Anda di halaman 1dari 46

Case report

Asma Persisten Ringan Dengan Eksaserbasi Ringan-Sedang


+ Bronkopneumonia

Oleh :

Nabilah Hilmiana Dewi 2110070200082

Heti Lestari 2110070200097

Khairunnisa Putri Dania 2110070200110

Assyfa Lara Dutta 2110070200149

Meri Novita 2110070200150

PRESEPTOR:
dr. Elsis Mareta Edriyenti, Sp.P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH KEPANITERAAN


KLINIK SENIOR BAGIAN PARU RSUD M. NATSIR
SOLOK
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah dan


shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad, atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas case report session dengan judul “Asma persisten ringan
dengan eksaserbasi ringan-sedang + bronkopneumonia” yang merupakan salah satu tugas
dalam kepaniteraan klinik senior bagian Penyakit Paru RS M.Natsir Kabupaten Solok
Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah. Dalam usaha penyelesaian tugas ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada dr. Elsis Mareta Edriyenti, Sp.P
selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini. Penulis menyadari bahwa didalam penulisan
ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis
menerima semua saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas ini. Akhir
kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Solok, 29 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang…...................................................................................................1

1.2 Tujuan Penelitian...................................................................................................2

1.2.1 Tujuan Umum.....................................................................................................2

1.2.2 Tujuan Khusus....................................................................................................2

1.3 Manfaat Penulisan…..............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................3

2.1 Asma .......................................................................................................................

2.1.1 Definisi ...........................................................................................................

2.1.2 Epidemiologi ..................................................................................................

2.1.3 Etiologi ...........................................................................................................

2.1.4 Faktor Risiko ..................................................................................................

2.1.5 Klasifikasi ......................................................................................................

2.1.6 Patofisiologi ...................................................................................................

2.1.7 Diagnosis ........................................................................................................

2.1.8 Tatalaksana .....................................................................................................


2.2 Bronkopneumonia...................................................................................................4

2.2.1 Definisi............................................................................................................4

2.2.2 Epidemiologi ..................................................................................................

2.2.3 Etiologi............................................................................................................4

2.2.4 Faktor Risiko ..................................................................................................

2.2.5 Klasifikasi ......................................................................................................

2.2.6 Patogenesis......................................................................................................5

2.2.7 Diagnosis.........................................................................................................7

2.2.8 Tatalaksana......................................................................................................10

BAB III LAPORAN KASUS..................................................................................................21

BAB IV PENUTUP..................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit asma berasal dari kata “ashtma” yang diambil dari Bahasa Yunani yang berarti
“sukar bernafas”. Asma adalah penyakit heterogen, yang biasanya memiliki karakteristik
inflamsi kronik saluran napas. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala pernapsan seperti
mengi, sesak nafas, dada teras berat dan batuk yang bervariasi dalam hal waktu dan intensitas,
serta variasi hambatan aliran udara ekspirasi. Keluhan maupun obstruksi saluran napas pada
asma bervariasi, dicetuskan oleh berbagai faktor seperti aktivitas, pajanan alergen/iritan,
perubahan cuaca serta infeksi virus. Gejala dan obstruksi saluran napas dapat segara berkurang
dengan obat-obatan bahkan dapat mengalami bebas serangan dalam hitungan pekan atau bulan.

Pada tahun 2009 di Amerika tercatat prevalensi asma adalah 8,2% dan mempengaruhi
24,6 juta orang (17,4 juta dewasa dan 7,1 juta anak-anak dengan rentang 0-17 tahun) tampaknya
tingkat penyebaran asma global berkisar dari 1% hingga 18% populasi di berbagai negara seperti
Wabe 18% , New Zealand 15 % (GINA, 2017). Penyakit asama, masih termasuk dalam sepuluh
besar penyakit penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Berdasarkan data Riskesdas tahun
2018 Prevalensi penderita asma di Indonesia menginjak angka 2,4%. Prevalensi asma tertinggi
terdapat di provensi Yogyakarta 4,5%, provensi Kalimantan timur menjadi provensi tertinggi ke
dua 4,1%, dan Bali menjadi provinsi tertinggi ke tiga 4,0%, diikuti oleh provinsi Kalimantan
tengah dan Kalimantan utara, prevalensi terendah adalah provensi Sumatra utara (1,0%).

