WEIL’S DISEASE
Disusun Oleh:
Theresia A. E. Tumanan
201670005
Pembimbing:
Referat dengan judul “Weil’s Disease” disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Papua di RSUD Sele Be Solu
Kota Sorong yang disusun oleh:
NIM : 201670005
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Weil’s
Disease”. Penulisan Referat ini dibuat untuk memenuhi persyaratan tugas Mahasiswa Profesi
Pendidikan Dokter Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Papua.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua Orang tua yang telah memberikan
dukungan dan doanya. Ucapan Terima kasih Penulis berikan juga kepada dosen pembimbing
dr. Somarnam, Sp.PD selaku pembimbing yang telah membantu dalam penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan, baik dari
aspek materi, sistematika penulisan, maupun aspek bahasa yang digunakan, oleh karena itu,
Penulis mengharapkan masukan dan saran dari semua pihak sebagai bahan perbaikan.Semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
WEIL’S DISEASE..................................................................................................................... 1
REFERENSI ............................................................................................................................ 14
iv
BAB I PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit menular pada hewan dan manusia. Ini adalah
infeksi zoonosis paling umum di dunia. Hal ini mudah ditularkan dari hewan yang
terinfeksi melalui urin mereka, baik secara langsung atau melalui tanah atau air yang
terinfeksi. Ini dapat menyebabkan penyakit seperti influenza yang sembuh sendiri
atau penyakit yang jauh lebih serius. Ini dikenal sebagai penyakit Weil, dan dapat
berkembang menjadi kegagalan multiorgan dengan potensi kematian. Mortalitas pada
Weil’s disease adalah 10%.1 Leptospirosis disebabkan oleh infeksi bakteri
spiroset Leptospira . Hal ini paling sering menyebar melalui paparan urin hewan yang
terinfeksi baik dari kontak langsung atau dari kontak dengan tanah atau air yang
terkontaminasi oleh urin.1
Adolf Weil mendefinisikan penyakit ini, sebagai entitas klinis pada tahun
1886, dan Leptospira ictero-hmorrhagiæ ditemukan sebagai organisme penyebabnya
pada tahun 1915 oleh Inada et al. di Jepang, dan dikonfirmasi oleh Hübener dan
Reiter di Jerman. Pria jauh lebih mudah terkena infeksi daripada wanita, tetapi pada
pembersih ikan, insidennya sama pada jenis kelamin. Jumlah kasus manusia di
seluruh dunia tidak diketahui secara pasti. Menurut laporan yang tersedia saat ini,
insiden berkisar dari sekitar 0,1-1 per 100.000 per tahun di daerah beriklim sedang
hingga 10-100 per 100.000 di daerah tropis lembab. Selama wabah dan dalam
kelompok risiko pajanan tinggi, kejadian penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per
100.000.1
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2
2.3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh organisme patogen dari genus Leptospira yang
termasuk dalam ordo Spirochaeta, Famili Trepanometaceae. Bakteri ini berbentuk
spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya berbentuk seperti kait sehingga
bakteri ini sangat aktif baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju-mundur,
maupun melengkung, Bakteri ini berukuran 0,1 mm x 0,6 mm sampai 0,1 mm x 20
mm. Leptospira dapat di warnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Namun bakteri ini
hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap. Bakteri ini bersifat aerob obligat
dengan pertumbuhan optimal pada suhu 28oC-30oC dan pH 7,2-8,0. Dapat tumbuh pada
media yang sederhana yang kaya vitamin (Vitamin B2 dan B12), asam lemak rantai
panjang dan garam ammonium. Asam lemak rantai panjang akan di gunakan sebagai
sumber karbon tunggal dan di metabolisme oleh alfa-oksidase.2,5
Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di air tawar selama kurang lebih
satu bulan, tetapi di air laut, air selokan dan air kemih yang pekat bakteri ini akan cepat
