Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

KOMPLIKASI TONSILITIS

Oleh : Nurvidya Rachma Dewi C1103020 Dina Daniarti C1103133 Sarully Shukma C1103180

Pembimbing : dr. Wijana, SpTHT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2005

Bab I
PENDAHULUAN

Salah satu kegawatdaruratan di bidang THT adalah kelainan pada saluran nafas atas (OSNA), dengan lokasi pada faring salah satunya. Kelainan yang terjadi pada saluran nafas atas dapat disebabkan oleh berbagaia macam hal, misalnya kelainan bawaan, proses inflamasi, trauma, tumor, dan lain-lain. Keluhan dapat timbul segera atau perlahan-lahan tergantung dari penyebabnya. Derajat berat ringannya gangguan bervariasi tergantung etiologi, jenis gangguan, faktor penderita, lokasi, serta ukurannya. Akibat dari kelainan yang terjadi diperlukan penanganan yang tepat untuk mengatasinya. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan operasi, maupun tindakan konservatif yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan kondisi jalan nafas yang aman serta mencegah komplikasi lanjut yang dapat mengakibatkan kematian. Oleh karena itulah kita harus benar-benar memahami anatomi dan fisiologi faring dan tonsil untuk dapat membantu menjelaskan penyebab kelainan dan menentukan tindakan yang akan diambil sebagai upaya untuk mengatasi kelainan yang terjadi. Selain itu diperlukan juga pengetahuan mengenai komplikasi yang sering ditimbulkan dan dapat berakibat fatal bila tidak segera ditindaklanjuti.

Bab II
ANATOMI Untuk kepentingan klinis, faring dibagi menjadi 3 bagian utama: nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Satu pertiga bagian atas atau nasofaring adalah bagian pernafasan dari faring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum molle bagian bawah. Bagian tengah faring disebut orofaring, meluas dari batas bawah palatum molle sampai permukaan lingual epigglotis. Bagian bawah faring dikenal dengan nama hipofaring atau laringofaring, menunjukkan daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas. Pada orofaring yang disebut juga mesofaring, terdapat cincin jaringan limfoid yang melingkar dikenal dengan Cincin Waldeyer, terdiri dari Tonsila pharingeal (adenoid), Tonsila palatina, dan Tonsila lingualis. Dalam pengertian sehari-hari yang dikenal sebagai tonsil adalah tonsila palatina.

1. Pharyngeal tonsil 2. Palatine tonsil 3. Lingual tonsil 4. Epiglottis

Tonsila Faringeal (adenoid) Terletak pada nasofaring yaitu pada dinding atas nasofaring bagian belakang. Pada masa pubertas adenoid ini akan menghilang atau mengecil sehingga jarang seklai dijumpai pada orang dewasa. Apabila adenoid membesar

maka akan tampak sebagai sebuah massa yang terdiri dari 4-5 lipatan longitudinal anteroposterior serta mengisi sebagian besar atas nasofaring. Berlainan dengan tonsil, adenoid mengandung sedikit sekali kripta dan letak kripta tersebut dangkal. Tidak ada jaringan khusus yang memisahkan adenoid ini dengan m. konstriktor superior sehingga pada waktu adeoidektomi sukar mengangkat jaringan ini secara keseluruhan. Adenoid mendapat darah dari cabang-cabang faringeal A. Karotis interna dan sebagian kecil dari cabang-cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam V. Jugularis interna. Sedangkan persarafan sensoris melelui N. Nasofaringeal yaitu cabang dari saraf otak ke IX dan juga melalui N. Vagus.

Tonsila Lingualis Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah anteroposterior dari papilla sirkumvalata ke epiglottis. Jaringan limfoid ini menyebar ke arah lateral dan ukurannya mengecil. Dipisahkan dari otot-otot lidah oleh suatu lapisan jaringan fibrosa. Jumlahnya bervariasi, antara 30-100 buah. Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus. Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari A. Karotis eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke V. Jugularis interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N. IX.

