SERIALKASUS
CASE
FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER
FEBRUARI 2018
2020
UNIVERSITAS HASANUDDIN
OLEH :
Dr. ADI MATRA PRAWIRA
SUPERVISOR :
DR. Dr. NOVA A.L PIETER, Sp.T.H.T.K.L(K),FICS
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
perluasan tumor ini jarang langsung mengenai nervus. VII dan VIII karena
3,15
letaknya yang tinggi.
Parese fasialis merupakan suatu kelumpuhan dari otot-otot wajah.
Penderita tidak dapat atau kurang dapat menggerakkan otot-otot wajah, sehingga
tampak wajah pasien tidak simetris. Penyebab kelumpuhan nervus fasialis bisa
disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh
darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu. Di antara semua kasus
kelumpuhan nervus fasialis, 5% telah dilaporkan oleh keterlibatan tumor
Sedangkan parese fasialis yang disebabkan oleh karsinoma nasofaring sangat
jarang terjadi, dimana insidennya kurang dari 1%. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk mengambil judul laporan kasus karsinoma nasofaring dengan komplikasi
parese nervus fasialis. 7,12,13
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
kompleks dan membentuk pleksus yang saling menyilang melewati garis tengah.
Aliran getah bening menuju arah posterior, selanjutnya ke kelenjar getah bening
Rouviere di ruang retrofaring bagian lateral dan retro parotis kemudian menuju ke
rangkaian kelenjar getah bening di sekitar vena jugularis interna bagian superior,
terutama kelompok jugulo digastrik.8
6
2.2. Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis
7
Saat setinggi ganglion, kanalis fasialis berubah mengarah ke bawah. Pada
bagian akhir kanalis fasialis, nervus fasialis keluar dari rongga tengkorak melalui
foramen stilomastoideus. Serabut motorik ini kemudian mempersarafi seluruh otot
ekspresi wajah seperti orbikularis okuli dan orbikularis oris, oksipitalis,
buccinator dan frontalis; serta otot kecil stapedius, platisma, stilohioid dan otot
digastrikus bagian posterior. Inti nervus fasialis bagian atas menerima persarafan
bilateral dari kedua korteks hemisfer serebri melalui traktus kortikobulbar. Untuk
bagian bawah wajah, inti nervus fasialis bagian bawah hanya menerima persarafan
kontralateral dari satu korteks hemisfer serebri melalui traktus kortikobulbar.6
Nervus intermedius terdiri dari komponen aferen viseral, somatik dan
eferen otonom. Komponen aferen viseral yaitu serabut aferen gustatorik terdiri
dari badan sel serabut aferen pengecapan terletak di dalam ganglion genikulatum,
yang terdiri dari neuron pseudounipolar. Serabut aferen ini mempersarafi
pengecapan 2/3 lidah bagian depan. Serabut aferen ini berjalan bersama dengan
nervus lingualis (cabang dari nervus mandibularis) dan berjalan melalui korda
timpani ke ganglion genikulatum kemudian nervus intermedius menuju nukleus
solitarius. Nukleus solitarius juga menerima serabut pengecapan dari nervus
glossofaringeus untuk mempersarafi 1/3 belakang lidah dan dari nervus vagus
untuk pengecapan epiglotis. Komponen somatik yaitu beberapa serabut somatik
yang mewakili persarafan di daerah telinga luar, meatus akustikus eksterna dan
permukaan luar dari membran timpani yang berjalan bersama nervus fasialis
menuju ganglion genikulatum dan kemudian menuju nukleus sensorik nervus
trigeminus. Lesi kulit oleh herpes zoster otikus berhubungan dengan serabut
aferen somatik ini.6,11
Komponen eferen otonom / sekretorik terdiri atas serabut eferen
parasimpatis yang berasal dari nukleus salivatorius superior yang terletak medial
dan kaudal dari inti motorik nervus fasialis. Sebagian serabut berasal dari nukleus
salivatorius superior meninggalkan badan utama nervus fasialis setinggi ganglion
genikulatum dan berlanjut sebagai ganglion pterigopalatina dan seterusnya ke
kelenjar lakrimalis dan kelenjar mukosa nasal. Bagian lain serabut nukleus
salivatorius superior berjalan kaudal melalui korda timpani dan nervus lingualis
menuju ganglion submandibula. Serabut postganglion mempersarafi kelenjar
8
submandibularis dan sublingualis untuk sekresi saliva. 6,11,12
Refleks yang berperan dalam nervus fasialis meliputi refleks kornea, blink
(kedip) dan stapedius. Pada refleks kornea, impuls sensorik dari membran mukosa
kornea berjalan menuju nervus oftalmika ke inti sensorik nervus trigeminal.
