Anda di halaman 1dari 27

REFERAT KEDOKTERAN

PNEUMONIPERICARDIUM

Disusun oleh:

Ketrina Stevelin Burdam. S.Ked

201670011

Dosen Pembimbing Kepaniteraan :

dr. Neltje Kambuaya, M.Sc, Sp. RadK

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


RSUD SCHOLOO KEYEN KABUPATEN SORONG SELATAN
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PAPUA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat serta karunia-Nya, referat ini dapat selesai tepat pada waktunya. Penulisan

dan penyusuna referat yang berjudul, Pneumonipericardium ‟ ini dilakukan sebagai

syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Papua di RSUD Scholoo Keyen Kabupaten Sorong Selatan.

Penulis dapat menyelesaikan referat ini karena mendapatkan bimbingan, saran, serta

masukkan dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada dr. Nelce Kambuaya, M.Sc, Sp.RadK sebagai pembimbing yang memberikan arahan

dan bimbingan kepada penulis. Terimakasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak di RSUD

Scholoo Keyen Kabupaten Sorong Selatan yang senantiasa memberikan ilmu kepada penulis

selama menjalani kepaniteraan klinik di Departemen Radiologi, serta ucapan terima kasih

kepada rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Departemen Radiologi atas masukan dan

dukungannya.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan, sehingga saran dan

kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat bermanfaat.

Teminabuan, 9 April 2022

Penulis

i
Lembar Pengesahan

Referat dengan judul “Pnemonia Pericardium” disusun dalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Papua di Rumah Sakit
Umum Daerah Scholoo Keyen Kabupaten Sorong Selatan, yang disusun oleh:

Nama : Ketrina Stevelin Burdam, S.Ked


NIM 201670029
Program Studi : Program Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Papua
Departemen : Radiologi
Judul Referat : Pneumopericardium

TELAH DIPRESENTASIKAN DAN DISAHKAN


PADA TANGGAL :…………………………………………

Teminabuan, 9 April 2022

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Neltje Kambuaya, M.Sc, SpRadK

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

Lembar Pengesahan...................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR................................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Tujuan..........................................................................................................................1

1.2.1 Tujuan Umum......................................................................................................1

1.2.2 Tujuan Khusus.....................................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................2

2.1 Anatomi Ginjal dan Radiologi Normal Ginjal...........................................................2

2.2 Fisiologi Ginjal............................................................................................................4

2.3 Definisi dan Klasifikasi Ruptur Ginjal........................................................................5

2.4 Epidemiologi Ruptur Ginjal........................................................................................7

2.5 Etiologi, Faktor Risiko dan Patologi Ruptur Ginjal....................................................8

2.6 Diagnosis Ruptur Ginjal..............................................................................................9

2.7 Pencitraan Ruptur Ginjal...........................................................................................13

2.8 Tatalaksana Ruptur Ginjal.........................................................................................20

2.9 Komplikasi dan Prognosis Ruptur Ginjal..................................................................21

BAB 3 KESIMPULAN............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Permukaan Ginjal....................................................................................................2


Gambar 2. Posisi ginjal dari dinding posterior..........................................................................2
Gambar 3. Ginjal dengan potongan longitudinal......................................................................3

iv
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumopericardium adalah kondisi klinis yang langka yang terjadi ketika adanya udara atau
gas dalam kantung perikardium, kondisi ini biasanya dapat sembuh dengan sendirinya akan tetapi
kadang-kadang dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa. Kondisi
Perikardium sendiri adalah pelindung pada jantung, yang diisi dengan cairan yang melumasi
jantung dan dapat melindungi jantung juga dari infeksi.
Kantung menjaga jantung Anda terkandung di dinding dada Anda dan menghentikannya dari over-
expanding ketika volume darah meningkat. Ini membantu menjaga jantung Anda bekerja dengan
baik.
Pneumopericardium dapat diklasifikasikan sebagai sederhana, dengan hanya gas dan udara dalam
cairan, atau rumit, dengan gas, udara, nanah, dan cairan lainnya di kantung. Dalam kebanyakan
kasus, pneumopericardium hilang dengan sendirinya dan tidak perlu diobati, meskipun dokter
Anda akan ingin memantau

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui tentang pneumopericardium mulai dari definisi, klasifikasi,


epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patologi, diagnosis, tatalaksana,
komplikasi hingga prognosis

