Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

ILMU KESEHATAN ANAK


ASMA

PEMBIMBING:
dr. Bing Rudyanto Sp.A
Penyusun :
I GUSTI AGUNG DITYA DAMARA 2015.04.2.0066
I MADE RAYO PUTRA I. 2015.04.2.0067
IBNU FAUZI RASYIDI 2015.04.2.0068
ICASIA YUSELI KURNIA 2015.04.2.0069
IKA LUTFIYAH H. 2015.04.2.0070

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat
dan karunia-Nya akhirnya referat yang berjudul ASMA ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penyusunan referat ini merupakan salah satu tugas yang harus


dilaksanakan sebagai bagian dari kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Anak di RSAL dr. Ramelan Surabaya. Tak lupa ucapan terima
kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan tugas ini, terutama kepada dr. Bing Rudiyanto Sp.A. yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan dalam
penyusunan referat agar lebih baik.

Kami menyadari jika referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran tentunya kami harapkan dapat membuat referat ini
menjadi lebih baik. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.

Surabaya, Oktober 2016

Penulis

i
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar Isi .......................................................................................................... ii
Daftar Gambar .................................................................................................iv
Daftar Tabel ......................................................................................................v
Bab 1. Pendahuluan.....................................................................................1

Bab 2. Tinjauan Pustaka..............................................................................3

2.1 Definisi Asma.......................................................................................3

2.2 Etiologi.................................................................................................3

2.3 Epidemiologi........................................................................................4

2.4 Faktor Resiko.......................................................................................5

2.5 PATOGENESIS....................................................................................5

Mekanisme Imunologis Inflamasi Saluran Respiratori..............................5

Inflamasi Akut dan Kronik..........................................................................7

Remodelling Saluran Respiratori...............................................................8

2.6 PATOFISIOLOGI..................................................................................9

Obstruksi Saluran Respiratori....................................................................9

Hiperreaktivitas Saluran Respiratori........................................................10

2.7 Klasifikasi Asma.................................................................................11

2.8 Diagnosis...........................................................................................13

2.9 Tatalaksana Asma pada Anak............................................................15

2.9.1 Tujuan dan Prinsip tatalaksana...................................................15

2.9.2 Komponen 1 Assement dan monitoring......................................17

2.9.3 Komponen 2 Edukasi pasien......................................................18

ii
2.9.4 Komponen 3 Mengontrol Faktor Kontribusi yang Memperparah
Asma 18

2.9.5 Komponen 4 Prinsip farmakoterapi asma...................................19

2.9.6 Alur Pengobatan Asma pada anak.............................................24

2.10 Prognosis........................................................................................25

Bab 3. Kesimpulan.....................................................................................26

Daftar Pustaka ................................................................................................27

iii
Daftar Gambar

Gambar 2.1 Patogenesis Asma........................................................................7

Gambar 2.2 Inflamasi dan Remodeling pada Asma.........................................9

Gambar 2.3 Alur Diagnosa Asma pada Anak.................................................15

Gambar 2.4 Komponen - komponen tatalaksana Asma.................................17

Gambar 2.5 Tatalaksana farmakologis Asma pada Anak...............................20

Gambar 2.6 Alur tataklaksana pasien asma di IGD........................................24

iv
Daftar Tabel

Tabel 2-1 Derajat penyakit Asma....................................................................12

Tabel 2-2 Derajat Seranga Asma....................................................................13

v
Bab 1. Penda
huluan

Menurut Global Initiative Asma (GINA) , asma sebagai suaitu penyakit


heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori.
Inflamasi kronik ditandai dengan riwayat gejala gejala pada saluran
respiratori seperti wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi
dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara
ekspiratori. UKK Respirologi IDAI mendefinisikan asma adalah penyakit
saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan
obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi.
Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada
tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang , reversibel, cenderung
memberat pada malam hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus

Asma terjadi karena inflamasi kronik, hiperensponsif dan perubahan


struktur akibat penebalan dinding bronkus (remodeling) saluran respiratori
yang berlangsung kronik bahkan sudah ada sebelum munculnya gejala
asma.

