KARSINOMA NASOFARING
Disusun oleh:
Jhuvan Zulian Fernando, S.Ked
NIM : 712018004
Pembimbing:
dr. Meilina Wardhani Sp. THT-KL
DEPARTEMEN THT-KL
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
KARSINOMA NASOFARING
Oleh:
Jhuvan Zulian Fernando, S.Ked
NIM : 712018004
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Palembang
Periode 21 Septtember s.d. 27 September 2020
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “Karsinoma Nasofaring”. Referat ini disusun sebagai salah satu
syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen THT-KL Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Palembang.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan referat ini, sangatlah sulit
bagi saya untuk menyelesaikan referat ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan
terima kasih kepada:
1) dr. Meilina Wardhani Sp. THT-KLselaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya
dalam penyusunan referat ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan
dukungan material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya
dalam menyelesaikan referat ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
ANATOMI NASOFARING ....................................................................... 3
KARSINOMA NASOFARING .................................................................. 5
DEFINISI ................................................................................................ 5
EPIDEMIOLOGI .................................................................................... 6
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO ..................................................... 7
PATOGENESIS ..................................................................................... 10
HISTOPATOLOGI................................................................................. 12
GEJALA KLINIS ................................................................................... 14
PENEGAKKAN DIAGNOSIS .............................................................. 15
KLASIFIKASI STADIUM .................................................................... 18
PENATALAKSANAAN ........................................................................ 19
PROGNOSIS .......................................................................................... 21
FOLLOW-UP.......................................................................................... 22
BAB III SIMPULAN ....................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang
terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar
tengkorak yang berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior
berbatasan dengan rongga hidung melalui koana, bagian superior berbatasan
dengan dasar tengkorak, bagian posterior berbatasan dengan fasia
prevertebralis dari atlas dan axis, sedangkan bagian inferior berbatasan
dengan palatum mole dan orofaring setinggi ismus faring. Pada kedua dinding
lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan tulang
rawan di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Di bagian
posterior torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang agak datar disebut
resesus faringeal lateralis atau fosa Rosenmuller, merupakan tempat tersering
awal mula kanker nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat
melekatnya muskulus levator veli palatini. Perluasan tumor pada KNF akan
mengganggu fungsi dari muskulus ini untuk membuka ostium tuba.17
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau
kripta. Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis
silindris bersilia atau pseudostritified ciliated columnar epithelium yang
kearah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis atau stratified
squamous epithelium. Diantara pertemuan atap nasofaring dan dinding lateral
di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel peralihan atau transitional
epithelium yang menjadi tempat asal dari tumbuhnya tumor nasofaring.17
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau
kripta. Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis
silindris bersilia atau pseudostritified ciliated columnar epithelium yang
kearah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis atau stratified
squamous epithelium. Diantara pertemuan atap nasofaring dan dinding lateral
di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel peralihan atau transitional
epithelium yang menjadi tempat asal dari tumbuhnya tumor nasofaring.17
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas.
Kelompok pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang
terdapat pada ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia
faringobasilar dan fasia prevertebra. Pada dinding lateral di daerah tuba
Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfe berjalan kearah
anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau kelenjar yang
paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis
interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoideus.
Pembuluh limfe di daerah nasofaring sangat kompleks dan membentuk
pleksus yang saling menyilang melewati garis tengah. Aliran getah bening
menuju arah posterior, selanjutnya ke kelenjar getah bening Rouviere di
ruang retrofaring bagian lateral dan retro parotis kemudian menuju ke
rangkaian kelenjar getah bening di sekitar vena jugularis interna bagian
superior, terutama kelompok jugulo digastrik.17
2. Karsinoma Nasofaring
2.1. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel
nasofaring. Titik tengah tumor di dalam wilayah nasofaring paling sering
dijumpai di fossa Rosenmuller, dari mana tumor dapat menginvasi ruang atau
organ anatomi yang berdekatan.3
WHO mendefinisikan KNF sebagai karsinoma yang berasal di mukosa
nasofaring yang menunjukkan bukti diferensiasi skuamosa dari ultrastruktur
atau pemeriksaan mikroskopi cahaya. Definisi ini tidak mengikutsertakan
adenokarsinoma dan karsinoma tipe kelenjar saliva.20
Komite Penaggulangan Kanker Nasional dalam Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring juga mendefinisikan karsinoma
nasofaring sebagai keganasan yang muncul pada daerah nasofaring (area di
atas tenggorok dan di belakang hidung). Tipe KNF terbanyak adalah
keganasan sel skuamosa.1
2.2. Epidemiologi
Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 86.700 kasus baru KNF dan
50.800 kematian akibat KNF, keduanya mewakilkan sekitar 0,6% dari semua
kasus keganasan, sehingga karsinoma ini dapat dikatakan relatif langka.
