,

ruang parotis dan ruang mastikator. Ruang parafaring dibagi menjadi 2 bagian

yang tidak sama besarnya oleh prosesus styloid menjadi kompartemen anterior

atau muskuler atau prestyloid dan komponen posterior atau neurovaskuler atau

poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan

konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar di medial dan pterygoid medial di

sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a. karotis interna, v. jugularis interna, n.

vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis dan saraf

kranialis IX, X, XII. Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu

lapisan yang tipis.4,5,6

8
Gambar 4. Potongan koronal melalui ruang parafaring.5

III. FUNGSI FARING


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,

resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase

oral, fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut

menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada

waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja

(involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu

bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung. 1


Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot

palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke

arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan

melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator

veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan

nasofaring m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper

mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold

of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 mavam

mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m,palatofaring

(bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring

superior.1

IV. ABSES PARAFARING

a. Kekerapan

9
Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi kedua

setelah abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh

dunia adalah 1 dalam 6-10.000 orang setiap tahun.3


Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,

menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses

submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses

parafaring (38,4), diikuti oleh angina Ludovici (12,4%), parotis (7%) dan

retrofaring (5,9%).7
Fachruddin melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari

1991-Desember 1993 di bagian THT FKUI-RSCM dengan rentang usia

15-35 tahun yang terdiri dari 20 laki-laki dan 13 perempuan. Ruang

potensial yang tersering adalah submandibula sebanyak 27 kasus,

retrofaring 3 kasus dan parafaring 3 kasus. 7


Di sub bagian laring faring FK Unand/RSUP M Djamil Padang

selama Januari 2009 sampai April 2010, tercatat kasus abses leher dalam

sebanyak 47 kasus, dengan abses submandibula menempati urutan ke dua

dengan 20 kasus dimana abses peritonsil 22 kasus, abses parafaring 5

kasus dan abses retrofaring 2 kasus. 7


b. Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara10,11:

1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi

dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang

terkontaminasi kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis

(m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari

fossa tonsilaris.

10
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,

hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan

sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.

3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

Ruang potensial ini berbentuk sperti corong dengan dasarnya terletak pada

dasar tengkorak pada setiap sisi berdekatan dengan foramen jugularis dan

apeksnya pada kornu mayor tulang hyoid. Batas bagian dalam adalah ramus

asenden mandibula dan perlekatan otot pterigoideus media dan bagian posterior

kelenjar parotis. Batas bagian dorsal terdiri dari otototot prevertebra. Setiap fosa

dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besar oleh prosesus stiloideus dan

perlekatan otot-otot. Bagian anterior (prestiloideus) merupakan bagian yang lebih

besar. Dan bagian ini dapat terkena proses supuratif sebagai akibat dari tonsil

yang terinfeksi, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, karies gigi, dan

pembedahan. Bagian posterior yang lebih kecil terdiri dari arteri karotis interna,

vena jugularis, saraf vagus, dan saraf simpatis. Bagian ini dipisahkan dari spatium

retrofaring oleh selaput fasia yang tipis.11

Kuman penyebab abses leher dalam (termasuk abses parafaring) dari

berbagai penelitian merupakan campuran dari berbagai macam kuman, baik

aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob dominan Streptococcus

viridan, Klebsiella pneumonia, Staphylococcus aureus. Kuman anaerob dominan

Prevotella, Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Bacteroides. Di Rumah Sakit

Dr. Djamil Padang pola kuman yang ditemukan hampir sama dengan berbagai

penelitian diatas.8

11
c. Patologi
Sekali terjadi infeksi dimulai pada jaringan lunak leher, jika tidak

segera terdeteksi, akan meluas ke salah satu ruang fasia leher yang paling

lemah. Dari sana dapat mengalir ke atas, ke bawah atau ke lateral,

mengikuti ruang-ruang fasia. 8


Infeksi leher dalam merupakan selulitis fregmentosa dengan tanda-

tanda setempat yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena

tertutup jaringan yang melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah

prastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak diobati akan berkembang