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran radiologi pada kasus pneumopericardium


2. Memenuhi syarat tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Departemen
Radiologi Fakultas Kedokteran Unversitas Papua di RSUD Scholoo Keyeen
Kabupaten Sorong Selatan.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jantung dan Radiologi Normal Jantung


Jantung adalah salah satu organ penting yang bertugas untuk memompa darah ke seluruh
tubuh.dengan ukuran jantung sekitar 200-425 gram, dan terletak antara paru-paru pada bagian
tengah dada, pada bagian belakang dan sedikit ke kiri tulang sternum.
Jantung memiliki bagian-bagian terdiri dari Perikardium, atrium, ventrikel, katup, dan pembuluh-
pembuluh darah
.Jantung berada dalam rongga berisi cairan dengan sebutan rongga perikardial. Dinding dan
lapisan rongga perikardial ini memiliki sebutan perikardium. Pada gambar anatomi jantung,
tampak perikardium berada pada bagian tengah.

Perikardium ialah sejenis membran serosa yang menghasilkan cairan serous untuk melumasi
jantung selama berdenyut dan mencegah gesekan yang menyakitkan antara jantung dan organ
sekitarnya.

Bagian ini juga berfungsi untuk menyangga dan menahan jantung untuk tetap berada dalam
posisinya. Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu epikardium (lapisan terluar), miokardium
(lapisan tengah), dan endokardium (lapisan dalam)

Gambar 1. Lapisan jantung

Gambar 2

2
3
Arteri ginjal keluar di sudut kanan aorta, dan arteri ginjal kanan lebih panjang
dibandingkan kiri karena aorta terletak di sebelah kiri midline. Setiap arteri ginjal akan
terbagi menjadi lima arteri segmental dan bercabang lebih jauh untuk membentuk
beberapa arteri interlobar. Di persimpangan korteks-medula, arteri interlobar bercabang
ke dalam arteri arkuata yang melengkung di atas dasar piramida meduler. Arteri radiata
kortikal kecil (juga disebut arteri interlobular) memancar keluar dari arkuata arteri untuk
mensuplai jaringan kortikal berlanjut arteriola afferent dan kapiler glomerulus. Vena
cukup banyak menelusuri jalur suplai arteri terbalik. Darah yang meninggalkan korteks
ginjal mengalir secara berurutan ke dalam radiata kortikal, arkuata, interlobar, dan
akhirnya vena ginjal (tidak ada vena segmental.) Vena renalis keluar dari ginjal dan
bermuara ke vena cava inferior. Karena vena cava inferior terletak di sebelah kanan
kolumna vertebralis, vena ginjal kiri sekitar dua kali lebih panjang dari kanan6.

Gambar 5. Ultrasonografi Ginjal normal7

2.2 Fisiologi Ginjal

Ginjal memiliki fungsi sebagian besar membantu dalam mempertahankan


stabilitas lingkungan cairan internal, dan melakukan fungsi-fungsi spesifik diantaranya
mempertahankan keseimbangan air di tubuh, mempertahankan osmolaritas cairan
(terutama melalui regulasi keseimbangan H20), mengatur jumlah dan konsentrasi
sebagian besar ion CES, mempertahankan volume plasma yang tepat, membantu
mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- di urine, mengeluarkan/mengekskresika produk-produk
akhir /sisa metabolisme tubuh (misalnya urea dari protein, asam urat dari asam nukleat,
kreatinin dari kreatin otot, bilirubin dari hemoglobin, dan hormon metabolic),
mengekskresikan banyak senyawa asing (misalnya obat, aditif makanan, pestisida, dan