Asma dapat menyerang anak maupun dewasa. Prevalensi asma pada


anak sangat bervariasi di negara- negara di dunia, kejadian terbanyak terjadi
di negara yang telah berkembang seperti Amerika. (UKK Respirologi IDAI,
2015)

The Global Asthma Report, melaporkan bahwa jumlah penderita asma


di dunia diperkirakan mencapai 334 juta pada tahun 2014. Prevalensi asma
di berbagai negara berkisar antara 1% hingga 18% dari populasi. Menurut
estimasi yang dilakukan oleh WHO, kejadian penyakit asma di dunia akan
meningkat sebesar 100 juta penderita baru di berbagai negara di dunia pada

1
tahun 2025 (WHO, 2005). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun
2013, prevalensi asma nasional di Indonesia mencapai 4,5%. Artinya, dari
220 juta penduduk Indonesia terdapat 9 juta penduduk yang menderita asma.

2
Bab 2.
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Asma

Menurut Global Initiative Asma (GINA) , asma sebagai suaitu penyakit


heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori.
Inflamasi kronik ditandai dengan riwayat gejala gejala pada saluran
respiratori seperti wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi
dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara
ekspiratori.(2)

Menurut International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma


mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan
dengan obstruksi saluran respiratori dan hiperesponsif bronkus , yang secara
klinis ditandai dengan adanya wheezing, batuk dan sesak napas yang
berulang.(2)

UKK Respirologi IDAI mendefinisikan asma adalah penyakit saluran


respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis
asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dan atau berulang , reversibel, cenderung memberat pada
malam hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.(2)

2.2 Etiologi

Asma terjadi karena inflamasi kronik, hiperensponsif dan perubahan


struktur akibat penebalan dinding bronkus (remodeling) saluran respiratori
yang berlangsung kronik bahkan sudah ada sebelum munculnya gejala
asma.(2)

3
Berdasarkan penyebab terjadinya, asma dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu asma ekstrinsik (alergi) dan asma intrinsik (non-alergi). Asma
ekstrinsik merupakan gejala asma yang dipicu oleh reaksi alergi. Asma
ekstrinsik dipicu oleh alergan, antara lain seperti menghirup debu, bulu
hewan peliharaan, serbuk sari, spora jamur, konsumsi obat-obatan antibiotik.
Sebagai respon terhadap alergan, tubuh mengaktifkan sistem kekebalan
tubuh dengan meningkatkan imunitas IgE. Peningkatan IgE menyebabkan
terjadinya hiperresponsif bronkus yang berlebihan sehingga terjadi inflamasi
pada saluran napas. Sedangkan asma instrinsik merupakan gejala asma
yang tidak dipicu oleh reaksi alergi. Asma intrinsik dipicu antara lain oleh
faktor cemas, olahraga, perubahan cuaca, udara dingin, udara kering, asap
dan iritan lain. Berbeda dengan asma alergi, asma non alergi tidak
melibatkan respon sistem kekebalan tubuh meskipun gejala yang dihasilkan
keduanya ialah sama, yaitu sesak napas, sesak dada, batuk dan mengi yang
terjadi akibat obstruksi dan inflamasi saluran napas. (6)

2.3 Epidemiologi

Asma dapat menyerang anak maupun dewasa. Prevalensi asma pada


anak sangat bervariasi di negara- negara di dunia, kejadian terbanyak terjadi
di negara yang telah berkembang seperti Amerika. (2)

The Global Asthma Report, melaporkan bahwa jumlah penderita asma


di dunia diperkirakan mencapai 334 juta pada tahun 2014. Prevalensi asma
di berbagai negara berkisar antara 1% hingga 18% dari populasi. Menurut
estimasi yang dilakukan oleh WHO, kejadian penyakit asma di dunia akan
meningkat sebesar 100 juta penderita baru di berbagai negara di dunia pada
tahun 2025 (WHO, 2005). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun
2013, prevalensi asma nasional di Indonesia mencapai 4,5%. Artinya, dari
220 juta penduduk Indonesia terdapat 9 juta penduduk yang menderita asma.
Angka kejadian asma meningkat 1,4 kali pada rentang umur 15-23 tahun

4
dibandingkan dengan kelompok umur sebelumnya, yaitu 5-14 tahun. Asma
juga lebih dominan terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. (3)

Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)


tahun 2013 mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma
pada semua umur adalah 4,5 %. Dengan prevalensi asma tertinggi terdapat
di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%), DI
Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%). Dan untuk provinsi Jawa
Tengah memiliki prevalensi asma sebesar 4,3 %. Disampaikan pula bahwa
prevalensi asma lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. (4)

2.4 Faktor Resiko

Menurut ISAAC: (2)

Polusi udara, asap rokok, makanan cepat saji, berat lahir, rendahnya
pendidikan orangtua, ventilasi yang tidak memadai, merokok.

