Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh:
Arianto Salim
406172046

Pembimbing:
dr. Jenny, Sp. THT-KL, FICS

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RSUD CIBINONG
PERIODE 09 SEPTEMBER – 13 OKTOBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penulis telah diberi
kesempatan untuk menyusun referat dengan judul Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring.
Penyusunan referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa/i tentang
Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring. Pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Dadang Chandra, Sp. THT – KL, selaku ketua SMF THT – KL.
2. dr. Jenny, Sp. THT - KL, FICS, selaku dokter pembimbing.
3. dr. Jody Setiawan, Sp. THT – KL, selaku dokter pembimbing.
4. Keluarga serta seluruh teman-teman yang telah banyak membantu dan
memberikan dukungan dalam penulisan referat ini.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Jakarta, 22 September 2019

Arianto Salim

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 2
2.1. Anatomi Nasofaring .............................................................................................. 2
2.2. Definisi .................................................................................................................... 8
2.3. Epidemiologi .......................................................................................................... 8
2.4. Etiologi dan Faktor Risiko .................................................................................... 8
2.5. Patofisiologi .......................................................................................................... 11
2.6. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring..................................................................... 12
2.7. Manifestasi Klinis Karsinoma Nasofaring ....................................................... 12
2.8. Pemeriksaan Penunjang Karsinoma Nasofaring .............................................. 15
2.9. Sistem Staging untuk Karsinoma Nasofaring .................................................. 15
2.10. Diagnosis Karsinoma Nasofaring .................................................................... 16
2.11. Tatalaksana Karsinoma Nasofaring................................................................. 17
BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 20

Universitas Tarumanagara iii


BAB 1
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring adalah keganasan epitel yang berasal dari lapisan mukosa
nasofaring yang sering terlihat pada bagian pharyngeal recess (fossa Rosenmuller). (1)
Kanker tersebut merupakan salah satu keganasan yang sering dijumpai. Tahun 2012,
kasus kanker nasofaring di dunia mencapai 86.691 kasus. Sebanyak 81% kasus baru
berasal dari Asia. (2,3)
Lima negara yang mempunyai jumlah kasus kanker nasofaring terbanyak adalah
China dengan 42.100 kasus, Indonesia dengan 13.084 kasus, vietnam dengan 4.931
kasus, India dengan 3.947 kasus dan malaysia dengan 2.030 kasus. Di Indonesia, kanker
nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada
urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker payudara, kanker leher rahim,
dan kanker paru. Insiden karsinoma nasofaring pada laki laki lebih tiggi dua sampai tiga
kali lipat dibandingkan perempuan. (2,3)
Terbentuknya karsinoma nasofaring merupakan gabungan antara beberapa faktor
risiko dan seperti faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus serta reaktivasi, dan paparan
terhadap karsnogen lingkungan. Karsinogen lingkungan yang dimaksud adalah diet
yang mengandung bahan pengawet seperti ikan asin, merokok, dan paparan terhadap
formaldehid. (4)
Gejala yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring bersifat tidak spesifik,
sehingga pasien biasanya terdiagnosis pada stadium yang lebih lanjut. Oleh karena itu,
penting bagi dokter layanan primer untuk dapat mendeteksi karsinoma nasofaring secara
dini agar dapat dirujuk ke dokter spesialis.

Universitas Tarumanagara 1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring


Faring terletak di bagian posterior nasal dan kavitas oral, dan memanjang ke inferior
melewati laring. Batas faring memanjang dari dasar kranial mencapai batas inferior dari
kartilago cricoid pada bagian anterior, dan batas inferior dari vertebra cervical 6 pada
bagian posterior. Faring terbagi menjadi 3 bagian, yaitu nasofaring, orofaring, dan
laringofaring. Nasofaring terletak di bagian posterior dari hidung dan terletak superior
dari palatum molle. Orofaring terletak di bagian posterior mulut dan laringofaring
terletak di bagian posterior laring. (5,6)

Gambar 2.1 Pembagian faring. (6)


Nasofaring mempunyai fungsi respirasi sebagai ekstensi posterior dari kavitas nasal.
Bagian hidung menyatu dengan nasofaring melalui choanae. Bagian atap dan dinding
posterior nasofaring membentuk permukaan kontinu yang terletak inferior dari badan
tulang sphenoid dan bagian basilar dari tulang occipital. Bagian kartilago dari tuba