4
bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh), menghasilkan eritropoietin (suatu
hormon yang merangsang produksi sel darah merah), menghasilkan renin (suatu hormon
enzimatik yang memicu suatu reaksi berantai yang penting dalam konservasi garam oleh
ginjal untuk mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya).8
Setiap ginjal terdiri dari sekitar 1 juta unit fungsional mikroskopik yang dikenal
sebagai nefron, yang disatukan bersama oleh jaringan ikat. Fungsi utama ginjal adalah
menghasilkan urine dan dalam pelaksanaannya mempertahankan stabilitas komposisi
CES, dimana nefron adalah unit terkecil yang mampu membentuk urine. Dalam
pembentukan urine, terdapat tiga proses dasar yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi
tubulus, dan sekresi tubulus.6,8
Filtrasi glomerulus adalah proses penyaringan plasma bebas protein sewaktu
darah mengalir melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Selanjutnya
plasma yang tersaring tersebut saat melewati bagian tubulus dari nefron maka bahan-
bahan yang bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus.
Perpindahan selektif bahan-bahan dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam
darah ini disebut reabsorpsi tubulus. Bahan-bahan yang direabsorpsi tidak keluar dari
tubuh melalui urine tetapi dibawa oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian
ke jantung untuk diresirkulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, 178,5 liter,
secara rerata, direabsorpsi. Sisa 1,5 liter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk
dikeluarkan sebagai urine. Kemudian selanjutnya terjadi pemidahan selektif dari bahan-
bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus, dimana proses ini disebut sekresi
tubulus. Sekresi tubulus merupakan mekanisme untuk mengeluarkan bahan dari plasma
secara cepat dengan mengekstraksi sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang tidak
terfiltrasi di kapiler peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di
tubulus sebagai hasil filtrasi. Dari hasil 3 proses tersebut, maka terbentuklah urine yang
akan di eksresikan.6,8

2.3 Definisi dan Klasifikasi Ruptur Ginjal

5
6
2.4 Epidemiologi Ruptur Ginjal

7
2.5 Etiologi, Faktor Risiko dan Patologi Ruptur Ginjal

2.6 Diagnosis Ruptur Ginjal

a. Pemeriksaan Fisik

8
b. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pada trauma ginjal, dapat ditemui kelainan seperti peningkatan serum
kreatinin, urea nitrogen darah, kelainan elektrolit, dan asidosis. Pemeriksaan
laboratorium dapat berupa analisis urin, kadar hematokrit dan kreatinin adalah
tes yang diperlukan untuk mendiagnosis mikroskopis hematuria, status
kehilangan darah saat ini dan fungsi ginjal dasar. Kapan perdarahan aktif
dicurigai, sehingga dibutuhkan golongan darah. Evaluasi laboratorium
tambahan harus mencakup hitung darah lengkap, gas darah dan kimia lengkap,
termasuk glukosa, elektrolit, tes fungsi hati, amilase dan lipase untuk
mengevaluasi kemungkinan perut lainnya cedera organ.2,4
Terdapat hematuria atau tidak adalah hal yang sangat umum dari tanda
trauma ginjal. Jika tidak terlihat, maka dikenal sebagai hematuria mikroskopis
yang didefinisikan sebagai tiga atau lebih sel darah merah (RBCs) / high power
field (HPF) untuk dewasa dan lebih dari 50 sel darah merah/HPF untuk pasien
pediatri. Sedangkan adanya hematuria pada 35- 77% kasus trauma ginjal.
Setengah dari pasien dengan trauma ginjal derajat II dan 30% dari pasien
dengan trauma ginjal derajat IV tidak memiliki hematuria, sehingaa dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang mutlak antara jenis atau derajat hematuria
dengan jenis dan tingkat keparahan dari cedera ginjal.2,4
 Pencitraan
Tujuan dari dilakukannya pencitraan awal adalah untuk menilai cedera ginjal,
melihat ginjal kontralateral, kelainan ginjal, dan mengidentifikasi cedera ke
organ lain. Indikasi untuk evaluasi pencitraan dilihat dari aspek klinis dan
mekanisme dari cedera. Menurut guidline European Association of Urology
(EAU) dan American Urological Association (AUA), CT (computed
tomography) harus dilakukan di semua pasien trauma tumpul dengan
himodinamik satabil baik ada hematuria atau pasien yang datang dengan