Setelah bersinaps ditempat tersebut, impuls berjalan menuju inti nervus fasialis
dan kemudian melalui nervus fasialis menuju muskulus orbikularis okuli kedua
sisi dan menyebabkan tertutupnya kedua mata. Refleks blink (kedip) dirangsang
oleh stimulus visual yang kuat dan merangsang kolikulus superior untuk
mengirimkan impuls menuju inti nervus fasialis di pons melalui traktus
tectobulbar sehingga menyebabkan kedua mata menutup. Refleks stapedius
dirangsang oleh impuls suara yang dihantarkan melalui inti korpus trapezoid
bagian dorsal menuju inti nervus fasialis yang menyebabkan kontraksi maupun
relaksasi muskulus stapedius yang tergantung dari kuatnya stimulus suara.12,13
9
Gambar 5. Jaras Aferen
10
2.3.2. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi karsinoma nasofaring dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berinteraksi. Disparitas antarkelompok dengan faktor risiko tertentu
telah dicatat bahkan sejak konferensi IARC tahun 1978, dimana diduga
terdapat suatu agen yang memengaruhi populasi Tionghoa di Singapura,
tetapi tidak mampu memberikan dampak pada populasi India dan Pakistan.
Literatur terbaru telah menemukan berbagai faktor risiko termasuk genetik,
diet, higienitas, pekerjaan, medikasi, dan infeksi virus Epstein-Barr.2,3,4
Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin adalah faktor etiologi
karsinoma nasofaring yang paling banyak dipelajari. Berdasarkan teknik
hibridisasi in-situ terhadap RNA terkode EBV, virus tersebut terdeteksi
hanya dalam sel tumor, tetapi tidak dalam epitel nasofaring normal. Secara
histopatologi, infeksi EBV memiliki hubungan dengan karsinoma
nonkeratinisasi subtipe terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi, tetapi
hubungan dengan karsinoma keratinisasi hanya ditemukan pada daerah
berisiko tinggi. Pada KNF, virus berada pada fase laten, hanya terdapat pada
sel tumor, dan tidak ditemukan di jaringan limfoid sekitar.3,7,15
Selama fase laten, EBV mengekspresikan beberapa gennya untuk
menghindari deteksi sistem imun. Ekspresi gen laten pada sel terinfeksi
EBV berada di bawah regulasi epigenetik. Beberapa tipe profil ekspresi gen
laten di sel terinfeksi EBV telah diidentifikasi. Latensi tipe 0 dikenali pada
sel B memori, dimana ekspresi gen EBV terbatas pada EBV-encoded small
RNAs (EBER) tanpa adanya ekspresi protein EBV; EBV nuclear antigen 1
(EBNA1) hanya diekspresikan di sel B memori yang mengalami divisi.
