PENDAHULUAN
Otitis media supuratif kronis (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau
hilang timbul. Penyebab terjadinya otitis media dengan atau tanpa diikuti adanya perforasi
1
membran timpani adalah bakteri. OMSK tipe maligna (bahaya) dan tipe benigna (tenang).
Di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan prevalensi otitis media supuratif kronis sebesar 3%
dari penduduk Indonesia. Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis
media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. OMSK dengan
kolesteatom sering disebut sebagai tipe bahaya yang dapat menginvasi tulang dan
mengakibatkan osteomielitis atau destruksi tulang oleh kolesteatom.2
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik pada pemeriksaan THT terutama
pemeriksaan otoskopi. Mengingat OMSK tipe bahaya seringkali menimbulkan komplikasi
yang berbahaya, maka perlu ditegakkan diagnosis dini. Terapi OMSK tidak jarang
memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering
atau selalu kambuh lagi. Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat
dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe aman atau bahaya.1
Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya komplikasi pada OMSK. Sangat penting
sekali untuk mengetahui anatomi dimana terjadinya infeksi, rute penyebaran dan karakteristik
dari penyakit itu sendiri.1 Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi menjadi 2
yaitu komplikasi intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi intratemporal
meliputi mastoiditis, petrositis, labirinitis, paresis nervus fasialis. Komplikasi intrakranial
terdiri dari abses atau jaringan granulasi ekstradural, tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak,
hidrosefalus otik, meningitis dan abses subdural. Saat terjadi komplikasi, gejala biasanya
berkembang dengan cepat. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan pada pasien OMSK yang dicurigai mengalami komplikasi agar di dapatkan
prognosis yang baik.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.3 Letak Perforasi
Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan tiper atau jenis
OMSK. Perforasi membran timpani dapat ditemukan di daerah sentral, marginal atau atik.
Oleh karena itu disebut perforasi sentral, marginal atau atik. Pada perforasi sentral, perforasi
terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi masih ada sisa membran timpani.
Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau
sulkus timpanikum. Perforasi atik ialah perforasi yang terletak di pars flaksida. 1
3
atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatima pada OMSK dengan perforasi subtotal.
Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya.1
2.5 Diagnosis
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik pada pemeriksaan THT terutama
pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana untuk
mengetahui adanya gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan
pendengaran dapat dilakkan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur (speech
audiometry) dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked respon audiometry) bagi pasien atau
anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada murni. Pemeriksaan
penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari sekret
telinga. 1,2
2.5 Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolsteatoma bertambah besar. Istilah
kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun pada 1838 karena
disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang ternyata bukan. Beberapa istilah lain
yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain adalah : keratoma, squamous epiteliosis,
kolesteatosis, epidermoid kolesteatoma, kista epidermoid, epidermosis. 1,2
4
2.7 Patogenesis
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara
lain adalah teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi. Teori tersebut
akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964)
yang mengatakan kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah, atau
menurut pemahaman penulis; kolesteatoma dapat terjadi oleh karena adanya epitel kulit yang
terperangkap. Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified
squamous epithelium) pada tubuh kita berada pada lokas yang terbuka atau terpapar ke dunia
luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah Cul-de-sac sehingga apabila
terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama maka dari epitel kulit yang
berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk
kolesteatoma.1,2
5
bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung antibiotika yang bersifat
ototoksik. Oleh sebab itu, penulis menganjurkan agar obat tetes telinga jangan diberikan
secara terus menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara
oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin atau eritromisin (bila pasien alergi terhadap
penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena
penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat.1,2
Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan,
maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk
menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi,
mencega terjadinya komplikasi atau kerusakan pendegaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran. Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada,
atau terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu,
misalnya adenoidektomi dan tosilektomi. Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembedahan
yaitu mastoidektomi. Jadi, bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat ialah
dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif
dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan
pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya
dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi.1,2
6
jaringan dan jaringan granulasi. Saat infeksi di telinga tengah dan mastoid tidak teratasi,
edena mukosa terus berlangsung, eksudat meningkat serta terjadi proliferasi kelenjar mukus.
