Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS

Hipertrofi Tonsil Asimetris

Disusun oleh :

Scherlly Reviana

030.11.269

Pembimbing:
dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL, MSi. Med
dr. Heri Puryanto, MSc, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN THT-KL


RSUD KARDINAH KOTA TEGAL
14 November 17 Desember 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Hipertrofi Tonsil Asimetris

Oleh :

Scherlly Reviana

030.11.269

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan

Kepanitraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala & Leher

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah, Kota Tegal

14 November 17 Desember 2016

Tegal, 1 Desember 2016

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Fahmi Novel, Sp.THT- KL, Msi.Med dr. Heri Puryanto.MSc,Sp.THT-KL

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2

BAB 1. PENDAHULUAN.. 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 4

BAB III. LAPORAN KASUS 37

BAB IV. PEMBAHASAN. 44

BAB V. KESIMPULAN. 45

DAFTAR PUSTAKA. 46

2
BAB I

PENDAHULUAN

Tumor tonsil dapat mengenai berbagai macam populasi. Utamanya pasien dengan
tumor tonsil memiliki riwayat pajanan rokok dan alcohol untuk waktu lama. Data
menunjukkan bahwa ditemukan infeksi HPV (human papilloma virus) pada tumor
primer orofaring dan pada karsinoma tonsillar, menunjukkan bahwa orofaring dan
cincin Waldeyer tonsil merupakan tempat predileksi onkogenesis yang berhubungan
dengan infeksi HPV.

Keganasan tonsil adalah keganasan kepala dan leher kedua yang sering dijumpai
setelah karsinoma laring di Amerika Serikat. Secara histopatologi 90-95% dari lesi ini
adalah karsinoma sel skuamosa, sedangkan 10% berasal dari limfoma. Banyak pasien
dengan keganasan tonsil muncul dengan penyakit lanjut karena lesi awal umumnya
tanpa gejala ketika ukuran tumor masih kecil, gejala berkurang pada sekitar 67-77%
dari pasien dengan tumor lebih besar dari 2 cm. dan sering dijumpai metastasis nodus
regional. Dengan presentase gejala klinik di leher, sekitar 45% dari lesi arcus tonsil
anterior dan 76% dari lesi fosa tonsil.1

Limfoma maligna merupakan suatu penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid
dan jaringan pendukungnya. Penyakit ini dibagi dalam dua golongan besar yaitu
Limfoma Hodgkin dan Limfoma non Hodgkin. Non-Hodgkin lymphoma pada cincin
Waldeyer relative jarang terjadi, dan tonsil palatine merupakan daerah yang paling
sering terkena. Etiologi sebenarnya masih belum dapat dipastikan, namun sejumlah
factor predisposisi sudah dapat ditentukan, diantaranya termasuk infeksi HIV (human
immunodeficiency virus) dan EBV (Epstein-Barr virus).2

Non-Hodgkin lymphoma (NHL) pada rongga mulut dan orofaring mengisi 13% dari
semua NHL ekstranodal primer, dengan sekitar 70% diantaranya terjadi pada tonsil.
Tonsil palatine merupakan tempat yang paling sering terkena, diikuti degan palatum,
gingiva, dan lidah. 2

Pada laporan kasus ini dibahas pasien dengan pembesaran tonsil pada satu sisi. Tujuan
dari pembuatan laporan kasus untuk mengindentifikasi gejala yang berkaitan dengan
tumor tonsil yang akan menuju pada penegakan diagnosis tersebut dan
penatalaksanaannya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Faring dibagi menjadi 3 bagian utama: nasofaring, orofaring, dan hipofaring.


Sepertiga bagian atas, atau nasofaring adalah bagian pernafasan dari faring dan tidak
dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah. Bagian tengah faring disebut
orofaring meluas dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis.
Pada bagian ini termasuk tonsil palatina dengan arkusnya dan tonsil lingualis yang
terletak pada dasar lidah. Bagian bawah faring, dikenal dengan hipofaring atau
laringofaring, menunjukkan daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari saluran
pencernaan bagian atas. 3

Orofaring termasuk cincin jaringan limfoid yang sirkumferensial disebut cincin


Waldeyer. Bagian cincin yang lain termasuk jaringan limfoid dan tonsil palatina atau
fausial, tonsil lingual, dan folikel limfoid pada dinding posterior faring. Semuanya
mempunyai struktur dasar yang sama: massa limfoid ditunjang oleh kerangka
retinakulum jaringan penyambung. Sistem kripta yang kompleks dalam tonsila
palatina mungkin bertanggung jawab pada kenyataan bahwa tonsil palatina lebih
sering terkena penyakit daripada komponen cincin limfoid lain. Kripta-kripta ini lebih
berlekuk-lekuk pada kutub atas tonsil, menjadi mudah tersumbat oleh partikel
makanan, mukous sel epitel yang terlepas, leukosit dan bakteri, dan tempat utama
pertumbuhan bakteri patogen. Selama peradangan akut, kripta dapat terisi dengan
koagulum yang menyebabkan gambaran folikular yang khas pada permukaan tonsil.3

Orofaring disebut juga mesofaring, batas-batasnya adalah:

Batas atas : Palatum mole


Batas bawah : Tepi atas epiglottis
Batas depan : Rongga mulut
Batas belakang : Vertebra servikal
Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.

4
Tonsila lingualis mempunyai kripta-kripta kecil yang tidak terlalu berlekuk-lekuk atau
bercabang dibandingkan dengan tonsila palatina. Hal yang sama pada adenoid, dan
terdapat kripta yang kurang jelas atau pembentukan celah dalam kumpulan limfoid
lain dalam fosa Rosenmuller dan dinding faring .

Gambar 2.1. Anatomi Faring

Dinding Posterior Faring

Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot dibagian
tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan nervus vagus. 4

Fossa Tonsil

Fossa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas-batasnya adalah :

Lateral : Musculus Konstriktor Faring Superior


Superior : Fossa Supra Tonsil

Fossa tonsil diliputi oleh fascia yang merupakan bagian dari fascia bukofaring dan
disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya. 5

5
Gambar 2.2. Fossa Tonsil

Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yang membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer, yaitu :

Tonsil Faringeal ( adenoid )


Tonsil Palatina ( Fausial )
Tonsil Lingual

Gambar 2.3. Macam-macam tonsil

6
Tonsil Faringeal

Tonsil faringeal adalah tonsil tunggal yang terdapat dibagian postero-superior faring.
Tonsil faringeal merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Tonsil faringeal tidak mempunyai
kriptus dan terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan tonsil faringeal di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal
antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.3