Pada KNF ditemukan virus dalam latensi tipe II.15
Peran kerentanan genetik individu terhadap patogenesis KNF
diindikasikan oleh insidensi KNF yang tinggi pada etnis tertentu. Hal ini
lebih mencolok karena generasi kedua dan ketiga dari penduduk daerah
berisiko tinggi yang telah emigrasi dan berasimilasi dengan budaya yang
berbeda masih memiliki risiko KNF lebih tinggi dibanding penduduk
sekitar.14
11
Kerentanan genetik terhadap KNF pada populasi berisiko tinggi
telah dilaporkan, terutama berhubungan dengan gen HLA kelas I di lokus
MHC kromosom 6p21. Gen HLA kelas I mengode protein yang dapat
mengidentifikasi dan mempresentasikan antigen asing (termasuk peptida
hasil kode EBV) kepada sel T sitotoksik untuk memicu respon imun
terhadap sel yang terinfeksi virus.3,14
Studi epidemiologi skala besar mengusulkan adanya hubungan
beberapa kebiasaan diet dan sosial dengan peningkatan risiko karsinoma
nasofaring. Salah satu faktor yang paling sering disebut adalah riwayat
konsumsi ikan asin. Karsinogen yang berperan adalah senyawa volatil N-
nitrosamin yang dapat menginduksi kerusakan DNA dan inflamasi kronik
mukosa nasofaring. Konsumsi nitrosamin selama periode anak-anak dapat
menyebabkan akumulasi lesi genetik aberan dan perkembangan jaringan
rentan karsinoma di nasofaring, yang pada gilirannya meningkatkan
kerentanan infeksi EBV dan meningkatkan risiko KNF.14
Konsumsi makanan lain yang ditemukan berhubungan dengan
kejadian KNF adalah asinan sayur, makanan yang diawetkan, teh herbal,
sup slow-cooked, alkohol, produk hewani, karbohidrat, dan asam lemak tak
jenuh. Selain diet, faktor lingkungan lain yang dianggap berpengaruh adalah
higienitas oral, inhalasi debu kayu, asap, formaldehida, dan bahan
kimia.Beberapa literatur berbeda pendapat mengenai inhalasi debu kayu
sebagai faktor risiko karsinoma nasofaring. Inhalasi debu kayu dianggap
berhubungan dengan adenokarsinoma hidung, tetapi tidak dengan
karsinoma nasofaring. Penelitian lain menemukan bahwa aspirin memiliki
efek protektif terhadap karsinoma nasofaring.14
2.3.3. Patogenesis
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme:
pemendekan waktu siklus sel sehingga menghasilkan lebih banyak sel yang
diproduksi dalam satuan waktu; dan penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen
dan gen penekan tumor (tumor suppresor genes) yang menghambat
penghentian proses siklus sel.18
12
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan
diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat
berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat
menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel
secara patologis.18
Perkembangan lesi dimulai dari adanya lesi prakanker (field
cancerization). Pada KNF, lesi prakanker ini dapat terbentuk di usia muda
akibat konsumsi karsinogen nitrosamin. Lesi prakanker ini sendiri
merupakan faktor predisposisi infeksi EBV yang akan lebih lanjut
menyebabkan inflamasi dan alterasi genetik. Infeksi laten EBV
menyebabkan displasia yang semakin parah. Berbagai faktor ekspresi gen
EBV menyebabkan perkembangan lesi menjadi karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif.15
13
Gambar 7. Model tumorigenesis patogenesis karsinoma nasofaring terkait
EBV.15
14
2.3.4. Gejala Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu
gejala nasofaring, gejala telinga, gejala saraf kranialis, serta metastasis atau
gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau
sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau
perlu dengan nasofaringoskop, karena sering terjadi pada beberapa kasus
yakni gejala belum ditemukan sementara tumor sudah tumbuh atau tidak
tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor).20
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller).
Gangguan pada telinga dapat berupa tinnitus, rasa penuh pada telinga
sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pada beberapa pasien
dengan gangguan pendengaran baru kemudian diketahui bahwa
20
penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.
Gangguan beberapa saraf kranialis juga dapat terjadi sebagai gejala
lanjut dari karsinoma ini, karena nasofaring berhubungan dekat dengan
rongga tengkorak melalu beberapa lubang. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan juga ke V, sehingga
tidak jarang gejala diplopa (penglihatan ganda) lah yang membawa pasien
terlebih dahulu berobat ke dokter mata. Selain diplopia, neuralgia terminal
juga merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan
mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen
jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. 20
15
1. Anamnesis
Manifestasi klinis karsinoma nasofaring bergantung pada luas lesi
primer atau nodus.3 Gejala awal karsinoma nasofaring tidak spesifik.
Massa di nasofaring dapat menyebabkan gejala obstruksi nasal,
awalnya unilateral kemudian bisa bilateral jika massa membesar.
