Anda di halaman 1dari 37

ASUHAN KEPERAWATAN DAN ANALISIS JURNAL

PADA PASIEN ASMA BRONKIAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I


Dosen pengampu: Rita Dwi Hartanti, M.Kep., Ns., Sp.Kep.M.B.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
1. Dwi Anjani Cantry Karisma (201902030063)
2. Dyah Galuh Sandra Pitaloka (201902030077)
3. Khairunnisa Nur Kirana (201902030081)
4. Riskika Aulia Zahra (201902030093)

PRODI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2020-2021
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah I dengan judul “Asuhan Keperawatan dan Analisis Jurnal
Pada Pasien Asma Bronkial”.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh
karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya saya berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Pekalongan, oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................4
PEMBAHASAN................................................................................................................4
A. Konsep Dasar Asma Bronkial................................................................................4
1. Pengertian...........................................................................................................4
2. Pathogenesis.......................................................................................................5
3. Gambaran Klinis................................................................................................5
4. Diagnosis............................................................................................................6
5. Pathway Asma Bronkial.....................................................................................7
6. Penatalaksanaan Asma.......................................................................................8
7. Pengobatan Asma.............................................................................................14
8. Penatalaksanaan dan Perawatan dirumah.........................................................17
9. Komplikasi.......................................................................................................18
B. Konsep Asuhan Keperawatan Asma Bronkial......................................................18
1. Pengkajian........................................................................................................18
2. Diagnosa Keperawatan Asma Bronkial............................................................21
3. Intervensi Keperawatan....................................................................................21
4. Implementasi Keperawatan..............................................................................26
5. Evaluasi keperawatan.......................................................................................26
BAB III............................................................................................................................28
PENUTUP.......................................................................................................................28
A. Kesimpulan..........................................................................................................28
B. Saran....................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................29
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma adalah penyakit kronis bronkial atau saluran pernapasan
pada paru-paru. Sebagian besar kematian yang disebabkan karena asma
terjadi dinegara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Faktor
risiko yang memicu terjadinya asma adalah zat yang dihirup dan partikel
yang dapat memicu reaksi alergi atau iritasi pada saluran udara. Asma
dapat dikontrol dengan obat dan menghindari pemicu asma, yang dapat
mengurangi keparahan asma. Asma merupakan penyakit kronis saluran
pernapasan yang ditandai oleh inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap
berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan
atau dengan pengobatan yang sesuai.
Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan baik di
dalam maupun di luar rumah, tetapi anak dengan riwayat asma pada
keluarga memiliki risiko lebih besar terkena asma. Tiap penderita asma
akan memiliki faktor pencetus yang berbeda dengan penderita asma
lainnya sehingga orang tua perlu mengidentifikasi faktor yang dapat
mencetus kejadian asma pada anak. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa setiap unsur di udara yang kita hirup mencetus kambuhnya asma
pada penderita. Faktor pencetus asma dibagi dalam dua kelompok, yaitu
genetic, diantaranya atopi/alergi bronkus, eksim; faktor pencetus di
lingkungan, seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur,
pembakaran sampah, kelembaban dalam rumah, serta allergen seperti debu
rumah, tungau dan bulu binatang (Wong, 2009).
Menurut Wong (2009) dampak penyakit kronis dan
ketidakmampuan pada anak cukup luas. Anak mengalami gangguan
aktivitas dan gangguan perkembangan. Serangan asma menyebabkan anak
dapat tidak masuk sekolah berhari-hari, berisiko mengalami masalah
perilaku dan emosional, dan dapat menimbulkan masalah bagi anggota
keluarga lainnya, orang tua sulit membagi waktu antara kerja dan merawat
anak, masalah keuangan, fisik dan emosional. Keadaan ini berdampak
pada pola interaksi orang tua dan anak serta upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan dan kualitas hidup anak. Untuk itu peran
perawat diharapkan dapat membantu anak dan keluarga selama dirawat
dalam memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan edukasi agar keluarga
mampu merawat anak dengan asma bronkial dirumah serta meminimalkan
kekambuhan serangan asma.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari asma bronkial?
2. Bagaimana pathogenesis asma bronkial?
3. Bagaimana gambaran klinis dari asma bronkial?
4. Apa diagnosis pada asma bronkial?
5. Bagaimana pathway asma bronkial?
6. Bagaimana penatalaksanaan asma bronkial?
7. Bagaimana pengobatan asma?
8. Bagaimana penatalaksanaan dan perawatan asma dirumah?
9. Apa komplikasi pada asma bronkial?
10. Bagaimana pengkajian keperawatan pada asma bronkial?
11. Apa diagnosa keperawatan pada asma bronkial?
12. Bagaimana perencanaan keperawatan pada asma bronkial?
13. Bagaimana implementasi keperawatan pada asma bronkial?
14. Bagaimana evaluasi keperawatan pada asma bronkial?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian asma bronkial.
2. Untuk mengetahui pathogenesis asma bronkial.
3. Untuk mengetahui gambaran klinis asma bronkial.
4. Untuk mengetahui diagnosa pada asma bronkial.
5. Untuk mengetahui pathway asma bronkial.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan asma bronkial.
7. Untuk mengetahui pengobatan asma.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan perawatan asma dirumah.
9. Untuk mengetahui komplikasi pada asma bronkial.
10. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan pada asma bronkia.
11. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada asma bronkial.
12. Untuk mengetahui rencana keperawatan pada asma bronkial.
13. Untuk mengetahui implementasi keperawatan pada asma bronkial.
14. Untuk mengetahui evaluasi keperawatan pada asma bronkial.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Asma Bronkial