9
mikroskopis hematuria dan hipotensi (TD sistolik <90 mmHg) dan harus jelas
bahwa ketidakstabilan hemodinamik tidak memungkinkan penggunaan
diagnostik CT. Selain itu, CT harus dilakukan bila mekanisme cedera atau
temuan pemeriksaan fisik menunjukkan cedera ginjal (yaitu deselerasi cepat,
patah tulang rusuk, ekimosis flank/panggul yang substansial, dan setiap klinis
cedera perut, panggul atau dada bagian bawah). Pemeriksaan radiologi ginjal
juga dibenarkan pada pasien dengan cedera lain yang diketahui terkait dengan
cedera ginjal (misalnya, memar langsung) atau hematoma jaringan lunak
panggul; patah tulang tulang rusuk bawah, proses transversal, atau
thoracolumbar tulang belakang. Anak-anak dengan trauma tumpul dan
hematuria harus menjalani pencitraan ginjal terlepas dari tekanan darah atau
derajat hematuria.2-4,10
Pemeriksaan pencitraan ulang dapat dilakukan apabila untuk mendiagnosis
kemungkinan komplikasi dan untuk mengevaluasi perburukan klinis. Pedoman
saat ini merekomendasikan pencitraan ulang untuk pasien dengan cedera derajat
tinggi setelah 2-4 hari. Pencitraan ulang juga diindikasikan untuk pasien dengan
tanda-tanda klinis komplikasi, seperti: seperti demam, nyeri pinggang yang
memburuk, kehilangan darah yang berkelanjutan dan distensi abdomen.10
Berikut beberapa pencitraan atau pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan pada pasien dengan cedera ginjal:
1. Computed Tomography (CT)
CT membantu menilai massa ginjal, penyakit retroperitoneal,
obstruksi, staging neoplasma kandung kemih dan ginjal, invasi tumor ke
vena renalis/ vena cava inferior, evaluasi pascatrauma, pembedahan, dan
kemoterapi.7
Modalitas pilihan utama (gold standart) pada pasien yang dicurigai
trauma ginjal adalah computed tomography dengan kontras. CT dapat
dengan cepat dan akurat menemukan cedera ginjal dan lainnya secara
anatomi dan fungsional untuk menetukan stadium/tingat derajat secara
akurat. CT pada trauma ginjal mencakup 4 fase: pra-kontras, arteri pasca-
kontras (35 detik pasca-injeksi intravena), pascakontras nefrogenik/vena
portal (75 detik pasca injeksi intravena) dan delayed/tertunda (5-10 menit
pasca injeksi intravena). Fase prakontras dapat mengidentifikasi batu ginjal,
perdarahan aktif atau hematoma intraparenkim. Fase pascakontras

10
mengidentifikasi kerusakan parenkim dan pembuluh darah, termasuk
adanya ekstravasasi aktif kontras, kerusakan organ padat lainnya (misalnya
hati dan pankreas) dan varian fisiologis yang dapat mempengaruhi
manajemen. Fase delayed dapat memvisualisasikan sistem kemih dan
kemungkinan cedera ureter.2-4,10
2. Intravenous Pyelography (IVP)
IVP berperan untuk menilai fungsi kasar dan evaluasi ginjal yang tidak
terluka secara hemodinamik pada pasien yang tidak stabil menggantikan CT
saat pra-operasi. Penggunaan IVP intraoperative termasuk injeksi kontras
satu kali bolus media (2 mg/kg), diikuti oleh satu film polos diambil setelah
10 menit.2, 10
3. Ultrasound
Ultrasound (US) digunakan sebagai metode untuk mendeteksi
hemoperitoneum pada pasien dengan kecurigaan cedera intraperitoneal
setelah trauma tumpul tetapi terbatas dibandingkan dengan CT dalam
evaluasi parenkim ginjal. Pemeriksaan US tidak dapat membedakan darah
segar dari urin ekstravasasi, dan tidak dapat mengidentifikasi cedera
vaskular pedikel dan infark segmental. US dapat digunakan untuk tindak
lanjut hidronefrosis, laserasi ginjal dikelola secara nonoperatif dan
pascaoperasi pengumpulan cairan. US tidak menghasilkan radias sehingga
sangat relevan untuk pasien anak.10
4. Angiography
Pemeriksaan dengan angiography pada cedera ginjal telah jarang
dilakukan karena sebagian besar cedera vaskular dapat dinilai dengan CT.
Namun, angiography ginjal dapat memberikan gambaran yang lebih rinci
mengenai area anatomi yang tepat dari cedera vaskular dibandingkan
dengan CT. Angiography dengan embolisasi transkateter dapat digunakan
untuk terapi non-bedah dalam hemodinamik pasien stabil dengan cedera
ginjal yang terkait dengan perdarahan sedang dan untuk evaluasi dugaan
komplikasi vaskular dari cedera (seperti fistula arteriovenosa,
pseudoaneurisma). Venografi dapat dilakukan untuk menilai kecurigaan
cedera pada vena ginjal atau vena inferior cava.10