Edema mukosa di tempat yang sempit antara mesotimpanum dan di dalam aditus antara
epitimpanum dengan antrum mastoid menghambat jalur aerasi normal dan mengurangi
oksigenasi dan vaskularisasi. Pada saat yang sama hambatan tersebut juga berlaku untuk
antibiotik dan anti inflamasi untuk mencapai sumber infeksi. Lingkungan seperti ini menjadi
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan organisme anaerob dan proses destruksi
tulang.3
Variasi anatomi juga penting dalam perkembangan komplikasi. Tuba esutachius tidak
hanya berperan penting dalam patogenesis penyakit namun juga berpengaruh terhadap
komplikasi. Edema mukosa tuba merusak fungsi tuba dan menghambar resolusi infeksi.
Faktor-faktor lain seperti integritas tulang diatas nervus fasialis atau dura mempengaruhi
akses infeksi ke struktur nervus dan ruang intrakranial. Keberadaan kolesteatom sering
berkaitan dengan destruksi tulang yang mengekspos dura atau nervus fasialis.1,2
Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi
intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi intratemporal meliputi mastoiditis,
petrositis, labirinitis, paresis nervus fasialis. Komplikasi intrakranial terdiri dari abses atau
jaringan granulasi ekstradural, tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak, hidrosefalus otik,
meningitis dan abses subdural.1,3
Saat terjadi komplikasi, gejala biasanya berkembang dengan cepat. Demam
menandakan terjadinya proses infeksi intrakranial atau selulitis ekstrakranial. Edema dan
kemerahan di belakang telinga menandakan terjadinya mastoiditis yang berhubungan dengan
abses subperiosteal. Nyeri retroorbita berhubungan dengan petrositis. Vertigo dan nistagmus
mengindikasikan adanya labirinitis atau fistula labirin. Paresis nervus fasialis perifer biasanya
ipsilateral dengan telinga yang terinfeksi yang disebabkan oleh OMSK dengan kolesteatom.
Papil edem terjadi akibat adanya peningkatan tekanan intrakranial. Sakit kepala dan letargi
biasanya juga menyertai komplikasi intrakranial. Meningismus berkaitan dengan meningitis
dan kejang biasanya diakibatkan oleh abses otak. Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
pada pasien OMSK yang dicurigai mengalami komplikasi. Diantaranya pemeriksaan
laboratorium darah dan tomografi komputer. Tomografi komputer dapat dilakukan dengan
cepat dan sangat terpercaya dalam menilai telinga tengah, pneumatisasi air sel mastoid dan
adanya komplikasi ke intrakranial. Pemeriksaan penunjang lain yang biasa dilakukan adalah
pungsi lumbal, untuk menilai adanya meningitis. Pungsi lumbal biasanya dilakukan setelah
7
pemeriksaan laboratorium darah dan tomografi komputer yang menggambarkan adanya
komplikasi pada pasien dengan abses otak dan empiema subdural.1
2.11.1 Meningitis
Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang paling banyak terjadi pada pasien
OMSK. Angka kematian akibat meningitis bakterialis cukup tinggi, antara 5-18,75%
terutama pada pasien tua dengan meningitis pneumokokus. Meningitis dapat terjadi melalui
ekstensi langsung melewati tulang yang erosi, saluran yang sudah terbentuk sebelumnya atau
melalui darah (hematogen). Gejala utama meningitis adalah sakit kepala berat, demam tinggi,
fotofobia dan perubahan status mental. Tingkat kesadaran pasien dapat berbeda tergantung
derajat penyakit. Pada kasus yang berat biasanya terjadi penurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk yang dapat disertai dengan tanda Kernig dan
Brudzinski. Pemeriksaan funduskopi terkadang memperlihatkan edema papil. Pungsi lumbal
merupakan modalitas utama untuk pemeriksaan cairan serebrospinal pada pasien meningitis.
