Anda di halaman 1dari 16

EPODEMIOLOGI PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

Dosen pembimbing : Dr. M.zen rahfiludin

Disusun oleh :

KELOMPOK 5

1. PUTRI AIRIENA SYAKINAH 2013201018


2. IZZAH OKTARI DARLIANTI 2013201011
3. DELA MARDHATILLAH 2013201034
4. NUR WAHYUNI SUSANTI 2013201015
5. DELKI IRWANDI 2013201007
6. ROZA ERMA LINDA 2013201003

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala


limpahan rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah mata kuliah Manajemen Kewirausahaan ini dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis juga tak luput dari
berbagai hambatan dan masalah, namun berkat kerjasama dari anggota
kelomok serta sarana yang mendukung, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan.
Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Sist Manajemen Kewirausahaan, Bapak Nasruddin, SE, MM.
atas bimbingan dan saran-saran yang telah diberikan kepada penulis
dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima
kasih.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bangkinang, 02 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Defenisi.........................................................................................................3
B. Etiologi..........................................................................................................3
C. Tanda Dan Gejala..........................................................................................4
1. Stadium pertama........................................................................................4
2. Stadium kedua...........................................................................................4
3. Stadium Ketiga..........................................................................................5
D. Patofisiologi..................................................................................................6
1. Pre Patogenesis..........................................................................................6
2. Patogenesis................................................................................................6
3. Pasca patogenesis......................................................................................6
E. Epidemiologi.................................................................................................8
1. Person (Orang)..........................................................................................8
2. Place (Tempat)..........................................................................................9
3. Time (Waktu)............................................................................................9
F. Penanganan.................................................................................................10
1. Pengobatan..............................................................................................10
2. Pencegahan Leptospirosis.......................................................................11
BAB III..................................................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................12
A. Simpulan.....................................................................................................12
B. Saran............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran
lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah. Bahwasanya lingkungan
berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang.
Dewasa ini berbagai masalah kesehatan yang timbul dalam masyarakat
terutama disebabkan karena keadaan kesehatan lingkungan yang kurang atau
tidak memenuhi syarat disamping factor perilaku hidup sehat yang belum
memasyarakat.
Menurut Blum, factor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling
besar terhadap kesehatan manusia dibandingkan dengan factor perilaku,
pelayanan kesehatan, dan keturunan. Lingkungan yang sehat diartikan sebagai
lingkungan yang konduktif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu lingkungan
bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai,
perumahan dan pemukiman sehat, perencanaan kawasan berwawasan
lingkungan dan kehidupan mayarakat yang saling tolong menolong.
Berbagai penyakit yang timbul di masyarakat sebenarnya merupakan
suatu indicator dari baik buruknya kondisi lingkungan, sebagai contoh yaitu:
leptospirosis. Untuk itu, makalah ini akan mebahas lebih jauh mengenai
leptospirosis
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Leptospirosis?
2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis?
3. Bagaimanakah tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit
Leptospirosis?
4. Bagaimanakah patofisiologi penyakit Leptospirosis?
5. Bagaimanakah epidemiologi penyakit Leptospirosis?
6. Bagaimanakah penanganan penyakit Leptospirosis?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Leptospirosis
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit
Leptospirosis
4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Leptospirosis
5. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit Leptospirosis
6. Untuk mengetahui penanganan penyakit Leptospirosis

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi manusia dan
hewan. Nama lain dari penyakit ini adalah swineherd’s, demam pesawah
(rice-field fever), demam lumpur, jaundis berdarah, penyakit stuttgant, atau
demam canicola. Ada juga yang menyebut demam Icterohemorrhage
sehingga biasa juga disebut penyakit kuning non- virus.
B. Etiologi
Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral
termasuk ke dalam Ordo pirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih
dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir
setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat
dan ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria
menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang
sumbunya, maju mundur, maupun melengkung, karena ukurannya yang sangat
kecil.
Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan
siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu
Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water
born deseasei).
Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini berbentuk benang
berplintiran (filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20
mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer. Lokakarya Nasional Penyakit
Zoonosis Bakteri ini dapat bergerak maju mundur memutar sepanjang
sumbunya.
Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar
selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih
yang tidak diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi sumber
penularan Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing,
kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan

3
rubah dapat menjadi karier leptospira (WIDARSO et al, 2005).
Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama
leptospirosis karena bertindak sebagia inang alami dan memiliki daya
reproduksi tinggi. beberapa hewan lain yang juga merupakan sumber
penularan leptospira memiliki potensi penularan ke manusia tidak sebesar
tikus.
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di
Indonesia Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat,
Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat
C. Tanda Dan Gejala
Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya
infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja.
penderita mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga
mampu menghadapi bakteri Leptispira, bahkan penderita dapat menjadi
sembuh. Menurut WIDARSO, gejala klinis dari Leptospirosis pada manusia
bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
1. Stadium pertama
a. Demam, menggigil
b. Sakit kepala
c. Malaise dan Muntah
d. Konjungtivis serta kemerahan pada mata
e. Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala
tersebut akan tampak antara 4-9 hari.
2. Stadium kedua
a. Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh
penderita
b. Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding
pada stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
c. Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan

4
akan terjadi meningitis
d. Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat
Stadium ketiga
3. Stadium Ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan
gejala klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi
Leptospirosis dapat menimbulkan gejala-gejala berikut :
a. Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian
b. Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi
yang erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva
hemorrhagic
c. Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat
dan keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
d. Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd
apat menyebabkan kematian mendadak
e. Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri
dada, respiratory distress dan cyanosis
f. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular
damage) dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan
saluran genitalia
g. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature
dan kecacatan pada bayi.
Sedangkan pada hewan ternak ruminansia dan babi yang hamil,
gejala abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus
leptospirosis . Pada sapi,muncul demam dan penurunan produksi susu
sedangkan pada babi, sering muncul gangguan reproduksi .
Pada kuda, terjadi keratitis, conjunctivitis,iridocyclitis, jaundice
sampai abortus. Sedangkan pada anjing, infeksi leptospirosis sering
bersifat subklinik; gejala klinis yang muncul sangat umum seperti demam,
muntah, jaundice.
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari

5
yang ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat
mengakibatkan kematian . Infeksi akut paling sering terjadi pada
pedet/sapi muda.
D. Patofisiologi
1. Pre Patogenesis
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau
selaput lendir (mucous membrane) misalnya, konjuktiva (mata) karena
kecipratan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau
cemaran oleh keluaran urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan
atau minuman yang tercemar oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban
terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka segeralah mikroorganisme ini
merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita.
2. Patogenesis
Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui
selaput lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak
karena terkena air. Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian
tubuh dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar
mamae dan selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau
di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit
dapat ditemukan Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 156fase
leptospiremia, yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah
infeksi.
3. Pasca patogenesis
Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang
timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin
parah. Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal.
Kemungkinan kuman tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk
jangka waktu yang lama. Kematian terjadi karena septimia, anemia
hemolitika, kerusakan hati karena terjadinya uremia. keparahan penderita
bervariasi tergantung pada umur serta servoar leptospira penyebab
infeksi.

6
7
E. Epidemiologi
1. Person (Orang)
a. Umur
Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak
remaja karena kenyataannya mereka paling sedikit terpapar. Penyakit
ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa diakibatkan
pekerjaannya yang lebih banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi
dan lingkungan yang terkontaminasi.
b. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi
leptospirosis. Hal ini diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan
yang lebih terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang
terkontaminasi. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia
pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular
penyakit ini. Laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis sebesar
3,59 kali dibandingkan perempuan.
c. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih
memiliki resiko yang besar untuk terpapar penyakit ini. Ini
disebabkan penderita leptospirosis waktu menggunakan sumber air
bersih untuk pertanian telah tercemar dengan bakteri leptospirosis
atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki, tangan, dan tubuh
lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan air yang
tergenang dan telah terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.
Menurut Simanjuntak (2002) leptospirosis disebut juga
penyakit pekerjaan, karena sering menyerang petani, pekerja
pembersih selokan, pemburu bebek liar, para dokter hewan, pekerjaan
rumah potong, pekerja perkebunan, dan para wisatawan pendaki
gunung.