11
5. Retrograde Pyelography
Retrograde pielografi penting dalam penilaian integritas pelvis ureter
dan ginjal ketika curiga adanya cedera di persimpangan ureteropelvic. Akan
tetapi, tidak membantu dalam mengevaluasi cedera parenkim ginjal.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memasukkan kateter ke dalam
ureter lalu disuntikan kontras. Pemeriksaan ini akan memperlihatkan sistem
pelvicalyces dan ureter.7,10
6. Radionuclide Renal Scintigraphy
Pencitraan radiologi ini dapat membantu mendokumentasikan
keberadaan suatu fungsi ginjal pada pasien dengan kontraindikasi bahan
kontras beryodium atau tindak lanjut perbaikan trauma renovaskular.
Radionuclide Renal Scintigraphy dapat dilakukan dengan technetium (Tc)–
99m glucoheptonate, Tc-99m mercaptoacetyltriglycine, atau Tc-99m
diethylenetriamine pentaacetic asam.10
7. MR Imaging (MRI)
MRI digunakan pada trauma cedera ginjal jika ada kontraindikasi
untuk bahan kontras beryodium atau ketika CT tidak tersedia. Seperti CT
yang ditingkatkan kontras, MRI dengan penggunaan berbasis gadolinium
intravena bahan kontras telah terbukti membantu dalam penilaian
ekstravasasi urin.10

2.7 Pencitraan Ruptur Ginjal

Beberapa gambar radiologi cedera ginjal dari beberapa referensi berdasarkan


klasifikasi derajat cedera :
a. Klasifikasi derajat cedera menurut AAST

Gambar 7. Hematom subcapsular yang menekan parenkim ginjal11

12
Gambar CT scan dengan kontras pada anak laki-laki usia 12 tahun dengan cedera
ginjal derajat 1 berupa gambaran hematom subcapsular yang menekan parenkim
ginjal.11

Gambar 8. Hematom perirenal dengan hematom perinefrik11

Gambar CT scan potongan sagital dengan kontras pada anak perempuan dengan
cedera ginjal derajat 2 berupa gambaran laserasi ginjal yang berhubungan dengan
hematom perinefrik yang meluas ke ruang perirenal.11

Gambar 9. Cedera sistem pelvokalises11

Gambar CT scan dengan kontras pada anak anak laki-laki usia 14 tahun dengan
cedera ginjal derajat 3 berupa gambaran cedera sistem pelvokalises. Pada gambar A
menunjukkan laserasi ginjal kiri dengan hematom perinefrik. Gambar B
menunjukkan gambaran fase delayed 5 menit sesudah A dengan memperlihatkan
ekstravasasi kontras IV ke ruang perrenal.11

13
Gambar 10. Cedera vaskular ginjal kiri11

Gambar CT scan dengan kontras pada anak laki-laki usia 15 tahun dengan cedera
ginjal derajat 5 berupa cedera vaskuler ginjal kiri dengan menunjukkan
devaskularisasi ginjal kiri setelah avulsi arteri ginjal kiri.11

b. Klasifikasi derajat cedera ginjal berdasarkan kategori temuan pencitraan

Gambar 11. Kontusio ginjal (kategori I)10


Pada gambar kanan adalah gambar ilustrasi dengan hematoma fokal intrarenal,
sedangkan pada gambar kiri merupakan gambar CT scan dengan kontras pada pria
usia 46 tahun dengan trauma tumpul abdomen yang menunjukkan kontusio ginjal
atau hematoma ginjal. 10

Gambar 12. Hematoma subkapsular (kategori I)10

14
Pada gambar kanan adalah gambar ilustrasi dengan hematoma subkapsular,
sedangkan pada gambar kiri merupakan gambar CT scan dengan kontras pada pria
usia 40 tahun dengan trauma tumpul abdomen yang menunjukkan kumpulan cairan
subkapsular (tanda panah putih lurus), laserasi kortikal minimal (tanda panah hitam),
dan emfisema subkutan (tanda panah putih melengkung). 10