Sebelym pemeriksaan punsgi lumval, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer, untuk
melihat adanya abses otak, serebritis atau empiema subdural. Pungsi lumbal menjadi
kontraindikasi pada keadaan diatas. Analisis cairan serebrospinal pada pasien meningitis
menunjukkan kadar gula menurun dan protein yang tinggi.2,3
Pemberian antibiotik spektrum luas dengan dosis maksimal merupakan modalitas
utama dalam penatalaksanaan meningitis. Antibiotik diberikan selama 7-15 hari. Antibiotik
ditujukan untuk kuman gram negatif atau positif dan kuman anaerob. Kortikosteroid
intravena juga dapat membuat prognosis jadi lebih baik terutama bila diberikan segera
dengan dosis optimal.mastoidektomi emergensi dalam 24 jam tidak dianjurkan lagi. Operasi
emergensi dilakukan pada pasien dengan mastoiditis atau dengan infeksi berat, gejala
neurologis yang tidak membaik dalam 48 jam setelah terapi inisial dan terapi antibiotik dosis
tinggi. Operasi mastoidektomi untuk mengangkat kolesteatom dilakukan apabila kondisi
neurologis telah stabil.2,3
8
atau kolesteatom. Paresis yang disebabkan oleh kolesteatom, letak lesinya berbeda-beda.
Sebagian besar penekanan nervus terjadi pada segmen timpani. Letak lesi lainnya dapat
terjadi pada regio ganglion genikulatum, segmen mastoid atau pada kanal auditori interna.2,3
Paresis nervus fasialis merupakan paresis otot-otot wajah. Pasien tidak dapat atau
kurang dapat menggerakkan otot wajah sehingga wajah tampak tidak simetris. Paresis nervus
fasialis yang disebabkan oleh kolesteatom merupakan kasus yang jarang terjadi, sekitar 1-3%.
Kejadiannya bisa tiba-tiba atau bertahap, namun lebih sering terjadi secara tiba-tiba. Hal ini
disebabkan oleh devaskularisasi, fibrosis atau gangguan pada nervus fasialis. Mekanisme
terjadinya paresis nervus fasialis akibat OMSK belum diketahui secara jelas. Namun proses
inflamasi langsung yang melibatkan kanal falopi dan kompresi akibat edema dipercaya
sebagai patofisiologi terjadinya paresis. Kolesteatom sendiri dapat menyebabkan gangguan
langsung pada nervus fasialis. Derajat paresis nervus fasialis ditetapkan berdasarkan
pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen (%). Pemeriksaan penurunan fungsi
nervus fasialis juga dapat dilakukan dengan metode pemeriksaan menurut House
Brackmann.2,3
Paresis nervus fasialis akibat komplikasi OMSK dengan atau tanpa kolesteatom
ditatalaksana dengan kombinasi antibiotik dan tindakan bedah, termasuk mastoidektomi
dengan atau tanpa dekompresi nervus. Keberhasilan dekompresi nervus fasialis tergantung
kepada kondisi awal nervus tersebut sebelum tindakan operasi, apakah nervus sudah
mengalami degenerasi atau belum. Menurut penelitian Kumar dan Thakar paresis pada
nervus fasialis yang tidak komplit mempunyai prognosis yang baik. Selain itu prognosis juga
dipengaruhi oleh onset terjadinya paresis dan ada atau tidaknya kolesteatom.2,3
2.11.3 Mastoiditis
Rongga telinga tengah dan rongga mastoid berhubungan langsung melalu aditus ad
antrum. Oleh karena itu infeksi kronis telinga tengah yang sudah berlangsung lama biasanya
disertai infeksi kronis di rongga mastoid. Infeksi rongga mastoid dikenal dengan mastoiditis.
