Anda di halaman 1dari 15

Referat

ANGIOFIBROMA JUVENILE

Disusun Oleh:

Dinda Radeta, S. Ked. 04084822124007


Maryamah, S. Ked. 04084822124017
R. A. Mitha Aulia, S. Ked. 04084822124090

Pembimbing:
dr. Ermalinda Kurnia, Sp.T.H.T.K.L

KSM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH


KEPALA LEHER RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:
ANGIOFIBROMA JUVENILE

Disusun oleh:
Dinda Radeta, S. Ked. 04084822124007
Maryamah, S. Ked. 04084822124017
R. A. Mitha Aulia, S. Ked. 04084822124090

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ Rumah Sakit Umum
Pusat dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 5 Mei-22 Mei 2021

Palembang, Mei 2021


Pembimbing,

dr. Ermalinda Kurnia, Sp.T.H.T.K.L.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan
judul “Angiofibroma Juvenile” untuk memenuhi referat yang merupakan bagian
dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya / Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
dr. Ermalinda Kurnia, Sp.T.H.T.K.L., selaku pembimbing yang telah meluangkan
waktu dan memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini. Tidak
lupa ucapan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga referat ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Mei 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring...........................................3
2.1.1 Anatomi Nasofaring.................................................................3
2.1.2 Fisiologi Nasofaring.................................................................4
2.2 Angiofibroma Juvenile.............................................................4
2.2.1 Definisi.....................................................................................4
2.2.2 Epidemiologi............................................................................4
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.......................................................5
2.2.4 Etiologi dan Faktor Risiko.......................................................5
2.2.5 Patofisiologi.............................................................................6
2.2.6 Histopatologi............................................................................7
2.2.7 Klasifikasi................................................................................8
2.2.8 Manifestasi Klinis....................................................................8
BAB III KESIMPULAN...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Nasofaring...........................................................................3


Gambar 2. Gambaran Histologi ANJ..................................................................8
BAB I

PENDAHULUAN

Pertama kali Hippocrates menjelaskan Juvenil nasophayngeal angiofibroma


pada abad ke- 5 SM yaitu pada tahun 1940. Friedberg menyebutnya sebagai Juvenile
Angiofibroma. Istilah juvenile masih bisa diperdebatkan karena JNA juga dapat terjadi
pada pasien yang lebih tua. Namun, karena sebagian besar kasus terjadi antara usia 14
dan 25 tahun, istilah ini dapat dipertahankan.1

Juvenil nasophayngeal angiofibroma (JNA) merupakan neoplasma jinak


nasofaring yang jarang ditemukan. Juvenil nasophayngeal angiofibroma banyak
menyerang pada usia remaja, yang bersifat jinak secara histopatologi namun dapat juga
bersifat ganas karena sifatnya nya yang agresif, destruktif, menyebar lokal, dan sering
meluas ke tulang tengkorak. Angka kejadian berkisar 0,5% dari semua tumor kepala
leher, dengan angka insidensi 1:150.000, dengan frekuensi 0,4 per satu juta penduduk
dan angka puncak 3,4 per satu juta penduduk yaitu pada usia remaja di Amerika
Serikat.2,3

Kejadian Juvenil nasophayngeal angiofibroma (JNA) jarang ditemukan, laporan


terbaru menunjukkan bahwa tumor lebih sering terjadi di anak benua India daripada di
Barat.1 Meskipun jarang ditemukan kejadian Juvenil nasophayngeal angiofibroma
secara eksklusif terjadi pada laki-laki, yang berkaitan dengan ekspresi reseptor androgen
(AR) yang tinggi. Usia penderita umumnya pada dekade kedua, antara usia 10-24 tahun,
dan jarang ditemukan pada usia lebih dari 25 tahun.1,2

Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori, salah satunya adalah teori
jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di
dinding posterolateral atap rongga hidung Tumor ini hampir eksklusif ditemukan pada
remaja laki-laki, memunculkan banyak spekulasi dan bukti tidak langsung pengaruh
endokrin atau hormonal pada perkembangan tumor ini. Keberadaan androgen, reseptor
estrogen, dan progesteron serta ekspresi kuat reseptor VEGF, TGF-β, dan FGF telah
tercatat pada pembuluh darah dan stroma tumor. Analisis genetik mengindikasikan
hilangnya gen AR pada kromosom Y sebagian atau lengkap dan didapatkannya gen AR
pada kromosom X. Kelainan kromosomal yang paling sering terdeteksi adalah gen AR

1
2

pada kromosom 4, 6, 8, dan X serta hilangnya gen AR pada kromosom 17, 22, dan Y.
Prognosis untuk penyakit ini sangat baik jika didiagnosis dengan baik waktu dan jika
tumor belum meluas ke intrakranial.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Nasofaring
2.1.1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring adalah ruang sempit berukuran 1,5 inci yang terletak di belakang
rongga hidung yang fungsinya mengantarkan udara dari hidung ke tenggorokan. Batas
anterior nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Batas posterior
dibentuk oleh basi sphenoid, basi oksiput dan vertebra servikal pertama. Batas lateral
adalah orifisium tuba Eustachius yang sisi superior posteriornya berupa torus tubarius.
Pada bagian atas dan belakang torus tubarius terdapat cekungan yang disebut sebagai
fossa Rosenmuller.4
Inervasi sensorik nasofaring berasal dari nervus faringeal sedangkan saraf
motorik berasal dari nervus vagus cabang faringeal dan cabang laringeal superior
kecuali otot stilofaringeus yang mendapatkan inervasi dari nervus glosofaringeus.
Pendarahan nasofaring berasal dari cabang arteri karotis eksterna yang meliputi arteri
faringeal asenden, arteri palatina asenden, dan arteri kanalis pterigoideus. Peredaran
darah balik nasofaring berakhir di vena jugularis interna. Sistem limfatik nasofaring
memiliki 3 jalur yakni langsung menuju nodus servikal superior, bagian posteroinferior
ke nodus retrofaringeal, dan lateral ke mastoid dan nodus spinal asesorius.4

Gambar 1. Anatomi Nasofaring.5

3
4

2.1.2 Fisiologi Nasofaring


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral. Nasofaring terletak di belakang rongga hidung
dengan ukuran sekitar 1,5 inci dan berperan dalam proses penghantaran
udara dari hidung ke tenggorokan. Selain itu, nasofaring juga merupakan
rongga yang menyalurkan udara ke tuba eustachius, bertindak sebagai
resonator dan berperan dalam proses drainase sinus paranasal kavum
timpani dan hidung. Batas atas (atap) dari nasofaring adalah os sphenoid
dan sebagian prosessus basilaris. Bagian anterior nasofaring berbatasan
dengan koana dan palatum molle. Bagian posterior nasofaring berbatasan
dengan vertebra servikal, dan di bagian inferior, nasofaring berbatasan
dengan permukaan atas palatum molle/soft palate dan berhubungan
dengan orofaring. Dinding lateral nasofaring dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior.
Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen
ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus.
Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran
tumor ke intrakranial.4,5

2.2 Angiofibroma Juvenile


2.2.1 Definisi
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma atau Angiofibroma Nasofaring Juvenil
(ANJ) merupakan tumor jinak langka namun mempunyai risiko yang tinggi karena
sifatnya yang agresif, destruktif, menyebar lokal dan seringkali meluas ke tulang
tengkorak.6
Tumor ini digolongkan sebagai tumor vaskular jinak yang terletak di nasofaring
posterior. JNA diketahui menyebar invasive lokal dengan pertumbuhan progresif yang
dapat berkontribusi pada morbiditas serta dihubungkan dengan kelainan intracranial dan
perdarahan masif meskipun bukan proses keganasan.3