Gambar 13. Laserasi ginjal simple (kategori I)10


Pada gambar kanan adalah gambar ilustrasi dengan laserasi kortikal kecil/simpel,
sedangkan pada gambar kiri merupakan gambar CT scan dengan kontras pada
perempuan usia 30 tahun dengan trauma tumpul abdomen yang menunjukkan laserasi
di region interpolar ginjal kiri (tanda anak putih), laserasi hepatic (tanda panah hitam),
dan hemoperitoneum di Marrison pouch (2 tanda panah hiitam kecil). 10

Gambar 14. Infark arteri subsegmental ginjal (kategori I)10


Pada gambar kanan adalah gambar ilustrasi dengan infark segmental, sedangkan
pada gambar kiri merupakan gambar CT scan dengan kontras pada laki-laki usia 47
tahun dengan trauma tumpul abdomen yang menunjukkan wedge-shaped di regio
ginjal kanan (tanda panah putih) dan perdarahan hilum ginjal kanan. 10

15
Gambar 15. Laserasi mayor tanpa perluasan ke sistem pelvokalies (kategori II)10

Pada gambar kanan adalah gambar ilustrasi dengan laserasi ke medulla renal tanpa
perluasan ke sistem pelvokalies (sistem pengumpul), sedangkan pada gambar kiri
merupakan gambar CT scan dengan kontras pada wanita usia 32 tahun dengan
trauma tumpul abdomen yang menunjukkan laserasi di aspek posterolateral di
tengah posisi kiri ginjal (tanda panah). 10

Gambar 16. Infark segmental renal (kategori II)10


Pada gambar kanan adalah gambar ilustrasi dengan laserasi ke medulla renal tanpa
perluasan ke sistem pelvokalies (sistem pengumpul urin), sedangkan pada gambar
kiri merupakan gambar CT scan dengan kontras pada pria usia 34 tahun,
menunjukkan adanya oklusi di percabangan segmental dorsal arteri renal, dan
laserasi splenic dengan hematoma perisplenik (tanda panah). 10

Gambar 17. Shatterd kidney (pecahnya ginjal), kategori III10


Gambar CT scan laki-laki usia 28 tahun yang mengalami trauma tumpul abdomen.
Pada gambar (a) di pole superior ginjal kanan mengalami devitalisasi akibat infark

16
segmental (R), bekuan darah hyperattenuating (tanda panah), vena cava inferior
mendatar (V) yang mengartikan indikasi syok hipovolemik. Pada gambar (b)
terdapat laserasi parenkim yang meluas secara horizontal melintasi pole inferior
ginjal kanan (R), dan hematoma perinefrik (H). 10

Gambar 18. Ekstravasasi artri aktif (kategori III)10

Pada gambar kanan adalah gambar ilustrasi thrombosis arteri utama renal,
sedangkan pada gambar kiri merupakan gambar angiogram selektif arteri renal
kanan yang diperoleh setelah laparotomy eksplorasi menunjukkan travasasi vaskuler
dari pole superior kanan ginjal (tanda panah). 10

Gambar 19. Laserasi ginjal akibat cedera tajam (luka tusuk)10

Gambar CT scan laki-laki usia 25 tahun yang mengalami trauma tajam berupa luka
tusuk di posterolateral kanan pada bagian abdomen. Gambar menunjukkan laserasi
di anterolateral ginjal kanan (tanda panah melengkung), bekuan darah di daerah
ekstrarenal pelvis kanan (B), laserasi kecil hepatic (tanda panah hitam lurus),
hemoperitoneum (H), dan luka tusuk terlihat di dinding perut (tanda panah putih). 9

17
Gambar 20. Trauma ginjal akibat cedera tajam dari luka tembak10

Gambar diperoleh dari pasien laki-laki usia 20 tahun, pada gambar (a) Radiografi
konvensional kuadran kanan atas perut menunjukkan multiple pellets, gambar (b)
Gambar CT scan, hematoma perinefrik (tanda panah). Dan pada gambar (c) CT scan
dengan kontras, terlihat pellets di dekat sistem pelvokalies, dapat berpotensi
bermigrasi ke dalam dan mengakibatkan obstruksi ureter (buckshot colic). 10