Universitas Tarumanagara 2
eustachius terbuka di dinding lateral dari nasofaring, 1 cm di belakang konka inferior.
Bentuknya menyerupai koma, dengan bagian anterior lebih pendek dan bagian posterior
lebih panjang. Dibelakangnya terdapat pharyngeal recess (fossa of Rosenmuller). Saat
melakukan pemeriksaan endoskopik nasofaring, bukaan tuba eustachius yang normal
dan bentuk dari fossa of Rosenmuller harus dapat dikenali agar daerah tersebut dapat
dilakukan biopsi untuk mengeksklusi diagosis karsinoma nasofaring (4)

Gambar 2.2 Anatomi nasofaring. (7)

Universitas Tarumanagara 3
Gambar 2.3 Anatomi nasofaring saat dilakukan endoskopi. (6)
Jaringan limfoid teragregasi pada suatu regio membentuk massa yang disebut tonsil.
Tonsil faringeal (sering disebut adenoid saat membesar) terletak di membran mukosa
atap dan dinding posterior nasofaring. Dari ujung medial tuba eustachius memanjang
kebawah, terdapat lipatan salpingofaringeal (salphingopharyngeal fold) yang melapisi
otot salpingofaringeal. Otot tersebut digunakan untuk membuka lubang tuba eustachius
saat menelan. (5)
Terdapat banyak pembuluh darah arteri yang mensuplai dinding faring. Arteri yang
mensuplai bagian atas dari faring adalah arteri pharyngea ascendens, arteri palatina
ascendens dan cabang tonsilar dari arteri facial; cabang-cabang dari arteri maksila dan
arteri lingual. Semua arteri ini berasal dari arteri carotid eksternal. Seluruh submukosa
faring terdiri dari pleksus vena (plexus pharyngeus) Drainase vena dilakukan melalui
venae. Pharyngeae menuju vena jugularis interna dan menuju venae meningeae pada
regio nasopharyngeal. Pembuluh limfatik dari faring mengalir ke deep cervical nodes
dan termasuk retropharyngeal (diantara nasofaring dan kolumna vertebra),
paratracheal dan infrahyoid nodes . (6,7)
Kelenjar limfe pada leher dibagi menjadi enam level, dimana level I sampai V
beraada di lateral leher dan level VI berada di midline nodus leher dari hyoid sampai
sternal notch (4)
a. Level I
Pada level ini mengacu pada nodus submental (subzona Ia) dan submandibular
(subzona Ib) yang mendrainase bibir, kavitas oral, dan lidah. Subzona Ia
mendrainase dasar anterior dari mulut, bawah bibir, dan lidah ventral. Subzona
Ib mendrainase bagian lain dari kavitas oral.

Universitas Tarumanagara 4
b. Level II
Level ini membentuk kelompok nodus jugularis superior yang mendrainase
oropharynx, larynx, hypopharynx, dan parotis. Nervus accessorius spinalis
membagi level ini menjadi 2 subzona, yaitu zona IIa yang terletak di
anteroinferior terhadap N. accessorius spinalis. Zona Iib terletak di
posterosuperior terhadap N. accessorius spinalis / recessus submuskular.
c. Level III
Level ini terletak di nodus jugularis media, bagian ini mendrainase larynx dan
pharynx.level III tidak terbagi menjadi subzona walaupun mempunyai zona yang
paling luas pada level jugular karena terdapat sedikit variasi pada daerah
drainasenya.
d. Level IV
Level ini mengarah pada kelompok nodus jugularis inferior.daerah ini
mendrainase larynx dan hypopharynx
e. Level V
Level ini merupakan kelompok nodus segitiga posterior dan endrainase area
limfatik lainnya di leher. Level ini terbagi menjadi subzona Va yang terletak di
bagian superior sampai dengan inferior M. omohyoid. Area Va memiliki rantai
nodus di sepanjang N. accesorius yang mendrainase nasopharynx. Subzona Vb
terletak di bagian inferior M. omohyoid. Subzona ini mempunyai nodus yang
berhubungan dengan truncus thyrocervicalis untuk mendrainase glandula tiroid.
f. Level VI
Level ini adalah kelompok nodus yang terletak di anterior atau sentral. Nodus
yang termasuk dalam level ini adalah nodus paratrakeal, nodus peritiroidal, dan
nodus Delphian.

