Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

WEIL’S DISEASE

Disusun Oleh:

Theresia A. E. Tumanan

201670005

Pembimbing:

dr. Somarnam, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD SELE BE SOLU KOTA SORONG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PAPUA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Weil’s Disease” disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Papua di RSUD Sele Be Solu
Kota Sorong yang disusun oleh:

Nama : Theresia A. E. Tumanan

NIM : 201670005

Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh:

Pembimbing : dr. Somarnam, Sp.PD

Sorong, ………………. 2022

Pembimbing

dr. Somarnam, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Weil’s
Disease”. Penulisan Referat ini dibuat untuk memenuhi persyaratan tugas Mahasiswa Profesi
Pendidikan Dokter Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Papua.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua Orang tua yang telah memberikan
dukungan dan doanya. Ucapan Terima kasih Penulis berikan juga kepada dosen pembimbing
dr. Somarnam, Sp.PD selaku pembimbing yang telah membantu dalam penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan, baik dari
aspek materi, sistematika penulisan, maupun aspek bahasa yang digunakan, oleh karena itu,
Penulis mengharapkan masukan dan saran dari semua pihak sebagai bahan perbaikan.Semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Sorong, ……………… 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

WEIL’S DISEASE..................................................................................................................... 1

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 2

2.1 Definisi ........................................................................................................................ 2

2.2 Epidemiologi ............................................................................................................... 2

2.3 Etiologi ........................................................................................................................ 3

2.4 Patogenesis .................................................................................................................. 5

2.5 Faktor Risiko ............................................................................................................... 7

2.6 Diagnosis ..................................................................................................................... 7

2.7 Diagnosis Banding .................................................................................................... 10

2.8 Tatalaksana ................................................................................................................ 11

2.9 Prognosis ................................................................................................................... 12

2.10 Pencegahan ................................................................................................................ 12

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 13

REFERENSI ............................................................................................................................ 14

iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leptospirosis adalah penyakit menular pada hewan dan manusia. Ini adalah
infeksi zoonosis paling umum di dunia. Hal ini mudah ditularkan dari hewan yang
terinfeksi melalui urin mereka, baik secara langsung atau melalui tanah atau air yang
terinfeksi. Ini dapat menyebabkan penyakit seperti influenza yang sembuh sendiri
atau penyakit yang jauh lebih serius. Ini dikenal sebagai penyakit Weil, dan dapat
berkembang menjadi kegagalan multiorgan dengan potensi kematian. Mortalitas pada
Weil’s disease adalah 10%.1 Leptospirosis disebabkan oleh infeksi bakteri
spiroset Leptospira . Hal ini paling sering menyebar melalui paparan urin hewan yang
terinfeksi baik dari kontak langsung atau dari kontak dengan tanah atau air yang
terkontaminasi oleh urin.1
Adolf Weil mendefinisikan penyakit ini, sebagai entitas klinis pada tahun
1886, dan Leptospira ictero-hmorrhagiæ ditemukan sebagai organisme penyebabnya
pada tahun 1915 oleh Inada et al. di Jepang, dan dikonfirmasi oleh Hübener dan
Reiter di Jerman. Pria jauh lebih mudah terkena infeksi daripada wanita, tetapi pada
pembersih ikan, insidennya sama pada jenis kelamin. Jumlah kasus manusia di
seluruh dunia tidak diketahui secara pasti. Menurut laporan yang tersedia saat ini,
insiden berkisar dari sekitar 0,1-1 per 100.000 per tahun di daerah beriklim sedang
hingga 10-100 per 100.000 di daerah tropis lembab. Selama wabah dan dalam
kelompok risiko pajanan tinggi, kejadian penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per
100.000.1

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini sebagai persyaratan dalam penyusunan tugas
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Program Profesi Dokter Universitas Papua serta
mempelajari lebih dalam terkait Weil’s Disease sehingga diharapkan dapat membantu
dalam penegakan diagnosis penyakit tersebut.

