Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Difteri adalah penyakit infeksi sangat menular yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria. Bakteri ini akan mengelurakan toksin yang
menyebabkan terbentuknya pseudomembran atau selaput putih keabu-abuan
pada kulit dan atau mukosa. Kuman difteri akan menular ke orang lain melalui
percikan ludah, kontak langsung, dan luka yang terbuka. Hal inilah yang
menyebabkan penularan difteri yang sangat tinggi1.
Difteri sangat berbahaya karena memliki angka mortalitas yang cukup
tinggi akibat dari komplikasinya berupa obstruksi jalan nafas dan miokarditis.
Penyakit difteri mulai muncul kembali di Indonesia sekitar tahun 2003 di
Bangkalan, Jawa Timur yang kemudian menyebar ke hampir seluruh
kabupaten/kota di Jawa Timur dan ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar
Biasa) pada tahun 2011.2 Jumlah kasus difteri ini terus meningkat tiap
tahunnya di Jawa Timur, yakni 5 kasus positif, tahun 2004, 15 kasus (4
meninggal), tahun 2005 dan 2006, 52 dan 44 kasus (8 meninggal), tahun 2007,
86 kasus (6 meninggal), tahun 2008, 76 kasus (12 meninggal), tahun 2009,
140 kasus (8 meninggal) dan tahun 2010, 304 kasus (21 meninggal)3. Pada
kurun waktu Oktober-November 2017 ada 11 provinsi yang melaporkan
terjadinya KLB Difteri di wilayah kabupaten/kota-nya, yaitu 1) Sumatera
Barat, 2) Jawa Tengah, 3) Aceh, 4) Sumatera Selatan, 5) Sulawesi Selatan, 6)
Kalimantan Timur, 7) Riau, 8) Banten, 9) DKI Jakarta, 10) Jawa Barat, dan
11) Jawa Timur. Epidemiologis KLB Difteri menurut Kementrian Kesehatan
sampai tanggal 25 Desember 2017 telah terkumpul data sebanyak 907 kasus
yang terdeteksi (kumulatif selama tahun 2017) dimana 44 di antaranya
meninggal dunia pada 164 Kabupaten kota dari 29 provinsi. KLB Difteri pada
saat ini tidak hanya menyerang Balita namun juga anak ataupun dewasa yang
memiliki kerentanan terhadap Difteri cukup tinggi.. Hal ini terbukti terdapat
47 % menyerang anak usia sekolah (5 14 tahun) dan 34% menyerang umur di
atas 14 tahun pada kelompok umur 1-40 tahun2.

1
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana penegakan diagnosa, penatalaksanaan serta prognosis dari difteri?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penegakan diagnosa penatalaksanaan serta prognosis dari
difteri

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tenggorokan


Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra,
terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis,
ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.3

Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar
lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris
yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi
lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah
vestibulum oris.

Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan
berasal prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan
palatum mole, dibentuk olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu,
celah palatum terdapat garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila
depan.

Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian
depan terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus
lingualis dengan cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita
rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa
dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial
yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh
sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-saraf
penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis
melekat pada kelenjar parotis.

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring
adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
terus menyambung ke esophagus setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas,

3
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring
dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan
esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih
empat belas centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring,
orofaring, dan laringofaring (hipofaring).

Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput


inferior, kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra
servikalis lain. Nasofaring membuka kearah depan hidung melalui koana
posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping,
muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yangdisebut fosa
rosenmuller. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang menegangkan palatum
dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.

Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila


faringeal dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga
mulut. Didepan tonsila, arcus faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot
ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semua dipersarafi oleh
pleksus faringeus.

Vaskularisasi

Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang


utama berasal daricabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna
yakni cabang palatine superior.

Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring
yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari
n.glosofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut

4
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar untuk otot-otot faring
kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glossofaringeus.

Kelenjar Getah Bening

Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu


superior,media dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah
bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfe
media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan kelenjar getah
bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar
getah bening servikal dalam bawah.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas:

Nasofaring

Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid,


jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut
fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan
kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus
glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena
jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara
tuba eustachius.

Gambar 2.1 Anatomi faring dan struktur sekitarnya

5
Gambar 2.2 Anatomi faring dan struktur sekitarnya

Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring
anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

a. Dinding Posterior Faring

6
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada
radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot
bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot
palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.

b. Fosa tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub
atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil.
Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan
bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.

c. Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.

Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat
pada dasar lidah.

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah


yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga
meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit,
epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor,

7
a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan
a.lingualis dorsal.5

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.

Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan
dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.

Laringofaring

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah


valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman
atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara
glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus
piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior
adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina
krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus.

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan


laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung,
maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian
ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.

Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk


omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang
bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita

8
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
dan ke esofagus.2 Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian
anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.

Gambar 2.3 Anatomi faring dan struktur sekitarnya

2.2 Fisiologi Tenggorokan


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara
dan untuk artikulasi.
 Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari
mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui
faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara
involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan
dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole
mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang

9
hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk
mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan
mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh
kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui
introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot
krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan
makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.
 Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah
dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian
m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke
atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini
diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan.

2.3 Definisi Difteri


Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.3,4

2.2 Epidemiologi
Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara
tropis dengan penduduk padat dan cakupan imunisasi rendah.3,4 Penularan melalui
kontak dengan karier atau individu terinfeksi. Bakteri ditularkan melalui kontak
droplet seperti batuk, bersin, ataupun kontak langsung saat berbicara. Manusia

10
merupakan karier asimptomatik dan berperan sebagai reservoir C. diphteriae.
Transmisi melalui kontak dengan lesi kulit individu terinfeksi jarang terjadi.1
Difteri umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun. 5 Menurut WHO, Asia
Tenggara merupakan wilayah dengan insidens tertinggi di dunia khususnya pada
tahun 2005. Indonesia menempati urutan kasus difteri terbanyak kedua setelah
India, yaitu 3203 kasus.2 Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016,
jumlah kasus difteri sebanyak 415 kasus dengan kasus meninggal 24 kasus,
sehingga CFR difteri mencapai 5,8%. Kasus terbanyak di Jawa Timur (209 kasus)
dan Jawa Barat (133 kasus). Dari seluruh kasus difteri, sebanyak 51% pasien tidak
mendapat vaksinasi sebelumnya. Pada tahun 2016, 59% kasus difteri terjadi pada
kelompok umur 5-9 tahun dan 1-4 tahun.5

2.3 Etiologi
Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil gram positif anaerob.
Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi (mengalamilisogenisasi) oleh
virus spesifik (bakteriofage) yang membawa informasi genetik untuk toksin (gen
tox). Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10 hari).5

2.4 Morfologi Bakteri


Bakteri ini berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um,
tidak berspora, terma-suk Gram positif, memiliki banyak bentuk (polymorph),
menghasilkan eksotoksin, dan tidak tahan asam. Bersifat anaerob fakultatif,
namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Ciri khas C.
diphteriae adalah bentuk seperti "gada" (club shape). Di dalam batang tesebut
(sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula. Granula
ini dikenal dengan granula metakromatik Babes-Ernest. Dengan pewarnaan
Neisser, tubuh bakteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya
berwarna biru violet.

11
Gambar 2.1 Corynebacterium diphteria

2.5 Patogenesis
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan
mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes
ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan
disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi
pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A
dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam
menimbulkan efek toksik pada sel.6
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu
coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini
memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan
toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. 6
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari pada
ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain
untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.6
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi

12
enzim translokase melalui proses : NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif. Hal ini
menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas
di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang
bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-
mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin
lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat
erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung.
selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel.
Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran
akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.6
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit
ke dalam laring atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan
dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung,
saraf dan ginjal.6
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah
toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum
timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14
hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita
tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubuler akut pada ginjal.6