Beberapa ahli menggolongkan mastoiditis ke dalam komplikasi OMSK. 5
Sistem mastoid air cell dan telinga tengah saling berhubungan, sehingga semua proses
inflamasi yang terjadi di telinga tengah akan mengenai mastoid. Mastoid yang disebabkan
OMSK merupakan perluasan dari proses infeksi yang menetap di telinga tengah. Tidak hanya
di struktur mastoidnya saja tapi bisa ke struktur lain di sekitar mastoid.6 Gejala utama dari
mastoiditis adalah adanya triad symptoms yaitu otalgia, nyeri post-aurikular, dan demam.
Salah satu gejala yang paling sering adalah post- auricular tenderness yang dijumpai pada
9
80% kasus mastoiditis. Selain itu penonjolan pinna, eritema post-auricular, dan
pembengkakan merupakan gejala klasik yang juga dapat dijumpai.7
CT-scan dan MRI merupakan merupakan pilihan untuk penegakan diagnosa.
Penatalaksanaan mastoiditis dapat secara konservatif yaitu dengan memberikan antibiotik
intravena dan miringotomi baik dengan atau tidak digunakannya tympanostomy tube
placement. Kultur bakteri penyebab mastoiditis harus dilakukan untuk memberikan
pengobatan yang lebih baik dengan antibiotik yang sesuai. Mastoidektomi dilakukan apabila
adanya kerusakan tulang yang parah atau karena tidak adanya respon pengobatan yang baik
selama lebih dari 2 minggu penanganan konservatif. Tujuan dari pembedahan tersebut adalah
debridement tulang yang nekroktik dan juga untuk mencegah perluasan infeksi ke
intrkranial.1
2.11.4 Petrositis
Petrositis dikenal juga sebagai petrous apicitis adalah inflamasi di bagian petrous dari
tulang temporal. Kira – kira sepertiga dari populasi manusia, tulang temporalnya mempunyai
sel – sel udara sampai ke apeks os.petrosus. Terdapat beberapa cara penyebaran infeksi dari
telinga tengah ke os. Petrosum. Yang sering ialah penyebaran langsung ke sel – sel udara
tersebut. Petrositis bukan komplikasi yang sering dari OMSK, apabila seseorang terdiagnosa
petrositis harus dicurigai pada pasien OMSK tersebut terdapat keluhan diplopia, karena
kelemahan N.VI, dan sering kali disertai dengan rasa nyeri di daerah parietal, temporal,
oksipital, oleh karena terkenanya N.V, ditambah dengan terdapatnya otore yang persisten,
terbentuklah suatu sindrom yang disebut dengan sindrom Gradenigo.4,8
Petrous apicitis sebenarnya adalah mastoiditis yang terjadi di petrous apex. Sangat
jarang ditemukannya petrositis ini karena kebanyakan manusia petrous ini menjadi sklerotik
10
dan sangat sedikit yang tetap terdapat air cell. Petrositis berkembang dari infeksi mastoid,
tetapi mastoid dapat respon terhadap pengobatan atau tindakan pembedahan tanpa resolusi
dari infeksi di apeks petrous, sehingga terdapat pemisahan infeksi antara mastoid dan apeks
petrous.1
Kecurigaan terhadap petrositis terutama bila terdapat nanah yang keluar terus menerus
dan rasa nyeri yang menetap pasca mastoidektomi. Pengobatan petrositis ialah operasi serta
pemberian antibiotika protokol komplikasi intrakranial. Antibiotik dosis tinggi baik intravena
maupun oral merupakan pilihan terapi petrositis. Pada waktu melakukan operasi telinga
tengah dilakukan juga eksplorasi sel – sel udara tulang petrosum serta mengeluarkan jaringan
patogen.4
2.11.5 Labirinitis
Invasi bakteri ke labirin selalu diikuti hilangnya kemampuan mendengar dan
keseimbangan. OMSK dapat menyebabkan labirinitis dikarenakan lemahnya membran oval