1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Weils disease atau sering disebut leptospirosis merupakan penyakit zoonosis


yang disebabkan oleh infeksi bakteri berbentuk spiral dari genus Leptopspira yang
ditularkan secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia. Di beberapa
negara penyakit ini dikenal dengan istilah demam urin tikus. 1

2.2 Epidemiologi

Perubahan lingkungan akibat banjir akan mengakibatkan penyebaran


leptospirosis. Hal ini diakibatkan karena urin hewan yang terinfeksi Leptospira akan
terbawa oleh genangan air dan mencemari lingkungan rumah. Masalah leptospirosis
terjadi pada wilayah dengan lingkungan yang buruk, perilaku yang buruk atau
pengaruh hygiene yang buruk dari karakter individu.2,3

International Leptospirosis Society menyatakan bahwa Indonesia sebagai


negara dengan insiden leptospirosis yang cukup tinggi dan menduduki peringkat
ketiga mortalitas tertinggi di dunia (16,7%) setelah Uruguay dan India. Menurut
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017, di Indonesia faktor
lingkungan selama ini dicurigai sebagai faktor risiko terinfeksi leptospirosis misalnya
daerah rawan banjir, banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur,
sanitasi lingkungan yang kurang baik, wilayah dengan populasi tikus tinggi, serta
banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya Leptospira berkembang biak
sehingga dikhawatirkan akan terus terjadi bila upaya penanggulangan leptospirosis
tidak dilaksanakan secara komprehensif. Pada tahun 1886, (Weil,1886)
mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami
penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal.
Selanjutnya, Inada mengidentifikasi penyakit ini di Jepang pada tahun 1916. Penyakit
ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-39 tahun.
Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, pada usia ini laki-laki
memiliki risiko tinggi tertular penyakit akibat kerja. Angka kejadian penyakit
tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi saat musim hujan, di
negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal musim gugur karena tanah
lembab.2,3,4

2
2.3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh organisme patogen dari genus Leptospira yang
termasuk dalam ordo Spirochaeta, Famili Trepanometaceae. Bakteri ini berbentuk
spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya berbentuk seperti kait sehingga
bakteri ini sangat aktif baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju-mundur,
maupun melengkung, Bakteri ini berukuran 0,1 mm x 0,6 mm sampai 0,1 mm x 20
mm. Leptospira dapat di warnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Namun bakteri ini
hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap. Bakteri ini bersifat aerob obligat
dengan pertumbuhan optimal pada suhu 28oC-30oC dan pH 7,2-8,0. Dapat tumbuh pada
media yang sederhana yang kaya vitamin (Vitamin B2 dan B12), asam lemak rantai
panjang dan garam ammonium. Asam lemak rantai panjang akan di gunakan sebagai
sumber karbon tunggal dan di metabolisme oleh alfa-oksidase.2,5

Gambar 2.1 Gambaran leptospira melalui mikroskop5

Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di air tawar selama kurang lebih
satu bulan, tetapi di air laut, air selokan dan air kemih yang pekat bakteri ini akan cepat
mati. Genus Leptospira terbagi dalam dua serovarian yaitu L. interrogate yang bersifat
patogen (yaitu memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit pada hewan dan
manusia) dan serovarian L.biflexa yang bersifat nonpatogen atau saprophytic (yaitu
hidup bebas dan umumnya dianggap tidak menyebabkan penyakit). Leptospira patogen
bertahan hidup di tubulus ginjal dan saluran kelamin hewan tertentu. Saprophytic
Leptospira ditemukan di berbagai jenis lingkungan basah atau lembab mulai dari
permukaan air dan tanah lembab.2,5

2.3.1 Resevoir

Spesies mamalia dapat menjadi tempat berkembangnya Leptospira di


dalam ginjalnya dan bertindak sebagai sumber infeksi untuk manusia dan
hewan lainnya. Biasanya yang menjadi reservoir untuk Leptospira adalah sapi,

