Anda di halaman 1dari 22

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-BKL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2022


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

DISUSUN OLEH:
Dea Ainun Hamdayani C014192088
Yumn Saskia Nabila C014192117
Sukmawati Arifuddin C014192114

RESIDEN PEMBIMBING
dr. Nur Fadhilah Gani

SUPERVISOR PEMBIMBING
dr. Mahdi Umar, Sp. THT-BKL (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-BKL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa:

Dea Ainun Hamdayani C014192088

Yumn Saskia Nabila C014192117

Sukmawati Arifuddin C014192114

Telah menyelesaikan tugas referat dengan judul “Angiofibroma


Nasofaring Belia” dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada Departemen
Ilmu Kesehatan THT-BKL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 02 Juni 2022

Mengetahui,

SUPERVISOR PEMBIMBING RESIDEN PEMBIMBING

dr. Mahdi Umar, Sp. THT-BKL (K) dr. Nur Fadhilah Gani

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………... i

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….. iii

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………….. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………… 2

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI …………………………………………………..2


2.2 DEFINISI ……………………………………………………………………..... 4
2.3 EPIDEMIOLOGI …………………………………………………………..…... 4
2.4 ETIOPATOGENESIS ………………………………………………. ..……..... 5
2.5 KLASIFIKASI….. …………………………………………………………….. 6
2.6 DIAGNOSIS …………....……………………………………………….….…. 7
2.7 DIAGNOSIS BANDING …………………………………………………….. 12
2.8 TATALAKSANA ……...………………………………………….…..……. 14
2.9 KOMPLIKASI……………………………………………………………..… 17
2.10 PROGNOSIS …………………………………………………………….…… 17

BAB III. KESIMPULAN……………………………………………………………………18

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………... 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma Nasofaring Belia (ANB) adalah tumor pembuluh darah yang langka
banyak mengenai usia remaja, bersifat jinak secara gambaran histopatologi tetapi dapat
bersifat ganas karena sifatnya yang agresif, destruktif, menyebar lokal dan seringkali meluas
ke tulang tengkorak. Angka kejadian berkisar 0,5% dari semua tumor kepala leher, dengan
angka insidensi 1:150.000, dengan frekuensi 0,4 per satu juta penduduk dan angka puncak
3,4 per satu juta penduduk yaitu pada usia remaja di Amerika Serikat. Predileksi kuat ANB
pada remaja laki-laki usia 14-15 tahun, walaupun dilaporkan pada rentang usia 10-25 tahun.
Perjalanan JNA pada umumnya lambat, gejala biasanya 6-12 bulan sebelum diagnosis
ditegakkan, diperkirakan 70% pasien telah sedikitnya stadium II pada saat diagnosis.1

Kasus angiofibroma dapat terjadi di luar nasofaring, lokasi paling sering pada sinus
maksilaris (32%) dan sinus ethmoid (10%). Angiofibroma yang timbul di sinus maksilaris
dan ethmoid secara klinis berbeda dari angiofibroma nasofaring. Mereka berkembang pada
usia yang sedikit lebih tua dan lebih sering terjadi pada wanita.2

Penyebab Angiofibroma Nasofaring Belia belum diketahui secara jelas, salah satu
diantaranya adalah teori ketidakseimbangan hormonal, yang menyebutkan bahwa penyebab
angiofibroma adalah produksi estrogen yang berlebih atau defisiensi androgen. Gejala klinik
terdiri dari hidung tersumbat (80- 90%), epistaksis (45-60%), kebanyakan unilateral dan
rekuren, nyeri kepala (25%). Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti foto polos, CT scan, angiografi atau MRI.
Penatalaksanaan ANB dapat berupa pembedahan (ekstirpasi tumor) dengan penyulit utama
perdarahan. Pembedahan merupakan pilihan utama dan dapat dilakukan dengan beberapa
macam metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving, kraniotomi. Pasien
ANB sebelum tindakan pembedahan dilakukan embolisasi atau ligasi arteri karotis eksterna
terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengurangi perdarahan yang banyak intraoperatif,
merupakan penyebab utama morbiditas. Penurunan rata-rata kehilangan darah intraoperatif
dari 60% dari embolisasi preoperatif.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar 1. Anatomi Pharynx

Faring adalah ruang fibromuskular berbentuk tabung memanjang dari basis


cranii ke pintu masuk oesophagus (sfingter esofagus bagian atas). Secara anatomis dan
klinis, faring terdiri dari bagian hidung (nasofaring), bagian mulut (orofaring), dan
bagian laring (hipofaring). Seluruh faring dikelilingi oleh beberapa otot.