window sehingga dapat menembus ke labirin. Tidak diketahui apakah labirinitis
menyebabkan meningitis atau meningitis yang menyebabkan labirinitis, tetapi kedua
komplikasi OMSK tersebut dapat terjadi secara bersamaan.1
Penyebaran bakteri secara langsung ke labirin dapat melaui fistula kanalis
semisirkularis lateral yang disebabkan kolesteatoma. Diagnosa dapat ditegakkan secara klinis
pada 30 sampai 60 menit dari awal infeksi, dengan gejala muncul tinnitus dan pusing seperti
pernyakit vertigo, pucat, diaphoresis, nausea dan muntah. Gejala vestibular dapat berlangsung
paling tidak 8 sampai 12 jam bahkan jika pasien dalam keadaan diam dan menerima
antiemetik intravena. Gejala nistagmus yang bergerak berlawanan dengan arah telinga juga
muncul karena vertigo. Setelah beberapa jam, vertigo spontan dan nistagmus akan mereda
secara bertahap. Perbaikan gejala simtomatik akan membaik dalam beberapa hari, setiap
gerakan kepala dapat mencetuskan vertigo dan nausea. Lebih dari 2 -3 minggu akan terjadi
kompensasi sistem saraf pusat, sehingga sistem keseimbangan akan menjadi normal kembali,
tinnitus juga akan mereda tetapi seluruh kemampuan pendengaran akan tetap hilang.4
Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis umum (general),
dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labinitis yang terbatas
(sirkumskripta) menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja. Labirinitis terjadi
oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfa. Terdapat dua bentuk labirinitis, yaitu
labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa
11
difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi ke dalam labirinitis
supuratif akut difus dan labirinitis supuratif akut sirkumskripta.1
Pada labirinitis serosa, toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang,
sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga terjadi
kerusakan yang ireversibel, seeperti fibrosis dan osifikasi. Prinsip terapi pada labirinitis
adalah mencegah terjadinya progresifitas penyakit dan kerusakan vestibulokoklea yang lebih
lanjut. Serta penyembuhan penyakit telinga yang mendasarinya. Pada kedua bentuk labirinitis
itu operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang –
kadang diperlukan juga drainase nanah dari labirin untuk mencegah meningitis. Pemberian
antibiotika adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan OMSK dengan atau tanpa
kolesteatoma.4
Pengawasan yang ketat dan terus menerus harus dilakukan untuk mencegah terjadinya
perluasan ke intrakranial dan disamping itu dilakukan tindakan drainase dari labirin.
Antibiotika diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi. Jika tanda rangsang
meningeal dijumpai maka tindakan pungsi lumbal harus segera dilakukan.9
12
Komplikasi subperiosteal akibat otitis media kronik lebih sering disebabkan
karena adanya blokade aditus ad antrum oleh jaringan granulasi dan kolesteatom.
Diagnosis abses subperiosteal ditegakkan berdasarkan gejala dan pemeriksaan klinis,
berupa keluhan otalgia, demam, dan otore yang menetap disertai dengan pembengkakan
di belakang telinga. Riwayat otore perlu ditelusuri untuk membedakan latar belakang
penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan klinik ditemukan kelainan di daerah
retroaurikular, liang telinga, membran timpani hingga keadaan mukosa telinga tengah.
