Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

Commotio Cerebri

Aziza

1765050159

Pembimbing :

dr. Marijanty Learny, Sp.S

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Periode 24 februari – 28 maret 2020

Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu - Jakarta Selatan

0
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul atau
tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan. Cedera
percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-
counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan
saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan
pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan
massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan
tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam
tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa
terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini
disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di
dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat
fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan). Cedera
kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia
lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah),
sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah di atas, 10 % penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari
pasien yang sampai di rumah sakit, 80 % dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10%
sebagai cedera kepala sedang, dan 10 % sisanya di kategorikan sebagai cedera kepala berat.2
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada pasien.

STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
• Nama : Ny. R
• Jenis kelamin : Perempuan

1
• Umur : 45 tahun
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Pendidikan : Tamat SMA
• Status : Menikah
• Agama : Islam
• Alamat : Ps. Minggu, Jakarta Selatan
• Bangsa : Jawa
• Warganegara : Indonesia
• Tanggal masuk RS : 25 Februari 2020

2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 26 Februari 2020
a. Keluhan Utama :
Nyeri kepala bagian depan

b. Keluhan Tambahan :
Luka terbuka di gusi bawah

c. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Minggu dengan keluhan nyeri kepala sejak
1 jam SMRS. Pasien mengalami kecelakaan motor 1,5 jam SMRS, pasien tidak
menggunakan helm saat mengendarai motor, dan terjatuh ke sisi kanan masuk ke
dalam selokan. Pasien mengatakan nyeri kepala dirasakan terus menerus dan
terasa seperti berputar. Pasien mengatakan sempat mengalami kehilangan
kesadaran selama ± 20 menit. Setelah sadar pasien mengalami muntah 2 kali yang
berisi makanan, muntah diawali dengan mual terlebih dahulu.
Pasien sebelumnya sudah dibawa ke RS Zahirah, sudah dijahit luka robek
dikepala kiri pasien, pasien juga mengeluhkan adanya luka robek di gusi bawah
pasien. Pasien mengatakan tangan kanan sempat terasa kesemutan sejak 1 jam
SMRS, terasa terus menerus dan tidak menghilang meski sudah beristirahat,
namun saat ini keluhan sudah membaik.
Tidak ada keluhan penglihatan buram, tidak ada cairan keluar dari telinga
pasien. Kelemahan anggota tubuh disangkal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat alergi obat (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat stroke (-)

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat alergi obat (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat sakit jantung (-)

2
Riwayat stroke (-)

f. Riwayat Pola Hidup dan Kebiasaan


Merokok (-)
Minum alkohol (-)
Penggunaan narkoba (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 26-02-2020)


a. Tanda Vital
a. Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
b. GCS : E4M6V5
c. Kesadaran : Composmentis
d. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
e. Nadi : 78x/menit, reguler
f. Suhu Badan : 36,6oC
g. Pernafasan : 20x/menit, reguler.
b. Status Generalis
a. Kepala : Normocephali
b. Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
c. Leher :
i. KGB tidak teraba membesar
ii. Tiroid :
1. Inspeksi : tampak adanya nodul soliter region colli anterior
sinistra
2. Palpasi : nyeri (-) ukuran 5x4x2 cm
3. Auskultasi : Bruit (-)
d. Jantung
i. Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat
ii. Palpasi: iktus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicula sinistra
iii. Perkusi: Batas jantung kanan: ICS 4 linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri: ICS 5 line midclavicula sinistra
iv. Auskultasi: bunyi jantung I dan II normal, regular
e. Paru
i. Inspeksi: pergerakan dinding dada simetris
ii. Palpasi: VF simetris
iii. Perkusi: sonor/sonor
iv. Auskultasi: :BND vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
f. Abdomen
i. Inspeksi: perut tampak mendatar
ii. Auskultasi: BU (+), 5x/menit
iii. Perkusi: timpani, NK (-)
iv. Palpasi: supel, NT (-)
g. Kulit dan kelamin : dalam batas normal
h. Extremitas : akral hangat, edema (-), CRT <2 detik
c. Status Lokalis
a. Regio frontalis sinistra : tampak luka tertutup verban, rembesan darah (-)
b. Regio buccal : tampak adanya luka robek berukuran 5x3 cm, perdarahan
aktif (-)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