Gejala lain yang harus diwaspadai adalah hidung beringus, epistaksis,
post-nasal drip. Gejala awal yang penting lain adalah gejala disfungsi
tuba Eustachius akibat obstruksi mekanis ataupun ekstensi
posterolateral. Obstruksi tersebut dapat menyebabkan tuli konduktif
unilateral, otalgia, dan tinnitus.1,3
2. Pemeriksaan fisik.1,3
1) Pemeriksaan status generalis dan status lokalis
2) Pemeriksaan nasofaring:
a) Rhinoskopi anterior
b) Rhinoskopi posterior
3. Pemeriksaan penunjang. 1,3,4,20
1) Pemeriksaan nasoendoskopi memainkan peran kunci dalam
deteksi awal lesi KNF untuk melihat mukosa dengan kecurigaan
kanker nasofaring, sebagai panduan lokasi biopsi, dan follow up
terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.
2) Pemeriksaan radiologik
a) CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT Scan nasofaring mulai
setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan
koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras.
b) USG abdomen
USG abdomen dilakukan untuk menilai metastasis organ-
organ intra abdomen.
c) Foto Thoraks
Pemeriksaan foto thoraks dilakukan untuk melihat adanya
nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka
dilanjutkan dengan CT Scan Toraks dengan kontras.
16
d) Bone Scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat metastasis pada
tulang.
3) Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi
anatomi dengan spesimen dari biopsi nasofaring. Penegakkan
diagnosis dengan patologi anatomi bukan dengan spesimen dari
biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy /
FNAB). Biopsi nasofaring dilakukan dengan tang biopsi lewat
hidung atau mulut dengan tuntunan rhinoskopi posterior atau
nasofaringoskopi rigid/fiber.
4) Pemeriksaan laboratorium
Hematologi (darah perifer lengkap, LED, hitung jenis), alkali
fosfatase, LDH, SGOT-SGPT
5) Pemeriksaan serologi
Beberapa penelitian berusaha menemukan pemeriksaan yang
efektif sebagai alat deteksi dini KNF. Salah satu penelitian
menemukan bahwa analisis DNA EBV di sampel plasma
(pEBV) dapat digunakan sebagai alat skrining KNF
asimtomatik. Penanda pEBV juga memiliki nilai prognosis
dimana pEBV digunakan dalam menyeleksi pasien KNF risiko
tinggi untuk diberikan terapi ajuvan.
Metode yang petama kali dikembangkan dan menjadi gold
standard bagi pemeriksaan EBV sampai saat ini adalah
Immunofluorometric Assay (IFA). Walaupun memiliki spesifitas
yang tinggi, metode ini tetap memiliki beberapa kelemahan,
antara lain waktu pemeriksaan yang lama, sulit diotomatsi, sulit
distandarisasi karena viabilitias dalam antigen yang digunakan,
dan pembacaan hasil akhir yang sunjektif serta membutuhkan
keahlian khusus karena dilakukan di bawah mikroskop
flouresensi.
17
2.3.6. Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya,
dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.25
Radioterapi
Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB
leher dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal). Radiasi
dapat diberikan dalam bentuk: radiasi eksterna yang mencakup gross tumor
(nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada
T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar supraklavikula
dengan dosis 50 Gy; radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada
tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening, diberikan dengan
dosis (4x3 Gy), sehari dua kali; bila diperlukan booster pada kelenjar
getah bening diberikan penyinaran dengan elektron. Penggunaan teknik
Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) telah menunjukkan
penurunan dari toksisitas kronis pada kasus karsinoma orofaring, sinus
paranasal, dan nasofaring dengan adanya penurunan dosis pada kelenjar-
kelenjar ludah, lobus temporal, struktur pendengaran (termasuk koklea),
dan struktur optik.1
Obat-obatan Simptomatik
a) Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan
menelan : obat kumur yang mengandung antiseptik dan astringent,
diberikan 3 – 4 kali sehari)
18
b) Tanda-tanda moniliasis : antimikotik
c) Nyeri menelan : anestesi lokal
d) Nausea, anoreksia : terapi simptomatik
Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan
pada pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer
diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap
minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi
kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan
dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus
rekuren/metastatik.1
Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan kemoradiasi
dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan
Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali.1
19
2.4. Parese Nervus Fasialis (N.VII)
2.4.1. Etiologi
Penyebab kelumpuhan nervus fasialis bisa disebabkan oleh kelainan
kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu.12,13
A. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible
dan terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang
pendengaran. Pada parese nervus fasialis bilateral dapat terjadi karena
adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan seringkali
bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).12
B. Infeksi
Proses infeksi di intrakranial atau infeksi telinga tengah dapat
menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Infeksi intrakranial yang
menyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt,
Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan parese
nervus fasialis adalah otitis media supuratif kronik ( OMSK ) yang