Menurut penelitian di Padang :

Atopi dari orang tua ( yang paling dominan)


Alergen
Stress
Faktor berat lahir
Polusi
Kebiasaan merokok di rumah

2.5 PATOGENESIS

Mekanisme Imunologis Inflamasi Saluran Respiratori


Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent.
Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40%
penderita asma anak dan dewasa.(2)
Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th1 dan Th2), limfosit subtype CD4
telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T

5
mensekresi interleukin-3 (UL-3) dan granulocyte macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2,IF dan TNF,
Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma,
yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2
bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat
ataupun cell mediated.(2)
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris, yaitu suatu proses
yang melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas 1 pada sel CD8+). Sel dendritic merupakan
antigen presenting cells (APC) yang utama dalam saluran respiratori. Sel
dendritic terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk
jaringan luas, dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran
respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid
di bawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel
epitel, fibroblast, sel T, makrolag, dan sel mast. setelah antigen ditangkap, sel
dendritic pindah ke daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat
tesebut, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendiritik menjadi
matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritic juga mendorong polarisasis el
T nave-Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk
dalam klastergen Sq31-33 (IL-4 genecluster). Bagan pathogenesis asma
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.(2)

6
Gambar 2.1 Patogenesis Asma

Adanya eosinophil dan limfosit yang teraktivitasi pada biopsy bronkus


pasien asma atopi dan nonatopi wheezingmengindikasikan bahwa interaksi
sel limfosit T-eosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi
diperkuat oleh ditemukannya sel yang mengekspresikan IL-5 pada biopsy
bronkus pasien sama atopi IL-5 merupakan sitokin yang penting dalam
regulasi eosinophil. Tingkat keberadaannya pada mukosa saluran respiratori
pasien asma berkorelasi dengan aktivasi sel limfosit T dan eosinofil. (2)

Inflamasi Akut dan Kronik


Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan
respons alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan
respons fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang
sensitif terhadap alergen IgE-spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada
pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma,
basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi
biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti
histamin, proteolitik, enzim glikolitik, dan berperan serta mediator newly
generated seperti prostaglandin, leukotriene, aderosin, dan oksigen reaktif.
Bersama-sama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk
sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran

7
respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi,
dan kebocoran mikrovaskuler.(2)
Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari
mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama
berlangsung pajanan alergen, aktivasi el-sel pada saluran respiratori
menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya
leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum
tulang kedalam sirkulasi.(2)

Remodelling Saluran Respiratori


Remodelling saluran respiratori merupakan serangkaian preoses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
produksi berlebih faktor bertumbuhan profibrotik / transforming growth factors
(TGF), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas
diyakini merupakan proses yang penting pada remodeling. miofibroblas yang
teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan
sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori,
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak
vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. (2)
Peningkatan deposisi matriks molekul, termasuk kompleks proteoglikan
pada dinding saluran respiratori, dapat diamati pada pasien yang meninggal
karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya
penyakit.(2)
Hipertrofi dan hyperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang
kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma
memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi yang dapat
menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma

8
dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel.
Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati
pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid.
Akan tetapi, beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran respiratori
residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Hal
ini menunjukkan adanya remodeling saluran respriatori. (Gambar 2.2).(2)

Gambar 2.2 Inflamasi dan Remodeling pada Asma

Remodelling juga merupakan hal penting pada pathogenesis


hiperreaktivitas saluran respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien
yang waktu penyembuhannya lama (lebih dari satu hingga dua tahun) atau
yang tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid hirupan. (2)

2.6 PATOFISIOLOGI

Obstruksi Saluran Respiratori


Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran
respriatori menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik
secara spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang

9
terjadi dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak,
wheezing, dan hiperreaktifitas saluran respiratori terhadap berbagai
rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris
pada saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama pada anak, batuk
berulang dapat menjadi satu-satunya gejala asma yang ditemukan. (2)
Penyempitan saluran hrespiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak
faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot
polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan
leukotriene C4 dari sel mast, neuropeptide dari saraf aferen setempat, dan
asetilkolin dari saraf eferen postganglionic. Kontraksi otot polos saluran
respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat edema
akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hyperplasia dan hipertrofi
kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel sekretori, serta deposisi matriks pada
dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran respiratori juga
bertambah akibat produksi secret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel
goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui
mikrovaskular bronkus, dan debris selular.(2)
Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis
pada bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi
dicetuskan oleh berbagai faktor, termasuk allergen, virus, olahraga, dll. Faktor
tersebut juga menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respriatori
penderita asma. Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan
obstruksisaluran respiratori. Meskipun perubahan patofisiologis yang
berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel, penyembuhan sebagian /
parsial dapat terjadi.(2)

Hiperreaktivitas Saluran Respiratori


Penyempitan saluran respriatori secara berlebihan merupakan
patofisiologi yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma.

10
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan
atau hiperreaktivitas ini belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan
berhubungan dengan perubahan otot polos saluran respriatori (hiperplasi dan
hipertrofi) yang terjadi secara sekunder, yang menyebabkan perubahan
kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respriatori terutama daerah
peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratori selama
kontraksi otot polos.(2)
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan
memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolon yang dosisinya
dinaikkan secara progresif, kemudian dilakukan pengukuran perubahan
fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis,
hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosine tidak
mempunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan
metakolin) tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung
serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif
bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan FEVI 20% pada
konsenstrasi histamin kurang dari 8 mg%.(2)

2.7 Klasifikasi Asma

Penggolongan asma tergantung pada derajat penyakit (aspek kronis)


dan derajat serangan (aspek akut). Berdasar derajat penyakit, asma dibagi
menjadi (1) asma episodik jarang, (2) asma episodik sering dan (3) asma
persisten. Berdasarkan derajat serangan, asma dikelompokkan menjadi (1)
serangan asma ringan, (2) sedang dan (3) berat. (2)

Adapun tabel perbedaan asma berdasarkan derajat penyakit sebagai


berikut :

11
Tabel 2-1 Derajat penyakit Asma

Sedangkan tabel perbedaan asma yang ditinjau dari derajat serangan


sebagai berikut :

12
Tabel 2-2 Derajat Seranga Asma

2.8 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegak kandari anamnesis, pemeriksaanfisik,


pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. (2)

Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik,
gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan

13
variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Faktor faktor yang
mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.
PemeriksaanFisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi
saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi
pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang
disertai ronki kering / wheezing.
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan IgE dan eosinofil total. Bila terjadi peningkatan nilai
normal dapat menunjang diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang
Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis
asma dapat ditegakkan bila didapatkan :
Variasi pada PFR (peak flow meter) atau FEV1 (forced
expiratory volume 1 second) 15%
Peningkatan 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian
inhalasi bronkodilator
Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi
bronkus

Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain


yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, pneumonia,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Foto toraks dapat digunakan
untuk melihat gambaran emfisematous atau komplikasi pada saat
serangan.

Adapun alur diagnosis asma adalah sebagai berikut :

14
Gambar 2.3 Alur Diagnosa Asma pada Anak

2.9 Tatalaksana Asma pada Anak

2.9.1 Tujuan dan Prinsip tatalaksana


Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma
sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara

15
optimal.(2) Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai
berikut :(3)

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak pada umumnya,


termasuk bermain dan berolahraga
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah
3. Gejala tidak timbul pada siang atau malam hari
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan
6. Efek samping obat dapat dicegah sehingga tidak/ sesedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak

Tatalaksana dari asma harus memiliki komponen sebagai berikut : (1)

1. Assessment dan monitoring asma


2. Mengedukasi pasien dan keluarga tentang penyakit asma dan
kemampuan merawat diri sendiri
3. Identifikasi dan manajemen factor presipitasi dan kondisi komorbid
yang memperparah asma
4. Pemilihan medikasi untuk kebutuhan pasien

