Anda di halaman 1dari 25

SMF/Bagian Ilmu Penyakit Saraf JURNAL

RSUD Prof. W. Z. Johannes Kupang Maret 2022

Fakultas Kedokteran

Universitas Nusa Cendana

Update on benign paroxysmal positional vertigo

Disusun Oleh :

Januardi Stevenson Thene, S.Ked

(2108020038)

Pembimbing :

dr. Yuliana Imelda Ora Adja, M.Biomed, Sp.N

dr. Johana Herlin, Sp.N

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. W.Z. JOHANNES KUPANG


2022
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh :


Nama : Januardi Stevenson Thene, S.Ked
NIM : 2108020038

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan di hadapan pembimbing


klinik sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian
kepanitraan klinik di SMF/bagian Ilmu Saraf RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes
Kupang.

Pembimbing Klinik :

1. dr. Johana Herlin, Sp.N


1………………

2. dr. Yuliana Imelda Ora Adja, M.Biomed, Sp.N


2………………

Ditetapkan di : Kupang
Tanggal : April 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas referat pada Kepaniteraan Klinik
Bagian Saraf berjudul “Kejang Pada Chronic Kidney Disease” sesuai dengan
waktu yang direncanakan. Referat ini dibuat untuk memenuhi persyaratan ujian
kepanitraan klinik di bagian Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Nusa
Cendana. Dalam penulisan referat ini, terdapat banyak pihak yang telah
memberikan bantuan kepada penulis. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. dr. Johana Herlin, Sp.N selaku kepala SMF bagian Ilmu Saraf RSUD
Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang yang telah membagikan ilmu dan
pengetahuan dalam penulisan refarat ini.
2. dr. Yuliana Imelda Ora Adja, M.Biomed, Sp.N bagian Ilmu Saraf RSUD
Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang – Fakultas Kedokteran Universitas Nusa
Cendana yang telah meluangkan pikiran dan tenaga untuk membimbing
dan memberi saran dalam proses pembentukan dan penyelesaian
penulisan refarat ini.
3. Seluruh dokter, perawat dan staf instalasi bagian Ilmu Saraf RSUD Prof.
Dr. W.Z. Johannes Kupang – Fakultas Kedokteran Universitas Nusa
Cendana.
4. Teman-teman dokter muda di SMF/Bagian Ilmu Saraf RSUD Prof. Dr.
W.Z. Johannes Kupang, Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana.

Penulis menyadari bahwa refarat ini masih jauh dari kesempurnaan karena
itu, semua saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan selanjutnya.
Semoga refarat ini dapat memberikan manfaat kepada siapapun yang
membacanya.

Kupang, April 2022

2
Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................1
KATA PENGANTAR.............................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB I..................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................................5
2.1. Anatomi..................................................................................................................5
2.2 Patofisiologi.............................................................................................................8
2.3 Fitur Klinis..............................................................................................................12
2.4 Diagnosa................................................................................................................12
2.5 Treatments............................................................................................................15
BAB III..............................................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) ditandai dengan sensasi

berputar yang dipicu oleh posisi kepala dan perubahan arah gravitasi . BPPV

terjadi karena migrasi otokonia yang mengalami degenerasi ke dalam setengah

lingkaran kanalis sermisirkularis, menjadikannya sensitif terhadap gerakan kepala.

BPPV adalah penyebab paling umum dari sensasi pusing/vertigo di seluruh dunia

dengan prevalensi kejadian seumur hidup 2,4%, prevalensi kejadian dalam 1

tahun 1,6%, dan angka kejadian 1 tahun sebesar 0,6%. BPPV menyumbang 24,1%

dari semua kunjungan rumah sakit karena pusing/vertigo. BPPV paling sering

terjadi pada wanita lanjut usia dengan insiden puncak pada usia enam puluhan dan

rasio wanita banding pria sebesar 2,4:1.

Angka kekambuhan pada BPPV memiliki presentase tahunan sebesar 15-

20%. Meskipun sifatnya jinak, pasien dengan BPPV sangat terbatas dalam

aktivitas sehari-hari mereka. Biaya medis untuk diagnosis BPPV telah

diperkirakan seharga 2.000 US$ di AS, 364 Euro (~ 450 US$) di Spanyol, RMB

4165.2 Yuan (~ 600 US$) di Tiongkok, dan 180 US$ di Korea Selatan. Oleh

karena itu, pelayanan kesehatan beban karena BPPV total sekitar 2 miliar US$ di

AS per tahun dan cenderung meningkat seiring bertambahnya usia populasi.