Gambar 21. Ruptur kista di ginjal10


Gambat CT scan laki-laki usia 71 tahun dengan trauma tumpul abdomen. Gambar
menunjukkan kista dengan tingkat cairan-cairan di daerah midpolar ginjal kiri (tanda
panah putih lurus), dengan kumpulan cairan perinefrik (tanda panah melengkung),
dan penebalan fasia ginjal (panah hitam). 10

(a) (b)
Gambar 22. CT scan abdomen7
Gambar (a) menunjukkan adanya kista multiple pada penyakit polikistik (tanda
panah), sedangkan pada gambar (b) menunjukkan kista berbatas tegas pada ginjal
kanan. 7

18
(a) (b)
Gambar 23. Ultrasonografi pada ginjal 7

Gambar (a) terlihat lesi-lesi eko yang lemah yang menggabarkan adanya kista ginjal
multiple, sedangkan pada gambar (b) menunjukkan kista ginjal sederhana (tanda
panah). 7

Gambar 24. Gambar kista dengan pencitraan MRI13


Pada gambar bagian D, kista memiliki intensitas yang sama dengan air (MRI T1),
sedangkan gambar E dengan MRI intensitas lebih tinggi T2.13

2.8 Tatalaksana Ruptur Ginjal

Priotas tatalaksana trauma ginjal adalah menghindari kematian dengan control


perdarahan, nephron sparing dan menghindari komplikasi. Tatalaksana yang dapat
diberikan pada pasien dengan trauma ginjal diantaranya :2,4
1. Tatalaksana Non-Operatif
Konsensus yang ditetapkan dari ahli bedah urologi mengenai tatalaksana awal
adalah dengan non-operatif pada pasien trauma ginjal hemodinamik stabil.
Tatalaksana non-operatif diberikan dengan cara perawatan suportif di unit
perawatan intensif (ICU) atau dengan tirah baring, pemeriksaan klinis berkala,
hematokrit serial setiap 6-8 jam, transfuse darah dan angioembolisasi atau
penempatan drainase untuk kebocoran urin. Dengan pendekatan non-operatif

19
terssebut, fungsi ginjal dapat dipertahankan dan nefrektomi tidak perlu
dilakukan.2,4
2. Embolisasi Angiografi
Angiografi selektif dengan angioembolisasi bertujuan untuk evaluasi dan
pengelolaan perdarahan pasien dari cedera ginjal dengan tingkat keberhasilan 88%
dan tingkat penyelamatan ginjal 92%. Ahli radiologi intervensi diperlukan untuk
prosedur ini dan hanya dapat dilakukan di institusi yang dapat menyediakannya.4
3. Manajemen Operatif
Pasien cedera ginjal yang hemodinamik tidak stabil, tidak responsif terhadap
tindakan resusitasi atau gagal manajemen non-operatif harus segera dilakukan
intervensi operatif. Intervensi bedah dilakukan juga jika ditemukan perdarahan
persisten yang membutuhkan transfusi sel darah merah atau angioembolisasi yang
berkelanjutan, ekstravasasi urin yang persisten atau memburuk, pelvis ginjal atau
avulsi ureter proksimal. Tujuan utama dalam intervensi bedah adalah untuk
mengontrol perdarahan dan menyelamatkan ginjal jika memungkinkan. Pielogram
intravena dapat dilakukan intraoperatif untuk memeriksa fungsi ginjal
kontralateral, yang dapat mempengaruhi manajemen intraoperatif. Intervensi
operatif tidak sama dengan nephrectomy. Sebagai contoh, beberapa luka dapat
ditutup terutama seperti luka tusuk kecil pada parenkim ginjal atau luka pada
panggul ginjal sementara nefrektomi parsial dapat dilakukan jika parenkim ginjal
fungsional yang memadai dapat diperoleh.2,4

2.9 Komplikasi dan Prognosis Ruptur Ginjal

Komplikasi awal termasuk perdarahan, infeksi, abses perinefrik, sepsis, fistula


urin, hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma. Komplikasi tertunda yang mungkin akan
terjadi diantaranya termasuk perdarahan, hidronefrosis, pembentukan kalkulus,
pielonefritis kronis, hipertensi, fistula arteriovenosa, dan aneurisma semu. Sebagian
besar komplikasi dapat diobati secara nonoperatif, percutaneously, dan
endourologically.2
Komplikasi yang paling umum setelah manajemen non-operatif cedera ginjal
traumatis tingkat tinggi adalah hematuria, demam, cedera ginjal akut dan urinoma
dibandingkan dengan infeksi luka, abses perinefrik dan infeksi saluran kemih setelah
manajemen operasi cedera ini. Klasifikasi trauma ginjal membantu dalam penentuan
terapi dan memperkirakan prognosis.2-4