mati. Genus Leptospira terbagi dalam dua serovarian yaitu L. interrogate yang bersifat
patogen (yaitu memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit pada hewan dan
manusia) dan serovarian L.biflexa yang bersifat nonpatogen atau saprophytic (yaitu
hidup bebas dan umumnya dianggap tidak menyebabkan penyakit). Leptospira patogen
bertahan hidup di tubulus ginjal dan saluran kelamin hewan tertentu. Saprophytic
Leptospira ditemukan di berbagai jenis lingkungan basah atau lembab mulai dari
permukaan air dan tanah lembab.2,5
2.3.1 Resevoir
3
kerbau, kuda, domba, kambing, babi, anjing dan hewan pengerat. Tikus
merupakan binatang pertama kali dikenali sebagai reservoir Leptospirosis,
yang dapat menularkan Leptospira seumur hidup. Meskipun serovar
Ichterohaemorrhagiae, Copenhageni, Grippotyphosa dan Ballum telah sering
dikaitkan dengan tikus, serovar lainnya juga telah diisolasi dari tikus. Babi dan
sapi, dalam keadaan carrier dapat mengeluarkan Leptospira dalam jumlah
yang sangat besar (Yaitu, kolonisasi Leptospira kronis tubulus ginjal) dan
dapat menjadi sumber infeksi bagi manusia.2,3,4
Leptospirosis di Indonesia terutama disebarkan oleh tikus yang
melepaskan bakteri melalui urin ke lingkungan. Reservoir yang tahan terhadap
infeksi bakteri Leptospira tikus got (Rattus Norvegicus) kebun/ladang (Rattus
exulans) akan menjadi sumber penularan pada manusia dan hewan. Hewan-
hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis ialah rodent (tikus,
tupai), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung,
insektivora (landak, kelelawar).2,3
2.3.2 Penularan
4
dapat terinfeksi Leptospirosis karena kontak secara lansung atau tidak
langsung dengan urin hewan yang terinfeksi Leptospira.2,4
a. Penularan Langsung :2
• Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.
2.4 Patogenesis
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa
seperti konjungtiva. Setelah leptospira menginvasi epitel, dan masuk ke dalam darah,
kemudian berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Tubuh manusia akan
memberikan respon imunologi secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini
dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Leptospira dapat bertahan di ginjal dan
diekskresi melalui urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi
hingga beberapa minggu, sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian.
Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), leptospira hanya dijumpai pada jaringan ginjal
dan mata. Pada fase ini, leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan
pada beberapa organ. Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenesis leptospirosis
adalah invasi bakteri langsung, factor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi. 6,7
Pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Setiap organ penting
dapat terkena dan antigen leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena.
5
Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira, dan gejala
fase kedua timbul akibat respons imun pejamu. Beberapa organ yang mengalami
gangguan akibat toksin leptospira yaitu ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh
darah dan jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)
kemudian ke selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang merupakan
komplikasi neurologi tersering dari leptospirosis.8
a. Ginjal
Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh bagian
ginjal secara invasi langsung. Nefritis interstisial dengan infiltrasi sel
mononuklear dapat terjadi tanpa adanya gangguan fungsi ginjal. Selanjutnya
pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat menyebabkan komplikasi
acute kidney injury (AKI), disebut juga sindrom pseudohepatorenal. Pada tahap
tersebut, pasien dianjurkan menjalani dialisis. Pada kasus yang meninggal minggu
ke-2 terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal, sedangkan yang
meninggal setelah minggu ketiga ditemukan sel radang yang menginfiltrasi