Gambar 2.4. Tonsil Faringeal

Tonsil Palatina

Tonsil palatina sering disebut sebagai tonsil saja. Terletak didalam fossa tonsil. Pada
kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong

7
faring kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan
medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus.
Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam
kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fascia faring yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor,
arteri palatina ascenden, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri faring ascenden
dan arteri lingualis dorsal.5

Gambar 2.5. Vaskularisasi Tonsil

Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil
adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area

8
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel
limfoid.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ
utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 6

Gambar 2.6. Tonsil Palatina

Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Digaris tengah, disebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara khusus merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual atau kista duktus tiroglosus.6

Gambar 2.7. Tonsil Lingual

9
Tabel 2.1. Klasifikasi Ukuran Tonsil

Derajat 0 Tidak ada tonsil


Derajat 1 Tonsil berada dibelakang pilar tonsilar ( yaitu struktur lunak yang menyokong palatum
(Normal) lunak )
Derajat 2 Tonsil berada diantara pilar dan uvula
Derajat 3 Tonsil menyentuh uvula
Derajat 4 Satu atau kedua tonsil melebar hingga ke garis tengah orofaring

Gambar 2.8. Ukuran Tonsil

2.2 Tumor Tonsil

Tumor tonsil adalah neoplasma atau lesi padat yang terbentuk akibat pertumbuhan sel
tubuh yang tidak semestinya pada daerah tonsil. Penyakit tonsil dan adenoid
merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat. Nyeri
tenggorokan, infeksi saluran nafas atas dan penyakit telinga yang terkait adalah
keluhan yang paling sering ditemukan.

Klasifikasi

Tumor tonsil dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu tumor tonsil jinak dan
tumor tonsil ganas. Penting bagi kita untuk mengetahui jenis, cara mendiagnosa dan
penatalaksanaannya sehingga kita tidak terlambat dalam menerapi pasien sehingga
dapat meningkatkan prognosis dan angka harapan hidup.7

A. Tumor Tonsil Jinak

10
1. Kista Tonsil

Kista epitel tonsil merupakan jenis yang cukup sering. Permukaannya berkilau, halus
dan berwarna putih atau kekuningan. Kista ini tidak memberikan gejala apapun, akan
tetapi kista yang lebih besar akan menyebabkan suatu benjolan ditenggorokan dan
mungkin perlu dioperasi.

Gambar 2.9. Kista Tonsil

2. Papiloma Tonsil

Papiloma skuamosa biasanya terlihat menggantung dari pedicle uvula, tonsil atau
pilar. Tampak massa bergranular yang timbul dari pilar anterior pada bagian
posteriornya.

Gambar 2.10. Papiloma Tonsil

3. Polip Tonsil

Massa tonsil tersebut menunjukkan gambaran polip pada pemeriksaan histologi.

11
Gambar 2.11. Polip Tonsil

B. Tumor Tonsil Ganas

1. Karsinoma Tonsil

Definisi

Karsinoma yang mengenai daerah tonsil. Karsinoma tonsil adalah keganasan kepala
dan leher kedua yang sering dijumpai setelah karsinoma laring di Amerika Serikat.

Epidemiologi

Beberapa penelitian telah menilai perubahan angka kejadian kanker tonsil dari waktu
ke waktu. Frisch menggunakan program SEER untuk menilai adanya perubahan
dalam angka kejadian kanker tonsil antara tahun 1973-1995 dan menemukan angka
kejadian tiap tahun meningkat pada pria (2,7% pada kulit hitam dan 1,9% pada kulit
putih ), sementara tidak ada kenaikan serupa terlihat pada kanker oral lainnya. Di
Finlandia dilakukan juga penelitian secara nasional yang mencakup seluruh penduduk
dan ditemukan peningkatan 2 kali lipat pada kanker tonsil dalam 40 tahun terakhir
pada laki-laki dan perempuan.

Etiologi

- Perokok
Aktivasi Glutation S-transferase (GST) menjadi rusak sehingga mengurangi
kapasitas detoksikasi karsinogen tembakau. Saat merokok, panas yang
ditimbulkan, kandungan bahan, dan pupa merupakan faktor yang mengiritasi.
Semakin tinggi kandungan tar maka resikonya menjadi meningkat.

12
- Peminum alkohol
Alkohol mengandung karsinogen atau prokarsinogen, termasuk
kontaminan dari nitrosamin dan uretan selain etanol. Etanol dimetabolisme
oleh alkohol-dehidrogenase dan oleh sitokrom P450 menjadi asetaldehid
yang bersifat karsinogen. Enzim metabolisme karsinogen berperan pada
individu tertentu. Alkohol dehidrogenase mengoksidasi etanol menjadi
asetaldehid yang sitotoksik dan menghasikan radikal bebas serta basa
DNA hidroksilasi.
- Pemakan sirih
Menyebabkan iritasi dari kontak langsung bahan karsinogen dengan
membran mukosa.
- Iritasi lokal
Iritasi yang berulang pada daerah tonsil dapat meningkatkan resiko terkena
karsinoma tonsil dikarenakan infeksi yang terus menerus didaerah
tersebut.
- Suka minum panas
Menyebabkan iritasi dengan membran mukosa.
- Infeksi
Kebanyakan disebabkan oleh Candida albicans dan virus.
- Higienis mulut yang kurang dijaga
Dengan minimnya higiene mulut maka akan menyebabkan resiko infeksi
yang lebih tinggi karena kuman atau bakteri yang ada disana, keadaan gigi
geligi yang rusak juga dapat menyebabkan faktor resiko karena gigi geligi
yang rusak dapat menjadi sumber infeksi.
- Defisiensi nutrisi atau besi
Kurangnya diet buah dan sayuran dapat menyebabkan karsinoma tonsil
karena pada buah dan sayuran didapatkan antioksidan yang mengikat
molekul berbahaya penyebab mutasi gen sehingga mencegah terjadinya
kanker.
- Paparan radiasi
Dengan adanya paparan radiasi dapat menyebabkan mutasi gen sehingga
lebih meningkatkan resiko terkena karsinoma tonsil.
- Yang terbaru adalah adanya pengaruh virus Epstein-Barr (EBV) dan
HPV (Human Papilloma Virus ).
Patogenesis

Unsur-unsur penyebab kanker (onkogen) dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok


besar yaitu energi radiasi, senyawa kimia dan virus.

- Energi Radiasi

13
Sinar ultraviolet, sinar X dan sinar gamma merupakan unsur mutagenik dan
karsinogenik. Radiasi dari ultraviolet dapat menyebabkan terbentuknya dimmer
pirimidin. Kerusakan pada DNA diperkirakan menjadi mekanisme dasar timbulnya
karsinogenitas akibat energi radiasi. Selain itu, sinar radiasi menyebabkan
terbentuknya radikal bebas didalam jaringan. Radikal bebas yang terbentuk dapat
berinteraksi dengan DNA dan makromolekul lainnya sehingga terjadi kerusakan
molekular.