Nasofaring adalah ruang berbentuk kuboid. Struktur ini terhubung dengan


cavum nasi melalui choanae dan dengan telinga tengah melalui lubang tuba eustachius.
Nasofaring dibatasi secara superior oleh dasar sinus sphenoid dan atap faring. Juga di
daerah ini adalah tonsil faring yang merupakan bagian dari cincin tonsil. Medial ke
lubang tuba eustachius, tulang rawan tuba membentuk bibir yang menonjol yang
disebut torus tubarius. Cekungan di belakangnya disebut resesus faring (fossa
Rosenmuller). Nasofaring dibatasi pada posterior oleh vertebra cervical pertama dengan
fasia cervical prevertebral di atasnya dan otot-otot prevertebral.

2
Orofaring adalah rongga mulut yang terhubung melalui isthmus faucial dengan
orofaring, yang memanjang secara inferior dari batas bawah nasofaring hingga batas
atas epiglotis. Di bagian anterior dibatasi oleh dasar lidah dan tonsil lingual dan di
posterior oleh vertebra cervical kedua dan ketiga dengan fasia prevertebralnya. Dibatasi
secara lateral oleh pilar faucial yang mengapit tonsil palatina.

Hipofaring adalah bagian yang memanjang dari batas superior epiglotis ke batas
inferior lempeng kartilago krikoid laring, kemudian bergabung dengan esofagus. Pada
sisi posterior hipofaring sejajar dengan vertebra serviks ketiga sampai keenam. Dinding
anterior dibentuk oleh bagian belakang laring, yang menonjol ke dalam hipofaring dan
membentuk dua kantong mukosa lateral (sinus piriformis), yang bergabung kembali
setinggi pintu masuk esofagus.

Mukosa yang melapisi nasofaring terdiri dari beberapa baris epitel bersilia. Di
orofaring, terdapat epitel skuamosa berlapis dan tidak berkeratin yang juga melapisi
hipofaring. 4

Gambar 2. Vaskularisasi Pharynx

Faring menerima vaskularisasi darah dari arteri carotis externa (cabang arteri
facialis, arteri maxilaris, arteria pharyngea ascendens, arteri lingual, dan arteri tiroidea
superior). Vena faring bermuara ke vena jugularis interna. Drainase limfatik bagian atas

3
faring melalui nodus retrofaringeal, sedangkan bagian bawah mengalir ke nodus
parafaringeal atau servikal profunda. Otot dan mukosa faring menerima persarafan
motorik dan sensorik dari pleksus faringeus, yang selanjutnya menerima serat dari saraf
glossopharyngeal dan vagus. Pleksus tersebut terletak di sisi luar otot Musculus
constrictor pharyngis medius.4

Suplai vaskular ke nasofaring disediakan oleh cabang-cabang arteri karotis


interna (arteri mandibular), arteri maksilaris (arteri pterigopalatina), arteri fasialis (arteri
palatina asendens), dan arteri faringeal asendens (arteri faring superior). Drainase vena
melalui pleksus vena parafaringeal. Pleksus mengalir ke vena retrofaringeal dan fasialis,
yang keduanya mengalir ke vena jugularis interna. 5

Fungsi nasofaring adalah sebagai komponen dari sistem saluran napas atas,
menghubungkan saluran hidung ke laring dan trakea, melalui orofaring. Otot intrinsik
nasofaring mengontrol pembukaan tuba eustachius, yang membantu mengontrol ventilasi
dan keseimbangan tekanan atmosfer antara rongga telinga tengah dan nasofaring.
Nasofaring berkontribusi pada resonansi dan produksi suara. Obstruksi nasofaring
menyebabkan perubahan suara. Saat udara inspirasi disaring dan dilembabkan di dalam
rongga hidung, partikel debu terperangkap dalam lendir hidung dan diangkut melalui
"mucociliary elevator", yang bergerak menuju nasofaring. Dari sana, kotoran hidung
mengalir ke orofaring. Isthmus nasofaring menghalangi nasofaring selama menelan. 5
2.2 DEFINISI
Angiofibroma Nasofaring Belia (ANB) atau Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak langka, banyak mengenai remaja laki-laki,
terdiri dari komponen pembuluh darah (angio) dan jaringan ikat (fibroma), bersifat jinak
secara histopatologi tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor yang kaya pembuluh
darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris. 3
2.3 EPIDEMIOLOGI
Angiofibroma Nasofaring Belia merupakan tumor yang jarang ditemukan. Angka
kejadian Angiofibroma Nasofaring Belia berkisar 0,5% dari semua tumor kepala leher,
dengan angka insidensi 1:150.000, dengan frekuensi 0,4 per satu juta penduduk dengan
angka puncak 3,4 per satu juta penduduk yaitu pada usia remaja di Amerika Serikat.
Meskipun jarang, ANB lebih banyak terjadi pada laki-laki. Usia penderita umumnya
pada dekade kedua, antara 10-24 tahun.1,2 ANB jarang terjadi pada laki–laki diatas 25