Menurut data dari Korea Selatan, jumlah rumah sakit kunjungan per 100.000

populasi umum karena pusing dan vertigo sekitar 3974 di tahun 2019 dan bisa

meningkat menjadi 6057 pada tahun 2050, yang sesuai dengan peningkatan 52%.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Telinga merupakan salah satu pancaindra yang berfungsi sebagai alat

pendengaran dan keseimbangan yang letaknya berada di lateral

kepala.Masingmasing telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, telinga tengah,

dantelinga dalam.

1. A.Telinga luar

Telinga luar (auris externa) terdiri dari daun telinga (auricula/pinna),liang

telinga (meatus acusticus externus) sampai gendang telinga (membranatympanica)

bagian luar. Telinga luar terletak pada pars tympanica ossistemporalis dan pada

bagian belakang berbatasan dengan processusmastoideus. Telinga luar berfungsi

sebagai penyalur suara dan sebagai proteksi telinga tengah. Fungsi telinga luar

sebagai penyalur suara tergantungdari intensitas, frekuensi, arah, dan ada atau

tidaknya hambatan dalam penyalurannya ke gendang telinga. Sedangkan

fungsinya sebagai proteksitelinga tengah yaitu menahan atau mencegah benda

asing yang masuk kedalam telinga dengan memproduksi serumen, menstabilkan

lingkungan dariinput yang masuk ke telinga tengah, dan menjaga telinga tengah

dari efekangin dan trauma fisik.

B.Telinga tengah

Telinga tengah (auris media) berada di sebelah dalam gendang

telingasekitar 3-6 mm. Atap rongga telinga tengah adalah tegmen tympani dari

5
pars petrosa ossis temporalis yang berbatasan dengan cavitas cranii.

Dindinglateral telinga tengah berbatasan dengan gendang telinga beserta tulang

disebelah atas dan bawahnya. Dinding depannya berbatasan dengan

canaliscaroticus yang di dalamnya terdapat arteri karotis interna. Dinding

medialtelinga tengah ini berbatasan dengan tulang pembatas telinga dalam

yangterlihat menonjol karena terdapat prominentia canalis facialis di bagian

posterior atas. Telinga tengah ini juga secara langsung berhubungan

dengannasofaring yaitu melalui tuba eustachius. Telinga tengah berfungsi

untukmenyalurkan suara dari udara dan memperkuat energi suara yang

masuksebelum menuju ke telinga dalam yang berisi cairan. Fungsi telinga

tengahdalam memperkuat energi suara dibantu oleh tulangtulang kecil

sepertimaleus, incus, dan stapes sehingga energi suara tadi dapat

menggetarkancairan di koklea untuk proses mendengar.

6
C. Telinga dalam

Telinga dalam dibatasi oleh tulang temporal (pars petrosa). Telingadalam

terdiri dari koklea dan aparatus vestibularis yang memiliki dua fungsisensorik

yang berbeda. Koklea berfungsi sebagai sistem pendengaran karenamengandung

reseptor untuk mengubah suara yang masuk menjadi impulssaraf sehingga dapat

didengar. Aparatus vestibularis berfungsi sebagai sistemkeseimbangan yang

terdiri dari tiga buah canalis semisirkularis, dan organotolit yaitu sacculus dan

utriculus.

Sistem vestibular, yang merupakan sistem keseimbangan, terdiri dari

5organ yang berbeda: 3 saluran setengah lingkaran yang sensitif terhadap

percepatan sudut (rotasi kepala) dan 2 organ otolith yang sensitif terhadaplinear

(atau garis lurus) percepatan.