1. Pengertian
Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak
dijumpai, baik pada anak-anak maupun dewasa. Kata asma berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “terengah-engah”. Hippocrates
menggunakan istilah asma untuk menggambarkan kejadian pernafasan
yang pendek-pendek (shortness of breath) lebih dari 200 tahun yang
lalu. Sejak itu istilah asma sering digunakan untuk menggambarkan
gangguan yang terkait dengan kesulitan bernafas, termasuk adalah
istilah asma kardiak dan asma bronchial. Menurut National Ashtma
Education and Prevention Program (NAEPP) pada National institute
of Health (NIH) Amerika, asma didefinisikan sebagai penyakit
inflamasi kronik pada paru (Ikawati, 2006).
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang
melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah
hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan nafas,
dan gejala pernafasan (mengi atau apabila bernafas berbunyi dan
terjadi sesak). Obstruksi jalan nafas umumnya bersifat reversible,
namun dapat terjadi kurang reversible bahkan relative nonreversible
tergantung berat dan lamanya penyakit. Obstruksi saluran pernafasan
disebabkan oleh banyak-banyak faktor seperti bronkospasme, edema,
hipersekresi bronkus, hipersensitif bronkus dan inflamasi. Serangan
asma yang tiba-tiba disebabkan oleh faktor yang diketahui, meliputi
faktor-faktor terpapar allergen, virus, polutan atau zat-zat lain yang
dapat merangsang inflamasi akut atau konstrikisi bronkus (Wong,
2009).
2. Pathogenesis
Sampai saat ini pathogenesis dan etiologi asma belum diketahui
dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran nafas yang
berlebihan (sundari, 2001). Dalam dua decade yang lalu, penyakit
asma dianggap merupakan penyakit yang disebabkan karena
penyempitan bronkus saja, sehingga terapi utama pada saat itu adalah
suatu bronkodilator, seperti β -antagonis dan golongan mental ksantin
saja. Dalam konsep baru para ahli mengemukakan bahwa asma
merupakan penyakit inflamasi saluran nafas yang ditandai dengan
bronkokonstriksi, inflamasi dan respon yang berlebihan terhadap
rangsangan (hyperresponsiveness) (Ikawati, 2006).
3. Gambaran Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodic batuk,
mengi, dan sesak nafas. Pada gejala awal sering gejala tidak jelas
seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai
pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret,
tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan
sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian
kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila dicurigai seperti itu
maka perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah
bronkodilator atau uji provokasi denga metakolin (Sundaru, 2011).
Gejala pada penyakit asma ada dua fase, yaitu gejala fase akut dan
gejala fase kronik. Gejala fase akut terjadi pada hitungan menit dan
berakhir setelah beberapa jam, dimana pada saat itu terjadi interaksi
antara allergen dengan makrofag. Respon yang terjadi pada fase akut
adalah bronkokonstriksi. Fase lambat terjadi dalam 2-6 jam dan
berakhir kurang lebih setelah 12-24 jam. Sitokin seperti interleukin
bekerja mengaktifasi eosinophil dan limfosit T di saluran pernafasan
untuk melepaskan mediator yang memicu serangan ulang asma. Pada
asma non-atopik, allergen bukan penyebab serangan, tetapi pemicu
serangan asma lebih banyak dilakukan oleh faktor lain seperti
penggunaan obat seperti aspirin, AINS, dan golongan beta bloker,
adanya iritan kimiawi, penyakit obstruksi kronik, udara kering, stress
yang berlebih, dan olahraga. Mekanismenya bukan melalui sel mast,
tetapi melalui stimulasi pada jalur refleks parasimpatik yang
melepaskan asetilkolin, dan kemudian mengontrol otot polos bronkus.
Peningkatan permeabilitas dan sensitivitas terhadap allergen yang
terhirup, iritan, dan mediator inflamasi merupakan konsekuensi dari
adanya cedera pada epitel. Inflamasi kronik pada saluran pernafasan
dapat menyebabkan penebalan membrane dasar dan deposisi kolagen
pada dinding bronchial. Perubahan ini dapat menyebabkan sumbatan
saluran nafas secara kronik seperti yang dijumpai pada penderita asma.
Pelepasan berbagai media inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi,
sumbatan vaskuler, permeabilitas vaskuler, edema, produksi dahak
yang kental, dan gangguan fungsi mukosiliar (Ikawati, 2006).
4. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini
dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan atau
batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan
diagnosa. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk
dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi atau sesak. Diagnosis klinis
asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi,
batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk
menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor resiko. Diagnosis asma berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Rengganis, 2009).
5. Pathway Asma Bronkial

Pencetus serangan (allergen, emosi/stress,


obat-obatan, dan infeksi)

Reaksi antigen dan antibody

Dikeluarkannya substansi vasoaktif


(histamine, bradikinin dan anafilaktosin)

Kontraksi otot polos Permeabilitas kapiler Sekresi mukus

Bronkospasme  Bronkospasme
Produksi mukus
 Edema mukosa
bertambah
 Hipersekresi
Ketidakefektifan
bersihan jalan
nafas Obstruksi jalan nafas Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh (risiko/aktual)