4
tahun dan perempuan usia remaja. Di Indonesia dilaporkan 2 sampai 4 kasus
angiofibroma nasofaring belia dalam 1 tahun.3
2.4 ETIOPATOGENESIS
Etiologi Angiofibroma Nasofaring Belia belum diketahui secara jelas, dan masih
sering diperdebatkan. Ada beberapa hipotesis berbeda saat ini dalam literatur, terutama
berputar di sekitar sumber vaskular, seperti AVM, atau sisa dari lengkung cabang
pertama. Sisa lengkung cabang pertama ini juga bisa membantu menjelaskan lokasi khas
angiofibroma nasofaring, karena regresi yang tidak lengkap dapat meninggalkan sisa-sisa
di atau dekat foramen sphenopalatine. Ekspresi reseptor pertumbuhan vaskular, terutama
vascular ensothelial growth factor (VEGFR-2) juga membantu menjelaskan sifat massa
yang sangat vaskular.6
Literatur lain menghubungkan ANB dengan pengaruh hormonal yang
mempengaruhi proliferasi vascular erectile tissue setelah microhemorrhages berulang
dan perbaikan. Studi sebelumnya telah melaporkan adanya reseptor androgen, estrogen,
dan progesteron. Beberapa hipotesis bahwa ini adalah alasan kejadian pria remaja yang
dominan, karena peningkatan produksi androgen pada masa pubertas merangsang
pertumbuhan dan perluasan pembuluh darah tumor. Yang lain telah menunjukkan bahwa
pertumbuhan tumor dapat terjadi kapan saja, bahkan setelah pengobatan, dari pemberian
testosteron. Konsep ini mendapat dukungan dari laporan kasus angiofibroma nasofaring
pada wanita yang lebih tua dimana regulasi produksi estrogen dan progesteron telah
menurun, menunjukkan bahwa estrogen memiliki efek perlindungan; tetapi lebih jauh
dibingungkan oleh laporan kasus angiofibroma nasofaring yang ditemukan pada wanita
hamil, menunjukkan bahwa pengaruh androgen tidak penting. Dengan demikian,
pengaruh hormonal masih belum jelas. 6
Angiofibroma nasofaring juga berkorelasi dengan kelainan genetik dan gangguan
lainnya. Ada laporan tentang delesi kromosom 17. Kepentingan paling signifikan dalam
delesi ini adalah hubungannya dengan TP53 suppressor gene, serta reseptor human
epidermal growth factor 2 (HER2), yang melibatkan HER2 / NEU oncogene, keduanya
terkenal di bidang pertumbuhan tumor dan keganasan. Angiofibroma nasofaring lainnya
yang dilaporkan termasuk poliposis adenomatosa familial (FAP) dan sindrom Gardner,
dengan ekspresi gen APC yang berubah dalam subset angiofibroma nasofaring ini.6
Hubungan lain pada dokumentasi terbaru adalah dengan infeksi Human
Papillomavirus (HPV). HPV diketahui terkait dengan karsinoma sel skuamosa kepala
dan leher. Ia juga dikenal karena efek tumorigeniknya, mirip dengan virus Epstein-Barr.

5
Sebuah penelitian kecil menunjukkan hubungan yang kuat antara ANB dan HPV, dengan
adanya protein spesifik HPV dan DNA dalam jaringan angiofibroma nasofaring.
Mengingat meningkatnya insiden infeksi HPV di seluruh dunia, hal ini menimbulkan
kekhawatiran akan peningkatan ANB, dengan implikasi dalam mengembangkan
kemungkinan praktik pencegahan. Namun, mengingat terbatasnya bukti saat ini, studi
lebih lanjut direkomendasikan. 6

Angiofibroma nasofaring belia berkembang dari foramen sphenopalatina. Melalui


foramen sphenopalatina, tumor meluas medial ke nasal posterior dan nasofaring, secara
submukosal menyebabkan obstruksi nasal dan intonasi suara hidung. Selanjutnya tumor
menyebar ke arah superior menuju sfenoid dan orbita, menyebabkan gangguan
penglihatan. Secara lateral menuju fossa pterygopalatine menyebabkan pendesakan
dinding posterior sinus maxillaris sehingga terdorong ke depan (Holman-Miller sign) dan
menyebar ke fossa infratemporal menyebabkan penonjolan klasik pada pipi dan secara
anterior menuju kavum nasal dan sinus. Penyebaran intrakranial ANB dilaporkan pada
20% kasus. Penyebaran ke fossa kranial media biasanya melalui salah satu dari tiga rute,
yaitu melalui fisura orbital inferior menuju orbita dan penyebaran posterior dari tumor
orbital melalui fisura orbital superior ke fossa kranial media, penyebaran tumor pada
sinus spenoid dengan erosi pada dinding lateral, serta penyebaran tumor melalui basis
pterygoid dan cancellous diploe tulang sfenoid yang selanjutnya menyebabkan erosi
superior greater wing of sphenoid dengan penyebaran ke fossa kranial media.7,8
2.5 KLASIFIKASI
Penentuan stadium pada JNA umumnya menggunakan sistem klasifikasi
Chandler, Fisch dan Radkowski yang dapat dilihat pada tabel 1, 2 dan 3.1