Asma diklasifikasi berdasarkan derajatnya yaitu asma intermiten , asma persisten ringan,
asma persisten sedang, dan asma persisten berat. Sedangkan, asma menurut eksaserbasi yaitu
asma eksaserbasi ringan sedang, asma eksaserbasi berat, dan asma eksaserbasi mengancam jiwa.
Dalam penegakkan diagnosis asma dapat dilakukan pemeriksaan uji spirometri, uji bronkodilator
, dan ekhshalasi nitric oxide. Tatalaksana yang dapat diberikan pada penderita asma yaitu dengan
pemberian obat-obatan seperti golongan kortikosteroid inhalasi, metilsantin, bronkodilator,
antimuskarinik, agonis B2 , adrenalin , dan kombinasi ICS. Diagnosis banding pada pasien asma
yaitu PPOK, bronkitis, bronkopneumoni, cystic fibrosis dan bronchiectasis.

1
Bronkopneumonia ialah radang yang menyerang paru-paru dimana daerah konsolidasi
atau area putih pada paru-paru terdapat cairan atau seluler yang tersebar luas disekitar bronkus
dan bukan bercorak lobaris. Bronkopneumonia dapat dijumpai pada bayi dan anak dibawah usia
6 tahun. Istilah untuk Bronkopneumonia digunakan dalam menggambarkan pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam
bronki dan meluas ke parenkim paru (Smeltzer & Bare,2013).

Di Indonesia bronkopneumoni termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah


sakit dengan proporsi kasus 53,95 % laki-laki dan 46,05 % perempuan, dengan CFR (Crude
Fatality Rate ) 7,6 % palin tinggi bila dibandingkan penyakit lainya. Di Amerika rerata insidens
tahunan 6/1000 pada kelompok umur 18-39 tahun dan meningkat menjadi 34/1000 pada
kelompok umur diatas 75 tahun. Sekitar 20-40 % pasien pneumoni memerlukan perawatan
dirumah sakit. Bronkopneumoi dapat didiagnosis dengan pemeriksaan rontgen thorax , kulut &
sensitivity kuman banal, laboratorium, dan analisa gas darah. Tatalaksana yang dapat diberikan
yaitu oksigenasi, penuhi kebutuhan cairan, antibiotik, dan simptomatik.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan memahami tentang Asma
2. Mengetahui dan memahami tentang Bronkopneumoni
3. Melengkapi syarat tugas stase Paru dan syarat Kepaniteraan Klinik Senior ( KKS) di
RSUD Muhammad Natsir Solok.

1.3 Manfaat Penulisan


1. Bagi Penulis
Sebagai bahan acuan dalam mempelajari, memahami dan mengembangkan teori Asma
dan Bronkopneumoni.
2. Bagi Institut Pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan yang ada
kaitannya dengan Asma dan Bronkopneumoni
3. Bagi Masyarakat
Dapat memenuhi ilmu pengetahuan tentang Asma dan Bronkopneumoni.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma
2.1.1 Definisi Asma

Asma adalah penyakit heterogen, yang biasanya memiliki karakteristik inflamasi kronik
saluran napas. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak naps,
dada terasa berat dan batuk yang bervariasi dalam hal waktu dan intensitas, disertai variasi
hambatan aliran udara ekspirasi.

2.1.2 Epidemiologi Asma

Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang dijumpai 1-18 % populasi di berbagai
Negara maju dan berkembang asma dapat terjadi disemua umur.Sekitar 300 juta manusia
menderita asma dan diperkirakan terus meningkat 400 juta orang pada tahun 2025. Asma
menduudki 10 penyakit penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia.Dari hasil RISKESDES
2013 menyatkan bahwa asma mencapai 4,5 %,Pravelensi asma tertinggi di sulawesu tengah
(7,8%).Peningkatan teknologi dan social ekonomi mempengaruhi kualitas lingkungan.Pengaruh
gtersebut terjadi karna asap rokok dan asap kendaraan bermotor sangat mempengaruhi kesehatan
paru.Pravelensi asma di Negara maju meningkat dalam 30 tahun terakhir ini.Di singapurea 11,9
% dan Taiwan 13%.Menurtu WHO menyatakan pravelensi asma 3-5 % terjadi pada orang
dewasa dan 7-10% terjadi pada anak.WHO juga memperkirakan 100-150 juta penduudk dunia
menderita asma dan diperkirakan jumlah ini terus meningkat 180.000 orang tiap tahun.