2.2.2 Epidemiologi
5

Angka kejadian ANJ berkisar 0,05% - 0,5% dari semua tumor kepala leher,
tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring dengan frekuensi 0,4 per satu
juta penduduk atau 1:5.000 – 1:60.000 pasien THT dengan angka puncak 3,4 per satu
juta penduduk yaitu pada usia remaja di Amerika Serikat. Meskipun jarang, ANJ secara
eksklusif terjadi pada laki-laki. Usia penderita umumnya pada dekade kedua, antara 10-
24 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. Di Negara Indonesia sendiri
telah dilaporkan terdapat 2 sampai 4 kasus angiofibroma nasofaring belia dalam 1
tahun.3,6,7,8
Kasus angiofibroma dapat terjadi di luar nasofaring, lokasi paling sering pada
sinus maksilaris (32%) dan sinus ethmoid (10%). Angiofibroma yang timbul di sinus
maksilaris dan ethmoid secara klinis berbeda dari angiofibroma nasofaring. Mereka
berkembang pada usia yang sedikit lebih tua dan lebih sering terjadi pada wanita.6

2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Lesi berasal dari dekat perlekatan posterior dari turbinat tengah, dekat batas
superior dari foramen sphenopalatina. Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai macam
teori banyak diajukan, salah satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa
tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga
hidung.8 Teori lainnya adalah teori ketidakseimbangan hormonal, yang menyebutkan
bahwa penyebab angiofibroma adalah produksi estrogen yang berlebih atau defisiensi
androgen (25662). Diketahui melalui epidemiologi bahwa tumor ini hampir eksklusif
ditemukan pada remaja laki-laki, memunculkan banyak spekulasi dan bukti tidak
langsung mengenai pengaruh endokrin atau hormonal pada perkembangan tumor ini.
Sehingga faktor ketidakseimbangan hormonal diduga menjadi salah satu penyebab
munculnya ANJ dan akibat itula pula tumor ini disebut angiofibroma nasofaring belia
(juvenile nasopharyngeal angiofibroma).3,8
Keberadaan androgen, reseptor estrogen, dan progesteron serta ekspresi kuat
reseptor VEGF, TGF-β, dan FGF telah tercatat pada pembuluh darah dan stroma tumor.
(2)Selain itu, sebuah studi oleh Liu et al menemukan bahwa JNA mengekspresikan
tingkat reseptor hormon dan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) yang lebih
tinggi daripada mukosa hidung normal, indikasi yang mungkin bahwa interaksi antara
reseptor dan VEGF dikaitkan dengan inisiasi dan pertumbuhan JNA. Penelitian
6

menunjukkan adanya peningkatan ekspresi bFGF, TGFβ-1 dan HIF-1 α baik pada
stroma maupun pembuluh darah, ehingga muncul hipotesis bahwa faktor-faktor yang
dilepaskan tersebut menstimulasi proliferasi fibroblast, pertumbuhan endotel dan
vaskularisasi tumor oleh mekanisme autokrin.9
Analisis genetik mengindikasikan hilangnya gen AR pada kromosom Y sebagian
atau lengkap dan didapatkannya gen AR pada kromosom X. Kelainan kromosomal yang
paling sering terdeteksi adalah gen AR pada kromosom 4, 6, 8, dan X serta hilangnya
gen AR pada kromosom 17, 22, dan Y. Analisis hibridisasi genomik komparatif dari
tumor ini mengungkapkan penghapusan kromosom 17, termasuk daerah untuk gen
penekan tumor p53 serta onkogen Her-2 / neu.3,9