6
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis JNA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
radiologis. Meskipun untuk setiap massa hidung, golden standart-nya adalah biopsi
yang didahului dengan pencitraan radiologis untuk memastikan asal, luas, dan sifat
penyakit, namun pada tumor vaskular seperti JNA, biopsi dikontraindikasikan.
Risiko perdarahan selama dan/atau setelah prosedur melebihi keuntungan tambahan
yang mungkin kita peroleh dari biopsi praoperasi.7,8
A. Anamnesis
JNA biasanya mempengaruhi populasi laki-laki, paling sering antara 9 dan 19
tahun. Umumnya pasien datang dengan gejala klinis obtruksi nasal (80-90%),
merupakan gejala yang paling sering dialami. Epistaksis (45-60%) sebagian besar
unilateral dan berulang. Sakit kepala (25%) terutama bila sinus paranasal tersumbat,
pembengkakan wajah (10-18%) dan sebagian besar memiliki riwayat sinusitis kronis.
Gejala lainnya adalah hipoestesi pada wajah, perubahan penglihatan, rinore unilateral,
anosmia, hiposmia, rinolalia, penurunan pendengaran, nyeri telinga, pembengkakan
palatum, dan deformitas pada pipi.1,9

B. Pemeriksaan Fisis

7
Gambaran klinis tergantung dari letak tumor, perluasan dan waktu tumor
terdiagnosis. Penyebaran tumor terjadi melalui submukosa dan jaringan lunak
disekitar lesi. Tanda klinis yang dapat ditemukan yaitu massa di hidung (80%), massa
di mata (15%), proptosis (10-15%) dan tanda lainnya termasuk otitis serosa yang
disebabkan oleh sumbatan tuba eustachii menyebabkan gangguan pendengaran
konduktif. Penyebaran tumor ke kavum sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis
kronik. Proptosis dan perubahan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita.
Pembengkakan pipi, defisit neurologis, perubahan penghidu, rhinolalia clausa, dan
otalgia juga mungkin terjadi. Penyebaran tumor ke anterior dapat mengganggu duktus
nasolakrimal mengakibatkan dakriosistitis. Tumor yang lebih besar lagi dapat
menyebabkan pendorongan palatum molle sehingga menyebabkan pembengkakan
pada antrum maksila dan meluas hingga fossa infratemporal.1,2,7
- Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukkan banyak sekret mukopurulen pada
kavum nasal yang umumnya mengaburkan tumor dari penglihatan pemeriksa.
Beberapa pasien mengalami penonjolan tumor keluar dari lubang hidung anterior.7
- Pemeriksaan rinoskopi posterior menunjukkan lesi massa divisualisasikan di
nasofaring. Palatum sering bergeser ke inferior karena desakan tumor yang
berwarna merah muda atau kemerahan mengisi nasofaring.7,8
- Pemeriksaan faringoskopi ditemukan palatum sering bergeser ke inferior karena
desakan tumor, pada palpasi intraoral dapat ditemukan massa diantara maxilla dan
ramus ascending mandibula. Palpasi transpalatal mencatat konsistensi tumor
kenyal, namun palpasi tidak dianjurkan mengingat risiko perdarahan sangat tinggi.
Bercak darah dapat terlihat di faring posterior.1
- Endoskopi hidung biasanya menunjukkan permukaan yang rata, rubbery,
lobulated, polipoid, kekuningan sampai merah atau ungu, massa hipervaskular
berasal dari middle turbinate dengan ukuran bervariasi dan penyebaran yang
biasanya menonjol menghalangi koana atau mengisi fossa hidung sepenuhnya . 9

8
Gambar 3. Gambaran endoskopi fossa nasal kanan
Juvenile Angiofibroma Nasofaring (JNA) menyumbat rongga hidung dan menonjol di
antara turbinat tengah (MT) dan septum hidung (NS). Singkatan: IT, turbinate
inferior.
C. Pemeriksaan Penunjang
- Foto Konvensional
Foto Konvensional tidak lagi berperan dalam pemeriksaan dugaan
angiofibroma nasofaring belia; namun, mereka masih dapat diperoleh dalam
beberapa kasus selama penilaian obstruksi hidung atau gejala obstruksi sinus.
Temuan termasuk:10
1. Visualisasi massa nasofaring
2. Opasifikasi sinus sfenoid
3. Anterior bowing dari dinding posterior antrum rahang atas (tanda Holman-
Miller)
4. Pelebaran fisura pterygomaxillary dan fossa pterygopalatine
5. Erosi plate pterigoid medial
- CT-Scan
CT tetap merupakan pilihan awal yang menggambarkan sebagian besar tanda-
tanda radiologi khas dan penyebaran serta destruksi tulang dan ketepatan lokasi
tumor. Bertambahnya lesi massa di nasofaring biasa terjadi, namun tidak selalu
terutama pada kasus-kasus kekambuhan. 2,7
Karakteristik temuan CT:2,7
1. Lengkungan anterior dinding maksila posterior (Holman-Miller sign).