8
2. Place (Tempat)
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim
yang sesuai untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat,
tanah yang basah dan pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai
di Negara tropik sepanjang tahun. Di negara beriklim tropik, kejadian
leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara
subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka insiden leptospirosis
di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun. Leptospirosis
tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Barat. Menurut teori Faisal, bakteri leptospira mampu bertahan hidup lama
pada air tergenang seperti di kolam renang, di lubuk sungai dan di
tanah lembab, tanah rawa dan lumpur di pertambangan dan
pertanian/perkebunan.
3. Time (Waktu)
Pada musim penghujan, peluang terjadinya banjir akan lebih besar
sehingga frekuensi penyakit leptospirosis tidak sulit untuk ditemukan.
Hujan deras akan membantu penyebaran peyakit ini. Karena kondisi
lingkungan yang banjir akan mempercepat proses penularan bakteri
leptospira melalui air. Kemampuan leptospira untuk bergerak dengan
cepat dalam air menjadi salah satu factor penentu utama ia dapat
menginfeksi induk semang (host) yang baru.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga
memberikan peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia.
Hal ini sesuai pendapat Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa
kecenderungan jumlah penderita leptospirosis meningkat setelah banjir
terlebih lama surutnya air sampai 3 hari atau lebih. Pada pasca banjir perlu
diwaspadai terutama sehabis membersihkan sisa-sisa banjir atau mencebur

9
air genangan tanpa alas kaki, air genangan tersebut telah tercemar air
kencing binatang terutama tikus yang mengandung bakteri leptospira yang
merupakan sumber penularan.
F. Penanganan
1. Pengobatan
Cara mengobati penderita Leptospirosis yang dianjurkan adalah
sebagai berikut :
a. Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara
dini pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice
dengan dosis 6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap
selama 5-7 hari
b. Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin
dengan jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5
megaunit secara i.m, separuh dosis dapat Diberikan selama 5-6 hari.
Procaine penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara kontinue
selama 2 hari setelah terjadi albuminuria
c. Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik
lain yaitu etracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik
tersebut kurang efektif dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat
diberikan jika penderita mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat
diberikan secepatnya dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v
selama 24 jam, kemudian 250-500 mg setiap 6 jam secara oral selama
6 hari. Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam
selama 5 hari.
Terapi dengan antibiotika (streptomisin,khlortetrasiklin, atau
oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya
berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan
pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin
dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi penderita
Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%.
Pemberian per-oral dengan mencampurkan oksitetrasiklin dengan

10
dosis500-1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-turut
dapat menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit pada ternak
babi 94%.
2. Pencegahan Leptospirosis
Menurut WIDARSO pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan
dengan cara:
a. Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular
penyakit, berperan dalam upaya pencegahan penyakit
Leptospirosis
b. Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki,
tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di
sawah
c. Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat
membantu dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis
d. Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai
resiko yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu
bot dan sarung tangan
e. Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan
vaskin strain lokal
f. Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-
rumah penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan
tersebut
g. Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk,
terutama di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa
terhadap kuman Leptospirosis
h. Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir
i. Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus
Leptospira yang patogen . Penyakit ini merupakan zoonosis, tersebar luas di
seluruh dunia terutama di daerah tropis termasuk Indonesia . Titik sentral
pcnyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi Leptospira yang
mencemari lingkungan . Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari
ringan hingga berat bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya .
Upaya mengisolasi dan mengidentifikasi Leptospira sangat memakan
waktu . Diagnosis leptospirosis yang utama dilakukan secara serologis . Uji
serologis merupakan uji standar untuk konfirmasi diagnosis, menentukan
prevalensi dan studi epidemiologi . Vaksinasi pada hewan merupakan salah
satu cara pengendalian leptospirosis .Pengembangan vaksin untuk hewan
masih terus dilakukan di Indonesia untuk memperoleh vaksin multivalen yang
efektif karena Leptospira terdiri dari banyak serovar ..
B. Saran
Pencegahan/ pengendalian leptospirosis dapat dilakukan dengan cara
memutus siklus penularan melalui pengobatan dan vaksinasi bagi ternak atau
hewan kesayangan ; mengurangi populasi tikus dan meningkatkan sanitasi
lingkungan . Dalam upaya pencegahan leptospirosis pada manusia
memerlukan aktivitas terintegrasi antara dokter hewan dan dokter, dan
peningkatan pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang bahaya
leptospirosis . Penggunaan vaksin yang sesuai dikombinasikan dengan
perbaikan sanitasi lingkungan merupakan upaya pengendalian leptospirosis
pada hewan di masa datang.

12
DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis
Dr Widodo Judarwanto SpA.(2006). Penyakit
leptospirosispada manusiahttp://indonesiaindonesia.com/f/13740-
penyakit-leptospirosis- manusia/
Priyanto, A, (2006). Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptospirosis.dari
http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf.

13

Anda mungkin juga menyukai