Adanya pembengkakan di retroaurikular, sulkus retroaurikular yang menghilang dan
aurikula yang terdorong ke depan dan bawah. Pada perabaan didapat fluktuasi yang bila
dilakukan aspirasi akan di daparkan pus. Pada liang telinga ditemukan pus, jeingan
granulasi, kadangkala terlihat penurunan liang telinga (saging). Besar dan lokasi perforasi
membran timpani juga perlu diketahuo untuk menentukan jenis otitis media. Mukosa
telinga tengah juga akan mengalami perubahan, dapat berupa udem, hiperemis, jaringan
granulasi maupun jaringan kolesteatom. Keadaan umum pasien sering diikuti tangda-
tanda infeksi seperti demam maupun rasa lemah.10
Pemeriksaan audiometri untuk mengetahui seberapa parah terjadi penurunan
pendengaran dan jenis kerusakan yang terjadi. Pemeriksaan foto polos mastoid posisi
Schuller, biasa digunakan untuk konfirmasi adanya mastoiditis, ada tidaknya destruksi
tulang, dan gambaran mastoid air cell. Computed tomographi sebaiknya dilakukan secara
dini untuk menentukan jenis dari otitis media, mendeteksi ada tidaknya destruksi,
pembentukan pus, dan adanya infiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan CT Scan merupakan
pemeriksaan gold standart pada otitis media yang diduga dengan komplikasi. Hal ini
sebaiknya dilakukan 24 jam kedatangan pertama dengan potongan axial dan koronal
sebesar 1 mm/sclies menggunakan resolusi 30-50 mA. Pemeriksaan darah lengkap, untuk
mengetahui adanya infeksi, keadaan umum pasien maupun respon terapi yang telah
diberikan. Pemeriksaan bakteriologis, penting untuk mengetahui spektrum kuman
penyebab. Bahan kultur dapat diambil langsung melalui pungsi aspiras, insisi drainase,
maupun operasi dan penderita sebaiknya belum mendapat pengobatan antibiotik.10
Penatalaksanaan yang dilakukan pertama kali dilakukan adalah drainase abses dan
eradikasi kuman serta jaringan patologis di ruang mastoid dan kavum timpani, dilakukan
dengan melakukan operasi mastoidektomi. Pemberian antibiotik harus segera diberikan
seperti Ofloksasin dan Siprofloksasin. Bila diduga ada kuman anaerob maka dapat
diberikan Metronidazol, Klindamisin atau Kloramfenikol.10
13
Gambar 4. CT-Scan pasien dengan selulitis preseptal disertai abses subperiosteal10
15
mata ke arah sisi lesi otak. Keseluruhan gejala klinis abses subdural akan berkembang
secara sedikit demi sedikit dalam beberapa jam dan paling lama 10 hari.4
Pungsi lumbal perlu untuk membedakan empiema subdural dengan meningitis.
Pada empiema subdural pada pemeriksaan likuor serebrospinal kadar protein biasanya
normal dan tidak ditemukan bakteri, sedangkan pada abses ekstradural nanah keluar pada
waktu operasi mastoidektomi, pada empiema subdural nanah harus dikeluarkan secara
bedah saraf sebelum dilakukan operasi mastoidektomi.1
Penatalaksanaan yang tepat dan cepat dapat menurunkan angka kematian akibat
empiema subdural. Terapi konservatif berupa pemberian antibiotik dosis tinggi dengan
spektrum luas atau kombinasi untuk kuman aerob dan anaerob dapat memberikan hasil
yang baik. Tindakan seperti burr hole ataupun kraniotomi merupakan pilihan terapi
pembedahan yang dapat dilakukan oleh bedah saraf. Sedangkan tindakan mastoidektomi
dapat dilakukan bersamaan ataupun setelah evakuasi pus, tetapi tidak boleh ditunda
terlalu lama.11
16
2.11.8 Trombofleibitis Sinus Lateralis
Trombosis sinus lateralis (TSL) adalah trombosis yang mengenai sinus venosus
lateralis. Trombisis sinus lateralis atau trombosis sinus sigmoid merupakan salah satu
komplikasi intrakranial yang ekstradural dari otitis media. Jaringan yang nekrosis tersebut
akan menjalar ke tunika intima dan menyebabkan fibrin, sel darah dan platelet tertarik ke
jaringan nekrosis tersebut sehingga terbentuk trombus. Trombus tersebut dapat terinfeksi,
membesar dan menutup aliran darah menuju sinus. Fragmen-fragmen akibat trombus
yang pecah menyebabkan semburan emboli yang infeksius. Selain itu juga karena
perluasan infeksi melalui v.emisaria mastoid dan sebaliknya TSL juga dapat meluas ke
v.emisaria mastoid.1,4
Demam yang tidak dapat diterangkan penyebabnya merupakan tanda pertama dari
infeksi pembuluh darah. Pada mulanya suhu tubuh turun naik, tetapi pada saat sudah