Saluran berbentuk semisirkularis diatur sebagai 3 set sensor

salingortogonal, yaitu setiap kanal pada sudut kanan ke 2 lain. Hal ini mirip

7
dengancara 3 sisi kotak bertemu di setiap sudut dan berada di sudut kanan satu

samalain. Setiap kanal sangat sensitif terhadap rotasi yang terletak pada

bidangkanal. Hasil dari pengaturan ini adalah bahwa 3 kanal ini dapat

menentukanarah dan amplitudo dari setiap rotasi kepala. Kanal-kanal diatur dalam

pasangan fungsional dimana kedua anggota terletak pada planar yangsama. Setiap

rotasi pada planar ini yang merangsang gerakan pasangannyadan menghambat

gerakan yang lain.

2.2 Patofisiologi

Penyebab BPPV sebagian besar tidak diketahui meskipun kasusnya dapat

dikaitkan dengan trauma kepala, posisi telentang yang berkepanjangan, atau

berbagai gangguan yang melibatkan telinga bagian dalam. Faktor risiko lain untuk

BPPV mungkin termasuk jenis kelamin perempuan, usia di bawah 65 tahun,

pendapatan tinggi, tinggal di kota metropolitan, osteoporosis, hipertensi, dan

gangguan tidur non-apnea. Meta-analisis terbaru menemukan bahwa jenis kelamin

wanita, hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, osteoporosis, dan defisiensi

vitamin D merupakan faktor risiko kekambuhan BPPV. Terkait dengan ini adalah

temuan bahwa wanita lanjut usia dengan kurangnya aktivitas fisik memiliki risiko

2,6 kali lebih tinggi untuk BPPV dibandingkan mereka yang melakukan aktivitas

rutin. Selain itu juga dapat terkait dengan defisiensi vitamin D.

2.2.1 Anging

Penuaan merupakan faktor risiko disfungsi utrikular pada BPPV idiopatik.

Penelitian pada hewan telah menunjukkan terjadinya autoconial degenerasi

8
dengan penuaan. Insiden BPPV lebih tinggi pada usia lanjut, dan jarang

dilaporkan terjadi pada anak-anak. Picciotti et al. mengulas 475 pasien dengan

BPPV dan menemukan bahwa komorbiditas adalah hadir pada 72,6% pasien

dengan rekurensi BPPV, dan insiden ini lebih tinggi pada wanita dan pasien yang

lebih tua. Yetiser dan Ince meninjau distribusi usia 263 pasien dari usia 10 hingga

84 tahun dan menemukan bahwa 5 pasien lebih muda dari 20 tahun. Bachor et al.3

mengulas 186 tulang temporal dari 121 individu antara usia bayi baru lahir dan 10

bertahun-tahun. Mereka menemukan bahwa insiden endapan cupular basofilik,

yang memiliki telah terlibat secara klinis dalam BPPV, adalah 12,7%. Kejadian

yang lebih rendah pada anak-anak daripada orang dewasa menyarankan bahwa

akumulasi deposito bisa karena penuaan dari labirin vestibular. Usia rata-rata pada

onset episode pertama BPPV adalah >50 bertahun-tahun. Gejala sisa seperti

pusing dan gangguan keseimbangan lebih sering terjadi setelah reposisi otolith

pada pasien yang lebih tua, dan tingkat kekambuhannya tinggi. Hal ini mungkin

karena fragmentasi otokonia akibat penuaan. Proses ini bersifat multifaktorial.

2.2.2 Meniere Disease

Beberapa laporan telah menunjukkan hubungan antara penyakit Meniere

dan BPPV. Insiden sangat bervariasi dari 0,5% hingga 44,0%. Penyakit Meniere

dan BPPV dapat berbagi dasar patologis yang sama karena tingginya insiden

Meniere penyakit dan BPPV di telinga yang sama Kerusakan yang diinduksi

secara hidropik pada makula utrikulus dan sakulus atau sebagian Obstruksi labirin

membranosa adalah mekanisme yang mungkin mendasari koeksistensi penyakit

9
Meniere dan BPPV. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ketika BPPV

dikaitkan dengan penyakit Meniere, lebih banyak sesi terapi diperlukan dan

tingkat kekambuhan tinggi.