2.1.3 Etiologi Asma

Asma dapat disebabkan oleh adanya inflamasi dan respons saluran pernafasan yang
berlebihan, ditandai dengan adanya kalor (rasa panas karena vasodilatasi), tumor (esudadi
plasma dan edema), dolor (adanya rasa sakit karena rangsangan sensori), dan fungsi laesa (fungsi
yang terganggu). Sebagai pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi (inveksi virus RSV),
iklim (perubahan suhu secara mendadak dan tekanan udara), inhalasi (bau asap, kapuk, tungau,
bulu binatang, debu, serbuk sari, sisa – sisa serangga mati uap cat), makanan (susu sapi, coklat,

3
biji – bijian, kacang tanah, putih telur, tomat), obat (aspirin), kegiatan fisik (olahraga yang terlalu
berat, tertawa terbahak – bahak, kecapaian), dan emosi (Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma,
2015).

2.1.4 Faktor Risiko Asma

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi
untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis
kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen,
sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan
dipikirkan melalui kemungkinan :

a. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma,
b. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma.

Faktor pejamu

4
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.
Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk
terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala)
dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya
gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip
perantara yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau
disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma,
dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antaralain CD28,
IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat
dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1,
ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.
Genetik mengontrol respons imun
Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen) mempunyai ciri
dalam memberikan respons imun terhadap aeroalergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada
kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I, II dan III dan lainnya seperti gen TNF-α. Banyak studi
populasi mengamati hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik dan gen HLA kelas
II dan reseptor sel T, didapatkan hubungan kuat antara HLA alel DRB1*15 dengan respons
terhadap alergen Amb av.

Genetik mengontrol sitokin proinflamasi

Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam berkembangnya atopi dan asma.
Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode
IFN-, mast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Berbagai
gen pada kromosom 5q berperan dalam progresiviti inflamasi baik pada asma maupun atopi,
yaitu gen yang mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13, dan GMCSF. Interleukin-4
sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun
merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi
IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.

5
Faktor lingkungan

Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab utama
asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan
mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau
menyebabkan menetapnya gejala.

2.1.5 Klasifikasi Asma

6
Terdapat jenis-jenis asma menurut Smeltzer & Bare (2002) yaitu:

a. Asma alergik
Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan dan jamur.
Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat musiman, biasanya pasien juga memiliki
riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis eczema atau rhinitis alergik. Pajanan
terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak dengan asma alergik sering dapat mengatasi
kondisi sampai masa remaja.
b. Asma idiopatik atau nonalergik
Jenis asma ini tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor seperti common cold,
infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat mencetuskan
serangan. Selain itu beberapa agen farmakologi juga dapat menjadi faktor seperti aspirin dan
agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adrenergik dan pengawet
makanan. Serangan pada asma ini menjadi lebih berat dan sering, kemudian dapat
berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema.
c. Asma gabungan
Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik dari bentuk
alergik maupun idiopatik/nonalergik.

Dalam Pedoman Pengendalian Penyakit Asma oleh Depkes RI (2009) dijelaskan


klasifikasi derajat asma sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Secara Umum Derajat Asma

Intermiten Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat


Gejala Bulanan: Setiap pecan : Harian: Terus-menerus:
- <1x - >1x - Setiap hari - Terus-
sepekan sepekan - Butuh menerus
- Gejala (-) - <1x/hari bronkodilat - Sering
di luar - Serangan or tiap hari kambuh
serangan menggangg - Serangan - Aktivitas
- Serangan u aktivitas menggangg fisis

7
singkat dan tidur u aktivitas terbatas
dan tidur
Malam ≤2x/bulan >2x/bulan >1x sepekan sering
VEP1 ≥80% prediksi ≥80% prediksi 60-80% prediksi ≤60% prediksi
APE ≥80% terbaik ≥80% terbaik 60-80% terbaik ≤60% terbaik
Variabilit <20% 20-30% >30% >30%
as

Menurut Francis (2008), asma akut dapat diklarifikasikan kedalam tiga kelompok sebagai
berikut:

1) Ringan sampai sedang: mengi atau batuk tanpa distress berat, dapat berbicara atau mengobrol
secara normal, nilai aliran pendek lebih dari 50% nilai terbaik.