menjadi suatu trombosis dari vena jugalaris interna. Abses dapat mengikuti

m.stiloglosus ke dasar mulut dimana terbentuk abses. 8


Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan

perluasan ke bawah sepanjang sarung-sarung pembuluh darah besar,

disertai oleh trombosis v.jugularis atau suatu mediastinitis. Infeksi dari

bagian posterior akan meluas ke atas sepanjang pembuluh-pembuluh darah

dan mengakibatkan infeksi intrakranial atau erosi a.karotis interna. 8

12
Gambar 5. Skema Perluasan Infeksi pada ruang potensial leher. 7

(PMS = ruang faringo maksilar, VVS = ruang vaskuler visceraal)

d. Gejalah Klinis
Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di

sekitar angulus mandibula, demam tinggi, odinofagia, torticollis. Jika

infeksi meluas dari faring ke ruang ini, pasien akan menunjukkan trismus

yang jelas. Hal ini disebabkan karena kompartemen prestyloid terdapat

kompartemen otot yang berdekatan dengan fossa tonsilaris secara medial

dan m.ptyerigoid interna. Sedangkan dinding faring lateral akan terdorong

ke medial, seperti pada abses peritonsilaris. Infeksi ini sebaiknya selalu

dilakukan drainase melalui insisi vertikal. Dalam melakukan insisi

drainase abses peritonsilar harus dilakukan palpasi karena pulsasi di

daerah tersebut dapat menunjukkan adanya aneurisma dari a.karotid

interna. Pembengkakan di dinding lateral orofaring tanpa adanya inflamasi

akut dan trimus tidak selalu merupakan abses parafaring atau peritonsil,

namun harus dicurigai tumor atau aneurisma. Penyebab infeksi saluran

pernafasan mungkin sudah terjadi resolusi ketika pasien datang sehingga

anamnesis onset kejadian penting.10,12,13

13
Gambar 4. Tampakan klinis Abses Parafaring13
14
e. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda

klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa

fotorontgen, jaringan lunak AP atau CT scan.1


Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan

prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak

leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea,

udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan

pembengkakan daerah jaringan lunak leher.4


Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat

membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto

toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru,

pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus.

Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi

dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah,

peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan

lunak disekitar abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan

untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian antibiotika yang sesuai.1,4,

15
Gambar 7. Gambaran CT-scan; A. Tampak abses parafaring (panah), B. Selulitis pada

abses parafaring dengan abses di ruang masseter.6

f. Tatalaksana

Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara perenteral terhadap

kuman aerob dan anaerob.10 Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk

mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum

hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob

dan anaerob secara empiris. Dari sebuah penelitian melaporkan pemberian

antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi penisilin G,

klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi

ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin, kombinasi

pinisilin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka perlindungan

(keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%. Secara empiris kombinasi

ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik.8

Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan

antibiotika 24-48 jam dengan cara ekplorasi dalam narkosis. Cara melalui insisi

dari intraoral dan atau insisi ekstranasal.10

Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah.

Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk menekan

lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, akan lebih baik jika disesuaikan

dengan tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yang diambil.10,12

16
 Insisi intraoral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring.

Dilakukan anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi

dan drainase.12

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan

memakai klem arteri eksplorasi dilakukan menembus m.

konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior.

Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi

tambahan terhadap insisi eksternal.10

 Insisi ekstranasal dilakukan jika suatu abses menonjol ke luar atau

tampak pembengkakan yang jelas.12

 Insisi dari luar dilakukan 2 ½ jari di bawah dan sejajar

mandibular. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas

anterior m. sternokleidomasteoideus kearah atas belakang

menyusuri bagian medial mandibular dan m. pterigoid interna

mencapai ruang parafaringdengan terabanya prossesus stiloid.

Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilakukan

veritkal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan

m. sternokleidomastoideus (cara Mosher). Berikut ini gambaran

metode pelaksanaan insisi menurut metode Mosher10:

17
Gambar 6. Bentuk insisi Metode Mosher5,10

Drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada daerah yang
Gambar 7. Tampakan arah insisi Metode
berfluktuasi atau diatas bagian yang paling menonjol dari pembengkakan. Suatu
Moser5,10
cunam melengkung dimasukkan ke dalam ruang abses tersebut, kemudian secara

hati-hati diperluas dengan merenggangkan cunam. Suatu insisi lain boleh

dilakukan untuk menjaga drainase. Drain dipasang dan dijahit. Jika ditemukan

suatu kavitas yang besar, sekitar drain boleh dimasukan tampon longgar dengan

18
kassa iodoform. Kassa dikeluarkan setelah 1-2 hari, sedangkan drain didiamkan

selama kira-kira 1 minggu.10,12,13

Patokan yang harus diingat jika diperlukan suatu eksplorasi bedah adalah

kartilago krikoid, ujung kornu mayor os hyoid, prosesus stiloid, tepi dalam M.