seluruh ginjal.4,5
b. Hati
Leptospira juga ditemukan diantara sel-sel parenkim hati. Leptospirosis dapat
menyebabkan infiltrasi sel limfosit dan proliferasi sel Kupffer disertai kolestasis,
yang mengakibatkan gejala ikterus. Keterlibatan organ hati pada leptospirosis
berat dapat dilihat dari kadar bilirubin yang tinggi dan membutuhkan berminggu
minggu untuk dapat kembali pada kadar normal. Dapat terjadi peningkatan sedang
kadar transaminase dan peningkatan ringan kadar alkali fosfatase. Kerusakan
parenkim hati disebabkan antara lain karena penurunan hepatic flow dan toksin
yang dilepaskan oleh leptospira. Leptospirosis berat dapat menyebabkan
pankreatitis akut, ditandai dengan peningkatan kadar amylase dan lipase serta
keluhan nyeri perut.4
c. Pembuluh darah
Gejala patologi yang selalu ditemukan adalah vaskulitis kapiler berupa edema
endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit akibat endotoksin yang dikeluarkan oleh
leptospira pada semua organ yang terkena. Vaskulitis menimbulkan petekie,
perdarahan intraparenkim, dan perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa yang
dapat berujung pada terjadinya hipovolemia dan renjatan. Dapat ditemukan
trombositopenia dan masa protrombin kadang-kadang memanjang yang tidak
6
dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K. Pada jantung dapat ditemukan
petekie endokardium, edema interstisial miokard, dan arteritis koroner. 4,5
d. Gejala pada paru bervariasimulai dari batuk, dispneu, dan hemoptisis hingga acute
respiratory distress syndrome (ARDS) dan severe pulmonary haemorrhage
syndrome (SPHS). Kelainannya dapat berupa kongesti septum paru, perdarahan
multifokal, dan infiltrasi sel mononuklear. Perdarahan dapat terjadi pada pleura,
alveoli, dan trakeobronkial. Efusi pleura mungkin juga dapat terjadi. Gambaran
infiltrat biasanya dapat terlihat pada daerah intra-alveolar dan perdarahan
interstisial. Baik infiltrat alveolar maupun dispneu merupakan indikator yang
buruk pada leptospirosis berat. Pada otot rangka dapat terjadi nekrosis lokal dan
vakuolisasi. Leptospira juga dapat masuk ke ruang anterior mata dan
menyebabkan uveitis.4,5
Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan ekskresi
bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya perdarahan pada
jaringan dan hemolisis intravaskuler yang meningkatkan kadar bilirubin, serta
proliferasi sel Kupffer sehingga terjadi kolestatik intra-hepatik.4
• kontak (langsung atau tidak langsung) dengan urin hewan yang terinfeksi
• tinggal di atau bepergian ke daerah endemik
• tinggal di atau bepergian ke daerah dengan banjir baru-baru ini
• keterlibatan dalam olahraga air9
2.6 Diagnosis
Anamnesis
7
Anamnesis manifestasi klinis dilakukan dengan memperhatikan fase-fase
leptospirosis, yakni fase anikterik, fase ikterik, dan fase penyembuhan. Fase ikterik
dengan gejala berat sering disebut sebagai Weil’s disease. Namun, tidak semua pasien
mengalami fase ini. Sebagian besar pasien hanya mengalami manifestasi klinis
ringan.10
a. Fase Anikterik:10
• Sakit kepala
• Demam dengan suhu 38–40°C
• Rasa menggigil
• Nyeri otot khususnya pada daerah betis dan lumbal
• Konjungtiva merah (conjunctival suffusion)
• Mual dan muntah
• Anoreksia
• Faringitis
• Bercak kemerahan pada kulit yang tidak gatal
• Batuk kering
• Fase ini dapat bertahan selama 5–7 hari, yang mungkin diikuti oleh fase
penyembuhan di 1–3 hari berikutnya, di mana terjadi penurunan suhu tubuh
dan gejala.
b. Fase Ikterik atau Weil’s Disease: Fase ini tampak pertama kali pada hari ke-5
hingga ke-9 dengan intensitas maksimal 4 atau 5 hari, kemudian dapat terus
berlanjut hingga rata-rata 1 bulan. Pasien mengeluhkan nyeri area hati jika
disentuh. Gejala yang timbul pada fase ini adalah: 10
• Ikterus
• Gangguan paru-paru termasuk batuk dengan atau tanpa darah, sesak napas,
dan nyeri dada hingga gagal napas
• Gangguan ginjal yang ditandai dengan oliguria, edema tungkai, dan anemia
• Ruam kulit.