2.2.3 Infection and vestibular neuronitis

Infeksi virus mungkin berperan dalam patogenesis BPPV. Terjadinya BPPV

mengikuti neuronitis vestibular tidak langka. Hanci et al. dilaporkan lebih tinggi

nilai serologis untuk virus herpes, Epstein-Virus barr, adenovirus, dan

cytomegalovirus pada pasien dengan BPPV daripada di kelompok kontrol. BPPV

sekunder untuk Neuronitis vestibular dikaitkan dengan waktu yang lebih rendah

saat onset, keterlibatan lebih sering dari kanal posterior, kelemahan kanal yang

lebih besar, dan tingkat yang lebih tinggi kekambuhan. Arbusow et al.

menunjukan adanya virus herpes simpleks yang terisolasi di labirin sebesar 48%

dari tulang temporal. Namun, terjadinya detasemen otoconial yang berhubungan

dengan infeksi memerlukan pemeriksaan histopatologis konfirmasi dalam studi

hewan.

2.2.4 Vestibule or semicircular canal pathology

BPPV biasanya merupakan self-limiting disease yang merespon dengan

baik untuk reposisi manuver. Schratzenstaller et al. meninjau gambar resonansi

magnetik pasien dengan BPPV atipikal. Mereka menemukan perubahan struktural

seperti patah tulang atau adanya defek pada kanalis semisirkularis. Pencitraan

resonansi magnetik sangat membantu untuk memahami mikro-abnormalitas dari

10
saluran setengah lingkaran pada pasien dengan gejala persisten. Sebaliknya, tidak

ada kelainan anatomis yang ditemukan pada studi.BPPV berulang dilaporkan

berhubungan dengan kelainan volumetric saluran air vestibular. Insiden BPPV

pada pasien dengan vestibular besar saluran air sekitar 19%. Namun, tidak ada

patologi berbasis bukti mekanisme didemonstrasikan.

2.2.5 Estrogen deficiency

Prevalensi BPPV sangat meningkat dengan usia pada kedua jenis kelamin.

Namun, wanita menopause sangat rentan. Penurunan estrogen dan progesterone

tingkat dapat menyebabkan mikrosirkulasi telinga bagian dalam gangguan pada

wanita pascamenopause. Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa

estrogen reseptor penting dalam pemeliharaan otoconia. Tikus ovariektomi

bilateral memiliki penurunan ekspresi komponen otoconial. Kepadatan otokonia

berkurang tetapi ukuran otokonia meningkat dalam tikus ovariektomi betina. Pada

akhirnya, pembentukan puing-puing ektopik di ampula meningkat pada defisiensi

estrogen.

2.2.6 Trauma

Trauma adalah penyebab umum BPPV. Pisani et al. meninjau 3060 pasien

dengan diagnosis klinis BPPV, dan hubungan yang jelas dengan peristiwa

traumatis hadir di 23,4% pasien. Chang et al. mengulas 768 pasien dengan BPPV

dan menemukan bahwa 9,2% pasien dengan BPPV telah menjalani operasi gigi

sebelumnya. Gordon et al. mengikuti program pelatihan 63 orang Amerika

11
pemain sepak bola dan melaporkan 16 tambahan kasus BPPV selama masa tindak

lanjut. Yang paling Jenis trauma yang umum adalah kecelakaan kendaraan

bermotor, jatuh, tulang temporal atau operasi stapes, dan trauma kepala Stimulasi

akustik atau listrik, tekanan, aktivitas fisik yang intens, dan mekanik trauma dapat

menyebabkan dislodgement otoconial. Traumatis BPPV mungkin melibatkan

beberapa saluran dan membutuhkan pengulangan manuver.

2.3 Fitur Klinis

Di negara barat, kanalis posterior (PC) diketahui paling sering terlibat (88-90%)

pada BPPV dengan predileksi pada telinga kanan. Dalam penelitian yang

dilakukan di Korea Selatan, terdapat keterlibatan kanal setengah lingkaran lainnya

(bukan hanya PC) telah terbukti lebih umum daripada yang dilaporkan

sebelumnya di negara-negara barat . Meskipun PC paling sering terlibat (59-61%),

BPPV dari tipe PC-BPPV non-murni terdiri dari sekitar 40% dari total BPPV,

terutama dengan keterlibatan kanal horizontal (HC-BPPV), di mana otolitik debris

mungkin terletak baik di kanal (canalolithiatic atau geotropic, 61-66%) atau

melekat pada cupula (cupulolithiatic atau apogeotropic, 31-33%). Penyebab

perbedaan ini tidak diketahui.