16
Gambar 2.4 Komponen - komponen tatalaksana Asma

2.9.2 Komponen 1 Assement dan monitoring


Assement dan monitoring asma didasarkan pada konsep keparahan
asma, asma terkontrol, dan respon terhadap pengobatan. Keparahan asma
adalah intensitas intrinsic dari penyakit dan asesmen pada umumnya cukup
akurat pada pasien yang tidak mendapat terapi pengendali. Oleh karena itu,
tingkat keparahan asma ini menentukan level terapi awal yang akan
diberikan. Terdapat 2 kategori umum yaitu asma persisten dan asma
intermittent yang nantinya akan dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat.
Pada yang lainnya, asma terkontrol menunjukkan derajat di mana gejala,
gangguan yang sedang berlangsung dan tujuan dari terapi asma tercapai.
Pada anak yang menerima terapi pengendali, asesmen dari asma terkontrol
penting untuk menentukan terapi dan dikategorikan menjadi 3 : well
controlled, not well-controlled, dan very poorly controlled. Respons terapi
adalah kesulitan dimana asma terkontrol oleh terapi. (1)

17
Klasifikasi keparahan asma dan terkontrol didasarkan pada resiko dan
gangguan. Dalam menentukan tingkat keparahan asma, gangguan terdiri dari
frekuensi munculnya gejala pada pasien, penggunaan SABA sebagai reliever,
kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan evaluasi obstruksi dengan
spirometri pada anak dengan usia 5 tahun atau lebih. Resiko menunjukkan
perkembangan eksaserbasi asma. Manajemen asma akan optimal melalui
rawat jalan tiap 2 6 minggu.(1)

2.9.3 Komponen 2 Edukasi pasien


Edukasi spesifik pada anak dengan asma dipercaya penting untuk
perawatan diri di rumah dan pendekatan keluarga untuk mengoptimalkan
perawatan dan mempengaruhi kondisi pasien. Setiap pasien datang untuk
kontrol adalah suatu kesempatan yang baik untuk mengedukasi anak dan
keluarga pasien, memampukan mereka untuk menjadi partner dalam
manajemen asma, karena keoptimalan manajemen tergantung pada
asesmen setiap hari dan implementasi dari rencana manajemen untuk pasien

Pada saat pertama kali datang, memberikan pengertian dasar untuk


pathogenesis asma mampu membantu anak dengan asma dan orang tua
pasien pentingnya untuk mengurangi inflamasi untuk mencapai dan menjaga
asma terkontrol.(1)

2.9.4 Komponen 3 Mengontrol Faktor Kontribusi yang Memperparah


Asma
Ada faktor yang bisa dikontrol yang mampu memperparah asma
dikelompokan menjadi 2 yaitu paparan lingkungan dan kondisi komorbid. (1)

1. Eliminasi dan mengurangi paparan lingkungan

Riwayat penyakit harus mencari potensi pemicu allergen, namun


pasien sering mempunyai gejala kronis dan tidak bisa mengidentifikasi
potensi pemicu. Oleh karena itu, tes alergi harus dipertimbangkan pada
pasien dengan asma persisten. Untuk pasien asma yang alergi terhadap

18
allergen di rumah, mengurangi paparan allergen di rumah mampu
mengurangi gejala asma, medikasi, AHR, keparahan eksaserbasi dan
penyakit yang persisten. Allergen di rumah yang sering ditemui adalah
paparan seperti bulu dari hewan peliharaan atau hama ( tikus) dan allergen
dalam rumah seperti tungau, kecoak, dan jamur. Paparan lain seperti rokok,
asap dari pembakaran kayu dan arang, debu, bau menyengat, dan polusi
udara bisa memicu timbulnya asma. Eliminasi atau meminimalkan paparan
bisa mengurangi gejala asma, tingkat keparahan, dan jumlah medikasi yang
akan diberikan ke pasien.