Hipoventilasi

Distribusi ventilasi tidak merata dengan sirkulasi darah paru-paru


gangguan difusi gas di alveoli

Kerusakan pertukaran gas

Hipoksemia hiperkapnia
6. Penatalaksanaan Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada
prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan,
yaitu:
a. Penatalaksanaan asma akut
Serangan akut merupakan suatu keadaan darurat dimana
membutuhkan penanganan medis segera. Penanganan harus cepat
dan seharusnya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Penilaian
berat serangan dilakukan berdasarkan riwayat serangan, gejala,
pemeriksaan fisik dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru,
agar dapat diberikan pengobatan yang tepat (Rengganis, 2008).
b. Penatalaksanaan asma kronik
Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami
sistem penanganan asma secara mandiri, sehingga dapat
mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma.
Antiinflamasi merupakan suatu pengobatan rutin yang bertujuan
mengontrol penyakit serta mencegah serangan. Bronkodilator
merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi serangan
(Rengganis, 2008). Pada penataaksanaan asma kronik bisa
diklasifikasikan menurut kontrol asma. Kontrol asma dapat
didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah
kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh.
Namun pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah
kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya
diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah
memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama
dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping
(Rengganis, 2008). Dalam terapi asma biasanya pasien-pasien
asma belum mendapatkan terapi yang optimal. Banyak pasien
asma yang mengabaikan terapinya padahal penyakit asma
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan. Ada beberapa
komponen dalam pengobatan asma, yaitu penilaian beratnya asma,
pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan,
penyuluhan atau edukasi kepada pasien (Sundaru, 2001).
1.) Penilaian beratnya asma

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma (NAEPP, 2002).

Derajat Gejala Gejala Fungsi paru Obat yang


Asma Malam diperlukan untuk
pemeliharaan
jangka
Tahap 1 Gejala <2x ≤2x sebulan PEV 1 atau Usia ≥ 5 tahun
Ringan seminggu PEF ≥80% Tidak diperlukan
Intermiten Asimtomatik prediksi pengobatan harian.
dan PEF variability as Mungkin terjadi
normal <20% eksaserbasi berat,
diantara fungsi paru-paru
eksaserbasi normal dan tidak
Eksaserbasi ada gejala.
singkat,
intensitas Usia ≤ 5 tahun
mungkin Tidak diperlukan
berfariasi pengobatan
Tahap 2 Gejala <2x >2x sebulan PEV 1 atau Usia ≥ 5 tahun
Ringan seminggu tapi PEF ≥80% Perlakuan yang
Menetap <1x sehari. prediksi dipilih: dosis
Serangan variability as rendah
dapat <20%-30% kortikosteroid
mengganggu hirup. Alternative
aktivitas dan perlakuan:
tidur cromolyn,
pengubah
leukotrine,
nedocromil/teofilin
untuk serum
konsentrasi 5-15
mcg/mL.

Usia ≤ 5 tahun
Pilihan
pengobatan:
kortikosteroid
hirup dosis rendah
dengan nebulizer
atau MDL.
Alternative
pengobatan
cromolyn
(nebulizer atau
MDL/antagonis
reseptor
leukotriene)
Tahap 3 Ada gejala >1x sebulan PEV atau Usia ≥ 5 tahun
Sedang tiap perlu PEF 60-80% Perlakuan yang
Menetap penggunaan prediksi dipilih: diberikan
agonis β variabilit as kortikosteroid
setiap hari. >30% hirup dalam
Eksaserbasi media-dosis
mempengaruhi sedang
aktivitas (Beklomathason,
eksaserbasi ≥ Budesonida,
2x seminggu. Flutikason) dan
menambah β 2
agonis dosis
panjang.
Alternative
pengobatan:
meningkatkan
kortikosterodi
hidup dalam dosis
sedang
(Beklomathason,
Budesonida,
Flutikason) dan
menambah
leukotrine atau
teofilin.

Usia ≤ 5 tahun
Perlakuan yang
dipilih: diberikan
kortikosteroid
hirup dalam
media-dosis
sedang
(Beklomathason,
Budesonida,
Flutikason) dan
menambah β 2
agonis dosis
panjang.
Alternative
pengobatan:
meningkatkan
kortikosteroid
hirup dalam dosis
sedang
(Beklomathason,
Budesonida,
Flutikason) dan
menambah
leukotrine atau
teofilin.
Tahap 4 Gejala terus- Sering PEV 1 atau Usia ≥ 5 tahun
Berat menerus PEF ≤60% Perlakuan yang
Menetap Aktifitas fisik prediksi dipilih:
terbatas. variability as kortikosteroid
Sering >30% hirup dosis tinggi
serangan dan bronkodilator
dosis yang panjang
yaitu agonis β 2
agonis aksi
panjang
(formoterol,
salmeterol),
kortikosteroid
tablet atau sirup
jangka panjang (2
mg/kg/hari, tidak
melebihi 60
mg/hari). Ulangi
upaya untuk
mengurangi
kortikosteroid
sistemik dan
mempertahankan
control
kortikosteroid
hirup dosis tinggi
(Beklomethason,
Budesonida,
Flutikason).