2.4 Diagnosa

The International Classifcation of Vestibular Disorders (ICVD) yang dirumuskan

oleh Barany Society menetapkan kriteria diagnostik untuk BPPV, yang meliputi

serangan berulang dari vertigo posisional/pusing yang dipicu oleh perubahan

posisi, dan karakteristik nistagmus posisional yang ditimbulkan oleh setiap

12
manuver posisi menurut subtipe dan telinga yang terkena. Selama manuver Dix-

Hallpike untuk diagnosis PC-BPPV, bantal dapat ditempatkan di bawah bahu dan

memperpanjang leher pasien sekitar 30° di bawah meja. Manuver yang

dimodifikasi ini mungkin berguna dalam pengaturan klinis yang terbatas atau

pada pasien dengan rentang gerak yang terbatas atau kesulitan mengendurkan

leher mereka. HC-BPPV didiagnosis dengan menentukan arah dan intensitas

relatif nistagmus horizontal yang diinduksi selama memutar kepala saat

terlentang. Pada kedua jenis HC-BPPV canalolithiatic (geotropic) dan

cupulolithiatic (apogeotropic), nistagmus yang berdetak ke sisi lesi lebih besar

daripada sisi yang sehat. Akurasi lateralisasi sisi tempat tidur dari sisi yang

terkena dapat diterima di HC-BPPV ketika asimetri nistagmus lebih dari 30% .

Ketika intensitas nistagmus yang dipicu selama tes memutar kepala terlentang

serupa antara arah, arah nistagmus yang diinduksi dengan berbaring atau menekuk

kepala (uji membungkuk dan bersandar) dapat membantu dalam lateralisasi sisi

yang terlibat. Nistagmus saat berbaring sebagian besar berdenyut menjauh dari

telinga yang terkena pada HC-BPPV geotropik tetapi berdetak ke arah telinga

yang terkena pada jenis apogeotropik, sedangkan kebalikannya berlaku untuk

nistagmus head-bending . Pasien dengan PC-BPPV dapat menunjukkan nistagmus

vertikal selama uji bow-and-lean. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa

nystagmus yang menggelengkan kepala (nistagmus yang diamati setelah osilasi

kepala pada 2-3 Hz pada bidang horizontal selama 20 siklus) terjadi pada sekitar

setengah pasien dengan HC-BPPV ke arah nistagmus headbending, sehingga

membantu lateralisasi sisi yang terkena . Durasi vertigo dan nistagmus biasanya

13
kurang dari satu menit pada tipe kanalolitik HC-BPPV. Namun demikian, pasien

kadang-kadang menunjukkan nistagmus geotropik persisten saat memutar kepala

terlentang. Nistagmus posisi geotropik persisten ini dapat diamati dalam

hubungannya dengan lesi sentral fokal, perubahan berat jenis kupula atau

endolimfe (cupula ringan), atau pada migrain meskipun mekanismenya masih

harus dijelaskan. Nistagmus downbeat paroksismal dapat diamati selama ekstensi

kepala tidak hanya pada lesi sentral atau BPPV yang melibatkan kanal anterior

(AC-BPPV) tetapi karena kompresi kedua arteri vertebral. Nistagmus posisi

karena lesi sentral (nistagmus posisi sentral, CPN) dapat berupa paroksismal atau

persisten, dan kedua jenis CPN dapat dianggap berasal dari gangguan pemrosesan

sentral dari sinyal kanal dan otolit. Meskipun CPN dapat dibedakan dari BPPV

berdasarkan pola temporal intensitas nistagmus, terjadinya nistagmus di beberapa

bidang, dan motorik okular tambahan atau temuan neurologis lainnya yang

menunjukkan lesi sentral, dokter harus berhati-hati ketika BPPV tampaknya tidak

menanggapi prosedur reposisi kanalit berulang. Otolin-1 adalah kolagen khusus

telinga bagian dalam yang membentuk perancah untuk mendorong pembentukan

otokonia yang optimal. Karena potensinya melalui sawar darah labirin, otolin-1

dapat dideteksi dalam darah perifer dan dapat berfungsi sebagai biomarker untuk

BPPV. Dengan demikian, kadar serum otolin-1 yang tinggi (> 300 pg/ml) dapat

membedakan pasien dengan BPPV dari kontrol yang sehat. Gold Standart untuk

mendiagnosis dan menentukan subtipe BPPV adalah pengamatan karakteristik

nistagmus yang dipicu selama manuver posisi seperti yang disebutkan di atas.