Tonsila Palatina Tonsil terletak di bagian samping belakang orofaring, dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm, dan berat sekitar 1,5 gram. Berat tonsil pada laki-laki berkurang dengan bertambahnya umur, sedangkan pada wanita berat bertambah pada masa pubertas dan kemudian menyusut kembali. Fossa tonsilaris di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus plalatina anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi

oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. Palatina membentuk palatum molle. Bagian atas fossa tonsilaris kosong dinamakan fossa supratonsiler yang merupakan jaringan ikat longgar. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m. Konstriktor faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil, membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil. Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang merupakan muara dari kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk pertumbuhan kuman, juga karena tersedianya substansi makanan di daerah tersebut. Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika triangularis, dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang-kadang membesar. Plika ini penting karena sikatrik yang terbantuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil. Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak antara tonsil dengan fosa tonsilaris mudah dipisahkan.

Di sekitar tonsil terdapat 3 ruang potensial yang secara klinik sering menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil. Ke-3 ruang potensial tersebut adalah : 1. Ruang peritonsil (ruang supratonsil) Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas : - Anterior : m. Palatoglosus

- Lateral & posterior : m. Palatofaringeus - Dasar segitiga : pole atas tonsil

Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivary Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonsil. 2. Ruang retromolar Terdapat tepat di belakang gigi molar 3, berbentuk oval, merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator, sementara pada bagian postero-medialnya terdapat m. Pterygoideus internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus m. Temporalis. Bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan

gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsil. 3. Ruang parafaring (ruang faringomaksila ; ruang pterygomandibula) Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses, berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah : - Superior - Inferior - Medial - Lateral : Basis kranii dekat foramen jugulare : Os hyoid : M. Konstriktor faringeus superior : Ramus ascendens mandibula, tempat m. Pterygoideus interna dan bagian posterior kelenjar parotis - Posterior : Otot-otot prevertebra

Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosesus styloideus dan otot-otot yang melekat pada prosesus styloideus tersebut : Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radng tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif. Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. karotis interna, V. Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis. Ruang parafaring ini hanya dibatasi oleh fascia yang tipis dengan ruang retro faring. Ruang retrofaring Batas-batasnya adalah sebagai berikut : - Anterior - Posterior - Superior - Inferior - Lateral : fascia m. Konstriktor superior : fascia prevertebralis : basis cranii : mediastinum setinggi bifurkasio trakea : parafaringeal space

Aliran Limfe Tonsil Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula,

yang kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus M. Konstriktor faringeus superior, selanjutnya menembus fascia bukofaringeus dan akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus mendibula. Kemudian aliran limfe ini dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerh dada, untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus.

FISIOLOGI Peranan tonsil dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan, meskipun fungsinya memproduksi sel-sel limfosit. Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil memegang peranan penting dalam fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian mengenai kadar antibodi pada tonsil menunjukkan bahwa perenkim tonsil mempunyai kemampuan untuk memproduksi antibodi. Penelitian terakhir menyatakan bahwa tonsil memegang peranan dalam memproduksi Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yamg pada permulaan kehidupan masa kanak-kanak dianggap normal dan dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. Kuman-kuman patogen yang terdapat dalam flora normal tonsil dan faring tidak menimbulkan peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme pertahanan dan hubungan timbal balik antara berbagai jenis kuman. Terdapat 2 bentuk mekanisme pertahanan tubuh, yaitu : 1. Mekanisme pertahanan non spesifik Berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid untuk

menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini tipis sekali sehingga bagian ini menjadi tempat yang lemah terhadap pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Dengan

masuknya kuman ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini akan ditangkap oleh sel fagosit, dalam hal ini adalah elemen tonsil. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi. Peranan opsonin (antibodi) adalah mengadakan reaksi dengan bakteri, sehingga menimbulkan kepekaan bakteri terhadap sel fagosit. Setelah proses opsonisasi, maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya ke dalam suatu kantung yang disebut fagososm. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanisme yang jelas belum pasti, namun diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2 (bersifat bakterisidal), yang kemudian akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel fagosit terdaapt granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digesti. 2. Mekanisme pertahanan spesifik Merupakan ekanisme pertahana yang penting dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap udaran pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Disamping itu, tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin. Sel basofil yang terutama adalah sel basofil dalam sirkulasi (sel basofil mononuklear) dan sel basofil dalam jaringan (sel mastosit). Bila ada alergen, maka alergen tersebut akan bereaksi dengan IgE sehingga permukaan sel membrannya terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini akan menyebabkan keluarnya histamin sehingga timbul reaksi hipersensitivitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.