20
BAB 3

KESIMPULAN

1. Ruptur ginjal adalah kondisi dimana ginjal rusak/cedera akibat trauma (tumpul/tajam)
ataupun psoses obstruktif saluran kemih yang dihasilkan dari efek massa lokal (obstruksi
unilateral atau bilateral oleh tumor, batu ginjal, atau gumpalan di dalam kandung kemih.
2. Trauma ginjal diklasifikasikan secara patogenesis (trauma tumpul atau tajam), morfologi
(tipe dan derajat kerusakan), dan keadaan klinis (gejala yang ditemui). Menurut AAST
cedera ginjal dibagi menjadi 5 kategori, dan berdasarkan temuan pencitraan dibagi
menjadi 4 kategori.
3. Trauma ginjal menyumbang sekitar 1-5% dari semua pasien trauma, dan sebagian besar
disebabkan oleh trauma tumpul abdomen (80% hingga 90%).
4. Etiologi dari ruptur ginjal dapat di sebabkan oleh trauma (trauma tumpul/tajam) dan
atraumatic spontaneous (rupturnya massa dan kista apapun dalam ginjal).
5. Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis (hematuria, perdarahan, nyeri abdomen),
pemeriksaan fisis (hematuria, flank/ hematoma perut bagian atas, massa teraba, ekimosis
atau lecet, dan patah tulang rusuk), dan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan
radiologi (seperti CT scan, IVP, ultrasound, MRI, dan lainnya)
6. Tatalaksana yang dapat diberikan berupa non-oeratif, embolisme angiografi, dan
operatif.
7. Komplikasi awal termasuk perdarahan, infeksi, abses perinefrik, sepsis, fistula urin,
hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma. Komplikasi tertunda diantaranya termasuk
perdarahan, hidronefrosis, pembentukan kalkulus dan lainnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutton D. Text book of radiology and imaging. 7th ed. 1st Vol. Chan O, Vlahos L, editors.
London: Elsevier science; 2003. 691 p.
2. Erlich T, Kitrey ND. Renal trauma: the current best practice. Therapeutic advances in
urology. 2018 Jun 7; 10(10):295-303.
3. Portnov. Ruptured kidney [Internet]. [place unknown]: iliveoke; 2021 Nov 11 [cited
2022 Mar 27]. Available from: https://m.iliveok.com/health/ruptured-
kidney_131530i15945.html
4. Singh S, Sookraj K. Kidney Trauma [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jul 19 [update 2022 Jan; cited 27 Mar 2022] Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532896/
5. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2014. p. 311-2.
6. Marieb EN, Hoehn K. Human anatomy & physiology. 9 th ed. USA: Pearson; 2013.p.
956-8.
7. Patel PR. Lecture notes radiologi. 2nd ed. Jakarta:rlangga; 2007. p. 159-69.
8. Sherwood L. Human physiology from cells to systems [Ebook]. 7 th ed. USA: Brooks/
cole cengage learning; 2010. p. 512-17.
9. Kusumawidjaja K. Trauma ginjal. In: Ekayuda I, editors. Radiologi diagnostik. 2nd ed.
Jakarta: Universitas Indonesia Publishing; 2005. 299 p.
10. Kawashima A, Sandler CM, Corl FM, West C, Tamm EP, Fishman EK, et al. Imaging of
renal trauma: a comprehensive review. Education exhibit. May-Jun 2001; 21(3): 557-74.
11. Sulistia N, Soeprijanto B, Normahayu I. Trauma ginjal laporan kasus. Jurnal radiologi
Indonesia. 2018 Jul; 4(1):52-7.
12. Knipe H, Weerakkody Y. Renal forniceal rupture [Internet]. [place unknown]:
Radiopaedia; 2020 Dec 20 [cited 2022 Mar 27. Available from:
https://doi.org/10.53347/rID-50301
13. Sutton D. Text book of radiology and imaging. 7th ed. 1st Vol. Kabala JE, editor. London:
Elsevier science; 2003. 950 p.

22

Anda mungkin juga menyukai