3
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk -
Brudzinsky I -
Brudzinsky II -
Kanan Kiri
Kernig >135 >135
Laseque >70 >70
b. Nervus Cranialis
a. N.I :
 Cavum Nasi : Lapang
 Tes Penghidu : Normal
b. N.II :
 Visus kasar :
o OD : 6/6
o OS 6/6
 Lapang pandang : Luas
 Tes buta warna : Normal
 Funduskopi : Tidak dilakukan
c. N.III , N.IV , N.VI
 Sikap bola mata : ortoforia – ortoforia
 Ptosis : -/-
 Strabismus : -/-
 Enoptalmus : -/-
 Eksoptalmus : -/-
 Diplopia : -/-
 Deviasi konjugae : -/-
 Pergerakan bola mata : normal ke segala arah
 Pupil :
o Bentuk : Bulat / bulat
o Diameter : 3 mm / 3 mm
o Refleks cahaya langsung : +/+
o Refleks cahaya tidak langsung : +/+
o Reaksi akomodasi : normal
o Reaksi konvergensi : normal
d. N.V
 Motorik :
o Buka tutup mulut : normal
o Gerakan rahang : Baik / Baik
o Menggigit : Baik / Baik
 Sensorik :
o Rasa nyeri : +/+
o Rasa raba : +/+
o Rasa suhu : tidak dilakukan
 Refleks :

4
o Refleks kornea : tidak dilakukan
o Refleks maseter : tidak dilakukan
e. N.VII
 Sikap wajah : Simetris
 Mimik : Biasa
 Angkat alis : +/+
 Kerut dahi : +/+
 Lagoftalmus : -/-
 Menyeringai : Baik
 Chovstek :-
f. N.VIII
 Vestibular
o Vertigo : Negatif
o Nistagmus : -/-
 Cochlear
o Test Rinne : +/+ (tuli sensorineural -)
o Webber : Tidak ada lateralisasi (tuli konduktif -)
o Schwabach : Sama dengan pemeriksa
g. N.IX ; N.X
 Arkus faring : Simetris kanan kiri
 Palatum molle : Intak
 Uvula : Ditengah
 Disartria :-
 Disfagia :-
 Disfonia :-
 Refleks faring : Tidak dilakukan
h. N.XI
 Mengangkat bahu : Baik/baik
 Menoleh : Baik/baik
i. N.XII
 Pergerakan lidah : Lidah di tengah
 Atrofi :-
 Fasikulasi :-
 Tremor :-
c. Sistem motorik tubuh
a. Derajat kekuatan otot : 5555 | 5555
5555 | 5555
b. Tonus otot : normotonus
c. Trofi otot : eutrofi
d. Gerakan involunter :-
d. Refleks fisiologis
a. Biseps : N/N

5
b. Triseps : N/N
c. Kremaster : tidak dilakukan
d. Patella : N/N
e. Tumit : N/N
e. Refleks patologis
a. Hofman Trommer : -/-
b. Babinski : -/-
c. Chaddock : -/-
d. Oppenheim : -/-
e. Gordon : -/-
f. Schaefer : -/-
g. Gonda : -/-
h. Rossolimo : -/-
i. Mendel Behtrew : -/-
j. Klonus lutut : -/-
k. Klonus kaki : -/-