Universitas Tarumanagara 5
Gambar 2.4 Aliran kelenjar getah bening kepala-leher dan pembagian regio. (4)

Gambar 2.5 Suplai arteri pada faring. (7)


Universitas Tarumanagara 6
Gambar 2.6 drainase vena dan limfa pada faring. (7)
Nasofaring dipersarafi oleh cabang pharyngeal dari nervus maksilaris yang berasal
dari fossa pterygopalatine dan menembus melewati kanal palatovaginal di os. Sphenoid
untuk mencapai atap faring. (7)

Gambar 2.7 Persarafan pada faring. (6)


Universitas Tarumanagara 7
2.2. Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma epitel yang berasal dari lapisan mukosa
nasofaring yang sering terlihat pada bagian pharyngeal recess (fossa Rosenmuller). (1)

2.3. Epidemiologi
Kanker nasofaring merupakan salah satu kanker kepala dan leher yang paling umum
dijumpai. Kanker tersebut merupakan penyakit maligman dan insiden kanker
nasofarong tergantung dari geografi dan variasi ras. Tahun 2012, terdapat 86.691 kasus
kanker nasofaringeral di dunia. Kanker nasofaring mempunyai penyebaran geografik
yang tidak seimbang, 81% kasus baru muncul di asia dan 9% di afrika. Negara di asia
tenggara mencapai 67% dari global burden of cancer. Lima negara yang mempunyai
jumlah kasus kanker nasofaring terbanyak adalah China dengan 42.100 kasus, Indonesia
dengan 13.084 kasus, vietnam dengan 4.931 kasus, India dengan 3.947 kasus dan
malaysia dengan 2.030 kasus. Di Indonesia, kanker nasofaring merupakan salah satu
jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di
Indonesia setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. (2,3)

2.4. Etiologi dan Faktor Risiko


Perkembangan karsinoma nasofaring merupakan hasil dari faktor genetik, early latent
infection dari Epstein-Barr virus (EBV) dan reaktivasinya, serta paparan terhadap
karsinogen lingkungan. (4)
a. Faktor genetik
Genetik mempunyai peran penting dalam patogenesis dari karsinoma nasofaring.
Hal ini didukung dengan sangat tingginya angka insiden di Cina Selatan dan
tingginya insiden pada generasi selanjutnya emigran dari Cina Selatan yang
menetap di lingkungan dengan insiden rendah. Contoh allele untuk Human
Leucocyte Antigen (HLA) yang sering muncul pada pasien dengan karsinoma
nasofaring adalah A2, A33, B46, B58, Cwl, dan DR3. Relative risk tertinggi
untuk terjadinya karsinoma nasofaring mencapai 3.4 ditemukan pada haplotype
dengan A2-Cwl-B46. Sering ditemukannya gen B46 juga berhubungan dengan
tingginya insiden dari karsinoma nasofaring, dalam kata lain, insiden tertinggi

Universitas Tarumanagara 8
ditemukan di Cina Selatan dan insidennya berkurang dengan jauhnya dari regio
tersebut. (4)
Beberapa haplotype yang ditemukan berhubungan dengan umur dari onset
penyakit dan kelangsungan hidup dari pasien dengan karsinoma nasofaring.
Pada haplotype A33, Cw3, B58, DR3, onset penyakit biasanya pada pasien yang
lebih muda (<30 tahun) dan mempunyai prognosis yang buruk. Haplotype A2
tanpa B46 atau B58 berhubungan dengan kelangsungan hidup yang lebih baik. (4)

b. Epstein-Barr virus (EBV)


Infeksi epstein-Barr virus merupakan faktor risiko dari berbagai macam
neoplasma limfoid, termasuk karsinoma nasofaring, endemic Burkitt lymphoma,
beberapa tipe Hodgkin’s disease, nasal T-cell lymphoma, dan
posttransplantation lymphoproliferative neoplasm. Virus tersebut mempunyai
afinitas spesial terhadap human lymphocytes pada saluran pernapasan atas. In
situ hybridization studies menunjukkan adanya EBV-encoded RNA (EBER)
dalam nuklei ketiga varian dari sel karsinoma nasofaring (undifferentiated,
nonkeratinizing, dan squamous cell), meskipun masih lebih sering berkorelasi
dengan varian undifferentiated. (8)
Infeksi sel oleh EBV dapat menjadi lisis dan menyebabkan kematian sel atau
menjadi laten. Infeksi EBV laten menyebabkan pembentukan beberapa macam
tipe protein. Sel nasofaring memproduksi latent membrane protein-1 (LMP1)
dan EBV nuclear antigen 1 (EBNA1). LMP1 dikenal mempunyai efek
onkogenik, termasuk c (8).