memberatnya penyakit, maka didapatkan suhu tubuh yang naik dan turun dengan sangat
curam disertai dengan menggigil, kurva demam pada trombosis sinus lateralis berupa
tiang pancang atau picket fence fever. Hal ini menandakan adanya sepsis. Rasa nyeri
biasanya tidak jelas kecuali apabila sudah ada abses perisinus. Kultur darah biasanya akan
positif, terutama bila diambil pada saat demam. Tanda Griesinger yang positif berupa
eritema, edema dan perlunakan bagian posterior prosesus mastoid merupakan tanda
patognomonik staut TSL. Saraf kranialis N. IX, X, dan XI dapat mengalami parese akibat
adanya bekuan darah yang menekan bulbus jugularis.12
Pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan antara lain kultur dan uji sensitivitas
cairan purulen, hitung leukosit dan hitung jenis serta kultur darah. Pungsi lumbal juga
seharusnya dilakukan kecuali bila ada cenderungan terjadi herniasi uncus. Tes
Queckenstedt atau Tobey-Ayer yang positif, merupakan tanda patognomonis pada
kelainan ini. pemeriksaan ini direkomendasikan bilamana dilakukan pungsi lumbal untuk
suatu kemungkinan infeksi intrakranial. Tes ini mengukur tekanan CSS dan mengamati
perubahannya pada saat penekanan satu atau kedua v.jugularis interna di leher. Tes ini
dilakukan dengan menusukkan jarum spinal ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian
manometer diamati dan tekanan awal CSS diukur. Pada penderita TSL, tekanan pada vena
yang tersumbat menyebabkan salah satu yaitu tidak terjadi peningkatan atau sedikit
meningkat sebesar 10-20 mmHg. 12
Pemeriksaan radiologi dipertimbangkan untuk membantu menegakkan diagnosis
TSL, sedangkan diagnosis pasti dibuat saat durante operasi. Dapat dilakukan CT Scan
dengan kontras atau MRI yang akan menunjukkan pengurangan aliran darah berupa aliran
17
kosong pada sisi yang tersumbat. Pemeriksaan vaskular termasuk arteriografi dan
venojugulogram sangat bermanfaat dan spesifik, akan tetapi mempunyai risiko
terlepasnya trombus, meskipun penggunaannya belum dilaporkan adanya komplikasi.12
Terapi medikamentosa yang diberikan adalah antibiotik intravena, penggunaan
antikoagulan pada kasus TSL masih kontroversi, namun beberapa klinisi masih
menggunakan antikoagulan untuk mencegah meluasnya trombus. Pengobatan harus
dilakukan secara pembedahan dini, membuang sumber infeksi di sel-sel mastoid,
membuang tulang yang berbatasan dengan sinus (sinus plate) yang nekrotik, atau
membuang dinding sinus yang terinfeksi atau nekrotik. Jika sudah terbentuk trombus
harus juga dilakukan drainase sinus dan mengeluarkan trombus. Sebelum itu dilakukan
dulu ligasi vena jugulare interna untuk mencegah trombus terlepas ke paru dan ke dalam
tubuh lain.1,4 Pada kasus yang tidak diobati, penyakit ini memiliki angka mortalitas sekitar
100%. Adanya intervensi bedah mampu mengurangi angka mortalitas dari 100% menjadi
30%. 12
18
anak. Pembrian metronidazole 3 x 400-600 mg/hari juga dapat dipertimbangkan
Pemberian antibiotik dosis tinggi yang dapat menembus sawar darah otak diberikan
secara intravena selama 7-15 hari dan dilakukan pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga
atau cairan serebrospinal.13,14
Diberikan juga furosemid dan manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial
namun untuk terapi definitifnya adalah mastoidektomi dengan mengangkat jaringan
granulasi ekstradural. Dilakukan pengawasan tajam penglihatan dan lapang pandang pada
hidrosefalus otik. Untuk terapi operatif sebaiknya dilakukan pada stadium dini
komplikasi. Tindakan mastoidektomi diperlukan pada kasus abses ekstradural atau
jaringan granulasi, trombofleibitis sinus sigmoid dan hidrosefalus otitik. Penanganan
medikamentosa perlu diteruskan setelah dilakukan penanganan secara operatif. 13,14
19
BAB III
KESIMPULAN
Otitis media supuratif kronis (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau
hilang timbul. Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media
supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Diagnosis OMSK dibuat
berdasarkan gejala klinik pada pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi. Mengingat
OMSK tipe bahaya seringkali menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu
ditegakkan diagnosis dini.
Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi
intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi intratemporal meliputi mastoiditis,
petrositis, labirinitis, paresis nervus fasialis. Komplikasi intrakranial terdiri dari abses atau
jaringan granulasi ekstradural, tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak, hidrosefalus otik,
meningitis dan abses subdural. . Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang perlu dilakukan pada pasien OMSK yang dicurigai mengalami komplikasi agar di
dapatkan prognosis yang baik.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti R. Kelainan Telinga Tengah, Dalam: Soepardi EA. Buku Ajar
THT-KL. Edisi 6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.2007.h.66-77.
2. Agustaf HA, Debi RS, Askaroellah A. Profil Penderita Otitis Media Supuratif Kronis.
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FKUSU. Sumatera Utara.2012. h. 567-71.
3. Tri YSJ, Yan E, Rossy R. Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan
Komplikasi Meningitis dan Paresis Nervus Fasialis Perifer. Bagian Ilmu Kesehatan THT-
KL FKUNAND. Sumatera Barat.2018. h. 88-95.
4. Harker LA. Cranial and intracranial complications of acute and chronic otitis media. In:
Snow JB, Ballenger JJ, eds. Otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed.
Hamilton: BC Decker Inc, 2003.h.313-4.
5. Adams G, et al. Boeis : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2012.h.107-115
6. Arts A & Adams M, 2014. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media,
in Bailey Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th Edition, Lippincott William&
Wilkins, p.2399-409.
7. James A. Pfaff and Gregory P. Moore. 2014. Mastoiditis in Rosen's Emergency Medicine
, Eighth Edition. Chapter 72.
8. Gross,N.D., and McMenomey,S.O., 2010. Aural Complication of Otitis Media. Available
from: http://books.google.co.id/books?id=IvYbOyS6_i0C&pg=PA435&hl=id&source.
9. Aboet A. Labirinitis. Majalah Kedokteran Nusantara vol 39. Departemen THT-KL
FKUSU. Sumatera Utara. 2006.h. 294-6
10. Lumban MB, Soepriyadi. Abses Subperiosteal Sebagai Komplikasi Otitis Media
Supuratif Kronik Maligna. Jurnal THT-KL Vol2. FK UNAIR. Surabaya.2009.h. 115-129
11. Edward Y, Heru KA. Penatalaksanaan Empiema Subdural Sebagai Komplikasi Otitis
Media Supuratif Kronik. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FKUNAND. Sumatera
Barat.2018. h.1-9.
12. Safitri W, Titiek HA. Diagnosis Penatalaksanaan Trombosis Sinus Lateralis. Jurnal THT-
KL Vol.5. FK UNAIR. Surabaya.2012.h.114-128.
13. Barnes L. J. Management of otitic hydrocephalus. California Medicine. Vol 58:4. 2004.h.
279-287.
14. Lee GT. Otitic Hydrocephalus. Singapore Medical Journal. Vol 27:1. 2003.h. 77-79.
21
22