Dengan teknik immunoperoksida, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma sel terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Sedangkan mekanisme kerja IgA, bukanlah menghancurkan antigen akan tetapi mencegah substansi tersebut masuk ke dalam proses imunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah trjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu, IgA merupakan barier untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

TONSILITIS Etiologi Streptokokus -hemolitikus grup A diketahui sebagai bakteri yang paling sering ditemukan pada tonsillitis akut. Namun banyak penelitian yang menunjukkan mulai meningkatnya peranan mikroorganisme aerob dan anaerob lain pada perjalanan tonsillitis baik akut ataupun kronis. Beberapa konsep terbaru mulai dipercaya dalam pemehaman penyakit tonsilar kronik, seperti Adanya infeksi polimikrobial Peningkatan mikroorganisme penghasil laktamase Adanya peranan mikroorganisme anaerob Adanya peranan konsentrasi antigen bakteri Adanya Hemophilus influenza Pentingnya obstruksi kripta sehingga terjadi akumulasi bakteri dan timbulnya infeksi kronis Terganggunya keseimbangan bakteri normal dimana terjadi pergeseran dari komensal menjadi pathogen Virus lebih sering ditemukan pada penyakit akut daripada kronis, dimana virus merupakan inisiator inflamasi mukosa, obstruksi kripta, dan ulserasi yang kemudian disertai invasi dan infeksi bakteri. Virus Epstien-Barr (EBV) dapat ditemukan pada faringotonsilitis akut yang berat bahkan saat adanya obstruksi jalan nafas. EBV juga dihubungkan dengan hyperplasia adenotonsilar persisiten.

Klasifikasi 1. Tonsilitis Akut Tonsilitis adalah peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan tonsila yang biasanya disertai dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati, dan bakteri pathogen dalan kripta Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan lekosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membrane semu (Pseudomembran) yang menutupi tonsil. Pada keadaan ini didiagnosa banding dengan Angina Plaut Vincent, tonsilitis difteri, scarlet fever, dan angina agranulositosis. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lelah, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui N.Glosofaringeus. Seringkali disertai adenopati servikalis disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat serta diet ringan. Analgetik oral efektif untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin masih merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin. Pada kasus tersebut eritromisin atau antibiotik spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan. Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika hasil biakan didapatkan streptokokus beta hemolitikusterapi yang adekuat

dipertahankan selama sepuluh hari untuk menurunkan kemungkinan komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik.

2. Tonsillitis Akut Rekuren Terdapat beberapa definisi mengenai tonsillitis akut rekuren, yaitu Empat sampai tujuh kali tonsilitis akut dalam satu tahun Lima kali tonsilitis akut selama dua tahun berturut-turut Tiga kali tonsilitis akut dalam satu tahun selama tiga tahun berturut-turut

3. Tonsilitis Kronis Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Gambaran klinis bervariasi dan diagnosa sebagian besar tergantung pada infeksi. 3.1 Patogenesa Pada umumnya tonsilitis kronis memiliki dua gambaran, yaitu terjadi pembesaran tonsil dan pembentukan jaringan parut. Terlihat gambaran pembesaran kripta pada beberapa kasus tonsilitis kronis. Karena proses radang berulang yang timbul, maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan, sehingga kripta melebar. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil dalam waktu lama akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya sel limfosit dan basofil sehingga

timbul detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis, detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bercak detritus ini, dapat melebar sehingga terbentuk membran semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Dari hasil biakan tonsil, pada tonsilitis kronis didapatkan bakteri dengan virulensi rendah dan jarang ditemukan Streptococcus beta hemolitikus.