Jumlah penderita KNF laki-laki lebih banyaak dibanding perempuan (rasio
2,3:1).5 Distribusi KNF berbeda signifikan menurut kondisi geografis dan
sumber daya, dengan 92% kasus baru terjadi di negara berkembang, dan
insidensi tertinggi di populasi Asia Tenggara, yaitu mencapai setidaknya dua
kali insidensi area lain. Tiga negara dengan insidensi nasional tertinggi ada di
Malaysia, Indonesia, dan Singapura, dengan angka tertinggi pada populasi
Tionghoa dan Melayu.6
Insidensi tinggi juga dilaporkan di Cina Tenggara, termasuk Hong
Kong dan Guangdong, Filipina, India, Thailand, Mikronesia, Asia Timur, dan
Afrika Utara. Populasi lain dengan insidensi relatif tinggi adalah etnis Inuit
di Alaska, Greenland, dan Kanada Utara, serta etnis Tionghoa dan Filipina di
Amerika Serikat. Indisendi keganasan ini lebih rendah pada sebagian besar
populasi yang tinggal di tempat lain di Amerika dan Eropa.6
Angka mortalitas KNF tertinggi pada tahun 2012 ditemukan di Hong
Kong, yaitu 4,51 per 100.000 laki-laki dan 1,15 per 100.000 perempuan.
Penurunan angka mortalitas dari tahun 2002 diamati di beberapa negara dan
diduga karena perubahan pola makan ikan asin dan makanan yang diawetkan,
serta perbaikan penatalaksanaan penyakit. Perbedaan antarjenis kelamin
diduga disebabkan oleh perbedaan prevalensi merokok dan konsumsi
alkohol.21
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan terbanyak (28,35%) dari
seluruh kasus keganasan kepala leher di Indonesia, dengan 1.121 kasus
dilaporkan selama periode 1995-2005.4 Penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo mencatat terdapat 167 kasus KNF pada tahun 2010 dengan
keluhan utama pada saat datang yaitu massa di leher dan hidung tersumbat.16
Semua penelitian menemukan KNF lebih banyak terjadi pada laki-laki.4,16
Gambar. Prevalensi KNF dan keganasan kepala leher lain Indonesia tahun
2000-200516
2.3.2. Genetik
Peran kerentanan genetik individu terhadap patogenesis KNF
diindikasikan oleh insidensi KNF yang tinggi pada etnis tertentu. Hal ini lebih
mencolok karena generasi kedua dan ketiga dari penduduk daerah berisiko
tinggi yang telah emigrasi dan berasimilasi dengan budaya yang berbeda
masih memiliki risiko KNF lebih tinggi dibanding penduduk sekitar.3,7
Kerentanan genetik terhadap KNF pada populasi berisiko tinggi telah
dilaporkan, terutama berhubungan dengan gen HLA kelas I di lokus MHC
kromosom 6p21. Gen HLA kelas I mengode protein yang dapat
mengidentifikasi dan mempresentasikan antigen asing (termasuk peptida
hasil kode EBV) kepada sel T sitotoksik untuk memicu respon imun terhadap
sel yang terinfeksi virus.7
Beberapa penelitian kasus-kontrol telah menemukan hubungan antara
polimorfisme genetik dan risiko KNF, dengan memengaruhi kerentanan
genetik terhadap infeksi EBV dan/atau transformasi sel terinduksi karsinogen
kimiawi. Peningkatan risiko KNF ditemukan berhubungan dengan
polimorfisme genetik yang terlibat dalam metabolisme nitrosamin (CYP2E1,
CYP2A6), detoksifikasi elektrofil karsinogenik (GSTM1), perbaikan DNA
(XRCC1, hOGG1, NBS1, RAD51L1), jalur masuk EBV ke epitel nasofaring
(PIGR), regulasi checkpoint siklus sel (MDM2, TP53), adhesi dan migrasi sel
(MMP2), interleukin (IL1A, IL1B, IL2, IL8, dan IL10), toll-like receptors
(TLR3, TLR4, TLR10).3,7
2.3.3. Lingkungan
Studi epidemiologi skala besar mengusulkan adanya hubungan
beberapa kebiasaan diet dan sosial dengan peningkatan risiko karsinoma
nasofaring.3 Salah satu faktor yang paling sering disebut adalah riwayat
konsumsi ikan asin.3,7 Karsinogen yang berperan adalah senyawa volatil N-
nitrosamin yang dapat menginduksi kerusakan DNA dan inflamasi kronik
mukosa nasofaring.3,7 Konsumsi nitrosamin selama periode anak-anak dapat
menyebabkan akumulasi lesi genetik aberan dan perkembangan jaringan
rentan karsinoma di nasofaring, yang pada gilirannya meningkatkan
kerentanan infeksi EBV dan meningkatkan risiko KNF.7
Konsumsi makanan lain yang ditemukan berhubungan dengan kejadian
KNF adalah asinan sayur, makanan yang diawetkan, teh herbal, sup slow-
cooked, alkohol, produk hewani, karbohidrat, dan asam lemak tak jenuh.3,9,10