c. Karsinogen lingkungan
Faktor lingkungan yang paling umum dihubungkan dengan karsinoma
nasofaring adalah diet, terutama makanan yang mengandung bahan pengawet,
(9)
seperti ikan asin dan telur asin. Ikan asin mempunyai carcinogenic
nitrosamines dan EBV-activating substance. Diantara penduduk Cina yang
tinggal di Malaysia, karsinoma nasofaring ditemukan berhubungan dengan
konsumsi ikan asin, telur asin, beer, dan pork atau hati sapi yang tinggi, dan
dengan rendahnya konsumsi kol, jeruk atau tangerin. (8)

Universitas Tarumanagara 9
Merokok juga merupakan faktor risiko yang mempengaruhi terbentuknya
karsinoma nasofaring. Perokok berat mempunyai peningkatan risiko terkenanya
karsinoma nasofaring mencapai 2-4x lipat dibandingkan dengan bukan perokok.
Tingginya konsumsi alkohol berhubungan dengan terbentuknya karsinoma
nasofaring. Berdasarkan meta-analisis terbaru menunjukkan konsumsi alkohol
yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko terkena kanker nasofaring
secara signifikan. (2,8)
Paparan terhadap debu kayu juga dikatakan sebagai faktor risiko untuk
terjadinya kanker nasofaring. Berdasarkan hasil studi pada 29.000 tukang kayu
di United Kingdom dan United States menunjukkan adanya hubungan antara
paparan debu kayu dengan peningkatan risiko terkena karsinoma nasofaring.
Beberapa studi menunjukkan paparan formaldehid meningkatkan risiko terkena
karsinoma nasofaring. (2)

d. Umur dan Jenis Kelamin


Insiden kanker nasofaring pada laki-laki lebih tinggi dua sampai tiga kali
dibandingkan perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat
disebabkan akrena perbedaan kebiasaan gaya hidup, seperti konsumsi tabako
atau perbedaan biologis. Pada grup dengan risiko terendah, insiden kanker
nasofaring meningkat seiring dengan pertambahan umur. Sebaliknya, pada grup
dengan risiko tinggi, peningkatan insiden terjadi pada umur 50 sampai 59 tahun
dan kemudian menurun. Hal ini karena grup tersebut telah terpapar pada agen
karsinogenik pada tahap awal kehidupan. Kanker nasofaring membutuhkan
beberapa dekade untuk tumbuh menjadi sel malignan dan memunculkan tanda-
tanda. Maka dari itu, paparan terhadap karsinogen pada awal kehidupan
mempunyai efek signifikan terhadap insiden kanker tersebut. (2)

Gambar 2.8 Faktor risiko yang berhubungan dengan kanker nasofaring. (2)
Universitas Tarumanagara 10
2.5. Patofisiologi
Genetik dan EBV mempunyai peran penting dalam patogenesis karsinoma nasofaring,
hal ini didukung dengan adanya bukti epidemiologi yang kuat. Produk gen genom EBV
dan gen laten ditemukan terus menerus pada karsinoma nasofaring tipe differentiated
dan undifferentiated. Di dalam sel tumor, DNA EBV mempunyai sifat homogenus dan
kemungkinan dikarenakan clonal cellular proliferation. Namun, sejauh ini DNA EBV
masih belum ditemukan dalam sel epitelial normal pada nasofaring atau pada biopsi
nasofaring pada populasi dengan risiko tinggi terkena karsinoma nasofaring. Sampai
saat ini, secara epidemiologi menunjukkan bagwa karsinogenik dari lingkungan
berperan dalam pembentukan karsinoma nasofaring. Tetapi, mekanisme pasti
terbentuknya karsinoma nasofaring masih kontroversial. Karsinogenik tersebut dapat
meningkatkan masuknya genom EBV ke dalam epitel nasofaring. (4)
Infeksi EBV primer biasanya terjadi pada awal kehidupan dan biasanya
asimptomatik. Jika infeksi EBV primer terjadi saat remaja, sindrom klinis dari
infectious mononucleosis dapat terlihat. Setelah terjadi infeksi primer, terjadi
seroconversion dan imunitas permanen terhadap reinfeksi dan juga virus persistence
yang bersifat seumur hidup. Virus tersebut akan tetap aktif dan dapat dikeluarkan
melalui saliva pada host asimptomatik. Hal tersebut dapat menyebabkan transisi
penyakit tersebut secara horizontal kepada individu nonimmun. Virus tersebut dapat
tetap dorman dalam bentuk genomik pada populasi kecil limfosit, baik di dalam
sumsum tulang maupun darah tepi. Genom virus laten tersebut dapat reaktivasi pada
kemudian hari dan memasuki siklus virus replikatif atau transformasi. (4)
Orang yang terbentuk karsinoma nasofaring mempunyai kerusakan pada general
cell mediated immunity-nya. Walaupun masih diragukan apakah kerusakan pada CMI
tersebut yang menyebabkan atau disebabkan oleh karsinoma nasofaring, kerusakan ini
dapat dilihat dengan lymphocyte stimulation assay atau oleh T-cell cytotoxicity. Tingkat
kerusakan CMI dapat mempengaruhi prognosis. (4)
Respon serologis anti-EBV pada pasien karsinoma nasofaring menyebabkan
produksi antibodi spesifik yang luas, terutama kelas immunoglobulin A (IgA). Kenaikan
titer antibodi ini dapat mendahului onset klinis dari tumor. Henle et al melapoekan
adanya hubungan kuat antara IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early
antugen (EA) dengan karsinoma nasofaring. IgA anti-VCA lebih sensitif tetapi kurang