Namun, beberapa penelitian telah mengeksplorasi kegunaan kuesioner dalam

14
mengkonfirmasi BPPV dan menentukan subtipe berdasarkan karakteristik

(pemicu posisi, durasi, dll.) dari vertigo dan perubahan posisi yang paling banyak

menyebabkannya. Sebuah studi baru-baru ini menyelidiki pendekatan kuesioner

ini menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang dapat diterima untuk diagnosis

BPPV. Kuesioner terdiri dari enam pertanyaan. Tiga yang pertama dirancang

untuk mendiagnosis BPPV, dan tiga yang terakhir untuk menentukan subtipe dan

telinga yang terkena. Pendekatan baru untuk self-diagnosis BPPV menggunakan

kuesioner akan membuka jalan dari prosedur reposisi kanalit ketika BPPV terjadi

dan berulang. Berdasarkan perkembangan terbaru dalam teknologi informasi (TI)

dan biologi (BT) melalui program yang tersedia pada perangkat seluler dan

menggunakan kecerdasan buatan dan model pembelajaran mendalam, minat telah

beralih ke apakah pendekatan ini dapat digunakan untuk menentukan gangguan

mendasar yang menyebabkan pusing dan vertigo, dan dengan ini subtipe BPPV.

Selanjutnya, perekaman nistagmus selama serangan vertigo juga dapat dilakukan

dalam waktu dekat dengan menggunakan berbagai perangkat portabel. Pendekatan

semacam ini yang mengadopsi kecerdasan buatan, pembelajaran mendalam,

perangkat yang dapat dikenakan, dan aplikasi seluler, akan menjadi lebih penting

dalam menentukan penyebab vertigo, terutama ketika kita harus lebih

mengandalkan telemedicine seperti yang terjadi sekarang di tengah pandemi

COVID-19. Pasien BPPV menunjukkan tingkat kekambuhan 1 tahun sekitar 20%

dan perkiraan tingkat kekambuhan dalam 5 tahun.

2.5 Treatments

15
Meskipun BPPV dapat sembuh secara spontan, prosedur reposisi kanalit (CRP)

telah ditetapkan sebagai gold standart untuk pengobatan BPPV selama serangan.

CRPs dapat menghasilkan resolusi gejala dan nistagmus posisional pada 80%

dengan satu prosedur, dan hingga 92% dengan pengulangan. Berbagai CRP telah

menunjukkan kemanjuran dalam uji coba terkontrol secara acak, dan ini termasuk

manuver Epley dan Semont untuk PC-BPPV, rotasi barbekyu dan manuver

Gufoni untuk geotropik HC-BPPV, dan menggelengkan kepala dan manuver

Gufoni untuk HC-BPPV apogeotropik. Untuk AC-BPPV, beberapa manuver

termasuk Epley terbalik dan manuver Yacovino dapat dicoba. Kursi pemosisian

multisumbu yang dipasang pada video-oculography dapat diterapkan untuk

pengobatan BPPV. Versi CRP yang dimodifikasi atau disederhanakan juga telah

diusulkan. Manuver Gans telah menunjukkan keberhasilan jangka panjang yang

mirip dengan manuver Epley untuk PC-BPPV. Keberhasilan manuver reposisi

cepat Li mirip dengan manuver barbekyu untuk HCBPPV geotropik. Manuver

lain mengadopsi posisi 90 ° telinga yang terpengaruh untuk HC-BPPV geotropik

dan melaporkan resolusi gejala pada 83%. Manuver ini, bagaimanapun,

memerlukan validasi lebih lanjut melalui uji coba terkontrol secara acak. Sebuah

studi baru-baru ini menetapkan kemanjuran posisi berkepanjangan paksa untuk

HC-BPPV dibandingkan dengan manuver palsu menggunakan uji coba secara

acak double-blind. Dalam penelitian ini, pasien dengan geotropic HC-BPPV (n=

149) diinstruksikan untuk tetap berbaring pada sisi yang sehat pada kelompok

perlakuan dan pada sisi yang terlibat pada kelompok palsu (76,9 vs 11,3%)

16
CRP ini dapat dicoba oleh pasien sendiri di rumah. Beberapa perangkat

juga telah dikembangkan untuk aplikasi CRP yang mudah dan akurat di rumah.