3.2 Gejala dan Tanda Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, rasa mengganjal pada tenggorokan, tenggorokan terasa kering, nyeri pada waktu menelan, bau mulut , demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini dikarenakan nyeri alih (referred pain) melalui n. Glossopharingeus (n.IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula membengak dan nyeri tekan. 3.3 Terapi Antibotika spektrum luas, antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Pada keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan pasien merasa sangat terganggu, maka terapi pilihan adalah pengangkatan tonsil (tonsilektomi). 3.4 Komplikasi

Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa abses peritonsiler, rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara

perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, irdosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

KOMPLIKASI TONSILITIS Abses Peritonsil (Quinsy) Abses peritonsil adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Etiologi : Terkadang infeksi tonsila berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila meluas sampai ke palatum molle. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsilaris. Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan awitan awal dari tonsillitis, atau akhir dari perjalanan penyakit tonsillitis akut. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. Patofisiologi : Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsillitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil, dan penjalaran dari infeksi gigi. Manifestasi klinis: Terdapat gejala dan tanda tonsillitis akut, demam tinggi, otalgia, nyeri menelan, nyeri tenggorok, muntah ,mulut berbau, hiperselivasi, suara sengau, kadang-kadang sulit membuka mulut (trismus), serta pembengkakan dan nyeri tekan pada kelenjar submandibula. Trismus terjadi pada proses yamg lanjut akibat iritasi pada otot pterigoid interna. Pada pemeriksaan tampak palatum molle membengkak, menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, hiperemis pada stadium awal dan bila berlanjut aqkan menjadi lebih lunak dan kekuning-kuningan. Tonsil bengkak, hiperemis dan mungkin banyak detritus, terdorong ke tengah, depan dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Terapi:

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Bila abses telah terbentuk, dilakukan pungsi kemudian insisi untuk mngeluarkan nanah dengan anestesi local. Insisi dilakukan pada daerah paling menonjol dan lunak, atau pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah selesai pasien diminta berkumur dengan antiseptik. Bila terdapat trismus, diberikan analgesia local untuk nyeri dengan menyuntikan silokain atau novokain 1 % di ganglion sfenopalatinum (bagian belakang atas lateral konka media). Pada anak kecil dianjurkan untuk anestesi umum. Kemudian dianjurkan untuk tonsilektomi. Bila tonsilektomi dilakukan bersama sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi a chaud. Bila dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi atiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi afroid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan setelah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. Komplikasi: Dehidrasi, perdarahan, aspirasi paru, piemia, abses parafaring,

mediastinitis, thrombus sinus kavernosus, meningitis, abses otak.

Abses Parafaring Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang parafaring Patofisiologi: Ruang parafaring ini dapat mengalami infeksi dengan cara: 1. Langsung. Yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesi. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris.

2. proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikaldapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3. penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula. Manifestasi klinis: Demam, leukositosis, nyeri tengorok, nyeri menelan, trismus, indurasi atau pembengkakan, di daerah sekitar angulus mandibula, dan pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol kearah medial. Pada pemeriksaan penunjang diagnosis dapat ditegakkan dengan foto jaringan lunak AP menunjukkan penebalan jaringan lunak parafaring dan pendorongan trakea kearah depan. Dengan tomografi computer terlihat jelas abses dan penjalarannya. Terapi: a. Antibiotika Antibiotika diberikan sampai 10 hari dan seharusnya diberikan berdasarkan pada pemeriksaan kultur dan resistensi kuman. First choise : Clindamycin : dewasa: 300-900 mg/iv/im tiap 8 jam. Anak : 25-40 mg/kgBB/hari iv tiap 8 jam. Penicillin Ceftadizime Cephalosporin seperti cefotaxim : 1-2 mg tiap 4-8 jam iv. Dosis anak : 50-150 mg/ kgBB/hari. b. Insisi dan drainase Insisi abses pada daerah ini ada tiga cara: Intraoral, bila penonjolan yang timbul kearah faring yaitu di dinding faring lateral. Ekstraoral, dimana insisi dari sebelah luar, dibawah angulus mandibula dan diseksi secara tumpul sepanjang batas medial dari m. pterigoid internus menuju prosesus styloideus. Melalui fossa submaksila secara MOSHER, cara ini dipergunakan bila lokasi pus tidak jelas dan terdapat tanda-tanda sepsis.