3
kerbau, kuda, domba, kambing, babi, anjing dan hewan pengerat. Tikus
merupakan binatang pertama kali dikenali sebagai reservoir Leptospirosis,
yang dapat menularkan Leptospira seumur hidup. Meskipun serovar
Ichterohaemorrhagiae, Copenhageni, Grippotyphosa dan Ballum telah sering
dikaitkan dengan tikus, serovar lainnya juga telah diisolasi dari tikus. Babi dan
sapi, dalam keadaan carrier dapat mengeluarkan Leptospira dalam jumlah
yang sangat besar (Yaitu, kolonisasi Leptospira kronis tubulus ginjal) dan
dapat menjadi sumber infeksi bagi manusia.2,3,4
Leptospirosis di Indonesia terutama disebarkan oleh tikus yang
melepaskan bakteri melalui urin ke lingkungan. Reservoir yang tahan terhadap
infeksi bakteri Leptospira tikus got (Rattus Norvegicus) kebun/ladang (Rattus
exulans) akan menjadi sumber penularan pada manusia dan hewan. Hewan-
hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis ialah rodent (tikus,
tupai), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung,
insektivora (landak, kelelawar).2,3

Gambar 2. Contoh tikus yang dapat menyebabkan infeksi leptospirosis2

2.3.2 Penularan

Risiko manusia terinfeksi tergantung pada paparan terhadap faktor


risiko. Beberapa manusia memiliki risiko tinggi terpapar Leptospirosis karena
pekerjaannya, lingkungan dimana mereka tinggal atau gaya hidup. Kelompok
pekerjaan utama yang berisiko yaitu petani atau pekerja perkebunan, petugas
pet shop, peternak, petugas pembersih, saluran air, pekerja pemotongan
hewan, pengolah daging, dan militer. Kelompok lain yang memiliki risiko
tinggi terinfeksi Leptospirosis yaitu bencana alam seperti banjir dan
peningkatan jumlah manusia yang melakukan olahraga rekreasi air. Manusia

4
dapat terinfeksi Leptospirosis karena kontak secara lansung atau tidak
langsung dengan urin hewan yang terinfeksi Leptospira.2,4

a. Penularan Langsung :2

• Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.

• Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi


pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan
misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari
hewan peliharaanya.

• Dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi melalui


hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu

b. Penularan tidak langsung :2 Terjadi melalui genangan air, sungai, danau,


selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.

c. Masa inkubasi :2 Masa inkubasi Leptospirosis antara 2-30 hari biasanya


rata-rata 7-10 hari.

2.4 Patogenesis

Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa
seperti konjungtiva. Setelah leptospira menginvasi epitel, dan masuk ke dalam darah,
kemudian berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Tubuh manusia akan
memberikan respon imunologi secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini
dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Leptospira dapat bertahan di ginjal dan
diekskresi melalui urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi
hingga beberapa minggu, sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian.
Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), leptospira hanya dijumpai pada jaringan ginjal
dan mata. Pada fase ini, leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan
pada beberapa organ. Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenesis leptospirosis
adalah invasi bakteri langsung, factor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi. 6,7
Pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Setiap organ penting
dapat terkena dan antigen leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena.

5
Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira, dan gejala
fase kedua timbul akibat respons imun pejamu. Beberapa organ yang mengalami
gangguan akibat toksin leptospira yaitu ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh
darah dan jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)
kemudian ke selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang merupakan
komplikasi neurologi tersering dari leptospirosis.8
a. Ginjal
Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh bagian
ginjal secara invasi langsung. Nefritis interstisial dengan infiltrasi sel
mononuklear dapat terjadi tanpa adanya gangguan fungsi ginjal. Selanjutnya
pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat menyebabkan komplikasi
acute kidney injury (AKI), disebut juga sindrom pseudohepatorenal. Pada tahap
tersebut, pasien dianjurkan menjalani dialisis. Pada kasus yang meninggal minggu
ke-2 terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal, sedangkan yang
meninggal setelah minggu ketiga ditemukan sel radang yang menginfiltrasi
seluruh ginjal.4,5
b. Hati
Leptospira juga ditemukan diantara sel-sel parenkim hati. Leptospirosis dapat
menyebabkan infiltrasi sel limfosit dan proliferasi sel Kupffer disertai kolestasis,
yang mengakibatkan gejala ikterus. Keterlibatan organ hati pada leptospirosis
berat dapat dilihat dari kadar bilirubin yang tinggi dan membutuhkan berminggu
minggu untuk dapat kembali pada kadar normal. Dapat terjadi peningkatan sedang
kadar transaminase dan peningkatan ringan kadar alkali fosfatase. Kerusakan
parenkim hati disebabkan antara lain karena penurunan hepatic flow dan toksin
yang dilepaskan oleh leptospira. Leptospirosis berat dapat menyebabkan
pankreatitis akut, ditandai dengan peningkatan kadar amylase dan lipase serta
keluhan nyeri perut.4
c. Pembuluh darah
Gejala patologi yang selalu ditemukan adalah vaskulitis kapiler berupa edema
endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit akibat endotoksin yang dikeluarkan oleh
leptospira pada semua organ yang terkena. Vaskulitis menimbulkan petekie,
perdarahan intraparenkim, dan perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa yang
dapat berujung pada terjadinya hipovolemia dan renjatan. Dapat ditemukan
trombositopenia dan masa protrombin kadang-kadang memanjang yang tidak