2) Sedang sampai berat: mengi atau batuk dengan distress, berbicara dalam kalimat atau frasa
pendek, nilai aliran puncak kurang dari 50% dan beberapa derajat saturasi oksigen jika diukur
dengan oksimetri nadi. Didapatkan nilai saturasi 90% - 95% jika diukur dengan oksimetri nadi
perifer.

3) Berat, mengancam nyawa: Distress pernapasan berat, kesulitan berbicara, sianosis, lelah dan
bingung, usaha respirasi buruk, sedikit mengi (silent chest) dan suara napas lemah, takipnea,
bradikardi, hipotensi, aliran puncak kurang dari 30% angka prediksi atau angka terbaik, saturasi
oksigen kurang dari 90%. Jika diukur dengan oksimetri perifer.

GINA (2012) mengklasifikasikan asma berdasarkan tingkat kontrol asma menjadi asma
terkontrol, asma terkontrol parsial atau sebagian, dan asma tidak terkontrol.

Tabel 2.2 Level of Astma Control

8
Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak terkontrol
Gejala harian Tidak >2x/minggu ≥3 kriteria asma
ada/≤2x/minggu terkontrol sebagian
Keterbatasan Tidak ada Ada
aktivitas
Gejala malam Tidak ada Ada
/awaking
Kebutuhan akan Tidak ada >2x/minggu
reliever/rescue /≤2x/minggu
inhaler
Fungsi paru (PEF Normal <80% prediksi atau
atau FEV1)* nilai terbaik individu
(jika tahu)
*Tanpa penggunaan bronkodilator. Pada anak usia < 5 tahun, pemeriksaan fungsi paru tidak dianjurkan
Diadaptasi dari: The Global Initiative for Asthma (GINA). 2012 Update of the GINA Report, Global
Strategy for Asthma Management and Prevention. http://ginatshma.com. Diakses pada 26 Oktober 2019.

2.1.6 Patofisologi Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dengan berbagai sel dan elemen seluler
yang berperan. Inflamasi kronik dihubungkan dengan hiperesponsif saluran napas yang
mengakibatkan episode berulang mengi, dada sesak, napas pendek dan batuk, khususnya saat
malam atau dini hari. Gejala asma bervariasi, multifaktor dan secara potensial berhubungan
dengan inflamasi bronkus. Bukti bahwa inflamasi merupakan komponen asma adalah
ditemukannya inflitrasi eosinofil, neutrofil, degranulasi sel mast, penebalan membran sub-basal,
hilangnya integritas sel epitel, sumbatan lumen bronkus oleh mukus dan hiperplasia sel goblet
pada otopsi yang dilakukan pada pasien asma.

Sel-sel inflamasi yang berperan terutama sel eosinofil dan sel mast, selain itu sel neutrofil
dan limfosit T juga memegang peranan pada proses inflamasi. Sebagian besar pasien asma
menunjukkan gejala atopi dan sebagian kecil tidak. Respons inflamasi pada pasien asma
bervariasi antar individu, baik itu respons inflamasi cepat atau lambat. Degranulasi sel mast pada

9
saluran napas merupakan respons cepat dengan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan
berbagai metabolit yang langsung menyebabkan hiperesponsif otot polos sehingga terjadi
obstruksi dalam waktu 15–30 menit dan menghilang dalam waktu 2–3 jam. Respons asma yang
ditandai dengan bronkokonstriksi terjadi setelah terinhalasi alergen 3–4 jam dan dapat
berlangsung hingga 24 jam.

Peningkatan sel-sel inflamasi (terutama sel eosinofil, sel mast dan limfosit) yang
dihubungkan dengan respon tipe lambat akan melepaskan berbagai mediator termasuk
leukotrien, prostaglandin dan sejumlah sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor alpha
(TNF-α), interleukin (IL)-3, IL-4 dari sel mast; TNF-α, granulocyte macrophage-colony
stimulating factor (GM-CSF), IL-3, IL-5, dari eosinofil; Il-1, TNF-α, GM-CSF, interferon (IFN)-
γ dari makrofag serta IL-6, Il-8, GM-CSF, TNF-α, platelet derived growth factor (PDGF) dari sel
epitel saluran.