f. Koordinasi
a. Statis
i. Duduk : tidak dilakukan
ii. Berdiri : tidak dilakukan
iii. Berjalan : tidak dilakukan
iv. Test romberg : tidak dilakukan
v. Test romberg dipertajam : tidak dilakukan
b. Dinamis
i. Telunjuk telunjuk : normal
ii. Telunjuk hidung : normal
iii. Tumit lutut : tidak dilakukan
g. Sensibilitas
a. Eksteroseptif
i. Rasa raba : tidak dilakukan
ii. Rasa nyeri : tidak dilakukan
iii. Rasa suhu : tidak dilakukan
b. Propioseptif
i. Rasa getar : tidak dilakukan
ii. Rasa gerak : tidak dilakukan
iii. Rasa sikap : tidak dilakukan
h. Fungsi otonom
a. Miksi : Inkontinensia (-)
b. Defekasi : Inkontinensia (-)
i. Fungsi Luhur
a. Memori : baik
b. Bahasa : baik
c. Kognitif : baik
d. Afek dan emosi : serasi
e. Visuospasial : tidak dilakukan
4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Darah perifer lengkap

6
a. Hemoglobin 12.7 g/dL | 11.7 - 15.5 g/dL
b. Hematokrit 36% | 35-47%
c. Leukosit 14.8 10^3/uL | 3.6 - 11.0 10^3/uL
d. Trombosit 196 10^3/uL | 150 – 440 10^3/uL
e. Eritrosit 4,27 10^6/uL | 4.40 - 5.90 10^6/uL
b. Nilai eritrosit rata rata
a. MCH 30 pg | 26-34 pg
b. MCHC 35 g/dl | 32-36 g/dl
c. MCV 85 fl | 80-100 fl
c. Hitung Jenis
a. Basofil 0% | 0-1%
b. Eosinofil 0% | 2-4%
c. Neutrofil batang 2% | 3-5%
d. Segmen 91% | 50-70%
e. Limfosit 5% | 25-40%
f. Monosit 2% | 2-8%
d. Kimia darah
a. GDS 131 mg/dl | 70-180 mg/dl

5. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
a. Rontgen Thorax AP
a. Cor dan Pulmo dalam batas normal.
b. Skeletal intak.
b. CT Scan Brain Non Kontras
a. Pembengkakan jaringan lunak di daerah frontalis kiri.
b. Tidak tampak perdarahan epidural, subdural, subarachnoid maupun
intraparenkimal cerebri dan cerebelli saat ini. tidak tampak fraktur pada tulang
calvaria.
6. RESUME
• Ny. R, perempuan, 45 tahun, datang ke IGD RSUD Pasar Minggu dengan keluhan
nyeri kepala sejak 1 jam SMRS. Nyeri kepala dirasakan terus menerus dan terasa
seperti berputar. Pasien mengatakan sempat mengalami kehilangan kesadaran selama
± 20 menit setelah mengalami kecelakaan motor 1.5 jam SMRS, pasien tidak
menggunakan helm, dan posisi terjatuh ke sisi kanan masuk kedalam selokan. Setelah
sadar pasien mengalami muntah 2 kali yang berisi makanan, muntah diawali dengan
mual terlebih dahulu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
a. Tanda Vital
a. Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
b. GCS : E4M6V5
c. Kesadaran : Composmentis
d. Tekanan Darah : 120/90 mmHg
e. Nadi : 78x/menit, reguler
f. Suhu Badan : 36,6oC
g. Pernafasan : 20x/menit, reguler.
b. Status Generalis : dalam batas normal
c. Status Lokalis :
a. Regio frontalis sinistra : tampak luka tertutup verban, rembesan darah
(-)

7
b. Regio buccal : tampak adanya luka robek berukuran 5x3 cm,
perdarahan aktif (-)
d. Status neurologis : dalam batas normal
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan :
a. Laboratorium :
a. Leukosit 14.8 10^3/uL | 3.6 - 11.0 10^3/uL
b. Hitung jenis neutrophil segmen 91% | 50-70%
c. Hitung jenis limfosit 5% | 25-40%
b. Radiologi
a. Rontgen Thorax : cor pulmo dalam batas normal, skeletal intak.
b. CT-Scan Brain non kontras : pembengkakan jaringan lunak daerah
frontalis kiri