Namun, aplikasi CRP sendiri membutuhkan identifikasi yang akurat dari saluran

yang terlibat dan subtipe BPPV. Untuk tujuan ini, kuesioner sederhana yang

terdiri dari enam pertanyaan, yang disebutkan di atas, dikembangkan dan

menunjukkan akurasi 71,2% dalam mendiagnosis BPPV dan menentukan saluran

dan jenis yang terlibat. Selanjutnya, uji klinis sedang berlangsung untuk aplikasi

CRP sendiri berdasarkan hasil kuesioner ini (registrasi CRIS no. KCT00002364) .

a. Manuver Epley Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada

kanal vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit

sebesar 450 , lalu pasien berbaring dengan kepala tergantung dan

dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala ditolehkan 900 ke sisi sebaliknya,

dan posisi supinasi berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-

60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan

kembali ke posisi duduk secara perlahan.

17
b. Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan

posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu

kepala dimiringkan 45 derajat ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak

ke posisi berbaring dan dipertahankan 20 selama 1-3 menit. Ada nistagmus

dan vertigo dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi

berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi.

c. Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat

dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang

tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga

dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat

menjadi kebiasaan.

18
d. Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal lateral.

Pasien berguling 360 derajat , yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien

menolehkan kepala 90 derajat ke sisi yang sehat, diikuti dengan

membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke

bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian

menoleh lagi 90 derajat dan tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu

kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan selama

15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon

terhadap gravitasi.

Pasien dengan BPPV kadang-kadang menderita vertigo persisten setelah

CRPs. Pada kasus ini, sisa debris otolitik mungkin terletak di bagian distal PC,

dan pasien mungkin menunjukkan nistagmus downbeat posisional karena migrasi

debris menuju ampula selama penentuan posisi. Dalam hal ini, pengulangan CRP

dapat membantu mengobati sisa vertigo. Serangan berulang BPPV sering terjadi

dengan kekambuhan pada setengah dari pasien dalam waktu 40 bulan. Sebuah

19
studi baru-baru ini menemukan bahwa kekambuhan ini agak acak dengan hanya

24% dari mereka yang melibatkan saluran yang sama di sisi yang sama seperti

yang terkena serangan sebelumnya. Peran vitamin D dalam BPPV baru-baru ini

terbukti signifikan. Dalam uji klinis acak baru-baru ini, pasien dengan BPPV

secara acak dialokasikan untuk pengukuran vitamin D serum dan mengonsumsi

vitamin D 400 IU dan kalsium 500 mg dua kali sehari ketika kadar vitamin D

serum di bawah normal atau hanya untuk ditindaklanjuti. kekambuhan tanpa

intervensi. Penurunan yang signifikan dalam kekambuhan ditemukan pada

kelompok perlakuan. Sebuah meta-analisis berikutnya dari enam percobaan acak

juga membuktikan efek pencegahan suplementasi vitamin D pada kekambuhan

BPPV. Dengan demikian, suplementasi vitamin D harus dipertimbangkan pada

pasien dengan BPPV berulang dan vitamin D serum subnormal. Disfungsi otolith

dapat dikaitkan dengan peningkatan kekambuhan BPPV. Dengan demikian,

program rehabilitasi vestibular termasuk dapat mengurangi tingkat kekambuhan

BPPV. Program ini termasuk melompat di permukaan seperti trampolin dengan

mata terbuka dan tertutup, membaca teks selama gerakan kepala linier, berdiri di

papan miring dan menggunakan bola latihan.

20
21
BAB III

PENUTUP

Meskipun tidak berbahaya, BPPV membawa serta dampak sosial ekonomi

yang besar. Mampu mendiagnosis ini dengan lebih baik, terutama menggunakan

perangkat jarak jauh akan menjadi terobosan besar dan cara untuk melakukan

sedang dieksplorasi secara aktif dengan menggunakan data pendukung. Selain itu,

sementara berbagai terapi fisik dapat berhasil digunakan untuk mengobati BPPV.