Komplikasi:

Septik trombosis vena jugularis interna Erupsi (rupture) arteri karotis Sekuele neurologist Sindroma Horner (cervical Symphatetic) Mediastinitis: penyebaran sepanjang carotid sheath

Otitis Media Akut (OMA) Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Etiologi: Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik, seperti Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus, Hemofilus influenza, Esheria coli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aurugenosa Patofisiologi: Terjadinya OMA akibat terganggunya factor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan telinga tengah. Factor penyebab utama adalah sumbatan tuba eustachius sehingga pencegahan invasi kuman terganggu. Pencetusnya adalah infeksi saluran nafas atas. Penyakit ini mudah terjadi pada bayi karena tuba eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal. Manifestasi klinis: Gejala klinis OMA tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien. Stadium OMA berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah: a. Stadium oklusi tuba eustachius Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan otitis media serosa akibat virus atau alergi. b. Stadium hiperemis Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membrane timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga sukar untuk dilihat. c. Stadium supurasi

Membrane timpani menonjol kearah telinga luar, akibat edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superficial, serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis, dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lembek dan kekuningan pada membrane timpani. Di tempat ini akan terjadi rupture. d. Stadium perforasi Karena pemberian antibiotic yang terlambat atau virulensi yang tinggi, dapat terjadi rupture membrane timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak. e. Stadium resolusi Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan membrane timpani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka secret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan, OMA akan berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan secret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila secret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi. Terapi: a. Stadium oklusi Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% untuk anak<12 tahunatau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi local harus diobati. Antibiotic diberikan bila penyebabnya kuman. b. Stadium hiperemis

Diberikan antibiotic, obat tetes hidung, dan analgetik. Bila membrane timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. c. Stadium supurasi Selain antibiotik , pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membrane timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi rupture. d. Stadium perforasi Terlihat secret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotic yang adekuat sampai 3 minggu. e. Stadium resolusi Membrane timpani berangsur normal kembali, secret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak antibiotic dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap mungkin sudah terjadi mastoiditis.

Sindrom Nefritis Akut (SNA) SNA dapat terjadi paska infeksi streptokokus beta hemolitikus

Patofisiologi: Faringitis dan tonsillitis (10-14 hari), impetigo (21 hari) glomerulopati koefisien ultrafiltrasi glomerular LFG Distal delivery tekanan kapiler peritubular Proteinuria Hematuria Serum BUN Kreatinin dilusi plasma, volume plasma dan volume cairan ekstraselular refleks baroreseptor factor vasokonstriktor neural dan humoral reabsorbsi Na+ normal or/APG FF reabsorbsi proksimal absolute

oliguria

hipertensi

edema

kongesti paru

ensefalopati hipertensif akut

Manifestasi klinis: 1. Keluhan saluran kemih Oliguria dan hematuria tanpa sakit merupakan gejala patognomonik untuk SNA

2. Hipertensi Hipertensi ringan, sedang dan berat dengan komplikasi ensefalopati hipertensif akut terutama pada pasien anak 3. Sembab dan bendungan sirkulasi a. Sembab kelopak mata atau pergelangan kaki pagi hari dan hilang siang hari. b. Bendungan sirkulasi Kardiomegali (bukan bentuk jantung hipertensif) dengan konfigurasi Flabby heart disertai irama derap. Bendungan paru akut a. Keluhan sesak nafas sampai ortopnea menyerupai bendungan paru akut jantung tetapi tanpa didahului dyspnea on effort. b. Ronki basah di daerah basal paru Kenaikan tekanan vena jugularis Hepatomegali bendungan Keluhan sakit di daerah perut kanan atas akibat regangan kapsul hepar. Hepatomegali dengan permukaan rata dan konsistensi kenyal dan nyeri tekan. 4. Bradikardia Bradikardia merupakan salah satu tanda penting untuk diagnosis banding dengan gagal jantung kongestif. Terapi: Tentukan penyebabnya dan lakukan penatalaksanaan penyebabnya. Penatalaksanaan hipertansi dengan obat antihipertensi. Mencegah kelebihan garam dan air. Dilakukan pembatasan garam dan cairan, pemberian diuretic dosis tinggi bila perlu. Pengawasan ketat terhadap berat badan, keseimbangan cairan, dan ukuran jantung. Penatalaksanaan gagal ginjal.