7. DIAGNOSIS KERJA
a. Diagnosis klinis :
i. Vulnus laceratum regio frontalis sinistra
ii. vulnus laceratum regio buccal
iii. struma nodusa colli anterior sinistra
iv. Leukositosis reaktif
b. Diagnosis topis : Commotio cerebri
Bacterial infection
Struma Nodusa non Toxic
c. Diagnosa etiologi : Cedera kepala ringan

8. PENATALAKSANAAN
a. IGD
i. Jaga patensi jalan nafas
ii. Pasang collar neck
iii. IVFD NaCl 0.9% 500c/12 jam
iv. Inj. Paracetamol 1 gr IV
v. Inj. Tetagam 1 amp IM
vi. Inj. Ranitidine 2x50 mg IV
vii. Inj. Ketorolac 3x30mg IV
viii. Inj. Ceftriaxone 1x2gr IV
ix. Inj. Citicoline 2x1 gr IV
x. Inj. Ondansetron 3x4 mg IV
xi. Cek Lab
xii. Rontgen Thorax
xiii. CT Brain non Kontras
xiv. Konsul dr. Learny, Sp.S
xv. Konsul dr. Semi, Sp.BM
b. Rawat Inap
i. IVFD Asering 16 tpm
ii. Inj Ranitidine 2 x 50 mg (IV)
iii. Inj. Ondancentron 3 x 4 mg (IV)

8
iv.
Inj. Citicolin 2 x 1 gr (IV)
v.
Inj. Ceftriaxone 2 x 2 gr (IV)
vi.
Inj. Ketorolac 3 x 30mg (IV)
vii.
Kapsul racik nyeri 3 x 1 (PO)
1. Paracetamol 300 mg
2. Natrium diclofenak 200mg
3. Diazepam 1 mg
viii. Betahistin 3 x 12 mg
9. PROGNOSA
a. Ad vitam : ad bonam
b. Ad functionam : ad bonam
c. Ad sanationam : ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi


setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya.1 Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian
dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas.2
B. Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak
dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu
jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan bebas, yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan
lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh darah besar yang
bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan
kehilangan darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik
yang mengandung vena emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa
infeksi dari kulit sampai ke dalam tengkorak.2

9
Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.
Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh
tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam
disebut tabula interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan
tertimbun dalam ruang epidural.
Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater,
arakhnoid, dan pia mater. Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak
elastis dan melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak.

10
Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.
Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3) membentuk
periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a. Meningea
media yang bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna. Arakhnoid adalah
membran fibrosa halus dan elastis, membran ini tidak melakat dengan dura mater,
ruangan antara kedua membran disebut ruang subdural. Vena-vena otak yang
melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah
sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala. Diantara arakhnoid dan pia mater
terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan mendalam pada daerah tertentu dan
memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Pia mater adalah membran halus yang
memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan satu-satunya lapisan
meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.

C. Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi
primer. Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang
tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam
dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari
fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah
temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea
11
media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung,
mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga
tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal
lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak,
hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara
langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya
akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang
hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di daerah
frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra
serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang
otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan
ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah
dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan
tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang
mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak
otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak.
Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan
refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf
V biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya
berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat
segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan
lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala,
misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan
salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang
didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma
sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari
trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi
karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian
ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.

12
Gambar 3: Patofisiologi cedera kepala.

D. Klasifikasi Cedera Kepala

13
Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala.

14
a. Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan
penetrans atau terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk
membedakan titik pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar dapat
dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah
satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang.
Sekalipun demikian, untuk kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup
biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan
cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan denganluka tembak dan luka
tusuk.
i. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak
menusuk otak. Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan
pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustachius.
Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga
diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan
dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak
tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat
dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda
klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
 Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid )
 Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
 Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma
langsung )
 Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
 Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi,
meningitis dan perdarahan.