Terdapat data baru yang menarik yang menunjukkan peran suplementasi vitamin

D pada subkelompok pasien dengan kadar serum vitamin yang rendah.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Kim JS, Zee DS (2014) Clinical practice. Benign paroxysmal positional vertigo. N

Engl J Med 370(12):1138–1147. https://doi. org/10.1056/NEJMcp1309481

2. Parnes LS, Agrawal SK, Atlas J (2003) Diagnosis and management of benign

paroxysmal positional vertigo (BPPV). CMAJ 169(7):681–693

3. von Brevern M, Radtke A, Lezius F, Feldmann M, Ziese T, Lempert T, Neuhauser

H (2007) Epidemiology of benign paroxysmal positional vertigo: a population

based study. J Neurol Neurosurg Psychiatry 78(7):710–715.

https://doi.org/10.1136/ jnnp.2006.100420

4. Kim HJ, Lee JO, Choi JY, Kim JS (2020) Etiologic distribution of dizziness and

vertigo in a referral-based dizziness clinic in South Korea. J Neurol 267(8):2252–

2259. https://doi.org/10.1007/s0041 5-020-09831-2

5. Balatsouras DG, Koukoutsis G, Ganelis P, Economou NC, Moukos A, Aspris A,

Katotomichelakis M (2014) Benign paroxysmal positional vertigo secondary to

vestibular neuritis. Eur Arch Otorhinolaryngol 271(5):919–924.

https://doi.org/10.1007/ s00405-013-2484-2

6. Tanimoto H, Doi K, Nishikawa T, Nibu K (2008) Risk factors for recurrence of

benign paroxysmal positional vertigo. J Otolaryngol Head Neck Surg 37(6):832–

835

7. Brandt T, Huppert D, Hecht J, Karch C, Strupp M (2006) Benign paroxysmal

positioning vertigo: a long-term follow-up (6–17 years) of 125 patients. Acta

Otolaryngol 126(2):160–163. https ://doi.org/10.1080/00016480500280140

23
8. Nunez RA, Cass SP, Furman JM (2000) Short- and long-term outcomes of canalith

repositioning for benign paroxysmal positional vertigo. Otolaryngol Head Neck

Surg 122(5):647–652. https://doi. org/10.1016/S0194-5998(00)70190-2

9. Kim HJ, Kim JS (2017) The patterns of recurrences in idiopathic benign

paroxysmal positional vertigo and self-treatment evaluation. Front Neurol 8:690.

https://doi.org/10.3389/fneur .2017.00690

10. 10. Martens C, Goplen FK, Aasen T, Nordfalk KF, Nordahl SHG (2019) Dizziness

handicap and clinical characteristics of posterior and lateral canal BPPV. Eur

Arch Otorhinolaryngol 276(8):2181– 2189. https://doi.org/10.1007/s00405-019-

05459-9

11. Pereira AB, Santos JN, Volpe FM (2010) Efect of Epley’s maneuver on the quality

of life of paroxismal positional benign vertigo patients. Braz J Otorhinolaryngol

76(6):704–708

12. Li JC, Li CJ, Epley J, Weinberg L (2000) Cost-efective management of benign

positional vertigo using canalith repositioning. Otolaryngol Head Neck Surg

122(3):334–339. https://doi. org/10.1067/mhn.2000.100752

13. Pérez P, Manrique C, Álvarez MJ, Aldama P, Álvarez JC, Luisa Fernández M,

Méndez JC (2008) Evaluation of benign paroxysmal positional vertigo in primary

health-care and frst level specialist care. Acta Otorrinolaringol (Engl Ed)

59(6):277–282. https ://doi.org/10.1016/S2173-5735(08)70238-2

14. Wang YL, Wu MY, Cheng PL, Pei SF, Liu Y, Liu YM (2019) Analysis of cost and

efectiveness of treatment in benign paroxysmal positional vertigo. Chin Med J

(Engl) 132(3):342–345. https ://doi.org/10.1097/CM9.0000000000000063

24

Anda mungkin juga menyukai