Usia ≤ 5 tahun
Perlakuan yang
dipilih:
kortikosteroid hiru
dosis tinggi dan
bronkodilator
dosis yang panjang
yaitu agonis β 2
agonis aksi
panjang
(formoterol,
salmeterol),
kortikosteroid
tablet atau sirup
jangka panjang (2
mg/kg/hari, tidak
melebihi 60 mg
per hari). Ulangi
upaya untuk
mengurangi
kortikosteroid
sistemik dan
mempertahankan
control
kortikosteroid
hirup dosis tinggi
(Beklomethason,
Budesonida,
Flutikason)

Penilaian derajat beratnya asma baik melalui pengukuran


gejala, pemeriksaan uji final paru (dengan spirometri atau peak
flow meter), dan analisi gas darah sangat diperlukan untuk
menilai hasil pengobatan. Banyak pasien asma yang tanpa
gejala, ternyata pada pemeriksaan uji final parunya
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas (Sundaru, 2001).
2.) Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus asma
Diharapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor
pencetus, serangan asma semakin berkurang atau derajat asma
semakin tinggi (Sundaru, 2001).
3.) Perencanaan obat-obat jangka panjang
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk merencanakan
obat-obat antiasma agar dapat mengendalikan gejala asma yaitu
dengan pertimbangan pemberian obat-obat antiasma,
pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga dan
pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien
(Sundaru, 2001).
4.) Penyuluhan asma atau edukasi kepada pasien
Pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang,
maka dari itu diperlukan kerja sama antara pasien, keluarga
serta tenaga kesehatan. Hal ini bisa tercapai apabila pasien dan
keluarga memahami penyakitnya, tujuan pengobatan, obat-obat
yang dipakai serta efek samping (Sundaru, 2001).
7. Pengobatan Asma
Pada dasarnya obat-obat antiasma dipakai untuk mencegah dan
mengendalikan gejala asma. Obat-obatan antiasma tersebut adalah:
a. Antiinflamasi
Obat antiinflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah
obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat antiinflamasi
dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya
profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan antiinflamasi jangka
panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru
serta penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila dibanding
bronkodilator (Sundaru, 2001).
Mekanismenya yaitu dapat mengurangi jumlah eosinophil
yang berada dalam sirkulasi dan jumlah sel mast di saluran
pernafasan dan meningkatkan jumlah reseptor adrenergic β -2,
selain itu juga mengurangi hiperresponsivitas saluran nafas dengan
mengurangi inflamasi (Ikawati, 2006). Untuk mengontrol gejala,
direkomendasikan untuk menggunakan dosis rendah, yaitu 2-4
hirupan sebanyak 2-4 kali sehari. Steroid inhalasi ada yang dalam
bentuk serbuk, dengan harapan dapat mencapai paru-paru dengan
lebih baik. Contohnya (Pulmicort turbuhaler). Untuk mencapai
efektivitas yang maksimum, diperlukan kira-kira 2 minggu
penggunaan kortikosteroid inhalasi secara kontinyu. Jika
didapatkan hambatan pertumbuhan, perlu dirujuk ke bagian
pediatric (Ikawati, 2006).
b. Bronkodilator
1.) Agonis β 2
Stimulasi reseptor β 2-adrenergik mengaktivasi adenil siklase,
yang menghasilkan peningkatan AMP siklik intraseluler.
Menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membrane sel
mast, stimulasi otot seklet (Depkes, 2008). Albuterol dan
inhalasi agonis β 2 selektif aksi pendek lain diindikasikan untuk
pananganan episode bronkospasmus ireguler dan merupakan
pilihan dalam penanganan asma para akut. Sedangkan
formaterol merupakan inhalasi agonis β 2 kerja lama yang
diindikasikan sebagai kontrol tambahan jangka panjang untuk
pasien yang telah mengonsumsi inhalasi kortikosteroid dosis
sedang atau tinggi. Zat aksi pendek memberikan perlindungan
penuh selama paling sedikit 2 jam setelah dihirup, zat kerja
lama setelah memberikan perlindungan signifikan 8-12 jam
pada awal pemberian, dan durasi terapi ini akan berkurang
apabila pemakaian rutin dan asma mulai terkontrol (Depkes,
2008).
2.) Metilxantin
Yang merupakan obat golongan metilxantin adalah theophylin,
theobromine dan caffeine. Manfaat theophylline dalam
pengobatan asma berkurang karena efektivitas obat-obat
adrenoreseptor per inhalasi untuk asma akut asma kronik telah
ditemukan, tetapi harga murah theophylline memiliki
keuntungan untuk pasien dengan ekonomi lemah atau dana
kesehatan pada masyarakat yang terbatas. Mekanisme kerjanya
terjadi hambatan pada reseptor-reseptor pada permukaan sel
untuk adenosline. Reseptor-reseptor tersebut memodulasi
aktivitas adenylyl cyclase dan adenoslyne, yang telah terbukti
dapat menyebabkan kontraksi otot polos jalan nafas terpisah
dan menyebabkan rilis histamine dari sel-sel mast jalan nafas.
Theophylline melawan efek-efek tersebut, dengan menyekat
reseptor adenosline permukaan sel (Katzung, 2001).
3.) Antikolinergik
Yang merupakan obat golongan antikolinergik yaitu
ipratropium bromide, tiotropium dan deptropium. Agen
antikolinergik memperbaiki efek vegal yang dimediasi
bronkospasme tetapi bukan bronkospasme yang diinduksi oleh
allergen atau olahraga. Mekanisme kerja ipratropium untuk
inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatomimetik)
yang akan menghambat refleks vegal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan
bersifat local, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromide (semprot hidung) memunyai sifat anti
sekresi dan penggunaan local dapat menghambat sekresi
kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung. Digunakan
dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergic) sebagai bronkodilator dalam
pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan
penyakit paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronchitis
kronik dan emfisema. (Katzung, 2001).
c. Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid
sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan
glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan
aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat
beta adrenergic dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi
mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara
langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek local
steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal. Terapu
pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang
memrlukan kortikosteroid sistemik, pasien yang mendapatkan
keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan
asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8
tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat
diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien
yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau
terapi bronchitis non asma.
8. Penatalaksanaan dan Perawatan dirumah
Menurut muttaqin, (2008) jika pasien tidak mendapat serangan
asma maka perawatan dirumah ditujukan untuk mencegah timbulnya
serangan asma dengan memberikan pendidikan kesehatan pada
keluarga pasien. Mencegah serangan asma dengan menghilangkan
faktor pencetus timbulnya serangan. Pendidikan kesehatan yang
diberikan tersebut antara lain:
a. Menghilangkan faktor pencetus misalnya debu rumah, bau-bau
yang merangsang, hawa dingin dan lainnya.
b. Keluarga harus mengenali tanda-tanda akan terjadi serangan asma.
c. Cara memberikan obat bronkodilator sebagai pencegahan bila
dirasakan anak akan mengalami serangan asma serta wajib
mengetahui obat mana yang lebih efektif bila anak mendapat
serangan asma.
d. Menjaga kesehatan anak dengan memberi makanan yang cukup
bergizi tetapi menghindari makanan yang mengandung cukup
allergen bagi anaknya.
e. Kapan anak harus dibawa untuk konsultasi. Persediaan obat tidak
boleh sampai habis. Lebih baik jika obat tinggal 1-2 kali
pemakaian anak sudah dibawa kontrol ke dokter atau jika anak
batuk/pilek walaupun belum terlihat sesak nafas segera dibawa
berobat.
9. Komplikasi
Menurut surandro, (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada asma
bronkial apabila tidak segera ditangani adalah: (Sundaro, 2008).
a. Gagal nafas.
b. Bronchitis.
c. Fraktur iga (patah tulang rusuk).
d. Pneumotoraks (penimbunan udara pada rongga dada disekeliling
paru yang menyebabkan paru-paru kolaps).
e. Pneumodiastinum penimbunan dan emfisema subkitus.
f. Aspergilosis bronkopulmoner alergik.
g. Atelectasis.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Asma Bronkial
Menurut Nurafif & Kusuma (2015), asuhan keperawatan dengan asma
meliputi:
1. Pengkajian
a. Biodata
Asma bronkial dapat menyerang segala usia tetapi lebih
sering dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum 10
tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
Predisposisi laki-laki dan perempuan diusia sebesar 2 : 1 yang
kemudian sama pada usia 30 tahun.
b. Riwayat kesehatan
1.) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma adalah
dyspnea (sampai bisa berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk,
dan mengi (pada beberapa kasus lebih banyak paroksimal).
2.) Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi
timbulnya penyakit ini, di antaranya adalah riwayat alergi dan
riwayat penyakit saluran nafas bagian bawah (rhinitis, urtikaria,
dan eskrim).
3.) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali didapatkan adanya
riwayat penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya
tidak ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota
keluarganya.
c. Pemeriksaan fisik
1.) Inspeksi
a.) Pemeriksaan dada dimulai dari toraks posterior, klien pada
posisi duduk.
b.) Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan
yang lainnya.
c.) Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah.
d.) Inspeksi toraks posterior, meliputi warna kulit dan
kondisinya, skar, lesi, massa, dan gangguan tulang
belakang, seperti kifosis, scoliosis, dan lordosis.
e.) Catat jumlah, irama, kedalaman pernafasan, dan
kesimetrisan pergerakan dada.
f.) Observasi tipe pernafasan, seperti pernafasan hidung,
pernafasan diafragma, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
g.) Kelainan pada bentuk dada, observasi kesimetrisan
pergerakan dada. Gangguan pergerakan atau tidak
adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada
paru atau pleura.
h.) Observasi trakea obnormal ruang intercostal selama
inspirasi, yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
2.) Palpasi
a.) Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada
dan mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan
keadaan kulit, dan mengetahui vocal/tactile premitus
(vibrasi).
b.) Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji
saat inspeksi seperti: mata, lesi, bengkak.
c.) Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan
ketika berbicara.
3.) Perkusi, suara perkusi normal:
a.) Resonan (sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada
jaringan paru normal.
b.) Dullness : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan diatas
bagian jantung, mamae, dan hati.
c.) Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas perut
yang berisi udara. Suara perkusi abnormal : a.) hiperesonan
(hipersonor) : bergaung lebih rendah dibandingkan dengan
resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi darah. b.)
flatness : sangat dullness. Oleh karena itu, nadanya lebih
tinggi. Dapat didengar pada perkusi daerah hati, di mana
areanya seluruhnya berisi jaringan.
4.) Auskultasi
a.) Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup
mendengarkan bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan
(abnormal) dan suara.
b.) Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika
melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat
bersih.
c.) Suara nafas normal meliputi bronkial, bronkovesikular, dan
vesicular.
d.) Suara nafas tambahan meliputi wheezing, pleural friction
rub, dan crackles.
2. Diagnosa Keperawatan Asma Bronkial
Menurut Nurafif & Kusuma (2015), meliputi:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus
dalam jumlah berlebihan, peningkatan produksi mukus, eksudat
dalam alveoli dan bronkospasme.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan
ekspansi paru.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, produksi mukus bertambah.
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi.
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
1. Bersihan jalan NOC: 1. Kaji frekuensi
nafas tidak Mampu kedalaman
efektif mengeluarkan pernafasan dan