Selain diet, faktor lingkungan lain yang dianggap berpengaruh adalah
higienitas oral, inhalasi debu kayu, asap, formaldehida, dan bahan kimia.7,11
Beberapa literatur berbeda pendapat mengenai inhalasi debu kayu sebagai
faktor risiko karsinoma nasofaring.7 Inhalasi debu kayu dianggap
berhubungan dengan adenokarsinoma hidung, tetapi tidak dengan karsinoma
nasofaring.12 Penelitian lain menemukan bahwa aspirin memiliki efek
protektif terhadap karsinoma nasofaring.13
2.4. Patogenesis
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme:
pemendekan waktu siklus sel sehingga menghasilkan lebih banyak sel yang
diproduksi dalam satuan waktu; dan penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan
gen penekan tumor (tumor suppresor genes) yang menghambat penghentian
proses siklus sel.24
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan
diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat
berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat
menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel
secara patologis.24
Perkembangan lesi dimulai dari adanya lesi prakanker (field
cancerization). Pada KNF, lesi prakanker ini dapat terbentuk di usia muda
akibat konsumsi karsinogen nitrosamin. Lesi prakanker ini sendiri merupakan
faktor predisposisi infeksi EBV yang akan lebih lanjut menyebabkan
inflamasi dan alterasi genetik. Infeksi laten EBV menyebabkan displasia yang
semakin parah. Berbagai faktor ekspresi gen EBV menyebabkan
perkembangan lesi menjadi karsinoma in-situ dan akhirnya kanker invasif.14
Gambar. Model tumorigenesis patogenesis karsinoma nasofaring terkait
EBV.7
Gambar. Peran EBV dalam patogenesis KNF.14
2.5. Histopatologi
Nasofaring adalah ruang berbentuk tabung yang terletak di basis
kranium. Ruang tersebut mewakilkan area peralihan antara kavum nasi dan
orofaring, membentuk sebagian jaringan limfoid cincin Waldeyer. Mukosa
nasofaring memiliki banyak lipatan dan kripta, dan terdiri atas epitel pipih
berlapis khusus yang biasa disebut epitel intermedia atau transisional. Epitel
pipih berlapis campuran dan epitel bersilia dapat ditemukan di dinding lateral
dan posterior nasofaring dalam berbagai jumlah. Pada stroma epitel
nasofaring ditemukan kelenjar seromukosa dan infiltrasi limfosit.7
Karsinoma nasofaring umumnya mulai berkembang dari dinding lateral
nasofaring, terutama pada fosa Rosenmuller dan dinding posterior superior.7
Klasifikasi WHO tahun 1978 mengenal tiga subtipe histologi KNF, yaitu
karsinoma sel skuamosa (WHO tipe 1), karsinoma nonkeratinisasi (WHO tipe
2), dan karsinoma tak terdiferensiasi (WHO tipe 3). Pada tahun 1991
klasifikasi tersebut dimodifikasi oleh WHO.20
Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi KNF menjadi karsinoma sel
skuamosa terkeratinisasi, karsinoma nonkeratinisasi, dan karsinoma sel
skuamosa basaloid. Karsinoma nonkeratinisasi dibagi lagi menjadi
terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi. Karsinoma seperti limfoepitelioma
dianggap sebagai variasi morfologi karsinoma tak terdiferensiasi.20
Variasi angka pelaporan subtipe mengindikasikan batasan
antarkelompok tidak selalu jelas. Kesalahan pengambilan sampel merupakan
masalah signifikan akibat ukuran biopsi kecil dan reprodusibilitas klasifikasi
belum optimal. Beberapa peneliti menganggap bahwa karsinoma sel
skuamosa terkeratinisasi dan karsinoma nonkeratinisasi hanya variasi dari
kelompok tumor homogen.20
2. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan status generalis dan status lokalis
2) Pemeriksaan nasofaring:
a) Rhinoskopi anterior dan posterior
b) Nasofaringoskopi (fiber/rigid)
3. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band
Imaging) memainkan peran kunci dalam deteksi awal lesi KNF
untuk melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring,
sebagai panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-
kasus dengan dugaan residu dan residif.1,26
2) Pemeriksaan radiologik
a) CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT Scan nasofaring mulai
setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan
koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras.