9
2. Erosi dasar sinus sfenoid dan penyebaran tumor yang berdekatan dari
nasofaring ke sinus sfenoid.
3. Erosi basis pterygoid.
4. Distribusi tumor khas dengan lobul yang bertambah banyak dan tumor
berbatas tegas melibatkan fossa infra temporal, menyebar melalui fisura orbital
inferior, orbits posterior, dan fisura orbital superior.
5. Erosi dan perluasan kanal vidian.

Gambar 4. Gambaran ct scan dengan penampakan Holman Miller sign dan


erosi pada basis pterygoid.
Gambar CT menunjukkan perpindahan posterior basis pterygoid (A) dan erosi
basis pterygoid (B). (A) juga menunjukkan pembengkokan anterior dinding
posterior rahang atas dan perluasan fossa pterigopalatina (tanda Holman Miller),
dan (B) juga menunjukkan erosi kanal vidian ipsilateral.
- MRI
MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik. Tumor dapat
menampilkan gambaran salt and pepper dengan komponen fibrosa tumor
berwarna putih dan komponen vaskular angiomatosa berwarna gelap. Gambaran
penyebaran tumor akan lebih jelas dengan kontras gadolinium. MRI berguna
untuk penilaian tumor intrakranial yang berbatasan dengan sinus kavernosus dan
internal carotid artery (ICA) dan untuk evaluasi lanjutan tumor residual/tumor
berulang. 2,7

10
Gambar 5. Gambaran MRI dengan penampakan salt and pepper.
MRI aksial dan koronal menunjukkan tampilan "salt and pepper" dari JNA, dan
perluasan tumor dari fossa pterigopalatina ke nasofaring, hidung, fossa
infratemporal, dan orbita posterior.
- Angiografi
Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapeutik, dengan melakukan
embolisasi pada feeding vessel tumor. Kedua tindakan tersebut dapat dilakukan
secara terpisah atau bersamaan. Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan
untuk menentukan luasnya lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel.
Dalam menentukan batas tumor, penilaian perluasan intrakranial sangat penting
karena operasi dapat menyebabkan bahaya lain. Arterial mayor yang menyuplai
tumor-tumor ini adalah internal maxillary artery ipsilateral yang khas dengan
pembuluh darah tambahan ascending pharyngeal artery dan cabangcabang ICA
kavernosa atau sistem karotid eksternal kontralateral. 2,7

Gambar 6. Gambaran angiografi suplai vaskular JNA.

11
Angiogram pra-embolisasi dengan kateter angiografi di arteri karotis eksterna
distal. Arteri maksilaris interna terlihat 10 mensuplai tumor dengan 'tumour blush'
yang intens. Cabang meningeal tengah dari seni maksilaris interna, juga dicatat,
seperti arteri temporal superfisial.
- Pemeriksaan Histopatologi:
Secara makroskopik, gambaran angiofibroma sangat tergantung pada
komponen penyusunnya, yaitu komponen pembuluh darah dan komponen
jaringan fibrosa. Gambaran massa sangat bervariasi mulai dari putih pucat sampai
merah dan terdapat lapisan pembuluh darah yang rapuh. Tumor jenis ini tidak
berkapsul dan meluas melalui submukosa dan infiltrasi lokal. Pada spesimen yang
besar, tumor biasanya berlobulasi dengan ketebalan yang bervariasi. Saluran
vaskular ini kekurangan otot polos di sekitarnya dan persarafan pembuluh darah
normal dan oleh karena itu cenderung berdarah deras ketika ada tindakan
pembedahan. 7
Gambaran mikroskopik dari tumor ini bervariasi karena adanya komponen
vaskuler diantara jaringan ikat padat. Dari mikroskop elektron disimpulkan bahwa
sel stroma dapat berasal dari fibroblas dan miofibroblas yang sering dapat dilihat
pada kelainan fibroproliferatif. 7

Gambar 7. Gambaran histologi ANJ


Stroma jaringan ikat fibrokolagen, (A) pembesaran 50x pembuluh darah tipis dengan
bentuk bervariasi dan (B) pembesaran 200x dengan bentuk sel mast bervariasi bulat.
2.7 DIAGNOSIS BANDING
- Neuroblastoma olfaktorius (esthesioneuroblastoma)
Sangat meningkatkan massa rongga hidung dari neuroepithelium olfaktorius
yang dapat memiliki gejala dan usia onset yang serupa. Tumor ini dapat memiliki
dumbbell appearance pada pencitraan dengan ekstensi intrakranial dan berpusat pada
pelat cribriform. Neuroblastoma olfaktorius dapat menunjukkan kista intrakranial,