Keterbatasan aliran udara pada asma bersifat recurrent dan disebabkan oleh berbagai
perubahan dalam jalan napas,meliputi:

a. bronkokonstriksi

10
b. edema jalan napas

c. Airway hyperresponsiveness

d. Airway remodeling

2.1.7 Diagnosis Asma


1. Gejala

Penegakan diagnosis asma dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik gejala


respirasi seperti mengi, sesak, dada terasa berat atau batuk dan hambatan aliran udara yang
bervariasi. Pola gejala yang dialami oleh pasien perlu digali lebih dalam karena gejala tersebut
juga dapat disebabkan ole gangguan saluran napas lain. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara
lain adalah saat pasien mengalami gejala tersebut untuk pertama kalinya, apakah gejala tersebut
membaik secara spontan atau dengan pengobatan, atau bila pasien sudah terdiagnosis asma
sebelumnya (perlu ditanyakan kapan pasien' mulai menggunakan terapi pengontrol).

Gejala-gejala berikut merupakan karakteristik asma, antara lain :

 Lebih dari 1 gejala (mengi, sesak, batuk dan dada terasa berat) terutama pada orang
dewasa
 Gejala umumnya lebih berat pada malam atau awal pagi hari

11
 Gejala bervariasi menurut waktu dan intensitas
 Gejala dicetuskan oleh infeksi virus (flu), aktivitas fisis, pajanan alergen, perubahan
cuaca, emosi, serta iritan seperti asap rokok atau bau yang menyengat

Gejala-gejala yang dapat mengurangi kecurigaan terhadap asma antara lain adalah:

 Batuk tapa disertai gejala pernapasan lainnya


 Produksi sputum kronik
 Sesak berhubungan dengan rasa kantuk, kepala terasa ringan atau kesemutan
 Nyeri dada
 Inspirasi dengan suara napas yang cukup keras dan dipicu oleh aktivitas fisis

Gejala pernapasan pada asma seringkali dimulai seiak masa kanak-kanak. Ada riwayat rinitis
alergi atau eksim kulit atau riwayat asma maupun alergi dalam keluarga meningkatkan
kemungkinan terjadinya gejala pernapasan terkait dengan asma. Walaupun demikian, kondisi
tersebut tidak spesifik untuk asma dan belum tentu ditemukan pada semua fenotip asma. Pasien
dengan rinitis alergi atau dermatitis atopik sebaiknya ditanyakan lebih lanjut mengenai ada
tidaknya gejala pernapasan.

2. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis pada pasien asma seringkali normal. Hal yang sering ditemukan adalah
mengi saat ekspirasi, tetapi seringkali hanya terdengar pada ekspirasi paksa. Mengi ini juga
terkadang tidak terdengar pada kondisi asma eksaserbasi berat diakibatkan penurunan aliran
udara yang cukup bermakna (silent chest). Mengi juga dapat ditemukan pada kondisi kelainan
saluran napas atas, PPOK, infeksi saluran napas, trakeomalasia atau inhalasi benda asing.

3. Pemeriksaan Penunjang

Asma ditandai dengan hambatan aliran udara ekspirasi yang bervariasi sepanjang waktu.
Pada waktu yang berbeda, fungsi paru dapat normal sampai obstruksi berat. Fungsi paru pasien
asma yang tidak terkontrol seringkali variabilitasnya lebih tinggi dari pasien asma yang
terkontrol. Pemeriksaan fungsi paru harus dilakukan oleh petugas yang kompeten dan alat yang
terkalibrasi Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP) pada pemeriksaan spirometri lebih baik