2.2.4 Patofisiologi
Pada mulanya, muncul hipotesa bahwa terjadinya ANJ mirip dengan
hemangioma. Penelitian selanjutnya menganggap ANJ merupakan suatu malformasi
vaskuler dan bukan suatu tumor. Selanjutnya, beberapa literatur berpendapat bahwa
ANJ merupakan tumor fibrovaskuler yang tumbuh dibawah pengaruh sirkulasi dan
fluktuasi hormon seksual selama masa pubertas. Teori yang paling umum adalah teori
angiogenik dan histogenetik.6
Pendekatan teori angiogenik dilakukan dengan penelitian imunohistokimia
(IHK) baik pada stroma maupun pembuluh darah. Beberapa monoclonal antibodi yang
digunakan adalah Transforming Growth Factor β-1 (TGFβ-1), Basic Fibroblast Growth
Factor (bFGF), V ascular Endothelial Growth Factor (VEGF) 1 dan 2 (FLT-1 dan FLK-
1) serta Hypoxia Inducible Factor -1 α (HIF-1α).6
Penelitian menunjukkan adanya peningkatan ekspresi bFGF, TGFβ-1 dan HIF-1
α baik pada stroma maupun pembuluh darah, sehingga muncul hipotesis bahwa faktor-
faktor yang dilepaskan tersebut menstimulasi proliferasi fibroblast, pertumbuhan
endotel dan vaskularisasi tumor oleh mekanisme autokrin.6
Pencitraan CT dan MRI mengindikasikan JNA berasal dari dalam pterygo-
palatine fossa pada bukaan kanal pterygoid. Tumor pertama kali tumbuh di bawah
mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan
tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi
posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga
7

hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong
septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral,
tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan ‘rasa penuh’ di wajah.
Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala
yang khas pada wajah, yang disebut dengan ‘muka kodok’.7
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa intratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. JNA intrakranial hampir selalu ekstradural.
Penyebaran intrakranial JNA dilaporkan pada 20% kasus. Dari sinus etmoid masuk ke
fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.
Penyebaran ke fossa kranial media juga biasanya dapat melalui salah satu dari tiga rute,
yaitu melalui fisura orbital inferior menuju orbita dan penyebaran posterior dari tumor
orbital melalui fisura orbital superior ke fossa kranial media, penyebaran tumor pada
sinus spenoid dengan erosi pada dinding lateral, serta penyebaran tumor melalui basis
pterygoid dan cancellous diploe tulang sfenoid yang selanjutnya menyebabkan erosi
superior greater wing of sphenoid dengan penyebaran ke fossa kranial media.7,8
Proptosis dan atrofi saraf optik terjadi jika celah orbital dirambah oleh tumor.
Angiofibroma ekstranasofaring sangat jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang
lebih tua, terutama pada wanita, tetapi tumornya kurang vaskular dan kurang agresif
dibandingkan JNA.9

2.2.5 Histopatologi
Gambaran angiofibroma sangat tergantung pada komponen penyusunnya, yaitu
komponen pembuluh darah dan komponen jaringan fibrosa. Gambaran massa sangat
bervariasi mulai dari putih pucat sampai merah dan terdapat lapisan pembuluh darah
yang rapuh. Tumor ini merupakan lesi berkapsul semu ditandai dengan komponen
vaskular tidak beraturan dan meluas melalui submucosa dan infiltrasi lokal. Komponen
vaskular terdiri dari sejumlah pembuluh darah dengan kaliber berbeda-beda dengan
lapisan endotel tunggal, tertanam pada stroma fibrosa (jaringan ikat padat) kaya kolagen
dan fibrosa. Dari mikroskop elektron disimpulkan bahwa sel stroma dapat berasal dari
fibroblas dan miofibroblas yang sering dapat dilihat pada kelainan fibroproliferatif. Pembuluh
darah berdilatasi dan terorganisir dalam kelompok tanpa serat elastin di dindingnya,
8

serta lapisan otot tidak lengkap pada pembuluh darah besar dan sama sekali tidak ada
pada pembuluh darah yang lebih kecil. Kurangnya lapisan otot pada pembuluh darah
menjelaskan kecenderungan terjadi epistaksis pada pasien JNA.3,7

Gambar 2. Gambaran Histologi ANJ; (A) Pembesaran 50x pembuluh darah tipis dengan bentuk
bervariasi dan stroma jaringan ikat fibrokolagen (B) pembesaran 200x dengan bentuk sel mast
bervariasi bulat ovoid.