2. Mengobati faktor komorbid

Rhinitis, sinusitis dan GER sering bersamaan dengan asma dan


memperparah derajat serangan asma. Mereka juga menyerupai gejala asma
dan bisa terjadi misklasifiasi derajat asma. Manajemen yang efektif dari
kondisi komorbid bisa meningkatkan gejala asma dan keparah penyakit. GER
diobservasi 43% pada anak dengan asma persisten. GER bisa memperparah
asma melalui 2 mekanisme : aspirasi isi lambung dan vagal refleks
menyebabkan bronkospasme. Rhinitis biasanya memperparah asma,
dideteksi >90% pasien dengan asma. Rhinitis bisa musiman dan / atau
perennial, dengan komponen alergi dan non alergik.

2.9.5 Komponen 4 Prinsip farmakoterapi asma


Tujuan terapi untuk mencapai status terkontrol dengan mengurangi
(1)
komponen kedua gangguan dan resiko asma.

19
Gambar 2.5 Tatalaksana farmakologis Asma pada Anak

Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu obat
pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Ada yang menyebut obat
pereda sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat dihentikan. (2)

Kelompok kedua adalah obat pengendali yang digunakan untuk


mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma
yaitu inflamasi respiratorik kronik sehingga tidak timbul serangan atau gejala
asma. Pemakaian obat ini secara terus menerus dalma jangka waktu yang
relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responnya
terhadap pengobatan / penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari

20
steroid anti-inflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-
agonis 2 kerja panjang, teofilin lepas lambat dan anti-imunoglobulin E. (2)

1. Obat jangka pendek ( obat reliever )


Inhalasi - Agonis kerja cepat ( SABA )
Karena onsetnya dari aksi obat ini cepat, efektif dan mempunyai
durasi 4 - 6 jam, SABA (albuterol, levalbuterol, terbutaline, pirbuterol)
adalah obat pilihan utama untuk gejala asma akut dan untuk
mencegah bronkospasme akibat olahraga. - Agonis menyebabkan
bronkodilasi dengan menginduksi relaksasi otot polos bronkus,
mengurangi permeabilitas vaskular dan edema saluran nafas, dan
meningkatkan mucociliary clearance. Levalbuterol, atau r - isomer dari
albuterol, diikuti dengan takikardi dan tremor yang sedikit, dimana bisa
menganggu pada beberapa pasien asma. Penggunaan - Agonis
diikuti dengan peningkatan resiko kematian pada pasien asma. Ini
menjadi masalah utama pada beberapa pasien dengan asma yang
selalu menggunakan SABA untuk memperbaiki keadaan asma
mereka, dibandingkan menggunakan kontroler sebagai tindakan
preventif.(1)

Agen Antikolinergik
Sebagai bronkodilator, agen antikolinergik ( ipratropium bromide
) lebih kurang potensial dibandingkan - Agonis. Ipratropium inhalasi
digunakan terutama untuk pengobatan asma serangan berat. Saat
digunakan kombinasi dengan albuterol, ipratropium bisa meningkatkan
fungsi paru dan mengurangi angka anak yang masuk rumah sakit
karena asma. Ipratropium adalah formulasi antikolinergik pilihan untuk
anak karena efek samping pada sistem saraf pusat yang sedikit dan
tersedia dalam bentuk MDI ataupun nebulizer.(1)

21
2. Obat jangka panjang ( obat kontroler )

Steroid inhalasi(2)

Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori


dan berperan penting dalam tatalaksana asma jangka panjang. Steroid
inhalasi merupakan obat pengendali asma paling efektif. Pemberian
steroid inhalasi setara dosis budesonid 100 - 200 g per hari dapat
menurunkan kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada
pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan dosis steroid
inhalasi 400 g untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya
serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusai di atas 5
tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki
kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan
asma akibat olahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan
untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus.

Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari


kecuali ciclesonide yang diberikan sehari sekali. Ciclesonide
merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek sistemik minimal
dan deposit obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid
yang lain.

Agonis 2 kerja panjang(2)

Sebagai pengendali asma, agonis 2 kerja panjang tidak


digunakan tunggal melainkan bersama steroid inhalasi. Kombinasi 2
kerja panjang dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid -
agonis 2 kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun,
diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan
perbaikan. Pemberian kombinasi steroid - 2 kerja panjang dalam satu

22
kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan
steroid inhalasi dan agonis 2 kerja panjang dalam sediaan terpisah.