6
dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K. Pada jantung dapat ditemukan
petekie endokardium, edema interstisial miokard, dan arteritis koroner. 4,5
d. Gejala pada paru bervariasimulai dari batuk, dispneu, dan hemoptisis hingga acute
respiratory distress syndrome (ARDS) dan severe pulmonary haemorrhage
syndrome (SPHS). Kelainannya dapat berupa kongesti septum paru, perdarahan
multifokal, dan infiltrasi sel mononuklear. Perdarahan dapat terjadi pada pleura,
alveoli, dan trakeobronkial. Efusi pleura mungkin juga dapat terjadi. Gambaran
infiltrat biasanya dapat terlihat pada daerah intra-alveolar dan perdarahan
interstisial. Baik infiltrat alveolar maupun dispneu merupakan indikator yang
buruk pada leptospirosis berat. Pada otot rangka dapat terjadi nekrosis lokal dan
vakuolisasi. Leptospira juga dapat masuk ke ruang anterior mata dan
menyebabkan uveitis.4,5

Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan ekskresi
bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya perdarahan pada
jaringan dan hemolisis intravaskuler yang meningkatkan kadar bilirubin, serta
proliferasi sel Kupffer sehingga terjadi kolestatik intra-hepatik.4

2.5 Faktor Risiko

• kontak (langsung atau tidak langsung) dengan urin hewan yang terinfeksi
• tinggal di atau bepergian ke daerah endemik
• tinggal di atau bepergian ke daerah dengan banjir baru-baru ini
• keterlibatan dalam olahraga air9

2.6 Diagnosis

Anamnesis

Riwayat bepergian ke daerah yang sedang mengalami kejadian luar biasa


leptospirosis atau daerah yang endemis. Selain itu, perlu ditanyakan riwayat pasien
melakukan pekerjaan yang terpapar air atau tanah, seperti petani, peternak, pekerja
kebun, pekerja tambang, pekerja potong hewan, dan pekerja kebersihan. Riwayat
paparan dengan urine hewan pengerat dan air banjir juga perlu ditanyakan. 10

7
Anamnesis manifestasi klinis dilakukan dengan memperhatikan fase-fase
leptospirosis, yakni fase anikterik, fase ikterik, dan fase penyembuhan. Fase ikterik
dengan gejala berat sering disebut sebagai Weil’s disease. Namun, tidak semua pasien
mengalami fase ini. Sebagian besar pasien hanya mengalami manifestasi klinis
ringan.10

a. Fase Anikterik:10
• Sakit kepala
• Demam dengan suhu 38–40°C
• Rasa menggigil
• Nyeri otot khususnya pada daerah betis dan lumbal
• Konjungtiva merah (conjunctival suffusion)
• Mual dan muntah
• Anoreksia
• Faringitis
• Bercak kemerahan pada kulit yang tidak gatal
• Batuk kering
• Fase ini dapat bertahan selama 5–7 hari, yang mungkin diikuti oleh fase
penyembuhan di 1–3 hari berikutnya, di mana terjadi penurunan suhu tubuh
dan gejala.
b. Fase Ikterik atau Weil’s Disease: Fase ini tampak pertama kali pada hari ke-5
hingga ke-9 dengan intensitas maksimal 4 atau 5 hari, kemudian dapat terus
berlanjut hingga rata-rata 1 bulan. Pasien mengeluhkan nyeri area hati jika
disentuh. Gejala yang timbul pada fase ini adalah: 10
• Ikterus
• Gangguan paru-paru termasuk batuk dengan atau tanpa darah, sesak napas,
dan nyeri dada hingga gagal napas

• Manifestasi perdarahan seperti petekie, epistaxis, gusi berdarah, hemokesia,


dan melena
• Gangguan hepar seperti nekrosis hepar

• Gangguan ginjal yang ditandai dengan oliguria, edema tungkai, dan anemia

• Ruam kulit.