2.6 Gejala Klinis

13
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, gejala klinis mulai timbul misalnya
sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8oC –
38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah
terjadi membran putih/keabu-abuan. Membran mempunyai batas-batas jelas dan
melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga
bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan..8
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum
molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput lalu menjadi tebal,
abu-abu/hitam.Infeksi difteri dapat melibatkan berbagai lokasi membran mukosa.
Untuk kepentingan klinis, difteri dapat diklasifikasikan menurut lokasi anatomis
penyakit, yaitu :
1. Difteri Hidung
Awitan difteri hidung sulit dibedakan dari common cold, biasanya ditandai
oleh sekret hidung mukopurulen (mukus dan pus) yang dapat disertai bercak
darah. Pseudomembran putih biasanya terbentuk di septum nasi. Penyakit ini
biasanya ringan karena absorpsi sistemik toksin di lokasi ini buruk dan dapat
diterminasi dengan cepat oleh terapi antitoksin difteri dan antibiotik.3
2. Difteri Tonsil dan Faring
Lokasi paling sering infeksi difteri adalah faring dan tonsil. Infeksi di
lokasi ini biasanya berhubungan dengan absorpsi sistemik sejumlah besar toksin.
Gejala awal berupa malaise, nyeri tenggorokan, anoreksia, dan demam low-grade.
Dalam 2-3 hari, terbentuk membran putih - keabu-abuan dan meluas dengan
ukuran bervariasi. Pseudomembran berwarna hijau-keabuan atau hitam jika telah
terjadi perdarahan. Mukosa sekitar pseudomembran tampak eritema.
Pseudomembran yang luas dapat berakibat obstruksi saluran napas. Pasien dengan
penyakit berat dapat mengalami edema di area submandibular dan leher bagian
anterior sepanjang area limfadenopati, sehingga menunjukkan gambaran
”bullneck”. Jika toksin yang diserap tubuh cukup banyak, pasien sangat lemah,
pucat, takikardi, stupor, koma, dan bahkan meninggal dalam 6-10 hari.9
3. Difteri Laring

14
Dapat terjadi akibat penyebaran dari faring atau infeksi langsung. Gejala
meliputi demam, suara serak, dan batuk. Pseudomembran dapat menyebabkan
obstruksi saluran napas, koma, dan kematian.9

Gambar 2.4 Pseudomembran Difteri

(a) (b)

Gambar 2.5(a)(b) Bull Neck Difteri

2.7 Penegakan Diagnosis


Anamnesa

15
- Nyeri tenggorok
- Nyeri menelan
- Demam 37,8oC – 38,9oC.
- Adanya stridor atau tanda lain dari obstruksi napas atas
- Riwayat imunisasi tidak lengkap
- Kontak erat dengan kasus difteri
Pemeriksaan Fisik

Adanya pseudomembran/selaput pada tempat infeksi berwarna putih


keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan berat dapat ditemukan
pembesaran leher (bull neck), tampak sakit berat, muka pucat bahkan sampai
sianosis, serta kesulitan menelan.

Pemeriksaan Penunjang

Kriteria pemeriksaan laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif.


Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek.
Pengambilan sampel kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media yang
digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler atau telurit.
Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media
Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro
(tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal10
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.10

2.7 Diagnosis Banding


Difteri Hidung
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita).6

16
Difteri Faring :
1. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis
akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bacterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi.6
Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring.6

2.8 Penyulit
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau
oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cervical.
2. Efek toksin
Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada
minggu ke dua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat
(minggu ke enam). Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung
redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung.
Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan
pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi
regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya pada
minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.
Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep
tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis.

17
Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan
gagal jantung.11
2.9 Penatalaksanaan
1. Isolasi dan Karantina
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2-3 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-
tindakan berikut terlaksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Follow up gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.10
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-): anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).5
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi
toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
diphtheria.10
2.1. Umum
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian
cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3,
7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada diphtheria laring
dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta

18
gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.10
2.2. Khusus :
Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS) Antitoksin harus diberikan
segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Pemberian antitoksin pada hari
pertama, akan menurunkan angka kematian pada penderita menjadi 1%.
Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan tes kulit atau tes
konjungtiva dahulu. Hal ini disebabkan terdapat kemungkinan terjadinya
reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam
semprit.3 Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam
20 menit terjadi indurasi > 10 mm.3
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1 : 10 dalam garam faali dan pada mata yang lain diteteskan garam faali.
Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Apabila tes hipersensitivitas kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan
dengan cara desensitisasi (Besredka). Namun, jika negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara tetesan intravena.11
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan
berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar
antara 20.000-120.000 KI. Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr.
Soetomo disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :11
1. 20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit, konjungtiva).
2. 40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang (pseudomembran terbatas
pada tonsil, faring, diphtheria laring).
3. 80.000 KI i.v. untuk diphteria kombinasi lokasi
4. 80.000 - 100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran
meluas ke luar tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai
"bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin) dan penderita
yang terlambat berobat > 72 jam.