telah merusak Kanal Fallopi. Otitis media akut dan kronik dapat
menyebabkan terjadinya paresis nervus fasialis. Terdapat dua
mekanisme yang dapat menyebabkan paralisis nervus fasialis yaitu :
(1). Hasil toksin bakteri di daerah tersebut, (2). Dari tekanan langsung
terhadap saraf oleh kolesteatoma atau jaringan granulasi. Pada otitis
media akut, penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis khususnya
pada anak terjadi ketika kanalis nervus fasialis pada telinga tengah
mengalami congenital dehiscent atau saraf terkena akibat kontak
langsung dengan materi purulen sehingga dapat menimbulkan
inflamasi dan edema pada saraf dan menyebabkan paresis.5,6
Pada otitis media kronik bisa mengikis kanal nervus fasialis atau
sarafnya dapat dilibatkan dengan osteitis, kolesteatom dan jaringan
granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam kanalis fasialis. Manifestasi
klinik yang tampak yaitu paralisis nervus fasialis bagian bawah,
ipsilateral terhadap telinga yang sakit.7
20
C. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab
yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara,
paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung
dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun
jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari nervus
fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat
kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran
aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik nervus
fasialis secara ipsilateral.12,13
Selain itu parese nervus fasialis juga dapat terjadi pada karsinoma
nasofaring. Mekanisme secara langsung melalui penyebaran tumor ke
cerebellopontin angle, telinga tengah, dan parotis. Mekanisme tidak
langsung dari pembesaran tumor yakni oklusi tuba eustachius karena
letaknya di fossa rosenmuller berdekatan sehingga mengakibatkan
tekanan negatif dalam kavum timpani, yang jika berlangsung lama
dapat terjadi otitis media dan jika tidak tertangani menjadi masoiditis.
Namun, dikatakan bahwa perluasan tumor ini jarang langsung
mengenai nucleus nervus. VII dan VIII karena letaknya yang tinggi.5
D. Trauma
Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika
terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal.
Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir
juga bisa menjadi penyebab. Nervus fasialis pun dapat cedera pada
operasi mastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan
operasi kelenjar parotis.13
E. Gangguan Pembuluh Darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan parese nervus
fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan
arteri serebri media.12
F. Idiopatik ( Bell’s Palsy )
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui
21
penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain.Pada parese Bell
terjadi edema nervus fasialis. Karena terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut
sebagai Bell’s Palsy.5
G. Penyakti-penyakit tertentu
Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya DM, hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi,
infeksi telinga tengah, sindrom Guillian Barre.6
22
hal demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII
supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.2
23
menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan
lesi di antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan
nervus fasialis di kanalis fasialis.
2.4.5. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan
hiperakusis.
2.4.6. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri
di belakang dan didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus
seperti ini dapat terjadi pascaherpes di membrana timpani dan konka.
Sindrom Ramsay-Hunt adalah parese fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Tanda-
tandanya adalah herpes zoster otikus , dengan nyeri dan
pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan dibelakang
aurikel (saraf aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan
pendengaran, gangguan pengecapan, pengeluaran air mata dan
salivasi.
2.4.7. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat
terlibatnya nervus akustikus.
2.4.8. Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus dan kadang – kadang
juga nervus abdusen, nervus aksesorius dan nervus hipoglossus.
24
Grade Penjelasan Karakteristik
I Normal Fungsi fasial normal
II Disfungsi ringan Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada
inspeksi dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan
III Disfungsi sedang Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan
antara kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur
hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan
yang maksimum
IV Disfungsi sedang Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan
berat asimetri
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan
VI Total parese Tidak ada pergerakkan
25
M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan
mengerutkan hidung ke atas
M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat
M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi
M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
ke depan sambil memperlihatkan gigi
M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua
pipi
M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul
M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir
ke bawah
M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
yang tertutup rapat ke depan.