8
c. Fase Konvalesen atau Penyembuhan: Fase ini menunjukkan perbaikan keadaan
umum, misalnya ikterus berangsur-angsur berkurang hingga menghilang, tekanan
darah kembali normal, dan produksi urine ikut kembali normal. Fase ini terjadi
sekitar 15–30 hari.10

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan demam dengan suhu axilla >38oC,
nyeri otot betis saat palpasi, faring hiperemis, serta konjungtiva
kemerahan (conjunctival suffusion). Pada fase ikterik, ditemukan kulit ikterik,
hepatomegali yang teraba lewat palpasi, aritmia, hipotensi, kaku kuduk bila
ada meningitis, ronki dan wheezing bila ada gangguan paru, dan tanda syok seperti
denyut nadi melemah, sesak napas, keringat dingin, dan pucat.10

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis leptospirosis


adalah pemeriksaan molekular seperti polymerase chain reaction (PCR), pemeriksaan
serologi, dan kultur. Namun, tes-tes ini tidak selalu tersedia. Terapi empiris dapat
diberikan bila gejala, tanda klinis, dan riwayat sudah sesuai leptospirosis meskipun
belum ada hasil tes-tes laboratorium.10

a) Polymerase Chain Reaction: Pemeriksaan molekular dengan PCR dapat


mengonfirmasi leptospirosis secara cepat sejak fase awal penyakit, bahkan
sebelum titer antibodi dapat terdeteksi. DNA bakteri Leptospira dapat dideteksi
disampel darah pada fase bakterimia di awal penyakit dan disampel cairan
serebrospinal atau urine beberapa hari setelah onset, namun pemeriksaan ini
membutuhkan peralatan, ruang laboratorium, dan analis khusus yang jarang
tersedia.10
b) Pemeriksaan Serologi: Pemeriksaan IgM dengan metode ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) atau dengan metode rapid dapat digunakan untuk diagnosis
leptospirosis. Namun, orang yang tinggal di area endemik umumnya sudah
seropositif, sehingga bisa mempersulit proses diagnosis. Selain itu, antibodi
biasanya baru terdeteksi beberapa hari setelah onset penyakit. Pemeriksaan
serologi biasanya disarankan dilakukan dua kali, yaitu saat fase akut dan fase

9
konvalesen. Tes aglutinasi mikroskopik (MAT) juga bisa mendeteksi antibodi
terhadap antigen Leptospira. Seseorang dinyatakan positif apabila ada kenaikan
titer serum sebesar 4 kali atau kuantitas titer menunjukkan skala lebih dari 1:200
antara minggu pertama dan minggu ke empat.10
c) Kultur Darah, Urine, dan Cairan Serebrospinal: Kultur darah, urine, dan cairan
serebrospinal memerlukan keahlian spesialistik. Sampel dapat menunjukkan hasil
positif apabila waktu pengambilan adalah sekitar 7–10 hari setelah onset gejala.
Kekurangan kultur adalah sensitivitasnya rendah dan durasinya lama, sehingga
membuat pengobatan pasien dapat tertunda.10
d) Pemeriksaan Mikroskopik Lapangan Gelap: Pemeriksaan lapangan gelap
atau dark-field dapat dilakukan untuk deteksi leptospirosis fase akut. Pemeriksaan
ini melakukan visualisasi secara langsung terhadap Leptospira yang ada di sampel
darah maupun urine. Akan tetapi, teknik ini memiliki kelemahan, yakni
sensitivitas dan spesifitasnya yang rendah.10
Pemeriksaan Lain untuk Mengevaluasi Komplikasi: Pemeriksaan lain
seperti pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, pencitraan, EKG, dan analisis
cairan serebrospinal biasanya hanya berfungsi untuk mengevaluasi komplikasi di
organ-organ lain pada kasus yang dicurigai mengalami komplikasi. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat temukan trombositopenia, leukositosis
dengan left-shift, dan anemia akibat perdarahan. Selain itu, yang perlu
diperhatikan terkait peningkatan enzim hati bila ada komplikasi hati dan
peningkatan kreatinin serum bila ada gagal ginjal akut. Urinalisis dapat
menunjukkan adanya proteinuria dan hematuria. Sementara itu, pencitraan
seperti rontgen toraks mungkin menunjukkan komplikasi paru. EKG pada kasus
parah dengan gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik dapat menunjukkan
abnormalitas. Analisis cairan serebrospinal dilakukan bila dokter perlu
menyingkirkan kemungkinan meningitis akibat agen infeksi lain. 10