berhubungan sekret lebih efektif. ekspansi dada.
dengan bronkus Kriteria hasil: 2. Catat upaya
spasme, 1. Sekresi dapat pernafasan termasuk
peningkatan diluluhkan atau penggunaan otot
produksi mukus, dihisap bantu pernafasan.
mukus bertahan minimal. Kecepatan biasanya
tebal dan kental, 2. Bunyi nafas mencapai kedalaman
penurunan terdengar pernafasan bervariasi
energi / tergantung derajat
kelemahan bersih. gagal nafas.
untuk batuk. 3. Auskultasi bunyi
nafas dan catat
adanya bunyi nafas
seperti krekels,
wheezing. Ronchi
dan wheezing
menyertai obstruksi
jalan nafas atau
kegagalan
pernafasan.
4. Observasi pola batuk
dan karakter sekret.
Kongesti alveolar
mengakibatkan batuk
sering/iritasi.
5. Dorong atau bantu
pasien nafas dalam
dan latihan batuk
efektif. Untuk dapat
meningkatkan/banya
knya sputum dimana
gangguan ventilasi
dan ditambahnya
ketidaknyamanan
upaya bernafas.
6. Kolaborasi: berikan
oksigen tambahan,
berikan humidifikasi
tambahan bertujuan
memaksimalkan
bernafas dan
menurunkan kerja
nafas, memberikan
kelembapan oada
membrane mukosa
dan membantu
pengenceran sekret.
2. Ketidakefektifan NOC: pola nafas 1. Auskultasi bunyi
pola nafas kembali efektif. nafas untuk
berhubungan Kriteria hasil: mengetahui derajat
dengan 1. Pola nafas spasme.
penurunan efektif. 2. Kaji atau pantau
ekspansi paru. 2. Pasien tidak frekuensi pernafasan.
sesak nafas. 3. Catat adanya/derajat
distress, misal :
keluhan ait hungry,
gelisah, ansietas,
distress pernafasan,
penggunaan otot
bantu. Disfungsi
pernafasan adalah
indicator kegagalan
nafas.
4. Kaji pasien untuk
posisi yang nyaman
untuk bernafas.
Pasien dengan
distress pernafasan
akan mencari posisi
yang nyaman dan
mudah untuk
bernafas, membantu
menurunkan
kelemahan otot dan
mempermudah
ekspansi dada.
3. Perubahan NOC: kebutuhan 1. Kaji kebiasaan diet,
nutrisi kurang nutrisi terpenuhi. masukan makanan,
dari kebutuhan Kriteria hasil: catat derajat kesulitan
tubuh 1. Menunjukkan makan, evaluasi BB.
berhubungan peningkatan 2. Auskultasi bunyi
dengan BB. usus.
anoreksia, 2. Menunjukkan 3. Berikan perawatan
mukus perilaku/perub oral sering, buang
bertambah. ahan pada sekret.
hidup untuk 4. Dorong periode
meningkatkan istirahat, 1 jam
dan sebelum dan sesudah
mempertahank makan.
an berat yang 5. Berikan makan porsi
ideal. kecil tapi sering.
6. Hindari makanan
penghasil gas dan
minuman karbonat.
7. Hindari makanan
yang sangat
panas/dingin.
8. Timbang BB sesuai
indikasi.
9. Kaji pemeriksaan
laboratorium, ex:
alb.serum.
4. Kerusakan NOC: 1. Kaji frekuensi,
pertukaran gas mempertahankan kedalaman
berhubungan suplai O2 dan pernafasan, catat
dengan ventilasi alveolus penggunaan otot
obstruksi jalan yang adekuat. aksesori, nafas,
nafas oleh Kriteria hasil: bibir,
sekresi mukus, 1. Bebas gejala ketidakmampuan
spasme bronkus. distress berbicara. Bertujuan
pernafasan. untuk mengevaluasi
derajat distress
pernafasan.
2. Tinggikan kepala
tempat tidur, bantu
pasien untuk
memilih posisi yang
mudah untuk
bernafas. Distribusi
oksigen dapat
diperbaiki dengan
posisi duduk.
3. Dorong pasien
untuk mengeluarkan
sputum, bila perlu
lakukan
penghisapan.
Sputum yang tebal
dan kental adalah
sumber utama
gangguan
pertukaran gas,
penghisapan
dilakukan bila batuk
tidak efektif.
4. Auskultasi bunyi
nafas secara
periodic. Masih
adanya mengi
mengidentifikasi
masih adanya
spasme
bronkus/tertahannya
sekret.
5. Awasi tanda-tanda
vital dan irama
jantung. Takikardia,
disritmia, dan
perubahan tekanan
darah menunjukkan
efek hipoksemia
sistemik pada fungsi
jantung.
6. Kolaborasi
pemberian O2 sesuai
hasil GDA dan
toleransi pasien
untuk memperbaiki
hipoksia.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan berdasarkan intervensi
yang sudah dibuat dengan melihat respon klien. Apabila diperlukan
maka intervensi dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan.
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi terhadap masalah kebutuhan oksigen secara umum dapat
dinilai dari adanya kemampuan dalam: (Somatri, 2009).
a. Mempertahankan jalan nafas secara efektif yang ditunjukkan
dengan adanya kemampuan untuk bernafas, jalan nafas bersih,
tidak ada sumbatan, frekuensi, irama dan kedalaman nafas normal,
serta tidak ditemukan adanya tanda hipoksia.
b. Mempertahankan pola nafas secara efektif yang ditunjukkan
dengan adanya kemampuan untuk bernafas, frekuensi, irama dan
kedalam, nafas normal, tidak ditemukan adanya tanda hipoksia,
serta kemampuan paru berkembang dengan baik.
c. Mempertahankan berat badan dalam kondisi ideal yang ditandai
dengan napsu makan membaik, kebutuhan nutrisi terpenuhi secara
optimal.
d. Mempertahankan pertukaran gas secara efektif yang ditunjukkan
dengan adanya kemampuan untuk bernafas, tidak ditemukan
dyspnea, frekuensi nafas dalam batas normal, serta saturasi oksigen
dan PCO2 dalam keadaan normal.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Asma adalah penyakit kronis bronkial atau saluran pernapasan
pada paru-paru. Faktor risiko yang memicu terjadinya asma adalah zat
yang dihirup dan partikel yang dapat memicu reaksi alergi atau iritasi pada
saluran udara. Pengkajian keperawatan pada asma bronkial meliputi
mengkaji biodata, riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik. Diagnosa
keperawatan yang muncul yaitu:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus
dalam jumlah berlebihan, peningkatan produksi mukus, eksudat dalam
alveoli dan bronkospasme.
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, produksi mukus bertambah.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi.
B. Saran
Penulis merekomendasikan beberapa hal berupa saran sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat
Diharapkan agar masyarakat meningkatkan pengetahuan tentang
pencegahan dan penanganan penyakit asma bronkial khususnya dalam
penanganan dirumah untuk meminimalkan kekambuhan dengan
mengkontrol faktor pencetus terjadinya asma.
2. Bagi tenaga kesehatan
Khususnya perawat di ruang perawatan anak diharapkan selalu
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan dengan
mengikuti pelatihan atau pendidikan berkelanjutan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan (terjemahan). Edisi 8.