15
Gambar 5: Tanda Cedera Kepala.

ii. Trauma kepala tertutup


Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan
laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat
sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan
dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak
disertai robekan duramater. Trauma kepala dapat menyebabkan cedera
pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan
isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada
aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti
dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan
goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang
menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi
(pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat
pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme
yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga
gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi
(penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian
jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi
bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di
tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre
coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi
benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang
berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang
paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi
tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya
countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam
tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam

16
tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah
daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
b. Berdasarkan Beratnya
i. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada
penurunan kesadaran hanya terjadi beberapa detik sampai beberapa
menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan CT-scan,
LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.

ii. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)


Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga
beberapa jam. Sering tanda neurologis abnormal, biasanya disertai
edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness dan confusion yang
dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif maupun
perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.
iii. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang
disebut koma. Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien
tidak mampu mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan
penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif
persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai
penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya
jaringan otak yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
c. Berdasarkan Morfologi
i. Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom
subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat,
nyeri setempat, nyeri pada pergerakan dan dirawat sebagaimana
mestinya. Perdarahan subgaleal dapat besar sekali hingga
menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk kepala menjadi
besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang menekan
dan bila teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang
cair.
ii. Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang
tengkorak. Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier
atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktur tengkorak
biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis fraktur dapat menjalar
sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan

17
vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga di
sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak
dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang
menandakan adanya fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau
muka (sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila. Bakteri
kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan
menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar
patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika
pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
iii. Komusio serebri ( Gegar otak )
Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi
pingsan (kurang dari 10 menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing,
noda-noda didepan mata dan linglung. Konkusio adalah hilangnya
kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada
otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio
menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan
kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah
cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan
kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal;
sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam
beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau
perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang
lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam
bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca
konkusio. Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki;
tidak diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu
cedera kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah
penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian
obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita
sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca
konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam
beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika
sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah,
sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti
tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan
pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu
mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak
semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan
asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan
setelah 3-4 hari pertama.

18
iv. Kontusio serebri (Memar otak )
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat
pecahnya pembuluh darah kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat
kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre
coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada
laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal
sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang
akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan terjadi edema
otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat kerusakan
B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami
kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan
keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda
tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut ekanan perfusi. Bila
tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan
sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan
menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang
mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan
hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya
menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah,
sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga
memberikan akibat yang sama. Jika otak membengkak, maka bisa
terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang
sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Gejala dari kontusio
adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa,
depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya
gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan
bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada
konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa
ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang
diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.
v. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak
dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena
cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di
dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau
diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak
(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa
terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi
dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia
lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah
beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak,
menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan

19
jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak
bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan
intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma,
kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan
pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga
terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
vi. Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang
terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi
karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam
arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.
Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga
baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang,
tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari
sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat
penting dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Pada
pemeriksaan dengan CT-Scan akan tampak gambaran massa hiperdens
dengan bentuk bikonveks (double convex sign), atau ada pula yang
menyebutnya sebagai gambaran football shaped yang secara tipikal
terletak di bagian temporal tengkorak. Hematoma epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak
untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
vii. Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di
sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera
kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera
kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas
secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya
rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya
ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan
darah dan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf atau
menyerupai bulan sabit, atau sering disebut crescentic sign. Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural
yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
viii. Cedera aksonal difusa
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan
deserelasi yang terjadi pada otak sewaktu terjadinya trauma kepala.
Otak memiliki beberapa lapisan yang membentuknya. Pada saat