19
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Sedangkan untuk pemberian
ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%
dilakukan dalam waktu 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama
2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).11
Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10
hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.11
Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan persepsi mengenai kegunaan obat ini
pada diphtheria. Beberapa ahli menyebutkan kortikosteroid diberikan kepada
penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat
penyulit miokardiopati toksik. Dosis : dexametason 0,06-0,3 mg/kgBB/hari
atau 1,2-10 mg/kgBB/hari IV tiap 6-12 jam.11
Pengobatan penyulit
Pengobatan ini ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada
umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.11
Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau
suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.11
Tabel 3. Pengobatan karier
Biaka Uji Tindakan
n Schick
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi

20
dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan
status imunisasi
2.10 Pencegahan
Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-
anak dan orang tua. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri
kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu
imunisasi dan pengobatan karier.10
Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.10
2.11 Imunitas
Test kekebalan :
Schick test : menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap
diphtheria. Test dilakukan dengan menyuntikan toksin diphtheria
(dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan
antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.11
Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman
diphtheria. Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid
difteri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam
24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa :
-   pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi
reaksi hipersensitivitas.
-      pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi
yang berbahaya.
Kekebalan pasif : diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteri (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3
minggu).

21
Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau
inapparent infection dan imunisasi dengan toksoid difteri.11
2.12 Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam
infeksi tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane
atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot
jantung, syaraf, dan ginjal.
1. Komplikasi laringitis difteri dapat berlangsung cepat,
pseudomembran akan menjalar ke laring dan segera menyebabkan gejala
sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
2. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau
dekompensasio kordis.
3. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk
akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan
menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.
4. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.4
2.13 Prognosis
Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-
50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun
menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis. Selain itu, prognosa
difteri umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis.
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan
pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat obstruksi
jalan nafas oleh membran difterik.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri

22
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan
prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin
berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan
kefatalan pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat.
Terjadinya miokarditis menggambarkan prognosis yang lebih buruk.8

23
BAB III
Kesimpulan

3.1 Kesimpulan
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang
pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Corynebacterium diphteriae
merupakan bakteri basil gram positif anaerob. Produksi toksin terjadi hanya
jika bakteri terinfeksi (mengalamilisogenisasi) oleh virus spesifik
(bakteriofage) yang membawa informasi genetik untuk toksin (gen tox). Masa
inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10 hari). Diagnosis tonsilitis difteri
ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan preparat langsung
kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan
kuman Corynebacterum diphteriae. Bakteri ini berbentuk batang ramping
berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora, terma-suk Gram positif,
memiliki banyak bentuk (polymorph), menghasilkan eksotoksin, dan tidak
tahan asam. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, gejala klinis mulai timbul
misalnya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar
antara 37,8oC – 38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi
kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar
untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan.
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara

24
20.000-120.000 KI. Dberikan Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari
selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.

DAFTAR PUSTAKA

1.Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Chapter 101 diphteria. In: Feigin.
Textbook of pediatric infectious diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2009. p. 1393–402.
2. World Health Organization. Summary of key points WHO position paper on
vaccines against diphteria [Internet]. 2017
3. Centers for Disease Control and Prevention. Diphteria. In: Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable diseases. 13th ed. Centers for Disease Control
andPrevention; 2015. p. 107–18.
4. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah. Difteria. In: Pedoman
pelayanan medis ilmu kesehatan anak. Denpasar: SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UNUD/RSUP Sanglah; 2010.
5. Kementerian Kesehatan RI. Bab VI pengendalian penyakit. In: Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017.
p.174–5.
6. Clarke KEN. Review of the epidemiology of diphteria 2000-2016 [Internet].
2016. Available from:
7. Hartoyo E. Difteri pada anak. Sari Pediatri. 2018;19(5):300–6.
8. Hendarto TW, Indarso F, Pusponegoro TJ. Bab VI imunisasi pasif. In: Ranuh
IN, Suyitno H, Hadinegoro, Sri Rezeki S, Kartasasmita, Cissy B, Ismoedjianto,
Soedjatmiko,editors. Pedoman imunisasi di Indonesia. 5th ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. p. 195–210.

25
9. World Health Organization. Bab 4 batuk dan atau kesulitan bernapas. In:
Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: World Health Organization;
2009. p.106–7.
10. Hadinegoro SRS. Bab II Jadwal imunisasi. In: Ranuh IN, Suyitno H,
Kartasasmita CB, Ismoedjianto, Soedjatmiko, editors. Pedoman imunisasi di
Indonesia. 5th ed.Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. p.
275–7.
11 FAQ seputar kegiatan outbreak response immunization (ORI) difteri. IDAI

26

Anda mungkin juga menyukai