12
difusi terbatas, dan area nekrosis. Neuroblastoma olfaktorius jauh lebih umum pada
wanita daripada JNA. 6
- Rhabdomyosarcoma
Sarkoma jaringan lunak dari otot lurik. Ketika terjadi di kepala dan leher,
paling umum terdapat di dalam orbita, tetapi juga terdapat di parameningeal seperti
nasofaring, fossa pterygopalatine, telinga tengah, sinus paranasal, atau ruang
parafaring telah dijelaskan. Kondisi ini biasanya merupakan keganasan pada pasien
yang lebih muda, dengan 70% terjadi pada usia <12 tahun, dan 40% terjadi pada usia
<5 tahun. Rhabdomyosarcoma menunjukkan peningkatan kontras yang bervariasi,
ringan-sedang, dengan peningkatan avid atipikal, tidak seperti JNA.
Rhabdomyosarcoma biasanya juga akan membatasi difusi, yang dapat menjadi
pembeda lainnya dengan JNA. 6
- Polip sinonasal
Polip inflamasi yang dapat menjadi hipervaskular setelah cedera berulang
tetapi akan memiliki vaskularisasi yang lebih sedikit dibandingkan JNA. Yang paling
umum adalah polip antrochoanal, yang berasal dari sinus maksilaris dan memanjang
melalui ostium maksila ke dalam rongga hidung. Polip sinonasal juga dapat berasal
dari/atau meluas ke nasofaring. Namun, Polip sinonasal biasanya tidak akan meluas
ke foramen sphenopalatina atau fossa pterygopalatine. Remodeling tulang secara
halus dan tidak merusak. Polip akan menunjukkan peningkatan perifer tanpa
peningkatan sentral, tidak seperti angiofibroma nasofaring. Juga terlihat pada
remaja/dewasa muda dengan obstruksi hidung, tetapi jarang menyebabkan epistaksis.
6

- Encephalocele
Meninges menutupi outpouching dari parenkim otak dan CSF yang menonjol
melalui defek dasar skull. Varian nasoethmoidal/nasofaring dapat muncul sebagai
massa rongga hidung. Umumnya posisinya lebih anterior dari JNA dan tidak
meningkat. 6
- Karsinoma nasofaring
Tumor mukosa yang muncul di aspek superolateral nasofaring di dalam fossa
Rosenmuller. Karsinoma nasofaring adalah keganasan terutama pada orang dewasa,
dengan insiden puncak 40-60 tahun, dan jarang pada kelompok pediatrik/remaja.
Karsinoma nasofaring memiliki asosiasi EBV yang kuat. Tumor ini menunjukkan
pola peningkatan homogen ringan, tidak seperti peningkatan avid angiofibroma

13
nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan lesi destruktif, namun tidak seperti
angiofibroma nasofaring, lesi ini rentan terhadap infiltrasi lemak parafaring dan
jaringan lunak wajah bagian dalam lainnya. Seringkali akan menunjukkan kerusakan
tulang yang lebih luas, termasuk clivus dan ke dalam sinus kavernosa.6
2.8 TATALAKSANA
Pembedahan merupakan tatalaksana utama JNA. Pilihan lain meliputi kemoterapi,
terapi hormonal, radiasi, dan embolisasi yang saat ini hanya sebagai pengobatan
pelengkap. Pendekatan bedah ditentukan oleh lokasi tumor, penyebaran, dan keahlian
pembedah. Teknik harus mempertimbangkan efek pembedahan pada tulang kraniofasial
pada pasien laki-laki usia muda, yang masih tumbuh sampai usia 20 tahun. Faktor-faktor
yang dapat membatasi pertumbuhan wajah meliputi peningkatan jaringan lunak dan
periosteum, diseksi mukoperiosteum langit- langit, etmoidektomi, osteotomi fasial, serta
penggunaan fiksasi metal.
1. Pembedahan dan Embolisasi
Gold standart tatalaksana JNA adalah pembedahan dengan embolisasi preoperatif.
Tambahan modalitas tatalaksana untuk gejala sisa atau JNA rekuren yang dapat
diberikan seperti radioterapi, terapi hormon dengan flutamide, cryoterapi,
electrokoagulation dan kemoterapi.Pendekatan bedah ditentukan oleh usia pasien,
perluasan penyakit, tingkat pembedahan (primer atau revisi), vaskularisasi dan
keahlian pembedah, peralatan yang tersedia dan penerimaan pasien.1
Sebelum dilakukan pembedahan, dapat diberikan terapi anti androgen untuk
menyusutkan ukuran tumor. Flutamide merupakan antagonis androgen non steroid,
penghantar ke penghambat reseptor kompetitif inhibitor dari testosteron dan
dihidotestosteron. Flutamide diberikan selama 6 minggu dengan dosis
10mg/KgBB/hari dapat mengecilkan volume tumor sampai 17,2% (dengan rata-rata
penurunan 16,5%, maskimal 40%). Efikasi masih terbatas pada pasien post pubertas,
tidak efektif pada pasien pre pubertas karena kadar testosteron minimal atau bahkan
tidak ada. 1
Embolisasi preoperatif sekarang rutin dilakukan dan bersamaan dengaan gelfoam
atau partikel polyvinyl alcohol (PVA) 1-2 hari sebelum operasi. Hal ini dapat
menurunkan kehilangan darah intraoperatif sampai 70% dan meningkatkan area
pembedahan sehingga eksisi tumor komplit dapat dicapai. Embolisasi preoperatif

biasanya dilakukan sebelum tindakan pembedahan endoskopik. 2,4,5,17 Teknik

14
pembedahan JNA meliputi pembedahan terbuka dan pembedahan endoskopik atau
kombinasi. Dapat dilihat pada tabel dibawah ini. 1
Tabel 4. Teknik Pembedahan JNA1