Universitas Tarumanagara 11
spesifik dibandingkan dengan IgA anti-EA. Antibodi ini sangat berguna dalam skrining
terhadap populasi dengan risiko tinggi terhadap karsinoma nasofaring. (4)

2.6. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring


Klasifikasi karsinoma nasofaring oleh World Health Organization (WHO) yang saat ini
sering digunakan membagi menjadi tiga kategori mayor, yaitu (10)
a. Keratinizing squamous cell carcinoma
Sebelumnya kategori ini disebut sebagai WHO tipe I. Tes histologi, keratinizing
squamous cell carcinoma menunjukkan sel yang berdiferensiasi baik dengan
intercellular bridges. Lesi tersebut dapat mencakup kurang lebih 20% dari
karsinoma. (10)

b. Nonkeratinizing squamous cell carcinoma


Pada kategori ini termasuk differentiated (sebelumnya disebut WHO lesi tipe II)
dan undifferentiated (sebelumnya disebut WHO lesi tipe III). Pada differentiated
nonkeratinizing carcinoma memperlihatkan 30% sampai 40% dari karsinoma
nasofaring, karakteristik sel skuamosa yang jelas berkurang tetapi masih
menunjukkan karakteristik “pavement stone pattern” pada histologi sel
skuamosa. (10)
Undifferentiated nonkeratinizing carcinoma terdiri 40% sampai 50%
karsinoma, dicirikan oleh infiltrat limfoplasmasitik. Pada pemeriksaan sitologik,
sel terlihat uniform, dengan muklei berbentuk bulat sampai oval dan mukleoli
yang menonjol. Pada United States, mayoritas karsinoma nasofaring yang
ditemukan mempunyai temuan histologi keratinizing squamous cell, sedangkan
di Asia tipe histologi undifferentiated lebih sering ditemukan. (10)
c. Basaloid squamous cell carcinoma

2.7. Manifestasi Klinis Karsinoma Nasofaring


Wei dan Sham membagi gejala yang muncul karena karsinoma nasofaring menjadi
empat kategori, yaitu: (11,3)
a. Gejala karena adanya massa tumor di nasofaring (seperti epistaksis, sumbatan
pada hidung, dan discharge)

Universitas Tarumanagara 12
b. Gejala yang berhubungan dengan disfungsi tuba eustachius (berkurangnya
pendengaran, otalgia)
c. Gejala yang berhubungan dengan perluasan tumor ke arah superior (sakit kepala,
diplopia, dan nyeri pada wajah)
d. Massa pada leher.
Karena gejala yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring pada stadium awal tidak
spesifik, sebagian besar pasien karsinoma nasofaring didiagnosa pada stadium lebih
lanjut. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh letaknya yang tersembunyi di nasofaring.
(11,12)

Gejala klinis yang sering dikeluhkan oleh pasien adalah terabanya benjolan pada
leher. Sekitar 60% dari pasien mengeluhkan gejala tersebut, hal ini disebabkan karena
adanya metastatik pada kelenjar limfe servikal. Metastasis nodal biasanya terletak di
aspek superior dari leher, berhubungan dengan level V dan level II. Nodal metastasis
yang pertama kali terkena adalah nodus retrofaringeal, dan benjolan pada nodus tersebut
dapat terlihat pada pemeriksaan fisik sebagai pembengkakan nodular pada dinding
faring posterior. Terkadang nodus limfe yang pertama kali membesar adalah nodus level
III. (9)