2.7 Diagnosis Banding

• Demam Dengue: Dengue umumnya terjadi di daerah tropis seperti Indonesia.


Penyebab penyakit ini adalah virus dengue yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk. Aedes aegypti. Gejala yang timbul adalah demam dengan suhu bisa

10
mencapai 40°C, nyeri persendian, nyeri belakang mata, demam naik turun berpola
saddleback, dan perdarahan.11
• Hepatitis A: Penyakit ini disebabkan infeksi virus hepatitis A. Gejala yang timbul
dapat berupa demam, lemas, hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus, nyeri
sendi dan otot, warna urine menjadi gelap, hingga warna tinja menjadi pucat.
Penularan penyakit ini terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh virus
hepatitis A.11
• Malaria: Malaria disebabkan oleh infeksi parasite Plasmodium yang ditularkan
melalui nyamuk Anopheles betina. Gejala yang muncul adalah demam tinggi
hingga menggigil, sakit kepala, keringat banyak, lemas, nyeri otot dan sendi,
mual, muntah, hingga anemia.11
• Meningitis: Meningitis adalah inflamasi pada meningen akibat bakteri, virus, atau
agen infeksi lain. Gejala yang timbul umumnya berupa panas tinggi, sakit kepala,
dan kaku leher. Selain itu, gejala bisa berupa mual, muntah, fotofobia, delirium,
hingga koma.11
• Q Fever: Penyakit ini disebabkan oleh bakteri gram negatif Coxiella burnetii yang
penularannya terjadi melalui aerosol. Selain itu, cara penularan lainnya yang
jarang adalah melalui gigitan serangga dan penularan antar manusia. Gejala
adalah demam tinggi yang diikuti sakit kepala, myalgia, nyeri sendi, dan nyeri
otot.11

2.8 Tatalaksana

Tabel 1. Tatalaksana Leptospirosis12


Leptospirosis Ringan Leptospirosis Berat
Antibiotik Dosis Antibiotik Dosis
Agen lini pertama
Doksisilin 100 mg 2 kali Penisilin G 1,5 jt Unit setiap 6-
sehari/oral 8 jam
Agen alternatif
Amoxisilin 500 mg 4 kali sehari Ampisilin IV 0,5-1 g setiap 6 jam
atau 1 g setiap 8 jam
per oral
Ampisilin 500-750 mg 4 kali Azitromisisn 500 mg sekali
sehari dihidrat sehari selama 5 hari
Azitromisin dihidrat Inisial 1 g, ceftriaxone 1 gram setiap 24
dilanjutkan 500 mg jam
per hari untuk 2 hari cefotaxime 1 gram setiap 6 jam
berikutnya

11
2.9 Prognosis
Prognosis leptospirosis tergantung pada status imunologis tubuh penderita,
usia, status gizi, penyakit penyerta, serta kecepatan dan ketepatan tata
laksana. Umumnya, gejala ringan leptospirosis jarang menjadi fatal. Sekitar 90%
kasus hanya bergejala ringan. Rata-rata angka kematian akibat penyakit ini adalah
10%, di mana kematian terbanyak ada pada populasi orang tua dan orang yang
mengalami gangguan sistem imun. Kematian biasanya disebabkan oleh gagal ginjal,
perdarahan hebat, dan distres napas. Kebanyakan pasien yang berhasil selamat dari
leptospirosis berat akan memiliki fungsi ginjal dan hepar yang kembali normal, akan
tetapi sebagian kecil pasien akan membutuhkan dialisis akibat gagal ginjal
permanen. Kasus uveitis akibat leptospirosis umumnya akan mengalami gangguan
penglihatan permanen akibat adanya pigmentasi lensa.