Pembedahan terbuka terbatas untuk ukuran tumor relatif lebih kecil (stadium I,IIa
dan IIb), meskipun ahli bedah yang sudah berpengalaman dapat melakukan pada
ukuran tumor yang lebih besar. Reseksi endoskopik sangat direkomendasikan untuk
tumor stadium awal sampai tumor pada stadiun IIIA-IIIB (berdasarkan klasifikasi
Radkowski), hal ini dikarenakan lapangan pandang lebih baik dibandingkan dengan
pembedahan lateral rhinotomy, minim perdarahan, minim kebutuhan transfusi darah,
durasi operasi lebih singkat, dampak ke pertumbuhan kraniofasial lebih kecil. Kontra
indikasi pembedahan endoskopik yaitu pada tumor residual yang meliputi area kritis
(ICA, nervus optikus, sinus kavernosa dan dura). 1
2. Radioterapi
Pemberian radiasi eksterna pada ANJ efektif sebagai terapi primer pada post
pembedahan untuk sisa lesi, pada ukuran tumor yang besar yang diperkirakan tidak
dapat direseksi atau pada stadium lokal lanjut, misalnya tumor telah mencapai
intrakranial dan melibatkan sinus kavernosus dan kiasma optik. Dosis pemberian
radioterapi antara 30- 46 Gy pada 1,5 sampai 2,3 Gy perterapi, umumnya dosis yang
diberikan 30-35 Gy. 1
Reddy dkk. melaporkan manfaat radiasi 30 Gy pada 10 pasien dengan perluasan
tumor ke intrakranial. Didapatkan rata–rata kesintasan 2.5 tahun dengan 85% kontrol
lokal. Studi yang dilakukan oleh Chakraborty dkk. terhadap 8 pasien yang diterapi
dengan radioterapi konformal (tujuh IMRT, satu 3DCRT) melaporkan resolusi
progresif dalam tujuh kasus setelah median follow-up 17 bulan. Penulis juga
melaporkan kontrol lokal 87,5% dalam dua tahun dengan efek samping minimal pada
organ sekitar.2

15
Sebuah studi yang dilakukan oleh Robert J.A. dkk. selama 30 tahun (1975 sampai
dengan 2006) menggambarkan karakteristik dan hasil tatalaksana ANJ di Universitas
Florida yang melibatkan 24 pasien. Dari studi ini didapatkan perbandingan dosis
radiasi pada ANJ 30–32 Gy dengan kontrol lokal 77% (10/13 pasien) dan dosis radiasi
30–36 Gy dengan kontrol lokal 91% (10/11 pasien).2
Meskipun radiasi dilaporkan efektif sebagai terapi, namun radiasi tidak dianjurkan
diberikan pada remaja dengan tumor jinak. Karena komplikasi jangka panjang yang
dapat terjadi yaitu transformasi maligna, karsinoma tiroid, sarcoma jaringan lunak dan
tulang, karsinoma sel basal, hipoptuarism, katarak, atrovi nervus optikum,
osteoradionekrosis, osteomiolitis basis cranial, dan retardasi pertumbuhan wajah. 1
3. Kemoterapi
Kemoterapi disarankan pada kasus JNA yang pertumbuhannya agresif dan
rekuren. Beberapa kombinasi terapi obat-obat sititoksik seperti dexorubisin dan
dacarbazin atau vincristine, dactinomicyn dan cyclophosphamid. Goepfert
mengatakan bahwa terjadi remisi pada 5 pasien dengan rekurensi JNA menggunakan
kombinasi dexorubisin, vincristine, dactinomicyn dan cyclophosphamid, tidak
satupun dari kasus dikemudian hari mengalami rekurensi. Penggunaan kemoterapi
dalam tatalaksana JA hanya beberapa literature yang menjelaskan. 1
4. Terapi Hormonal
Beberapa penelitian mengatakan ada hubungan patogenesis hormone dependen
pada JNA. Adanya bukti immunocytochemical reseptor androgen, 75% menggunakan
antibodi terhadap reseptor androgen. Non steroid antagonist androgen, flutamid,
menghambat reseptor androgen tanpa efek samping analog estrogen. Namun hanya
pada pasien post pubertas. Bevazicumab adalah antibodi monoklonal manusia yang
menghambat VEGF-A, tetapi data klinis mengenai terapi ini masih sedikit. Tamoxifen
adalah reseptor antagonis estrogen, menghambat proliferasi dari kultur sel stroma
JNA. Glukokortikoid dilaporkan dapat menurunkan regulasi VEGF, mereduksi
densitas pembuluh darah mikro dan volume tumor. Namun masih belum teruji untuk
tatalaksana JNA rekuren atau yang tidak dapat dioperasi. Inhibitor mTOR
(mammalian target of rapamycin) sirolimus (rapamycin) dan analognya merupakan
inhibitor potensial dari serine/threonine kinase yang mengkontrol proses pertumbuhan
sel. B-blocker digunakan pada hemangioma infantile untuk mengurangi ekspresi dari
VEGF dan hal ini merupakan teori propanolol menginduksi apoptosis karena