Gambar 2.9 Pembesaran nodus limfe servikal bilateral pada level II, III, IV dan V. (9)

Keluhan lain yang sering terlihat adalah adanya darah pada saliva atau sputum
(41.3%). Pasien biasanya mengeluhkan adanya darah pada saliva tanpa disertai gejala
lainnya. Epixtasis jarang terjadi pada karsinoma nasofaring karena tumor terletak di

Universitas Tarumanagara 13
ruang postnasal. Darah yang berasal dari tumor biasanya jatuh karena gravitasi dan
bercampur dengan saliva atau sputum. Walaupun epixtasis jarang terjadi, tetapi 23.1%
pasien mengeluhkan terjadinya epixtasis. (9)
Hilangnya pendengaran lebih sering dilaporkan daripada epixtasis (30.2%). Hal ini
disebabkan karena adanya otitis media dengan efusi, yang dipercaya sekunder dari
disfungsi tuba eustachius. Keluhan lain yang juga dikeluhkan pasien seperti obstruksi
nasal, tinnitus unilateral. Sakit kepala yang persisten juga umum ditemui pada pasien
dengan ekstensi ke intracranial dan cranial nerve palsy juga ditemukan pada 10%
pasien. (9)
Saraf yang paling sering terpengaruh adalah saraf kranial ke 5, 6, 9, 10, dan 12. Pada
beberapa pasien tersebut yang mempunyai cranial nerve palsies pada saat diagnosis
ditegakkan memperlihatkan perbaikan saat diobati dengan radiasi. hal ini karena tumor
tersebut menyebabkan edema pada sekitar saraf kranial yang menyebabkan defisit
seperti diplopia. Pemeriksaan pada nasofaring pasien karsinoma nasofaring biasanya
menunjukkan massa exophytic yang menempati seluruh ruang postnasal. Pada regio
endemis, laki-laki Chinese dengan benjolan di leher, sputum dengan bercak darah, dan
tuli unilateral harus dipertimbangkan terdapat karsinoma nasofaring. (9)

Gambar 2.10 Massa nasofaringeal yang menempati seluruh ruang postnasal. (9)

Universitas Tarumanagara 14
2.8. Pemeriksaan Penunjang Karsinoma Nasofaring
Pemeriksaan penunjang seperti MRI, CT, F-fluorodeoxyglucose (F-FDG)-PET/CT
merupakan pemeriksaan radiologi yang paling sering digunakan untuk menentukan
stadium karsinoma nasofaring dan radioterapi. Untuk mengevaluasi ekstensi tumor
primer dan metastasis kelenjar limfa retrofaringeal, MRI lebih baik digunakan daripada
CT karena mempunyai resolusi tinggi untuk melihat jaringan lunak. Dalam ketepatan
untuk mendeteksi metastasis kelenjar limfe servikal, MRI dan CT mempunyai
keakuratan yang mirip. F-FDG-PET/CT lebih baik dalam mendeteksi metastasis yang
jauh dibandingkan dengan pemeriksaan konvensional (radiografi thoraks dan ultrasound
abdominal) karena lebih sensitif dan lebih akurat dalam mendeteksi metastasis kelenjar
limfa servikal yang berukuran kecil. Karsinoma nasofaring dibuktukan melalui
pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen dari biopsi nasofaring. Hasil biopsi
menunjukkan jenis keganasan dan derajat diferensiasi. (1,3)
Pemeriksaan serologi yang membantu dalam diagnosis karsinoma nasofaring adalah
deteksi IgA antibodies terhadap Epstein-Barr virus specific antigen. Pada pemeriksaan
IgA anti VCA, dapat ditemukan titer yang tinggi walaupun kurang spesifik. Sebaliknya,
titer IgA anti-EA kurang sensitif tetapi specificity nya sangat tinggi. Penggabungan test
tersebut berguna untuk dokter umum pada area endemis, karena jika terdapat
peningkatan titer maka dokter umum dapat merujuk ke spesialis untuk pemeriksaan
lebih lanjut. (4)