8
c. Fase Konvalesen atau Penyembuhan: Fase ini menunjukkan perbaikan keadaan
umum, misalnya ikterus berangsur-angsur berkurang hingga menghilang, tekanan
darah kembali normal, dan produksi urine ikut kembali normal. Fase ini terjadi
sekitar 15–30 hari.10
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan demam dengan suhu axilla >38oC,
nyeri otot betis saat palpasi, faring hiperemis, serta konjungtiva
kemerahan (conjunctival suffusion). Pada fase ikterik, ditemukan kulit ikterik,
hepatomegali yang teraba lewat palpasi, aritmia, hipotensi, kaku kuduk bila
ada meningitis, ronki dan wheezing bila ada gangguan paru, dan tanda syok seperti
denyut nadi melemah, sesak napas, keringat dingin, dan pucat.10
Pemeriksaan Penunjang
9
konvalesen. Tes aglutinasi mikroskopik (MAT) juga bisa mendeteksi antibodi
terhadap antigen Leptospira. Seseorang dinyatakan positif apabila ada kenaikan
titer serum sebesar 4 kali atau kuantitas titer menunjukkan skala lebih dari 1:200
antara minggu pertama dan minggu ke empat.10
c) Kultur Darah, Urine, dan Cairan Serebrospinal: Kultur darah, urine, dan cairan
serebrospinal memerlukan keahlian spesialistik. Sampel dapat menunjukkan hasil
positif apabila waktu pengambilan adalah sekitar 7–10 hari setelah onset gejala.
Kekurangan kultur adalah sensitivitasnya rendah dan durasinya lama, sehingga
membuat pengobatan pasien dapat tertunda.10
d) Pemeriksaan Mikroskopik Lapangan Gelap: Pemeriksaan lapangan gelap
atau dark-field dapat dilakukan untuk deteksi leptospirosis fase akut. Pemeriksaan
ini melakukan visualisasi secara langsung terhadap Leptospira yang ada di sampel
darah maupun urine. Akan tetapi, teknik ini memiliki kelemahan, yakni
sensitivitas dan spesifitasnya yang rendah.10
Pemeriksaan Lain untuk Mengevaluasi Komplikasi: Pemeriksaan lain
seperti pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, pencitraan, EKG, dan analisis
cairan serebrospinal biasanya hanya berfungsi untuk mengevaluasi komplikasi di
organ-organ lain pada kasus yang dicurigai mengalami komplikasi. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat temukan trombositopenia, leukositosis
dengan left-shift, dan anemia akibat perdarahan. Selain itu, yang perlu
diperhatikan terkait peningkatan enzim hati bila ada komplikasi hati dan
peningkatan kreatinin serum bila ada gagal ginjal akut. Urinalisis dapat
menunjukkan adanya proteinuria dan hematuria. Sementara itu, pencitraan
seperti rontgen toraks mungkin menunjukkan komplikasi paru. EKG pada kasus
parah dengan gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik dapat menunjukkan
abnormalitas. Analisis cairan serebrospinal dilakukan bila dokter perlu
menyingkirkan kemungkinan meningitis akibat agen infeksi lain. 10
10
mencapai 40°C, nyeri persendian, nyeri belakang mata, demam naik turun berpola
saddleback, dan perdarahan.11
• Hepatitis A: Penyakit ini disebabkan infeksi virus hepatitis A. Gejala yang timbul
dapat berupa demam, lemas, hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus, nyeri
sendi dan otot, warna urine menjadi gelap, hingga warna tinja menjadi pucat.