- Senyawa Kimia
Sejumlah besar senyawa kimia bersifat karsinogenik. Kontak dengan senyawa kimia
dapat terjadi akibat pekerjaan seseorang, makanan, atau gaya hidup. Adanya interaksi
senyawa kimia karsinogen dengan DNA dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA.
Kerusakan ini ada yang masih dapat diperbaiki dan ada yang tidak. Kerusakan pada
DNA yang tidak dapat diperbaiki dianggap sebagai penyebab timbulnya proses
karsinogenesis.

- Virus
Virus onkogenik mengandung DNA atau RNA sebagai genomnya. Adanya infeksi
virus pada suatu sel dapat mengakibatkan transformasi maligna, hanya saja
bagaimana protein virus dapat menyebabkan transformasi masih belum diketahui
secara pasti.

Patofisiologi
Pada tahap awal terjadi inisiasi karena ada inisiator yang memulai pertumbuhan sel
yang abnormal. Inisiator ini dibawa oleh zat karsinogenik, bersamaan dengan atau
setelah inisiasi, terjadi proses promosi yang dipicu oleh promotor sehingga terbentuk
sel yang polimorfis dan anaplastik. Selanjutnya terjadi progesi yang ditandai dengan
invasi sel-sel ganas ke membran basalis. 8
Faktor utama yang menyebabkan inisiasi keganasan adalah akibat ketidakmampuan
DNA untuk memperbaiki sistem yang mendeteksi adanya transformasi sel akibat
paparan onkogen. kerusakan pada DNA meliputi hilangnya atau bertambahnya
kromosom, penyusunan ulang kromosom dan penghapusan kode kromosom.
Penghapusan atau penggandaan bagian kromosom memungkinkan untuk ditempati
oleh onkogen atau gen supresor tumor sedangkan penyusunan ulang kromosom dapat
berubah menjadi aktivasi karsinogenik.

14
Karsinoma biasanya mengenai daerah tonsil. Daerah ini meluas dari trigonum
retromolar termasuk arkus tonsila posterior dan anterior demikian juga dengan fosa
tonsilarnya sendiri. Tumor yang meluas ke inferior ke dasar lidah dan ke superior
pada palatum mole.

Diagnosa
Anamnesa
- Awal
Gangguan menelan yaitu rasa tidak enak/sakit/perasaan menusuk
Kadang ada darah pada saliva
Nyeri menjalar pada telinga ( otalgia ) karena nyeri alih (referred pain)
Unilateral tetapi bisa juga bilateral
Merasa seperti ada benda asing
Rasa nyeri dilidah dan gangguan gerakan lidah
- Lanjut
Trismus
Hipersalivasi
Foetor ex ore

Gambar 2.12. Karsinoma Tonsil

Pemeriksaan Fisik Status Lokalis

a. Inspeksi ( Tonsil )

Pasien diminta untuk membuka mulutnya lebar-lebar, menjulurkan


lidahnya dan bernafas perlahan-lahan melalui mulutnya. Kadang-kadang

15
membiarkan lidah tetap berada didasar mulut akan membuatnya dapat
dilihat dengan lebih baik.
Pemeriksa memegang spatula lidah dengan tangan kanannya dan sumber
cahaya ditangan kirinya atau dapat melalui head lamp.
Spatula lidah harus diletakkan pada sepertiga tengah lidah. Lidah ditekan
dan dibawa kedepan.
Kemudian kita mulai menilai adanya pembesaran unilateral, bagaimana
keadaan permukaannya umumnya tidak rata dan adanya ulserasi atau
tidak.
b. Palpasi ( leher )
Posisi pasien duduk dan kepala pasien sedikit fleksi, kemudian lakukan
palpasi dengan jari tangan kiri dan kanan kita dari anterior maupun
posterior .
Nilailah apa teraba massa tumor ( letak, besar, konsistensi, fiksasi pada
kulit dan jaringan sekitarnya ) dan pembesaran kelenjar regional ( lokasi,
ukuran dan jumlah ).
c. Laringoskopi Indirek
Kita siapkan head lamp , cermin laring dan kasa.
Pakailah head lamp. Pasien posisi duduk dan disuruh membuka mulut.
Cermin laring dipanaskan dengan menggunakan korek api ( sumber
panas ) kemudian kita tekankan pada kulit tangan kita agar memastikan
tidak terlalu panas saat akan dimasukan kedalam mulut, suhu yang
diharapkan adalah hangat. Tujuan dipanaskan adalah agar tidak berembun
sewaktu pasien bernafas.
Evaluasi dan umumnya ditemukan perluasan ke pangkal lidah, arkus
anterior-posterior.
d. Pemeriksaan dengan jari telunjuk
Ada atau tidaknya fiksasi palatum atau lidah.

e. Pemeriksaan Rhinoskopi posterior


Menempatkan kaca kecil dalam orofaring dan permukaan kaca langsung
menghadap ke nasofaring.
Sumber cahaya koaksial kembali diperlukan disini untuk mendapat
iluminasi dan visualisasi yang baik.

16
Biasanya ditemukan adanya ekstensi ke nasofaring, permukaan atas
palatum mole.

Pemeriksaan Penunjang

a. Biopsi ( diagnosis pasti )


Keganasan tonsil perlu diagnostik pasti dari patologi anatomi untuk memastikan hal
tersebut. Biopsi dilakukan pada massa tumor ( insisional ).

b. Laboratorium

Disini kita lebih melihat pada fungsi hepar agar kita dapat mengetahui kemungkinan
riwayat minum alkohol.

c. Radiologi
CT scan leher dengan atau tanpa kontras untuk menilai metastasis luas
tumor.
CT scan thorax untuk menilai metastasis khususnya kedaerah paru-paru.
MRI untuk menilai ukuran tumor dan invasi jaringan lunak.
d. Panendoskopi
Panendoskopi merupakan tindakan operatif endoskopi untuk memastikan diagnosa
dan staging dan mengetahui adanya synchronous primary tumor, meliputi
laringoskopi direk, esofagoskopi dan trakeo-bronkoskopi.

e. Test Human Papilloma Virus ( HPV )


NCCN guidline merekomendasikan test HPV untuk menilai prognosis. Pemeriksaan
dilakukan menggunakan metode quantitative reverse transcriptase PCR (QRT-PCR).

f. Test Epstein-Barr Virus (EBV)


g. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B.
Staging

Staging karsinoma tonsil menurut America Joint Comimitee on Cancer (AJCC) edisi
ke-6. Klasifikasi meliputi ukuran tumor primer (T), kejadian, ukuran, jumlah, dan
lokasi metastase regional (N), kejadian metastase jauh atau tidak (M). 8

Staging ukuran tumor karsinoma tonsil

17
Tx : tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : tidak ada kejadian tumor primer

Tis : Karsinoma insitu

T1 : Diameter tumor 2 cm

T2 : Diameter tumor 2-4 cm

T3 : Diameter tumor > 4cm

T4a : Tumor meluas ke laring, otot-otot lidah yang lebih dalam atau ekstrinsik, otot
pterygoid medial, palatum durum atau mandibula.