2.9. Sistem Staging untuk Karsinoma Nasofaring


Stadium karsinoma nasofaring diklasifikasikan menurut International Union Against
Cancer / American Joint Committee on Cancer (UICC/AJCC) berdasarkan sistem TNM
(Tumor – Node - Metastasis). (1)
Tabel 2.1 Sistem staging karsinoma nasofaring oleh UICC/AJCC (1)
Primary Tumourr (T)
TX Tumor primer tidak dapat nilai
T0 Tidak ada tumor yang teridentifikasi, tetapi terdapat keterlibatan nodus
servikal EBV-positif
T1 Nasofaring, orofaring, atau kavitas nasal tanpa parapharyngeal
extension

Universitas Tarumanagara 15
T2 Parapharyngeal extension, dengan keterlibatan jaringan lunak di
sekitarnya (media pterygoid, lateral pterygoid, prevertebral muscle)
T3 Bony structures (basis cranii, cervical vertebra) dan/atau sinus
paranasal
T4 Extensi intrakranial, saraf kranial, hipofaring, orbit, keterlibatan
jaringan lunak ekstensif (melewati permukaan lateral dari lateral
pterygoid muscle, kelenjar parotid)
Regional Lymph Nodes (N)
NX Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis pada kelenjar limfe regional
N1 Unilateral cervical; kelenjar limfe retrofaringeal unilateral atau
bilateral; diatas batas caudal dari kartilago cricoid; <6cm
N2 Metastasis bilateral pada kelenjar limfe, berukuran <6cm dari dimensi
terbesar, diatas batas caudal dari kartilago cricoid
N3a >6cm dan/atau dibawah batas caudal dari kartilago cricoid
Distant Metastasis (M)
M0 Tidak ada metastasis di tempat yang jauh
M1 Terdapat metastasis yang jauh
Stage Group
I T1 N0 M0
II T2 N0-1 M0; T0-1 N1 M0
III T3 N0-2 M0; T0-2 N2 M0
IVA T4 atau T3 M0
IVB T apapun, N apapun, M1

2.10. Diagnosis Karsinoma Nasofaring


Kanker nasofaring dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis perlu diketahui apakah terdapat gejala hidung,
gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala metastasis. Gejala tersebut mencakup
hidung terseumbat, lendir bercampur darah, tinitus, otalgia, diplopia, dan kelainan pada
saraf kranial 5, 6, 9, 10, dan 12 serta munculnya bejolan pada leher. Dari pemeriksaan
fisik, dapat dilakukan pemeriksaan rinoskopi posterior dan nasendoscope (fiber/rigid) (3)
Universitas Tarumanagara 16
Gold standart dalam menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring adalah dengan
konfirmasi histologik dari biopsi nasofaring. Biopsi dilakukan secara transnasal dengan
menggunakan rigid endoscopy setelah pasien diberikan anestesi lokal. Pemeriksaan
dengan menggunakan immunohistochemical marker seperti cytokeratin, epithelial cell
marker, dan Epstein-Barr encoded ribonucleic acid (EBER) dapat membantu
membedakan karsinoma nasofaring dari keganasan lain di regio nasofaring, seperti
limfoma dan locally infiltrative sinonasal undifferentiated carcinoma. (3,9)

2.11. Tatalaksana Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring sangat sensitif terhadap ionising radiation. Radioterapi masih
merupakan pilihan pengobatan untuk penyakit non-metastasis. Megavoltage external
radiotherapy (ERT) adalah modalitas utama untuk pengobatan. Ini diberikan melalui
dua bidang yang berlawanan secara lateral dan satu bidang anterior. Design tersebut
berujuan agar seluruh nasofaring dan kedua sisi leher dapat dicapai oleh pengobatan.
Pada stadium awal (stadium I-II), Radioterapi konvensional saja adekuat dan masih
belum ada bukti bahwa dengan menambah kemoterapi dapat memberikan hasil yang
lebih baik. Untuk penyakit nonmetastasis lokal lebih lanjut (stadium III-IVB)
penambahan kemoterapi memperlihatkan hasil yang lebih baik. (4)
Kemoterapi dideskripsikan sebagai neoadjuvant, concurrent, atau adjuvant terhadap
radioterapi. Kemoterapi dipercaya bekerja sebagai radiosensitizer dan membantu dalam
mengurangi kemungkinan untuk terjadinya metastasis pada lokasi yang jauh.
Neoadjuvant chemotherapy digunakan untuk mengurangi ukuran dari nodus leher yang
membesar sehingga teknik radioterapi standar dapat digunakan. Hasil yang paling
mengesankan adalah dengan concurrent (cisplatin) chemoradiation, keuntungan short
term progression-free survival yang signifikan hingga follow up selama tiga tahun
ditunjukkan oleh dua studi fase III independen. Komplikasi sebagian besar disebabkan
karena efek supresi sumsum tulang, sensorineural hearing loss dan gangguan ginjal
karena kemoterapi dengan cisplatin. (4)
a. Concurrent chemoradiotherapy
Regimen concurrent chemotherapy bervariasi dari setiap studi. Cisplatin umum
digunakan sebagai pilihan pertama, dengan dosis 40 mg/m2 satu kali seminggu atau
80-100 mg/m2 setiap tiga minggu. Meskipun begitu, perbedaan pada