b) USG abdomen
USG abdomen dilakukan untuk menilai metastasis organ-
organ intra abdomen.
c) Foto Thoraks
Pemeriksaan foto thoraks dilakukan untuk melihat adanya
nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka
dilanjutkan dengan CT Scan Toraks dengan kontras.
d) Bone Scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat metastasis pada
tulang.1
4) Pemeriksaan laboratorium
Hematologi (darah perifer lengkap, LED, hitung jenis), alkali
fosfatase, LDH, SGOT-SGPT
5) Pemeriksaan serologi
Beberapa penelitian berusaha menemukan pemeriksaan yang
efektif sebagai alat deteksi dini KNF. Salah satu penelitian
menemukan bahwa analisis DNA EBV di sampel plasma (pEBV)
dapat digunakan sebagai alat skrining KNF asimtomatik.27
Penanda pEBV juga memiliki nilai prognosis dimana pEBV
digunakan dalam menyeleksi pasien KNF risiko tinggi untuk
diberikan terapi ajuvan.8 Penelitian lain menemukan bahwa uji
cepat menggunakan NPC test strip tidak direkomendasikan
karena sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.28 Meskipun
beberapa penelitian merekomendasikan penanda serologis
sebagai alat skrining KNF, telaah Cochrane tidak dapat menilai
efektivitas skrining karena belum ada penelitian randomized
controlled trial yang membandingkan kelompok skrining dan
tanpa skrining.29
2.9. Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.25
Tabel. Modalitas Terapi KNF Menurut Stadium1
Stadium Modalitas Terapi
Stadium I Radioterapi
Stadium II Kemoradiasi
Stadium III Kemoradiasi
Stadium IV dengan N <6 cm Kemoradiasi
Stadium IV dengan N >6 cm Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi
Radioterapi
Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan
supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal). Radiasi dapat
diberikan dalam bentuk: radiasi eksterna yang mencakup gross tumor
(nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada
T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar supraklavikula
dengan dosis 50 Gy; radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor
primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening, diberikan dengan dosis
(4x3 Gy), sehari dua kali; bila diperlukan booster pada kelenjar getah
bening diberikan penyinaran dengan elektron. Penggunaan teknik Intensity
Modulated Radiation Therapy (IMRT) telah menunjukkan penurunan dari
toksisitas kronis pada kasus karsinoma orofaring, sinus paranasal, dan
nasofaring dengan adanya penurunan dosis pada kelenjar-kelenjar ludah,
lobus temporal, struktur pendengaran (termasuk koklea), dan struktur
optik.1
Obat-obatan Simptomatik
a) Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan
menelan : obat kumur yang mengandung antiseptik dan astringent,
diberikan 3 – 4 kali sehari)
b) Tanda-tanda moniliasis : antimikotik
c) Nyeri menelan : anestesi lokal
d) Nausea, anoreksia : terapi simptomatik
Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada
pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer
diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap
minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi
kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan
dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus
rekuren/metastatik.1
Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan kemoradiasi
dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan
Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali.1
Edukasi
Ada beberapa hal yang perlu diedukasikan kepada pasien yakni seperti yang
tercantum pada tabel berikut.
2.11. Follow-up
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik. Pada
tahun pertama tiap 1-3 bulan; tahun kedua tiap 2-6 bulan; tahun ketiga sampai
kelima tiap 4-8 bulan; setelah tahun kelima tiap 12 bulan.1
Follow-up imaging terapi kuartif dilakukan minimal tiga bulan paska terapi,
yaitu MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC; dan Bone
scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang. Follow-up
imaging terapi paliatif dengan terapi kemoterapi, yaitu CT Scan pada siklus
pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor; atau
Bone scan untuk melihat metastasis tulang.1
BAB III
SIMPULAN