T4b : Tumor meluas ke otot pterygoid lateral, lempeng pterygoid, nasofaring


lateral, basis crania atau arteri karotis.

Kejadian, ukuran, jumlah dan lokasi metastase regional

Nx : Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai

N0 : Tidak ada metastase ke kelenjar limfe regional

N1 : Metastase ke kelenjar limfe regional ipsilateral tunggal, diameter 3 cm

N2 : Metastase ke kelenjar limfe regional ipsilateral tunggal, diameter 3-6 cm; ke


kelenjar limfe regional multiple diameter < 6 cm, kelenjar limfe bilateral atau
kontralateral, diameter < 6cm

N2a : Metastase ke kelenjar limfe regional ipsilateral tunggal, diameter 3-6 cm

N2b : Metastase ke kelenjar limfe regional multiple, diameter < 6 cm

N2c : Metastase ke kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, diameter < 6 cm

N3 : Metastase ke kelenjar limfe, diameter > 6 cm

Metastase jauh

Mx : Metastase jauh tidak dapat dinilai

M0 : Tidak ada metastase jauh

18
M1 : Terdapat metastase jauh

Tabel 2.2. TNM dan klasifikasi staging karsinoma tonsil

Stage 0 Tis N0 M0
Stage I T1 N0 M0
Stage II T2 N0 M0
Stage III T1,T2 N1 M0
T3 N0,N1 M0
Stage IVa T1,T2,T3 N2 M0
T4a N0,N1,N2 M0
Stage IVb T4b Any N M0
Any T N3 M0
Stage IVc Any T Any N M1

Penatalaksanaan
Prinsip terapi adalah pembedahan , radioterapi ataupun kombinasi keduanya maupun
kemoterapi. Pada dasarnya terapi didasarkan pada stadium tumor yaitu berdasarkan
ukuran tumor, ada atau tidaknya metastase ke kelenjar limfe, ketersediaan fasilitas
radioterapi atau bedah, keadaan umum pasien dan persetujuan pasien.
- Stadium I dan II
Dilakukan operasi ekstirpasi tumor dan diteruskan dengan radiasi.
- Stadium III dan IV
Jika masih operable dilakukan operasi yang diikuti dengan kemoterapi dan
radiasi. Operasi yang dilakukan berupa reseksi tumor dan jika perlu dapat
dikombinasi dengan diseksi leher radikal.

Prognosis
Prognosis tergantung pada stadium tumor saat didiagnosis. Semakin lanjut
stadiumnya maka semakin jelek prognosisnya. Jika tumor sudah masuk ke dalam
jaringan, prognosis menjadi lebih jelek dan pada terapi sering harus diikuti dengan
diseksi leher. Survival rate selama 5 tahun pada pengobatan karsinoma tonsil
berdasarkan stadium tumor :

o Stadium I : 80 %
o Stadium II : 70 %
o Stadium III : 40 %
o Stadium IV : 30%

19
2.3 Diagnosis Banding
1. Limfoma Tonsil

Limfoma tonsil sulit dibedakan dengan undifferentiated karsinoma dan limfoma


marker diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut memerlukan sejumlah
besar jaringan yang dikirim dalam keadaan segar ( dalam normal saline, bukan dalam
larutan formaldehida ) kepada ahli patologi. Ini merupakan alasan mengapa setelah
tonsilektomi lebih baik diperiksa jaringannya.9

Limfoma merupakan jenis yang paling umum kedua pada keganasan tonsil. Limfoma
tonsil biasanya ditandai dengan massa submukosa dan pembesaran asimetris pada
salah satu tonsil. Bila terdapat limfadenopati, maka pembesaran kelenjar getah bening
diamati pada sisi yang sama.

Definisi
Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam
kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau
akumulasi sel-sel jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya).

Gambar 2.13. Limfoma Maligna Tonsil


Epidemiologi

Dinegara maju, limfoma relatif jarang yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada.
Akan tetapi menurut laporan berbagai sentral patologi diIndonesia, tumor ini
merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit. Limfoma
Hodgkin sering terjadi pada usia 20-40 tahun dan sesudah 50 tahun sedangkan

20
limfoma non-hodgkin sering terjadi pada usia tua dengan puncaknya pada usia diatas
60 tahun.9

Etiologi
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebab pastinya belum
diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya Epstein Barr virus. Adanya
peningkatan insiden penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada kelompok
penderita AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) pengidap virus HIV karena
inflamasi kronis karena penyakit autoimun, faktor lingkungan seperti pajanan bahan
kimia ( pestisida, herbisida, bahan kimia organik,dan lain-lain ) serta paparan radiasi,
dan kemungkinan faktor genetik. 9

Klasifikasi

Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopis dari
kelenjar limfe yang terlibat. Dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Limfoma Hodgkin
dan Limfoma non-Hodgkin. Kelompok terakhir kemudian dibagi kedalam sarkoma
sel retikulum dan limfosarkoma.

Limfoma Hodgkin (HL) Limfoma non Hodgkin (NHL)

Keluhan pertama berupa limfadenopati Sekitar 40% timbul pertama di jaringan


superficial terutama pada leher limfatik ekstranodi

Pembesaran 1 kelompok kelenjar limfe,


dapat dalam jangka waktu sangat panjang
Perkembangannya tidak beraturan
tetap stabil atau kadang membesar dan
kadang mengecil

Berderajat keganasan tinggi. Sering


menginvasi kulit (merah, udem, nyeri),
Limfadenopati lebih lunak, lebih mobile
membentuk satu massa relatif keras
terfiksir.