2.2.6 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran klinis dan radiologis, JNA diklasifikasikan menjadi tiga
jenis. Tipe I termasuk lesi yang secara fundamental terlokalisasi pada rongga hidung,
sinus paranasal, nasofaring, atau fossa pterigopalatina. Tipe II adalah JNA yang meluas
ke fossa infratemporal, regio bukal, atau rongga orbita dengan ekstensi anterior dan /
atau fossa kranial tengah minimal tetapi dura mater utuh. Tipe III adalah lobus tumor
masif seperti labu di fossa kranial tengah.1

2.2.7 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis tergantung dari letak tumor, perluasan dan waktu ketika tumor
terdiagnosis. Penyebaran tumor terjadi melalui submukosa dan jaringan lunak di sekitar
lesi. Namun gejala khas JNA dapat gejala awal berupa obstruksi nasal unilateral (80%-
90%) pada pasien remaja laki-laki dengan rinorrhea dan epistaksis yang unilateral
berulang atau rekuren (45%-60%). Nyeri kepala (25%) dan nyeri wajah mungkin
muncul apabila terjadi sumbatan sinus paranasal, atau gangguan fungsi tuba Eustachius
dengan otitis media sekretorik unilateral.
Penyebaran tumor ke kavum sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis kronik.
Proptosis dan perubahan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita.
Pembengkakan pipi, defisit neurologis, perubahan penghidu, rhinolalia clausa, dan
9

otalgia juga mungkin terjadi. Penyebaran tumor ke anterior dapat mengganggu ductus
nasolakrimal mengakibatkan dakriosistitis. Akibat adanya obstruksi nasal yang akan
emudahkan penimbunan secret, pemeriksaan fisik rinoskopi anterior menunjukkan
banyak sekret mukopurulen pada kavum nasal. Adanya secret di area itu umumnya
mengaburkan tumor dari penglihatan pemeriksa.
Beberapa pasien mengalami penonjolan tumor keluar dari lubang hidung
anterior. Palatum sering bergeser ke inferior karena desakan tumor yang berwarna
merah muda atau kemerahan mengisi nasofaring. Palpasi transpalatal mencatat
konsistensi tumor kenyal, namun palpasi tidak dianjurkan mengingat risiko perdarahan
sangat tinggi.7 Berdasarkan penelitian di RS Dr. Hasan Sadikin, gejala klinis utama yang
dirasakan pasien JNA pada data 2011-2018 adalah obstruksi nasal (46%), epistaksis
berulang (36%), nyeri kepala (10%), benjolan massa di nasal (7%), proptosis (1%).10
DAFTAR PUSTAKA

1. Makhasana, Jashika Adil Shroff, et al. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.


Journa of Ora and Maxillofacial Pathology. 2016;20(2):330. doi: 10.4103/0973-
029X.185908.
2. Vuzitas A, Manea C. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma – Literature Review
And Case Series. Romanian Journal of Rhinology. 2018;8:17-24.
3. Dewi NM. Tatalaksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. CDK-262.
2018;45:60-6
4. Artha, I Gusti Alit. Peranan Survivin Sebagai Faktor Prognostik pada Karsinoma
Nasofaring. Denpasar: FK UNUD. 2017 : 3-5.
5. Paulsen F, J W. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum dan
Muskuloskeletal. Penerjemah: Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC; 2013.
6. Ginting HK, Supriana N. Angiofibroma Nasofaring Juvenil. Radioter Onkol
Indones. 2018;9(1):29–33.
7. Bawa IPA, Dewi YA, Aroeman NA. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring
Belia di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. J Sist Kesehat. 2019;5(2):81–5.
8. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. In: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: FK
UI; 2018.
9. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Medscape [Internet]. 2021;
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/872580-overview#a9.
10. Dewi YA, Nazar IB. Management of Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma in a
Referral Hospital in West Java, Indonesia. Althea Med J. 2020;7(1):45–50.

10

Anda mungkin juga menyukai