Universitas Tarumanagara 17
radiosensitifitas dan profil toksisitas, dimana kumulatif 200 mg/m2 cisplatin
merupakan treshold efikasi optimal tanpa induksi kemoterapi, dan 160 mg/m2
cisplatin saat menerima tambahan induksi kemoterapi
b. Adjuvant chemotherapy
Biasanya adjuvant chemotherapy terdiri dari cisplatin (80-100 mg/m2) dan
fluorouracil (800-1000 mg/m2 setiap hari untuk 4-5 hari) selama 4 minggu dalam
tiga siklus.

Universitas Tarumanagara 18
BAB 3
KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring adalah keganasan epitel yang berasal dari lapisan mukosa
nasofaring yang sering terlihat pada bagian pharyngeal recess (fossa Rosenmuller).
Penyebab dan faktor risiko yang berperan dalam terjadinya penyakit ini adalah faktor
genetik, infeksi oleh Epstein-Barr Virus serta reaktivasi, dan paparan terhadap
karsnogen lingkungan. Karsinogen lingkungan yang dimaksud adalah diet yang
mengandung bahan pengawet seperti ikan asin, merokok, dan paparan terhadap
formaldehid.
Gejala yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring pada stadium awal tidak
terlalu spesifik sehingga pasien terdiagnosis pada stadium lanjut. Gejala yang biasanya
muncul adalah massa pada leher (60%), diikuti dengan gejala pada hidung seperti
epistaksis, sumbatan pada hidung, dan discharge karena terdapat massa tumor di
nasofaring. Gejala yang muncul karena adanya disfungsi tuba eustachius adalah
berkurangnya pendengaran dan otalgia. Gejala yang muncul jika terdapat perluasan
tumor ke arah superior adalah sakit kepala, diplopia dan nyeri pada wajah

Universitas Tarumanagara 19
DAFTAR PUSTAKA
1. Chen YP, Chan ATC, Le QT, Blanchard P, Sun Y, Ma J. Nasopharyngeal
carcinoma. Lancet. 2019 June; 394.
2. Salehiniya H, Mohammadian M, Hafshejani AM, Mahdavifar N. Nasopharyngeal
cancer in the world: epidemiology, incidence, mortality and risk factors. World
Cancer Research Journal. 2018; 5(1).
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran kanker nasofaring Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2015.
4. Gleeson M, Browning GG, Burton MJ, Clarke R, Hibbert J, Jones NS, et al., editors.
Scott-brown's otorhinolaryngology, head and neck surgery. 7th ed. Britain: Hodder
Arnold; 2008.
5. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Moore clinically oriented anatomy. 7th ed.
Baltimore: Wolters Kluwer; 2014.
6. Paulsen F, Waschke J, editors. Sobotta atlas of human anatomy. 15th ed. Munich:
Elsevier; 2011.
7. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Gray's anatomy for students. 3rd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2015.
8. Snow JB, Wackym PA. Ballenger's otorhinolaryngology head and neck surgery.
17th ed. Connecticut: People's Medical Publishing House; 2009.
9. Tan L, Loh t. Benign and malignan tumors of the nasopharynx. In Flint PW,
Haughey BH, Lund V, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, et al. Cummings
otolaryngology. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. p. 1423 - 30.
10. Lee N, Riaz N, Ovo r, Reyngold ML, Foote rL, Bonner jA. Nasopharyngeal
carcinoma. In Gunderson LL, Tepper JE. Clinical radiation oncology. Philadelphia:
Elsevier; 2016.
11. Tabuchi K, Nakayama M, Nishimura B, Hayashi K, Hara A. Early detection of
nasopharyngeal carcinoma. International Journal of Otolaryngology. 2011 April;
2011.
12. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, et
al. Nasopharyngeal carcinoma in indonesia: epidemiology, incidence, sign and
symptomps at presentation. Chinese Journal of Cancer. 2012; 31(4).

Universitas Tarumanagara 20

Anda mungkin juga menyukai