Berkembang relatif lebih lambat, Progresi lebih cepat, perjalanan penyakit

21
perjalanan penyakit lebih panjang, reaksi lebih pendek, mudah kambuh, prognosis
terapi lebih baik lebih buruk

Tabel 2.3. Perbedaan karakteristik klinis Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma non
Hodgkin (NHL)

Limfoma Hodgkin dibagi lagi menjadi empat jenis yaitu Limfosit predominan,
sklerosis nodular, sel-sel campur, pengurangan limfosit. Limfoma non-hodgkin lebih
kompleks dan tergantung pada sifat-sifat morfologik maupun imunologik. Telah
dikembangkan tiga sistem. Rappaport yang membagi-bagi tumor kedalam limfositik
berdiferensiasi baik, limfositik berdiferensiasi buruk, histiosit-limfosit campuran, dan
berdiferensiasi buruk yang difus.10

Disamping klasifikasi ini ada juga jenis pengklasifikasian berdasarkan penilaian


klinik, radiologik, dan pembedahan yang lebih jauh membagi penyakit kedalam
stadium I sampai IV tergantung luasnya penyakit.

Stadium I Mengenai daerah kelenjar getah bening tunggal (I) atau


mengenai organ atau daerah ekstralimfatik tunggal (IE)
Stadium II Terkenanya dua atau lebih kelenjar getah bening (jumlah
disebutkan) pada sisi diafragma yang sama (II) atau terkenanya
organ ektralimfatik lokal atau lebih kelenjar getah bening terletak
pada sisi diafragma yang sama (IIE)
Stadium III Terkenanya daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi
diafragma (III), yang juag disertai terkenanya organ atau daerah
ektralimfatik lokal (IIIE), dengan terkenaya limpa (IIIS) atau
keduanya (IIIE+S)
Stadium IV Terkenanya satu atau lebih organ ekstralimfatik yang difus atau
tersebar atau jaringan dengan atau tanpa disertai pembesaran
kelenjar getah bening
Setiap stadium dibagi lagi menjadi kategori 169Adan B,A untuk mereka
dengan gejala-gejala umum yang ditegaskan dan B untuk mereka yang tanpa
gejala tersebut.
Tabel 2.4. Klasifikasi Stadium Limfoma oleh Ann Arbor yang telah dimodifikasi
oleh Ostwell

22
Gambar 2.14. Stadium Limfoma

Patofisiologi
Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada sel-sel tubuh
manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi terjadinya keganasan.
Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor tumor, gen yang mengatur
apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA.
Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi pertumbuhan dan
diferensiasi, gen ini dapat bermutasi menjadi onkogen yang produknya dapat
menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor tumor adalah gen yang
dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya, kedua gen ini bekerja secara
sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat dicegah. Namun, jika terjadi
aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi inaktivasi gen supresor tumor,
maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi tanpa henti.11
Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur apoptosis
dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen yang mengatur
apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang terprogram, sehingga sel
tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi regenerasi. Jika gen ini
mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan seharusnya sudah mati
menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi regenerasinya, sehingga
proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya gen yang mengatur perbaikan
DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan menginduksi terjadinya mutasi sel
normal menjadi sel kanker. 11

23
Diagnosis

Anamnesa

o Pembengkakan kelenjar getah bening. Pada Limfoma Hodgkin 80% terdapat


pada kelenjar getah bening leher, kelenjar ini multiple, tidak nyeri dan bebas.
Pada Limfoma non-Hodgkin dapat tumbuh pada kelompok kelenjar getah
bening lain misalnya pada traktus digestivus atau pada organ-organ parenkim.
o Demam
o Gatal-gatal
o Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya
o Nafsu makan menurun
o Daya kerja menurun
o Kadang-kadang disertai sesak nafas
o Nyeri setelah mendapat asupan alkohol (15-20%)
o Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan relatf lebih
lambat sedangkan pola perluasan pada limfoma non-Hodgkin tidak sistematis
dan relatif lebih cepat bermetastase ketempat yang jauh
Pemeriksaan fisik

o Palpasi kelenjar getah bening terutama disupraklavikula, aksila dan inguinal.


o Hepar dan lien mungkin teraba membesar.

Pemeriksaan penunjang

o Darah Lengkap
o Alkali Fosfat, SGOT dan SGPT untuk melihat adanya keterlibatan hati.
o FNAB ( Fine Needle Aspiration Biopsy )

Ciri khas Limfoma Hodgkin adalah populasi Limfosit, Pleomorfik dan adanya sel
Reed Sternberg. Apabila sel Reed Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin
berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan sebagai parameter
sitologi Limfoma Hodgkin. Penyulit diagnosis Sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma
non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin yang
hanya mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai
diagnosis definitif. 12

24
Apabila ditemukan sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis maka
sebaiknya kita menggunakan biopsi insisi atau eksisi. Histopatologi biopsi tumor
sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe histopatologi
walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma Hodgkin ataupun limfoma non-
Hodgkin.12

o Radiologi
- Foto Thorax: Untuk mencari kalau ada perluasan mediastinal atau pleural.
- Limfangiografi: Untuk mengetahui pembesaran kelenjar limfe tetapi
sebaiknya tindakan awal kita tetap menggunakan CT-Scan terlebih dahulu
jika negatif baru kita menggunakan limfangiografi karena kadang-kadang
terdapat struktur kelenjar getah bening yang abnormal yang tidak dapat
dilihat dengan CT-Scan sehingga kita menggunakan limfangiografi.
- USG: Untuk mencari kalau ada perluasan ke hati.
- CT-Scan: Untuk mencari kalau ada perluasan ke mediastinal atau pleural.
Penatalaksanaan
- Pembedahan
Pembedahan hanya dilakukan untuk mendukung proses penegakan diagnosis
melalui surgical biopsy.
- Radioterapi
Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan
limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini lebih
sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah banyak
digunakan untuk mengobati limfoma hodgkin seperti radioimunoterapi dan
radioisotop. Radioimunoterapi menggunakan antibodi monoclonal seperti
CD20 dan CD22 untuk melawan antigen spesifik dari limfoma secara
131
langsung, sedangkan radioisotop menggunakan Iodine atau 90Yttrium untuk
irradiasi sel-sel tumor secara selektif. Teknik radiasi yang digunakan
didasarkan pada stadium limfoma itu sendiri, yaitu:
Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
Untuk stadium IV secara total body irradiation

25
Gambar 2.15. Berbagai macam teknik radiasi

- Kemoterapi
Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca
radiasi. Kemoterapi yang dipakai adalah kombinasi:
COP ( Untuk Limfoma non-Hodgkin)
o Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari I
o Oncovin 1,4 mg/m2 IV hari I
o Prednison 60 mg/m2 hari I-VII lalu tappering off
MOPP ( Untuk Limfoma Hodgkin )
o Nitrogrn Mustrad 6 mg/m2 hari I-VIII
o Oncovin 1,4mg/m2 hari I-VIII
o Prednison 60 mg/m2 hari I-XIV
o Procarbazin 100 mg/m2 hari I-XIV
- Imunoterapi
Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-, di mana
interferon- berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun akibat
pemberian kemoterapi.