Jakarta: EGC.
Marni,, 2014. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Gangguan Pernapasan.
Yogyakarta: Gosyen.
Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Anak dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Potter PA & Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktik Edisi 4, Jakarta: EGC.
Sundaru, 2008. Penyebab dan Faktor Pencetus Serangan Asma. (online)
(http://medicastore.com/asma/penyebab_dan_faktor_pencetus_asma.php,
diakses pada 3 juni 2019).
Somantri, I (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer & Bare. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
ANALISIS JURNAL EBPN METODE PICO
“Efektifitas Batuk Efektif Dan Fisioterapi Dada Pagi Dan Siang Hari
Terhadap Pengeluaran Sputum Pasien Asma Bronkial Di RS Paru dr.Ario
Wirawan Salatiga”

BAB I
ANALISIS JURNAL
A. Judul Penelitian

“Efektifitas Batuk Efektif Dan Fisioterapi Dada Pagi Dan Siang


Hari Terhadap Pengeluaran Sputum Pasien Asma Bronkial Di RS Paru
dr.Ario Wirawan Salatiga”

B. Peneliti
Wahyu Nur Kasanah, Sri Puguh Kristiyawati, Supriyadi
C. Tujuan Jurnal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas batuk efektif


dan fisioterapi dada pagi dan siang hari terhadap pengeluaran sputum
pasien asma bronkial di Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan Salatiga.

D. Ringkasan Jurnal

Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri


bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas), merupakan
penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin,
infeksi, otonomik, dan psikologi (Somantri, 2009, hlm.44). Prevalensi
penyakit asma di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 4,5%, tertinggi
terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%),
di Yogyakarta (6,9%), di Sulawesi Selatan (6,7%) (Riset kesehatan Dasar,
2013, hlm.123). Prevalensi asma bronkial di Propinsi Jawa Tengah pada
tahun 2010 sebesar 0,64% mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan tahun 2009 sebesar 0,66% dan prevalensi tertinggi di kota
Semarang. Di kota Semarang pada tahun 2013, prevalensi asma sebesar
5040 kasus (Profil Kesehatan Kota Semarang, 2013 ,hlm.63-65). Kasus
asma di RS Paru dr. Ario Wirawan Salatiga pada tahun 2010 sebesar 207,
tahun 2011 sebesar 245 kasus, tahun 2012 sebesar 243, tahun 2013 sebesar
254, dan tahun 2014 sebesar 264 (Rekam Medis RS Paru dr.Ario
Wirawan, 2015).

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit utama yang


menyebabkan pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada pasien
asma yang terjadi sesak napas parah dengan ekspirasi memanjang yang
disertai wheezing, batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan.
Adanya sputum di jalan napas inilah yang menyebabkan respon batuk.
Dampak lain akumulasi sputum adalah kesulitan bernafas dan terjadi
gangguan pertukaran gas di dalam paru yang mengakibatkan timbulnya
sianosis, kelelahan, apatis, serta merasa lemah (Somantri, 2009, hlm. 34).

Perawat dapat membantu mengeluarkan sputum pasien dengan


teknik batuk efektif. Latihan batuk efektif dilaksanakan terutama pada
pasien dengan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas
(Muttaqin,2008, hlm.242). Teknik batuk efektif merupakan cara untuk
melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk secara efektif,
tujuannya untuk membersihkan laring dan trakea dari sekret. Tindakan lain
yang dapat membantu pengeluaran sputum adalah fisioterapi dada.
Fisioterapi dada dapat dilakukan untuk pembersihan jalan napas dari
sekresi. Fisioterapi dada termasuk di dalamnya drainase postural, perkusi
dan vibrasi dada. (Muttaqin, 2008, hlm 254).