Sternokleidomastoideus, dan bila perlu diseksi diteruskan ke venter posterior M.

Digastrikus.10,12

VI. KOMPLIKASI

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau

langsung (per kontinuatatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas

menyebabkan peradangan intracranial, ke bawah menyusuri selubung karotis

mencapai mediastinum. Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium

faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi

tromboflebitis septic vena jugularis. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,

dapat timbul tromboflebitis dan septicemia. Dapat juga terjadi perdarahan masif

yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Kompikasi ini dapat member

kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar).11,14

BAB III
KESIMPULAN

19
Abses parafaring terjadi dimana Ruang parafaring dapat mengalami

infeksi dengan cara : langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan

tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang

terkontaminasi kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m.

konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa

tonsilaris. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,

hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber

infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. Penjalaran infeksi dari ruang

peritonsil, retrofaring atau submandibula.

Gejala yang dikeluhkan pasien yaitu nyeri tekan daerah submandibula

terutama pada angulus mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke kiri, dan

adanya demam. Terlihat edema uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke

medial dinding lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses peritonsil hanya

tonsil yang terdorong ke medial. Pada rontgenogram lateral mungkin tampak

pergeseran trakea ke arah anterior. Trismus yang disebabkan oleh menegangnya

M. Pterigoid internus merupakan gejala menonjol, tetapi mungkin tidak terlihat

jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang melekat

padanya sehingga tidak mengenai M. Pterigoid internus.

Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara perenteral terhadap

kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada

perbaikan dengan antibiotika 24-48 jam dengan cara ekplorasi dalam narkosis.

Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya

diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk menekan lokalisasi

20
abses. Terapi antimikroba sangat perlu, akan lebih baik jika disesuaikan dengan

tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yang diambil.

g. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau

langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat

mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung

karotis mencapai mediastinum, sehingga terjadi mediastinis dan bisa

berlanjut menjadi sepsis.1


Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium

faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat

terjadi tromboflebitis septik vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan

masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna.4


Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sindrom horner dan

obstruksi jalan napas.9

VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar

N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.

Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007, h. 226 - 230.

21
2. Novialdi dan Triana, Wahyu. Abses leher dalam multipel dengan kesulitan

intubasi dan komplikasi fistula faringokutan. Padang: Bagian THT-KL FK

UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2011, h. 1 - 7.


3. Erdogliza M, Sotirovic J, dan Grgurevic U. A severe case of

parapharyngeal abscess treated as a spastic torticollis. Dalam Medical

review. Volume ketiga. Milan: 2011, h. 387-389


4. Adams, L george. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam:

Adams L, Boies L, Higler P. Boies buku ajar penyakit THT Edisi keenam.

Jakarta: EGC, 1997, h 320-355


5. Probst R, Grevers G dan Iro H. Basic otorhinolaryngology a step by step

learning guide. New York: Thieme, 2006, h 97-130


6. Tom, Lawrence. Disease of oral cavity, Oropharynx and Nasopharynx.

Dalam: Snow J dan Ballenger J. Ballenger’s otorhinolaryngology. Edisi

enam belas. Ontario: Bedecker, 2003, h1020-1047


7. Novialdi dan Asyari, Ade. Penatalaksanaan abses mandibula dengan

penyulit uremia dan infark miokardium lama. Padang: Bagian THT-KL FK

UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2010, h. 1 - 7.


8. Ballenger, J. Leher, orofaring dan Nasofaring, Dalam Snow J dan

Ballenger J. Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher

Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1991. Hal: 295-324


9. Amar Y dan Manoukian J. Intraoral drainage: Recommended as the initial

approach for the treatment of parapharyngeal abscesses. Canada:

Department of ENT McGill University, 2003, h 676-680

22

Anda mungkin juga menyukai