Penularan penyakit ini terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh virus
hepatitis A.11
• Malaria: Malaria disebabkan oleh infeksi parasite Plasmodium yang ditularkan
melalui nyamuk Anopheles betina. Gejala yang muncul adalah demam tinggi
hingga menggigil, sakit kepala, keringat banyak, lemas, nyeri otot dan sendi,
mual, muntah, hingga anemia.11
• Meningitis: Meningitis adalah inflamasi pada meningen akibat bakteri, virus, atau
agen infeksi lain. Gejala yang timbul umumnya berupa panas tinggi, sakit kepala,
dan kaku leher. Selain itu, gejala bisa berupa mual, muntah, fotofobia, delirium,
hingga koma.11
• Q Fever: Penyakit ini disebabkan oleh bakteri gram negatif Coxiella burnetii yang
penularannya terjadi melalui aerosol. Selain itu, cara penularan lainnya yang
jarang adalah melalui gigitan serangga dan penularan antar manusia. Gejala
adalah demam tinggi yang diikuti sakit kepala, myalgia, nyeri sendi, dan nyeri
otot.11
2.8 Tatalaksana
11
2.9 Prognosis
Prognosis leptospirosis tergantung pada status imunologis tubuh penderita,
usia, status gizi, penyakit penyerta, serta kecepatan dan ketepatan tata
laksana. Umumnya, gejala ringan leptospirosis jarang menjadi fatal. Sekitar 90%
kasus hanya bergejala ringan. Rata-rata angka kematian akibat penyakit ini adalah
10%, di mana kematian terbanyak ada pada populasi orang tua dan orang yang
mengalami gangguan sistem imun. Kematian biasanya disebabkan oleh gagal ginjal,
perdarahan hebat, dan distres napas. Kebanyakan pasien yang berhasil selamat dari
leptospirosis berat akan memiliki fungsi ginjal dan hepar yang kembali normal, akan
tetapi sebagian kecil pasien akan membutuhkan dialisis akibat gagal ginjal
permanen. Kasus uveitis akibat leptospirosis umumnya akan mengalami gangguan
penglihatan permanen akibat adanya pigmentasi lensa.
2.10 Pencegahan
12
BAB III KESIMPULAN
13
REFERENSI
1. Word Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and
control. Malta: International Leptospirosis Society; 2003.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis pengendalian leptospirosis.
Cetakan ke-3. Jakarta: KEMENKES; 2017. Hal. 1-69.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia. Jakarta:
KEMENKES; 2020. Hal. 205-7.
4. Ningsih I, Wahid MH. Leptospirosis ditinjau dari aspek mikrobiologi. Jurnal Penelitian
Biologi, Botani, Zoologi dan Mikrobiologi [internet]. 2022 Jun 22 [disitasi 2022 Oktober
18]; 7(1): hal. 31-41. Diambil dari:
https://journal.ubb.ac.id/index.php/ekotonia/article/view/3141
5. Rampengan NH. Lepstospirosis. Jurnal Biomedik (JBM) [internet]. 2016 Nov 03 [disitasi
2022 Oktober 19]; 8(3): hal. 143-50. Diambil dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/14148/13722
6. Widjajanti W. Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan leptospirosis. Jurnal of Health
Epidemiology and Conminicable Diseases [internet]. 2020 Jan 03 [disitasi 2022 Oktober
19]; 5(2): hal. 62-6. Diambil dari:
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/jhecds/article/view/174/1416
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku pedoman: penyelidikan dan
penanggulangan kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan pangan. Edisi rev.
III. Jakarta: KEMENKES; 2020. Hal. 52-6.
8. Zein U. Leptospirosis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III edisi ke-4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006. Hal. 1845-7.
9. Roumpou A, Papaioannou I, Lampropoulus C. Weil’s disease with haemoptysis and acute
respiratory distress syndrome. BMJ Case Rep [internet]. 2019 May 30 [cited 2022 Oct
23]; 12(5): e229350. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6557362/
10. Setadi B, Setiawan A, Effendi D, Hadinegoro SH. Petunjuk praktis leptospirosis.
SariPediatri. 2018. [disitasi 2022 Okt 23];3(3):166-7.
11. Brito TD, Silva AM, Abreu PA. Pathology and pathophysiology of human leptospirosis: a
commented review. Rev Inst Med Trop Sao Paulo [internet]. 2018 May 28 [cited 2022
Oct 24]; 60: e23. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5975557/
14
12. Amin LZ. Leptospirosis. CDK. 2017 [disitasi 2022 Okt 24];43(8):577-9.
13. Prihantoro T, Siwiendrayati A. Karakteristik dan kondisi lingkungan rumah penderita
leptospirosis di wilayah kerja puskesmas pegandan. Journal of Health Education. 2017.
[disitasi 2022 Okt 24]; 2(2):2017.
15