E. Kelebihan dan Kekurangan


1. Kelebihan
a. Teknik ini dapat dilakukan oleh pasien dan dibantu keluarga pasien
setelah diajarkan oleh perawat
b. Klien dapat menghemat energi, sehingga tidak mudah lelah, dan
dapat mengeluarkan dahak secara maksimal
c. Fisioterapi dada dan batuk efektif adalah tindakan mandiri perawat
yang bisa dilakukan mudah dan murah yang dapat dilakukan di
rumah sakit.
d. Kedua tindakan tersebut tidak memiliki efek samping.
2. Kekurangan
a. Pada jurnal ini tidak dijelaskan secara rinci bagaimana melakukan
teknik batuk efektif dan fisioterapi dada, sehinga pembaca perlu
mencari reverensi lain untuk mengetahuinya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Problem

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pra eksperimental,


yaitu suatu rancangan penelitian yang hanya menggunakan kelompok studi
tanpa menggunakan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan
menggunakan jenis penelitian one shot- case study, dimana rancangan
penelitian ini tidak memakai kelompok kontrol, kemudian dilakukan
intervensi pada kedua kelompok dan diakhiri dengan post test pada
masing-masing kelompok setelah beberapa waktu (Notoatmodjo, 2010,
hlm.58). Populasi penelitian ini adalah pasien asma yang dirawat inap di
RS Paru dr.Ario Wirawan Salatiga. Teknik sampling yang digunakan
adalah total sampling. Total sampling adalah teknik penentuan sampel
dengan mengambil semua jumlah populasi yang memenuhi kriteria untuk
digunakan sebagai sampel (Setiawan & Saryono, 2011, hlm .97).
Penelitian ini dilaksanakan di ruang dahlia 1 RSPAW pada tanggal 9 – 28
Maret 2015.

B. Intervention

Alat pengumpul data yang digunakan yaitu gelas ukur untuk


menampung sputum dan lembar observasi untuk mencatat hasil sputum.
Lembar obesrvasi berisi identitas responden, dan volume sputum (ml).
Analisa univariat dilakukan pada tiap variabel dari hasil penelitian.
Variabel yang dianalisis adalah usia, pengeluaran sputum pada pasien,
pengeluaran sputum berdasarkan jenis kelamin yang dijelaskan dengan
distribusi frekuensi dengan ukuran persentase. Pada penelitian ini analisa
bivariat digunakan untuk menguji perbedaan batuk efektif dan fisioterapi
dada pagi dan siang hari terhadap pengeluaran sputum.

C. Comparation
1. Jurnal “Fisioterapi Dada dan Batuk Efektif Sebagai Penatalaksanaan
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas Pada Pasien TB Paru Di RSUD
Kota Kendari”
Hasil :
Penerapan fisioterapi dada dan batuk efektif dilaksanakan 3 hari,
dengan frekuensi latihan 2x dalam sehari pada pagi hari dan sore hari.
Frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah dilakukan fisioterapi dada
dan batuk efektif terjadi penurunan RR dari 27x/menit menjadi
26x/menit pada hari kedua sesi pagi dari 26x/menit menjadi 25x/menit
padasesi sore hari. Pada hari ketiga terjadi penurunan dari 25x/menit
menjadi 24x/menit (RR normal) pada hari ketiga pada sesi pagi dan
sore hari. Setelah dilakukan fisioterapi dada dan batuk efektif suara
nafas tambahan (ronchi) tidak terdengar lagi pada hari kedua sesi sore
sampai pada hari ketiga sesi pagi dan sore. Irama pernafasan sebelum
dan sesudah dilakukan fisioterapi dada dan batuk efektif terjadi
perubahan dari tidak teratur menjadi teratur pada hari kedua sesi sore,
kemudian pada hari ketiga sesi pagi dan sore irama nafas normal.
Setelah dilakukan fisioterapi dada dan batuk efektif pasien mampu
mengeluarkan sputum pada hari pertama sesi pagi sampai hari ketiga.
D. Outcome

Latihan batuk efektif dan fisioterapi ini dilakukan pada pagi hari,
karena pada penderita asma akan terus batuk dan mengeluarkan dahak
pada pagi hari. Pada pasien asma, serangan akan memburuk pada malam
hari atau dini hari dan membaik pada siang hari, saat malam hari, sel-sel
mast akan melepaskan histamin dan leukotrien, yang menyebabkan
inflamasi, kemudian sel goblet akan terangsang untuk terus mengeluaran
dahak berlebih, dahak yang tidak bisa keluar akan menumpuk sampai pagi
hari (Hadibroto, 2009, hlm.166).

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada


perbedaan batuk efektif dan fisioterapi dada yang dilakukan pagi hari dan
siang hari di RS Paru dr.Ario Wirawan Salatiga.

Sebagai informasi atau bahan masukan bagi keperawatan


khususnya di RS Paru dr.Ario Wirawan Salatiga untuk menggunakan
intervensi batuk efektif dan fisioterapi dada pada pagi hari, karena
intervensi pada pagi hari efektif untuk mengeluarkan dahak secara
maksimal. Pengkajian atau observasi mendalam juga harus dilakukan
untuk mengetahui keadaan fisik pasien, psikologi, dan lingkungan pasien
yang dapat mempengaruhi pengeluaran sputum, pasien harus senyaman
mungkin, yakin, dan fokus agar tujuan intervensi dapat terpenuhi

Anda mungkin juga menyukai