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara
kanan dan kiri :
1. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
2. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
3. Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
4. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 ) Seluruh
otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai
nilai tiga puluh (30). 3
2.6.2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap
penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap
tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne
mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis
yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu
seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan.
Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai
26
minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.5,12
2.6.3. Gustatometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda
timpani, salah satu cabang nervus fasialis.3 Kerusakan pada N. VII sebelum
percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan).5
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan
lidah, kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau
garam pada lidah penderita. Hal ini dilakukan secara bergiliran dan
diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik
lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi
lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh
saraf lain. Penderita disuruh untuk menyatakan pengecapan yang
dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa
pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.12
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara
kedua sisi adalah patologis.12
2.6.4. Salivasi
Kelenjar saliva mayor terdiri atas kelenjar parotis, submandibula,
dan sublingual. Kelenjar parotid merupakan sepasang kelenjar saliva
terbesar yang berada di sekitar ramus mandibula kanan dan kiri. Kelenjar
submandibular berada di bawah mandibula dengan ukuran sedang.
Duktusnya dinamakan duktus Wharton yang keluar dari sisi-sisi frenulum
lidah.5
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan
kanulasi kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung
polietilen no 50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah
dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa
harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan
dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap
27
abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga
pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh saraf korda timpani.5
28
kontralateral dengan menggunakan suatu nada yang keras, yang akan
membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot stapedius. Gerakan
ini mengubah tegangan membrane timpani dan menyebabkan perubahan
impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan
telinga yang normal, dan reflek ini pada perangsangan kedua telinga
mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen saraf kranialis.7
29
BAB III
LAPORAN KASUS
III. 1. ANAMNESIS
30
III. 2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik / Gizi cukup / Compos mentis
Tanda vital : Tensi : 120/80 mmHg ;
Nadi : 76 kali/menit ;
Pernapasan : 18 kali/menit ;
Suhu : 36,7oC
Status THT
Rhinoskopi Anterior :
Tampak massa pada nasofaring kanan, permukaan tidak rata, kesan rapuh mudah
berdarah. Fenomena palatum mole tidak ada pada cavum nasi dekstra. Konka
kongesti, mukosa hiperemis
Otoskopi :
Liang telinga lapang, membran timpani perforasi sedang pada telinga kanan,
sekret tidak ada, tidak tampak jaringan granulasi, bagian retroaurikula tidak
tampak edema maupun hiperemis
Faringoskopi :
Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Pemeriksaan kelenjar leher :
Tidak ada limfadenopati
Kesan :
Tidak tampak kelainan pada foto thorax ini
31
Gambar : Hasil foto CT Scan Nasofaring Coronal (30 Agustus 2019)
32
- Mukosa sinus dan cavum nasi dalam batas normal
- Osteomeatal compleks kanan obstruksi, osteomeatal kiri dalam batas normal
- Tidak tampak deviasi septum nasi
- Kedua bulbus oculi dan ruang retrobulbar yang terscan dalam batas normal
- Tulang – tulang yang terscan intak
Kesan :
Massa nasofaring dekstra
Obstruksi osteomeatal compleks dekstra disertai multisinusitis
Regio Fasialis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Keterangan :
Dekstra : Moderate Severe Mix Hearing Loss (57,5 dB)
Sinistra : Mild Conductive Hearing Loss (33,75 dB)
33
USG Abdomen :
Tidak tampak tanda-tanda metastasis pada USG Abdomen
Organ-organ intra abdominal yang terscan dalam batas normal
Bone Survey :
Tidak tampak tanda-tanda metastasis pada foto
III.5. TINDAKAN
Radioterapi 35 siklus (11 September 2019 – 29 Oktober 2019)
III.5. FOLLOW UP
Pasien datang ke poli THT pada tanggal 9 Januari 2020 untuk kontrol dua
bulan setelah menjalani radioterapi 35 siklus. Keluhan epistaksis tidak ada, rinore
tidak ada, obstruksi nasi tidak ada, facial pain tidak ada, cephalgia tidak ada.
Tinnitus ada pada telinga kanan intensitas berkurang, penurunan pendengaran ada,
otore tidak ada, otalgia tidak ada, vertigo tidak ada. Kelemahan otot wajah kanan
dirasakan berkurang. Keluhan di tenggorok tidak ada.