Kombinasi agonis 2 kerja panjang - steroid inhalasi juga dapat


digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan
mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis 2 kerja pendek.

Antileukotrien(2)

Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien


1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta
inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan
antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi,
mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan
mengurangi inflamasi jalan nafas dan mengurangi eksaserbasi.

Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara


umum tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan
sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan
dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien
dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan
dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya
serangan asma akibat berolahraga dan obstructive sleep apnea.

Teofilin lepas lambat(2)

Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat diberikan


sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan
steroid inhalasi pada anak usia di atas usia 5 tahun. Kombinasi steroid
inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaikan asma dan dapat
menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten.
Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendali asma
karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik.

23
Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada
penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor.
Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual, muntah,
anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritimia, nyeri perut, dan
diare. Efek samping muncul pada pemberian dosis tinggi, di atas
10mg/kgBB/hari.

2.9.6 Alur Pengobatan Asma pada anak

Gambar 2.6 Alur tataklaksana pasien asma di IGD

24
2.10 Prognosis

Batuk dan wheezing berulang terjadi pada 35% anak usia sebelum
sekolah. Kurang lebih sepertiga berlanjut menjadi asma persisten pada anak
- anak, dan kurang lebih dua pertiga membaik sendiri saat beranjak usia
remaja. Keparahan asma pada usia 7 sampai 10 tahun diprediksi menjadi
asma persisten pada dewasa. Anak dengan asma serangan sedang hingga
berat dan fungsi paru yang menurun diperkirakan menyebabkan asma
persisten pada dewasa. Anak dengan asma serangan ringan dan fungsi paru
yang normal diperkirakan akan membaik, biasanya menjadi asma periodik;
bagaimanapun remisi komplit pada anak usia jarang terjadi. (1)

25
Bab 3. Kesi
mpulan
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi
kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori
dengan derajat bervariasi. Asma terjadi karena inflamasi kronik,
hiperensponsif dan perubahan struktur akibat penebalan dinding bronkus
(remodeling) saluran respiratori yang berlangsung kronik bahkan sudah ada
sebelum munculnya gejala asma. Manifestasi klinis asma dapat berupa
batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan
atau berulang , reversibel, cenderung memberat pada malam hari, dan
biasanya timbul jika ada pencetus. Tatalaksana pasien asma terdiri dari 4
komponen yaitu assessment dan monitoring asma, mengedukasi pasien dan
keluarga tentang penyakit asma dan kemampuan merawat diri sendiri,
identifikasi dan manajemen factor presipitasi dan kondisi komorbid yang
memperparah asma serta pemilihan medikasi untuk kebutuhan pasien. Obat
asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). prognosis asma yaitu batuk dan wheezing
berulang terjadi pada 35% anak usia sebelum sekolah. Kurang lebih
sepertiga berlanjut menjadi asma persisten pada anak - anak, dan kurang
lebih dua pertiga membaik sendiri saat beranjak usia remaja. Keparahan
asma pada usia 7 sampai 10 tahun diprediksi menjadi asma persisten pada
dewasa.

26
Daftar Pustaka

1. Kliegman, R.M., 2016. Nelson Textbook of Pediatrics 20th editi. B. F.


Stanton et al., eds., Philadelphia: Elsevier.

2. Rahajoe, N. et al., 2015. Pedoman Nasional Asma Anak edisi 2.,


Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI.

3. Rahajoe, N.N., Supriyanto, B. & Setyanto, D.B., 2015. Buku Ajar


Respirologi Anak edisi pert., Jakarta: UKK Respirologi IDAI.

4. https://epidemiologystudentforum.wordpress.com/2015/05/

5. https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&sqi=2&
ved=0ahUKEwiDk_ek9tfPAhUHOo8KHaORApYQFghCMAY&url=http
%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id
%2F44849%2F2%2FNormaridaSoraya_22010110120137_Bab1KTI.pdf
&usg=AFQjCNFqdlkvg2VgXJUHtatOGkF2Bkzrtw&sig2=unyBsONi-
2NbKrf7xWR6Mg&bvm=bv.135475266,d.c2I

6. http://wilayah1.ismki.org/hari-asma-sedunia-2016/

27

Anda mungkin juga menyukai