Sepsis

Sepsis adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit infeksi yang berat, disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia, hiperventilasi dan letargi. Etiologi: Mikroorganisme penyebab sepsis sangat berhubungan dengan umur dan status imunitas anak, pada masa neonatus E.coli, S.aureus, Streptokokus grup B dan L. monositogenes merupakan penyebab tersering. Pada anak yang lebih besar sepsis dapat disebabkan oleh S.pneumoniae, H.influenza tipe B, N.mengitidis, salmonella sp., S.aureus, dan streptokokus grup A. Anak dengan gangguan imunitas dapat mengalami sepsis yang disebabkan oleh berbagai kuman, bahkan oleh kuman yang tidak biasa. Patofisiologi: Infeksi bakteri endorphin produk bakteri misalnya endotoksin makrofag factor jaringan sitokin aktivasi PMN, pelepasan PAF, produk aktivasi koagulasi fibrinolisis aktivasi kalikreinkinin arakidonat dan substansi toksik lain aktivasi komplemen

Vasodilatasi, Kerusakan endotel Kapiler

syok septic

kebocoran kapiler, kerusakan endotel

Kegagalan organ berganda

Manifestasi klinis: Manifestasi sepsis pada anak dengan gangguan imunitas yang berat sangat sulit untuk diketahui. Stadium dini, adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa menggigil, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang disusul dengan hipotensi. Gelisah dan agitasi merupakan tanda awal dari syok septic maka hal ini perlu diperhatikan dalam pengelolaan sepsis. Hipotensi dapat mengakibatkan timbulnya gagal ginjal akut, gangrene perifer dan laktik asidosis. Kadang-kadang dapat juga ditandai dengan letargi, muntah, perut kembung dan hipotermia. Petekia dan purpura dapat ditemukan pada pasien sepsis terutama yang disebabkan oleh Meningokokus, P.aeruginosa dapat menimbulkan kelainan kulit berupa ecthyma gangrenosa. Terapi: 1. Pengendalian infeksi 2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam basa dan pemberian farmakoterapi kardiovaskular seperti dopamine dan dobutamin pada kedaan syok septic. 3. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian oksigen dan mengusahakan agar jalan nafas tetap terbuka. 4. Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut 5. Kortikosteroid

Sinusitis Sinusitis adalah radang pada sinus paranasal. Menurut Adams, berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas: 1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu. 2. Sinusitis subakut, bila infeksinya beberapa minggu sampai beberapa bulan. 3. Sinusitis kronis, bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun (menurut Cauwenberge, bila sudah lebih dari 3 bulan). Etiologi:

Penyebabnya dapat virus, bakteri atau jamur. Menurut Gluckman, kuman penyebab sinusitis akut tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae yang ditemukan pada 70% kasus. Dapat disebabkan rhinitis akut; infeksi faring seperti faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut; infeksi gigi molar M1, M2, M3 atas, serta premolar P1, P2; berenang dan menyelam; trauma dan barotrauma. Faktor predisposisi obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, benda asing di hidung, tumor atau polip. Juga rhinitis alergi, rhinitis kronik, polusi lingkungan, udara dingin dan kering.

Patofisiologi: Edema di kompleks osteomeatal, Mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan Gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus Silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental Media yang baik untuk tumbuhnya bakteri pathogen Sumbatan berlangsung terus, hipoksia dan retensi lendir Infeksi oleh bakteri anaerob Perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Manifestasi klinis: Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil).