Pasien mengeluh sering merasakan kesemutan terutama pada kedua telapak
tangan dan kaki.
Dari hasil kontrol CT Scan Nasofaring Coronal (10 Januari 2020)
didapatkan tampak penebalan pada mukosal faringeal space dekstra yang
mendangkalkan fossa rossenmuler, dengan kesimpulan massa nasofaring dengan
adanya perbaikan saat dibandingkan dengan foto CT Scan sebelumnya (30
Agustus 2019) sebelum menjalani radioterapi. Selain itu juga dilakukan
pemeriksaan CT Scan Mastoid potongan aksial (26 Februari 2020) dan
34
ditemukan adanya perselubungan pada aircell mastoid terutama pada telinga
kanan dengan kesan otomastoiditis dekstra.
Regio Fasialis
Pemeriksaan Kanan Kiri
35
Gambar : Hasil foto CT Scan Nasofaring Coronal (10 Januari 2020)
Telinga kiri :
- Telinga luar : canalis acusticus externus dalam batas normal, membran
timpani intak
- Telinga tengah : canalis tympanicum dan osikula intak
- Telinga dalam : cochlea dan kanalis semisirkularis masih intak
- Internal auditory canal dalam batas normal
- Aircell mastoid berselubung
36
Gambar : Hasil foto CT Scan Mastoid Axial (26 Februari 2020)
DIAGNOSIS KERJA
Karsinoma Nasofaring Stadium IVA (T4 N0 M0) dengan Parese Nervus Fasialis
(Hause-Brackmann III)
RENCANA TINDAKAN
1. Mecobalamin 500 mg / 12 jam /oral
2. Fisioterapi / Rehabilitasi medik
37
BAB IV
DISKUSI
38
berdekatan sehingga mengakibatkan tekanan negatif dalam kavum timpani, yang
jika berlangsung lama dapat terjadi otitis media dan jika tidak tertangani menjadi
masoiditis. Keterlibatan nervus fasialis pada atribut parotis untuk penyebaran
limfatik tumor ke kelenjar getah bening parotis melalui kelompok kelenjar getah
bening retrofaring.
Pada pasien ini ditemukan adanya tanda-tanda yang mengarah ke
komplikasi intratemporal dimana terlihat adanya gejala parese nervus fasialis yang
dapat disebabkan penyebaran secara tidak langsung ke telinga tengah melalui tuba
eustachius. Selain itu juga dari hasil pemeriksaan CT Scan Mastoid Aksial yang
dilakukan, ditemukan adanya ostomastoiditis dekstra dan perforasi sedang pada
membran timpani telinga kanan yang memungkinkan terjadinya parese nervus
fasialis yang disebabkan oleh mekanisme secara tidak langsung. Setelah dilakukan
terapi radiasi sebanyak 35 siklus, terlihat perbaikan secara klinis dari pasien.
Sebelum menjalani radiasi pasien diidentifikasi dengan Hause Brackmann grade
V, dan sekarang turun menjadi grade III.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
13. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-
UI. 2007
14. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, Lo KW.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncol, 2014;50:330-8
15. Pieter N. Profil IgA ( Vca- P18+ Ebna 1) dan Viral Load DNA EBV Sebagai
Faktor Resiko Keluarga Penderita Karsinoma Nasofaring dengan EBV Positif.
Disertasi Program Pasca Sarjana UNHAS, 2013 : 8-22.
16. Young LS, Dawson CW. Epstein-Barr virus and nasopharyngeal carcinoma.
Chin J Cancer, 2014; 33(12): 581-90
17. Chan YH, Lo CM, Lau HY, Lam TH. Vertically transmitted nasopharyngeal
infection of the human papillomavirus: Does it play an aetiological role in
nasopharyngeal cancer ? Oral Oncol, 2014, 2012;50:212-9
18. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. dalam: Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM (Eds.). Nasopharyngeal
Cancer Multidisciplinary Management. Springer, 2010: 9-25
19. Chan JKC, Bray F, McCarron P, Foo W, Lee AWM, Yip T, Kuo TT.
Nasopharyngeal Carcinoma. WHO, 2012
20. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD (Eds.). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher, ed. 7. Jakarta: FKUI, 2012
41