Komplikasi
Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma maligna, yaitu
komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena penggunaan
kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dapat berupa
pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung, kelainan pada paru-paru,

26
sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord, kelainan neurologis, obstruksi
hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal, nyeri, dan leukositosis jika penyakit
sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan komplikasi akibat penggunaan
kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan muntah, infeksi, kelelahan,
neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah, toksisitas jantung akibat penggunaan
doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom lisis tumor. 13

Prognosis
Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin ditentukan
oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain:

- Serum albumin < 4 g/dL


- Hemoglobin < 10.5 g/dL
- Jenis kelamin laki-laki
- Stadium IV
- Usia 45 tahun ke atas
- Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3
- Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih

Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%,
sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan hidupnya
hanya 59%.

Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi prognosisnya


antara lain:

Usia (>60 tahun)

Ann Arbor stage (III-IV)


Hemoglobin (<12 g/dL)
Jumlah area limfonodi yang terkena (>4)
Serum LDH (meningkat)
Dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah (memiliki 0-1
faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan resiko buruk
(memiliki 3 atau lebih faktor di atas).13

2. Tonsilitis Kronik

27
Definisi
Tonsilitis merupakan suatu peradangan pada tonsil yang disebabkan karena
bakteri atau virus, prosesnya bisa akut maupun kronis.

Etiologi
Penyebab tonsilitis menurut (Firman S, 2006) dan (Soepardi, Effiaty
Arsyad,dkk, 2007) adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Dapat juga disebabkan
oleh infeksi virus. 8

Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan
sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan
memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang. 8
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada
korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis
akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus
berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai
dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya
mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan.
Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan
kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada
sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit
pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan,
belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak
menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam. Bila bercak melebar,
lebih besar lagi sehingga terbentuk membrane semu (Pseudomembran),
sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi
oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya

28
timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses
ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

Klasifikasi
a. Tonsilitis Akut
o Tonsilitis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus
Epstein Barr. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut
supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan
rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil
yang sangat nyeri dirasakan pasien. 8

o Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus,
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus,
Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada
lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk

29
alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

Gambar 2.16. Perbedaan Tonsilitis Bakteri dan Virus

b. Tonsilitis Membranosa

o Tonsilitis difteri
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman
Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada
anak-anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada
usia 2-5 tahun.

30
Gambar 2.17. Tonsilitis Difteri

o Angina Plaut Vincent ( Tonsilitis Ulseronekrotik )


Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau treponema
yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.

Gambar 2.18. Angina Plaut Vincent ( Tonsilitis Ulseronekrotik )

c. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

31
Gambar 2.19. Tonsilitis Kronik

Diagnosis
o Anamnesa
Gejala yang ditemukan pada umumnya adalah :

Nyeri tenggorokan
Disfagia bahkan pada derajat yang berat pasien sulit dan
menolak makan dan minum melalui mulut
Suhu badan meningkat terutama pada tonsillitis akut
Kadang-kadang ditemukan otalgia
o Pemeriksaan Fisik
Tonsilitis kronik
Tonsil tampak membesar dengan adanya hipertrofi
jaringan parut. Sebagian kripta tampak mengalami
stenosis, tapi eksudat yang seringkali purulen dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut.
Tetapi dapat pula ditemukan tonsil yang kecil dan
biasanya membuat lekukan dimana tepinya hiperemis
dan terdapat sejumlah kecil sekret purulen yang tipis,
seringkali dapat diperlihatkan dari kripta.
o Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan jenis bakteri,
pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenisnya, serta laju endap
darah.

32
Kultur

Untuk memastikan jenis patogennya.

Komplikasi
1. Abses peritonsil
2. Otitis media akut
3. Mastoiditis akut
4. Laringitis
5. Sinusitis
6. Rhinitis

Penatalaksanaan
Pada semua kasus tonsilitis ada indikasi untuk dilakukan tonsilektomi. Menurut
the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical
Indicators Compendium tahun 1995, indikasi tonsilektomi adalah :

o Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah


mendapatkan terapi yang adekuat.
o Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
o Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
kor pulmonale.
o Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
o Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus
hemoliticus.
o Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
o Otitis media efusa/otitis media supuratif.

Teknik Operasi
1. Teknik Guilottine

Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia, sedangkan
cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder. Di negara-

33
negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di bagian THT FKUI/RSCM cara ini
biasanya digunakan pada anak-anak dalam anestesi umum.
Teknik :
a) Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator disisi kanan
berhadapan dengan pasien.
b) Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan
pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.
c) Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut
kiri.
d) Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub
bawah tonsil dimasukkan ke dalam lubang guillotine.
e) Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh
jaringan tonsil masuk ke dalam lubang guillotine.
f) Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
g) Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine,
dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat
keluar.
h) Perdarahan dirawat.
Keuntungan :
a) Dikenal sebagai cara yang cepat dan praktis
b) Komplikasi anestesi kecil
c) Biaya lebih murah
Kerugian :
a) Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat
b) Dapat timbul perdarahan yang hebat

2. Teknik Diseksi
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Di Bagian THT
FKU1/RSCM cara ini paling sering digunakan pada pembedahan tonsil orang
dewasa.
Teknik :
a) Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala
sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
b) Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.

34
c) Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial.
d) Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari
fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan
menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat.
e) Perdarahan dirawat.
Keuntungan :
a) Perdarahan pasca operasi minimal
b) Dapat mengangkat seluruh jaringan tonsil
Kerugian :
a) Nyeri hebat pasca-operasi
b) Durasi operasi lebih lama
c) Nyeri pascaoperasi yang signifikan akibat digunakannya elektrokauter untuk
hemostasis
d) Resiko perdarahan intraoperatif tinggi

3. Teknik Elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi
untuk mengontrol perdarahan.
Keuntungan :
a) Perdarahan minimal
b) Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung
c) Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan
memotong dan hemostase dalam satu prosedur
d) Dapat digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain
Kerugian :
a) Menyebabkan luka bakar pada jaringan sekitar yang mengakibatkan
ketidaknyamanan pasca operasi
b) Memiliki energi listrik yang ditransfer ke atau melalui pasien, sehingga tidak ada
stray energi (energi yang tersasar) yang dapat menyebabkan syok atau luka bakar

4. Teknik Radiofrekuensi
Pada teknik ini elektrode radiofrekuensi disisipkan langsung ke jaringan. Densitas
baru di sekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian

35
jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan
yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.14
Keuntungan :
a) Proses ini terjadi pada suhu rendah (400C-700C), sehingga cedera jaringan sekitar
minimal dan perdarahan saat operasi lebih sedikit
b) Nyeri pasca operasi lebih ringan karena tidak terdapat luka operasi yang terbuka
c) Durasi operasi lebih singkat dan kadar penyembuhan lebih cepat
d) Hanya memerlukan sedasi ringan atau anestesi lokal
e) Jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang
volumenya
f) Menurunkan morbiditas tonsilektomi
g) Biaya relatif lebih murah dibanding beberapa teknik modern lainnya
Kerugian :
a) Tidak efektif untuk tonsilitis kronik dan rekuren
b) Biaya lebih tinggi

6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unik karena dapat
memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan.
Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari frekuensi bipolar
untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok
plasma dan terkumpul di sekitar elektroda. Kelompok plasma tersebut mengandung
suatu partikel yang terionisasi dan akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil.
Selain memecah ikatan molekular pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi
molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan
jaringan sekitar.14
Keuntungan :
a) Kerusakan jaringan sekitar minimal
b) Dapat mengangkat seluruh atau sebagian dari jaringan tonsil
c) Dapat digunakan untuk tonsil yang hipertrofi dan infeksi kronik atau rekuren
d) Nyeri ringan pasca-operasi, dan penyembuhan cepat
Kerugian :
a) Komplikasi utama adalah perdarahan
b) Dapat menyebabkan pembengkakan masif dari uvula

36
c) Dilakukan di bawah anestesi umum di kamar operasi

8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau Potassium Titanyl Phosphat
untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.
Keuntungan :
a) Mengurangi volume tonsil
b) Menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
c) Efektif untuk tonsilitis kronik dan rekuren, nyeri tenggorok kronik, halitosis berat,
dan obstruksi saluran nafas akibat pembesaran tonsil
d) Nyeri pasca-operasi minimal, morbiditas menurun, dan kebutuhan analgesia pasca-
operasi berkurang
Kerugian :
a) Sisa tonsil dapat tumbuh kembali
b) Memerlukan biaya yang tinggi

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 48 Tahun
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Lebaksiu, Tegal
Pekerjaan : Pengangguran
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
No. RM :-
Ruangan : Poli THT

37
3.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara Autoanamneis pada tanggal 19 November 2016


pada pukul 10.00 WIB bertempat di Poli THT RSUD Kardinah Tegal.

1. Keluhan utama
Nyeri menelan sejak 2 bulan yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT RSUD Kardinah dengan keluhan nyeri menelan
sejak 2 bulan lalu. Pasien juga mengeluh beberapa kali tersedak saat sedang
makan, merasa nyeri di tenggorokan dan pilek. Keluhan juga disertai dengan
nyeri kepala sebelah kanan yang hilang timbul, mendadak, paling sering
pada malam hari. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan tidak
dipicu oleh cahaya ataupun suara. Keluhan dirasakan setelah operasi polip
hidung yang ke-2 pada Agustus 2016 lalu di Bandung. Pasien mengaku
tidak mengkonsumsi obat-obatan apapun untuk mengobati pusingnya dan
hanya beristirahat saja. Pasien juga mengeluh mengalami penurunan berat
badan dalam 3 bulan terakhir, dari 65 kg menjadi 55 kg. Keluhan lain seperti
batuk, bersin, mual, muntah dan demam sebelumnya disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Polip nasal Operasi 2x, Februari 16 di Tegal dan Agustus 16 di
Bandung. Alergi (-), hipertensi (-), DM (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), minum minuman beralkohol (-)

3.3. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan gizi : Gizi Sedang

Tanda Vital

38
Suhu : 36,6o C
Nadi : 84x/menit
TD : 120/80 mmHg
Pernapasan : 20x/m
b. Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Iklterik (-/-)
Telinga: Status Lokalis
Hidung : Status Lokalis
Mulut : Status Lokalis
Leher : Jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran kelenjar getah
bening dan tiroid (-), nyeri tekan (-)

Thorax
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I,II regular, murmur (-), gallop(-)
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus teraba sama di kedua lapang paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, wheezing(-/-), rhonki (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Supel
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar

39
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+), normal
c. Status Lokalis
Telinga

Dextra Sinistra
Normotia, benjolan (-), Normotia, benjolan (-),
nyeri tarik (-), nyeri Daun telinga nyeri tarik (-), nyeri tekan
tekan tragus (-) tragus (-)
Hiperemis (-), fistula (-), Hiperemis (-), fistula (-),
Preaurikuler
oedem(-), sikatriks(-) oedem(-), sikatriks(-)
Hiperemis (-), fistula (-), Hiperemis (-), fistula (-),
oedem(-), sikatriks(-), Retroaurikuler oedem(-), sikatriks(-),
nyeri tekan mastoid (-) nyeri tekan mastoid (-)
Lapang, Hiperemis (-), Kanalis akustikus Lapang, Hiperemis (-),
oedem(-), discharge(-) eksternus oedem(-), discharge(-)
Hiperemis (-), warna Hiperemis (-), warna putih
putih mengkilat, Refleks Membran timpani mengkilat, Refleks cahaya
cahaya (+) (+)

Hidung

Dextra Sinistra
Bulu hidung (+), Bulu hidung (+),
hiperemis(-), benjolan Vestibulum hiperemis(-), benjolan
(-), nyeri (-), sekret(-) (-), nyeri (-), sekret(-)
Tidak terlihat Konka Superior Tidak terlihat
Livid (-), hipertrofi(-), Livid (-), hipertrofi(-),
hiperemis(-), Konka media hiperemis(-),
discharge(-) discharge(-)
Livid (-), hipertrofi(-), Livid (-), hipertrofi(-),
hiperemis(-), Konka inferior hiperemis(-),
discharge(-) discharge(-)
Tidak dapat dinilai Meatus nasi medius Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai Meatus nasi inferior Tidak dapat dinilai
Lapang Cavum nasi Lapang
Deviasi (-) Septum nasi Deviasi (-)

Sinus Frontal Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)


Sinus ethmoid Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)
Sinus maksila Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-) 40
Orofaring

Mulut Trismus(-)
Palatum Simetris, deformitas (-)
Arkus faring Simetris, hiperemis (-)
Mukosa faring Hiperemis(-), granulasi(-), sekret(-)
Dinding faring posterior Hiperemis(-), post nasal drip (-)
Uvula Simetris ditengah, hiperemis (-)
Tonsila Palatina Ukuran : T4/T1
Warna : Hiperemis(+)
Kripta : dalam batas normal
Detritus: -/-
Perlekatan : -
Massa : -
Kemampuan menelan Makanan padat (+), makanan lunak (-), air (+)
Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan

Gambar 3.1

41
3.4. Diagnosis
a. Diagnosis kerja
Tumor tonsil jinak
b. Diagnosis Banding

Tonsilitis kronik
Limfoma Non Hodgkin

3.5 Pemeriksaan penunjang

Hematologi Hasil Satuan Nilai normal


Hemoglobin 14.1 g/dL 13.7-17.7
Leukosit 6.7 10^3/uL 4.4-11.3
Hematokrit 42.9 % 42-52
Trombosit 416 10^3/uL 150-521
Eritrosit 5.9 10^6/uL 4.5-5.9
RDW 16.2 H % 11.5-14.5
MCV 73.2 L U 80-96
MCH 23.7 L Pg 28-33
MCHC 32.9 L g/dL 33-36
CT 5.00 Menit 2-6
BT 2.30 Menit 1-3
GDS 100 Mg/dL 70-140
HBsAg Negatif Negatif
HIV (Rapid Test) Non reaktif Non reaktif

42
Gambar 3.2 Hasil Pemeriksaan Biopsi

3.5. Penatalaksanaan
Wide eksisi tumor tonsil PA
Instruksi post op:
o Awasi perdarahan
o IVFD RL 20 tpm + ketorolac 1 amp
o Inj. kalnex 2x1 (IV)
o Inj. Cefotaxime 2x1 gr (IV) skin test
Pulang H+1, terapi pulang:
o Amoxicillin 3x1 (po)
o Asam Mefenamat 3x1 (po)

3.6. Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

43
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis setelah pasien datang pada poli THT didapatkan gejala-gejala
nyeri menelan dan nyeri tenggorokan, didapatkan pula gejala pilek sebelumnya.
Gejala tersebut merupakan gejala yang sesuai dengan gangguan pada tonsil. Pasien
merasa nyeri saat menelan dikarenakan ukuran tonsil yang membesar sehingga
menyulitkan proses menelan. Begitu pula dengan gejala nyeri pada tenggorokan yang
disebabkan karena peradangan pada tenggorokan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil berukuran T4-T1, hipertrofi tonsil pada satu
sisi ini dicurigai karena meningkatnya jumlah sel tonsil atau proses keganasan. Tonsil
tampak hiperemis karena terjadinya pelebaran pembuluh darah di sekitar tonsil karena
terjadinya proses peradangan. Sementara fungsi menelan dan bernafas pasien tidak
ada kelainan, pasien masih dapat menelan makanan dalam bentuk padat ataupun cair,

44
pasien juga tidak merasa kesulitan bernapas, namun seiring dengan perjalanan
penyakitnya jika pasien tidak segera berobat makan tonsil dapat semakin membesar
dan menutup saluran pernafasan maupun pencernaan.

Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan biopsy. Pada
pemeriksaan lab darah tidak ada kelainan yang berarti. Biopsi dilakukan di ruang
operasi dengan cara mengambil sedikit sampel tonsil untuk kemudian diperiksa di lab
patologi anatomi. Biopsi juga dapat dilakukan jika dicurigai keganasan. Pada pasien
ini telah dilakukan biopsy dan didapatkan hasil tonsillitis kronik, namun jika masih
memiliki kecurigaan ke arah tumor/keganasan dapat pula dilakukan pemeriksaan
tumor marker.

Untuk penatalaksanaannya dilakukan wide eksisi tumor tonsil kemudian juga dikirim
ke PA untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pasien dipulangkan 1 hari setelah
operasi dan diminta untuk kontrol 1 minggu kemudian dengan membawa hasil PA.

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan maka


didapatkan gambaran tumor tonsil yang disertai dengan gejala nyeri menelan, nyeri
tenggorokan dan juga nyeri kepala.

Untuk memastikan lebih lanjut maka terdapat pemeriksaan yang harus


dilakukan, seperti biopsy dan pemeriksaan tumor marker. Diagnosis banding dari
kasus ini adalah limfoma non Hodgkin dan tonsillitis kronik.

Untuk menegakkan diagnosis dilakukan penatalaksanaan berupa wide eksisi


tumor tonsil dan dikirim ke PA untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, sementara
pasien dipulangkan sehari setelah operasi dan diminta kontrol 1 minggu kemudian
sambil membawa hasil PA.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Chung TS, Stefani S. Distant metastases of carcinoma of tonsillar region: a


study of 475 patients. J Surg Oncol. 1980;14(1):5-9
2. Balai Penerbit FKUI. BukuAjar Onkologi Klinis Ed. 2. 2008. Jakarta: FKUI;
Hal 547-563
3. Adams, George, dkk. 1997. BOEIS BUKU AJAR PENYAKIT THT edisi 6.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
4. Faiz O, Moffat D. 2004. At a glance anatomi. Jakarta: Erlangga
5. Roezin, averdi dan marlinda adham. 2010. Buku ajar ilmu kesehatan THT
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
6. Snell, Richard S. 2006. Buku Anantomi Klinik Edisi VI. Jakarta: EGC
7. Jaffe ES, Harris NL, Stein H, Vardiman JW, eds. World Health Organization
Classification of Tumours: Pathology and Genetics of Tumours of
Haematopoietic and Lymphoid Tissues. Lyon, France: IARC Press; 2001.
8. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher edisi 7. 2012. FKUI

46
9. Thomas RK, Re D, Wolf J, Diehl V. Part I: Hodgkin's lymphoma--molecular
biology of Hodgkin and Reed-Sternberg cells. Lancet
Oncol. Jan 2004;5(1):11-8.
10. Vose JM. Current approaches to the management of non-Hodgkin''s
lymphoma. Semin Oncol. Aug 1998;25(4):483-91.
11. Zhang QY, Foucar K. Bone marrow involvement by Hodgkin and non-
Hodgkin lymphomas. Hematol Oncol Clin North Am. Aug 2009;23(4):873-
902.
12. Hoppe RT, Advani RH, Ambinder RF, et al. Hodgkin disease/lymphoma. J
Natl Compr Canc Netw. Jul 2008;6(6):594-622.
13. Molina A, Pezner RD. Non-Hodgkin's lymphoma. In: Pazdur R, Coia LR,
Hoskins WJ, Wagman LD, eds. Cancer Management: A Multidisciplinary
Approach. 5th ed. Melville, NY: PRR, Inc; 2000:583-618.

14. Fact Sheet: Tonsillectomy Procedures. Didapatkan dari


http://surgery.about.com/gi/o.htm?
zi=1/XJ&zTi=1&sdn=surgery&cdn=health&tm=37&f=00&su=p1051.2.336.ip
_&tt=2&bt=1&bts=0&zu=http
%3A//www.entnet.org/HealthInformation/tonsillectomyProcedures.cfm.
Accessed on: December 4th 2016.

47

Anda mungkin juga menyukai