16
keterlibatan dari b1-adrenoreseptor dalam angiogenesis. Antara mTOR dan b-blocker
adalah pilihan masa depan dalam tatalaksana JNA. 1
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling signifikan dari JNA adalah kehilangan darah, terutama
saat operasi, dan bisa berakibat fatal jika tidak ada tindakan pencegahan yang
tepat. Eksoftalmus, deformitas wajah/orbita, kehilangan penglihatan, dan hilangnya
gerakan ekstraokular dapat terjadi akibat invasi orbital oleh tumor.
Kehilangan penglihatan juga bisa menjadi komplikasi potensial dari embolisasi
nontarget jika ada keterlibatan cabang arteri karotis interna. Komplikasi berat lainnya
dari embolisasi pra operasi termasuk vasospasme arteri, kelumpuhan wajah, infark, atau
cedera saraf kranial. Komplikasi ringan termasuk pembengkakan wajah, nyeri atau
sensasi abnormal, sakit kepala, atau mual/muntah.6
2.10 PROGNOSIS
Faktor risiko meningkatkan terjadinya rekurensi yaitu usia muda, onset cepat,
intensitas tinggi VEGF dan stadium JNA dengan perluasan ke intracranial, erosi dasar
tengkorak, melibatkan sinus kavernosus. Rekurensi hasil dari perluasan yang dalam pada
tumor menyebabkan jaringan residual setelah operasi. 1
Studi Sun, dkk. mengidentifikasi tiga faktor prediktif yang mungkin
meningkatkan kekambuhan, yaitu usia saat diagnosis (di bawah 18 tahun), ukuran tumor
(>4 cm), dan staging berdasarkan klasifikasi Radkowski.7

17
BAB III
KESIMPULAN

Angiofibroma Nasofaring Belia merupakan tumor jinak bersifat destruktif


terhadap tulang-tulang di sekitarnya. Tumor ini terutama pada laki-laki usia 10-24 tahun,
jarang pada usia lebih dari 25 tahun. Etiologi JNA masih belum jelas, banyak spekulasi
dan bukti tidak langsung bahwa pengaruh endokrin atau hormonal berperan. Gejala khas
ANB adalah obstruksi nasal unilateral pada pasien remaja laki-laki dengan rinorea dan
epistaksis unilateral berulang. Diagnosis ANB ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan radiologis. Konfirmasi radiologi seperti CT dan MRI dapat sangat
membantu menegakkan diagnosis tanpa biopsi yang dapat meningkatkan risiko
perdarahan. Modalitas terapi dengan pembedahan, endoskopi, terapi hormonal, dan
radioterapi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Ibrahim I, Ajeng D. 2020. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Jurnal Ilmu


Kedokteran. Jilid 14, No 1, 1-7p.
2. HK Ginting, N Supriana. 2018. Angiofibroma Nasofaring Juvenil. Journal of the
Indonesian Radiation Oncology Society. Vol 9 (1) : 28-32p.
3. I Putu AB. 2019. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Belia di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Sistem Kesehatan. Vol 5 (2) : 81-85p.
4. Probst, R., Grevers, G., Iro, H., Waldfahrer, F., Rosanowski, F., Eysholdt, U., &
Probst, R. 2018. Basic otorhinolaryngology (2nd ed.). Rio: Thieme Publishers.
5. Nicholas L, dkk. 2021. Anatomy, Head and Neck, Nasopharynx. StatPearls
Publishing. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557635/
6. Craig A. Tork, Dustin L. Simpson. 2021. Nasopharyngeal Angiofibroma. StatPearls
Publishing. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545240/

7. Ni Made A.W.D. 2018. Tatalaksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. CDK-


262/vol.45 no 3, 202-205p.
8. Mahajan A, Gupta K. 2021. Pharynx - Diagnosis and Treatment, chapter Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. DOI:10.5772/intechopen.95923
9. Ahmad S, Alberto S, Fliss M, Piero N. 2018. Juvenile Angiofibroma: Current
Management Strategies. J Neurol Surg B Skull Base; 79(01): 021-030
10. Gaillard, F., Khedr, D. 2022. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Reference
article, Radiopaedia.org. DOI:https://doi.org/10.53347/rID-1541

19

Anda mungkin juga menyukai