2.10 Pencegahan

Gambar 3. Alur profilaksis pasca paparan Leptospira12

12
BAB III KESIMPULAN

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang sering tidak terdiagnosis. Tampilan


klinisnya bervariasi mulai dari yang self limited hingga yang dapat mengancam nyawa.
Leptospirosis umumnya ditularkan melalui kencing menyebabkan terjadinya pembentukan
lesi primer pada leptospirosis yang memicu kerusakan membran sel yang dimediasi oleh
faktor-faktor kemungkinan (protein leptospiral dan/atau komponen seluler toksik). Cedera
pada membran sel dapat mengakibatkan konsekuensi yang parah pada host, seperti hilangnya
integritas vaskular, iskemia dan nekrosis, yang menyebabkan disfungsi organ yang
signifikan. Pemeriksaan baku emas leptospirosis dengan microscopic agglutination test.
Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit yang
berat. Terapi diberikan medikamentosa dengan antibiotik dan suportif. Prognosis umumnya
baik namun bisa terjadi gejala sisa. Pencegahan dini terhadap yang memiliki faktor resiko
terinfeksi, diharapkan dapat melindungi dari serangan leptospirosis.

13
REFERENSI

1. Word Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and
control. Malta: International Leptospirosis Society; 2003.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis pengendalian leptospirosis.
Cetakan ke-3. Jakarta: KEMENKES; 2017. Hal. 1-69.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia. Jakarta:
KEMENKES; 2020. Hal. 205-7.
4. Ningsih I, Wahid MH. Leptospirosis ditinjau dari aspek mikrobiologi. Jurnal Penelitian
Biologi, Botani, Zoologi dan Mikrobiologi [internet]. 2022 Jun 22 [disitasi 2022 Oktober
18]; 7(1): hal. 31-41. Diambil dari:
https://journal.ubb.ac.id/index.php/ekotonia/article/view/3141
5. Rampengan NH. Lepstospirosis. Jurnal Biomedik (JBM) [internet]. 2016 Nov 03 [disitasi
2022 Oktober 19]; 8(3): hal. 143-50. Diambil dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/14148/13722
6. Widjajanti W. Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan leptospirosis. Jurnal of Health
Epidemiology and Conminicable Diseases [internet]. 2020 Jan 03 [disitasi 2022 Oktober
19]; 5(2): hal. 62-6. Diambil dari:
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/jhecds/article/view/174/1416
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku pedoman: penyelidikan dan
penanggulangan kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan pangan. Edisi rev.
III. Jakarta: KEMENKES; 2020. Hal. 52-6.
8. Zein U. Leptospirosis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III edisi ke-4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006. Hal. 1845-7.
9. Roumpou A, Papaioannou I, Lampropoulus C. Weil’s disease with haemoptysis and acute
respiratory distress syndrome. BMJ Case Rep [internet]. 2019 May 30 [cited 2022 Oct
23]; 12(5): e229350. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6557362/
10. Setadi B, Setiawan A, Effendi D, Hadinegoro SH. Petunjuk praktis leptospirosis.
SariPediatri. 2018. [disitasi 2022 Okt 23];3(3):166-7.
11. Brito TD, Silva AM, Abreu PA. Pathology and pathophysiology of human leptospirosis: a
commented review. Rev Inst Med Trop Sao Paulo [internet]. 2018 May 28 [cited 2022
Oct 24]; 60: e23. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5975557/

14
12. Amin LZ. Leptospirosis. CDK. 2017 [disitasi 2022 Okt 24];43(8):577-9.
13. Prihantoro T, Siwiendrayati A. Karakteristik dan kondisi lingkungan rumah penderita
leptospirosis di wilayah kerja puskesmas pegandan. Journal of Health Education. 2017.
[disitasi 2022 Okt 24]; 2(2):2017.

15

Anda mungkin juga menyukai