20
terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut bergeser. Pergerakkan
tiap lapisan ini akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini
menunjukkan adanya penarikan neuron akibat perbedaan waktu
pergeseran yang bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus,
dan terjepit. Akibatnya cairan dan ionic akan masuk ke axon dan
menyebakan pembengkakkan, yang nantinya akan menyebakkan
kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian distal akan
terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung
distal
E. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya
cukup baik mencakup pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada
penderita yang kesadarannya menurun dapat digunakan pedoman yaitu :
1. Tingkat kesadaran dengan mengitung nilai GCS
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata
F. Pemeriksaan penunjang
a. Foto polos cranium ( schullder )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada
setiap cedera kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur
pada tulang tengkorak.
b. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik
ringan sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami
penurunan kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Selain untuk melihat adanya fraktur tulang tengkorak, CT scan
juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek desakan pada otak dan bisa
digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan perdarahan pada otak.
G. Penanganan Cedera Kepala
a. Cedera kepala ringan
 Simple head injury
o Tidak ada penurunan kesadaran
o Adanya trauma kepala ( pusing )
 Commotio cerebri ( gegar otak )
o Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )
o Amnesia retrograde
o Pusing, sakit kepala, muntah
o Tidak ada defisit neurologis
 Manajemen
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.

21
 Lendir, darah, muntahan, benda asing : lakukan penyedotan
dengan suction, pasang NGT
 Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke
kiri.
 Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi
sebelumnya harus diyakini tidak ada fractur cervical.
 Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum
melakukan tindakan intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical,
maka tindakan yang dilakukan adalah tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak
segera pasang oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda
syok segera pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang
cukup banyak bisa ditambah dengan tranfusi darah ( whole blood ).
Pasang kateter untuk memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien,
perhatikan kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau
tembus. Jika ada luka robek, bersihkan lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak pada posisi AP dan Lateral.
6. CT scan kepala perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali
pada pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Kriteria rawat :
a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan )
f. Otorrhea, rhinorrhea
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas
diperbolehkan pulang setelah dilakukan pemantauan di rumah sakit
dengan catatan harus kembali ke rumah sakit bila timbul gejala-gejala (
observasi 1 x 24 jam ) seperti :
 Mengantuk dan sukar dibangunkan
 Mual dan muntah hebat
 Kejang
 Nyeri kepala bertambah hebat
 Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
 Gelisah
8. Terapi simtomatik

22
b. Cedera kepala sedang
Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti
perintah sederhana ( GCS 9 – 12 ). Walau dapat mengikuti perintah, namun
dapat memburuk dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti
halnya pasien cedera kepala berat tapi aspek kedaruratannya tidak begitu akut.
Penanganannya sama seperti pada cedera kepala ringan ditambah dengan
pemeriksaan darah. Bila kondisi membaik,pasien boleh pulang dan control di
poli. Pemeriksaan CT scan perlu diulang apabila kesadaran pasien tidak
membaik. Pada keadaan ini pasien harus dirawat untuk di observasi.
c. Cedera kepala berat
Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah
sederhana karena adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).
Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi :
a. Contusio cerebri
 Pingsan > 10 menit
 Kegelisahan motorik
 Sakit kepala, muntah
 Kejang
 Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
 Amnesia anterogard
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.
Penangan kasus ini mencakup :
 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada
cedera kepala ringan.
 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan di bagian tubuh lainnya.
 Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya
pupil, respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Doll’s
eye ).
 Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
 Rawat selama 7 – 10 hari.
 Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
 Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
 Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.

H. Indikasi Operasi
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien,
temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan
panduan sebagai berikut :
- Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial
- Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial

23
- Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
- Tanda fokal neurologis semakin berat
- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala hebat,
muntah proyektil)
- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai lebih
dari 3 mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang
I. Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh
beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur
penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya,
semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh
beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area.
Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka
hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan
kelainan yang menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan
lengan dan tungkai) dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak.
Kerusakan pada area ini biasanya menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak
dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat
mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan
penderita akan pulih kembali.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In: Konsensus
Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian
Neurologi FKUI/RSCM. 2018.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita
Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1- 154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA. Patofisiologi:
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2006. p1006-1042
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes: Neurologi. 8th
Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
6. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In: Panduan
Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian Neurologi FKUI/RSCM.
2007. p51-58 8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury
7. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1067-1077
8. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis Diagnosis
dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p12-
18

25

Anda mungkin juga menyukai