Gejala subyektif: a. gejala sistemik, yaitu demam dan rasa lesu b. gejala local, yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbaudan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena , serta kadang nyeri alih ke tempat lain. Sinusitis maksilaris: nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus, hingga terasa di gigi. Nyeri alih di rasakan di dahi dan depan telinga. Sinusitis etmoid: nyeri di pangkal hidung dan kantus medius, kadangkadang nyeri di bola m,ata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis. Sinusitis frontal: nyeri terlokalisasi di dahi atau di seluruh kepala. Sinusitis sphenoid: rasa nyeri di verteks, oksipital, retroorbital, dan di sphenoid. Gejala obyektif: Tampak pembengkakan di daerah muka. Sinusitis maksilaris: terlihat di pipi dan kelopak mata bawah. Sinusitis frontal: terlihat di dahi dan kelopak mata atas. Sinusitis etmoid: jarang bengkak, kecuali bila ada komplikasi.

Rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, frontal, dan etmoid anterior tampak mukopus di meatus medius. Pada sinusitis etmoid posterior dan pada sphenoid, tampak nanah keluar dari meatus superior. Rhinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

Terapi: 1. Antibiotika selama 10-14 hari, meskipun gejala telah hilang. 2. Dekongestan local berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus. 3. Analgetika bila ada keluhan nyeri. 4. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intracranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada secret tertahan oleh sumbatan.

Komplikasi: Endokarditis Endokarditis akut paling sering disebabkan oleh Stafilokokus aureus yang terjadi pada katup jantung yang normal. Bentuk infeksi ini menimbulkan destruksi yang cepat, menghasilkan fokus-fokus metastatik yang jika tidak diobati akan menimbulkan kematian penderitanya dalam waktu 6 minggu. Endokarditis subakut biasanya disebabkan oleh Streptokokus viridans, terjadi pada katup yang sudah rusak, tidak menghasilkan fokus-fokus metastatik dan jika tidak diobati memerlukan waktu lebih dari 6 minggu atau bahkan satu tahun sebelum menimbulkan kematian penderitanya. Gejala endokarditis umumnya mulai terjadi dalam waktu 2 minggu setelah kejadian yang mencetuskannya. Pada mikrorganisme yang patogenesitasnya rendah, seperti Streptokokus viridans, awitan tersebut biasanya berangsur-angsur dengan gejala febris dan malaise. Pada mikrorganisme yang patogenesitasnya tinggi, seperti Stafilokokus aureus, awitannya akut dengan gejala febris yang tinggi. Febris biasanya ditemukan pada hampir semua pasien endokarditis, derajatnya rendah (kurang dari 39,4C) kecuali pada penyakit yang akut, disertai artralgia. Osteomielitis dan abses subperiostal Kelainan orbita Kelainan intracranial Kelainan paru

Artritis Artritis septik biasanya berasal dari penyebaran langsung secara hematogen pada sinovial. Faktor yang memberi kecenderungan menjadi artritis septik adalah masa bayi, terapi imunosupresif, alkoholisme, penyalahgunaan obat, beberapa penyakit sistemik kronik, hemoglobinopati, defisiensi komplemen an immunoglobulin, gangguan fungsi sel fagosit, artritis kronik, infeksi saluran nafas atas dan kerusakan sendi sebelumnya.

Sekitar 75% pioartrosis nongonokokus disebabkan oleh kokus gram positif, yang paling sering adalah Stafilokokus aureus. Pneumokokus dan Streptokokus -hemolitikus grup A serta Streptokokus viridans ditemukan pada kurang dari separuh bahan pemeriksaan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ashae, R. 2005. http://www.kidsource.com/ASHA/otitis.html. What is Tonsilitis? 2. Gates, G.A. 2005. http://www.nidcd.nih.gov/health/hearing/otitism.asp. Journal of Tonsilitis. 3. Ramsey, D.D. 2003. Tonsilitis 4. Djaafar, Z. 2001. Kelainan Telingan Tengah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: 49-62 http://www.illionisuniv.com/infection/Midear.html.

5. Wikipedia. 2005. http://en.wikipedia.org/wiki/Ear. Wikipedia Ecyclopedia 6. Robertson, J.S. 2004. http://www.emedicine.com/emerg/topic351.htm. Journal of Tonsilitis

Anda mungkin juga menyukai