12
dibandingkan arus puncak ekspirasi (APE). Jika sudah Ix menggunakan parameter APE sebagai
pengukuran, maka pemantauan selanjutnya sebaiknya tetap menggunakan parameter yang sama.
Penurunan VEP juga dapat ditemukan pada kondisi penyakit paru lain atau manuver spirometri
yang salah. Penurunan rasio VEP/KVP mengindikasikan ada hambatan aliran udara. Nilai rasio
normal VEP/KVP adalah >75%, bila nilai kurang dari 75% menandakan ada obstruksi. Bila
gangguan obstruksi ditemukan, variasi hambatan aliran udara dapat diketahui dari variasi VEP,
atau APE. Variabilitas adalah perbaikan dan/atau perburukan gejala maupun fungsi paru yang
dapat diidentifikasi, baik dalam satu hari yang sama, dalam beberapa kali kunjungan atau melalui
pemeriksaan reversibilitas. Reversibilitas dapat dilihat dari perbaikan VEP: yang diukur setelah
pemberian bronkodilator kerja cepat maupun observasi perbaikan kondisi beberapa hari atau
beberapa pekan setelah pemberian terapi pengontrol.

Pada pasien dengan gejala respirasi yang spesifik, variabilitas fungsi paru merupakan
komponen penting diagnosis asma. Contoh spesifik adalah:

 Peningkatan fungsi paru setelah pemberian bronkodilator atau setelah percobaan terapi
pengontrol
 Penurunan fungsi paru setelah latihan atau selama uji provokasi bronkus
 Variasi penurunan fungsi paru di atas normal ketika diulang sewaktu-waktu baik pada
kunjungan yang berbeda atau pemantauan di rumah setidaknya 1-2 pekan.

Terdapat tumpang tindih antara reversibilitas bronkodilator dan pengukuran lain dari
variasi antara sehat dan penyakit. Pada pasien dengan gejala respirasi, variasi lebih besar pada
fungsi paru lebih mendukung diagnosis asma. Umumnya pada dewasa dengan gejala respirasi
khas asma, peningkatan atau penurunan VEP 12% dan >200 ml dari nilai dasar atau (jika
spirometri tidak tersedia) perubahan APE sedikitnya 20% dapat menunjang diagnosis asme.

Uji Provokasi Bronkus

Variabilitas hambatan aliran udara ekspirasi merupakan kunci penegakan diagnosis asma.
Uji provokasi bronkus dan penilaian respons saluran napas dapat dilakukan bila penilaian awal
tidak menunjukkan ada hambatan aliran udara. Hal ini sering dilakukan dengan menggunakan
inhalasi metakolin, histamin, latihan, hiperventilasi volunter cukapnik atau inhalasi munitol. Uji
ini memiliki sensitivitas sedang untuk diagnosis asma tapi memiliki keterbatasan spesifisitas,

13
misalnya hipereaktivitas bronkus terhadap metakolin telah ditemukan pada pasien rinitis alergi,
fibrosis kistik, bronchopulmonary dysplasia dan PPOK. Hal ini berarti bahwa hasil uji negatif
pada pasien yang tidak mendapatkan inhalasi kortikosteroid dapat membantu mengeksklusi
asma, namun hasil uji positif tidak selalu berarti pasien memiliki asma.

Uji Alergi

Atopi akan meningkatkan probabilitas pasien memiliki gejala pernapasan seperti asma
alergi, tetapi hal ini tidak spesifik untuk asma dan tidak juga muncul pada semua fenotip asma.
Status atopi dapat diidentifikasikan oleh skin prick test dengan alergen lingkungan yang umum.
Uji ini mudah, cepat dan tidak mahal, serta memiliki sensitivitas yang tinggi. Pengukuran IgE
tidak lebih meyakinkan dari uji kulit dan lebih mahal, tapi lebih dipilih pada pasien yang sulit
bekerja sama, pasien dengan penyakit kulit luas atau dengan riwayat anafilaksis. Uji kulit yang
positif atau IgE serum, tidak berarti bahwa alergen tersebut menyebabkan munculnya gejala.
Hubungan antara pajanan alergen dengan gejala harus dikonfirmasi dengan riwayat pasien

Ekshalasi Nitric oxide

Konsentrasi fraksional ekshalasi nitric oxide (FENO) meningkat pada asma eosinofilik,
selain itu juga meningkat pada kondisi selain asma (misalnya bronkitis eosinofilik, atopi dan
rinitis alergi) dan belum ditetapkan memiliki manfaat untuk mendiagnosis asma. Nilai FENO
menurun pada perokok dan saat bronkokonstriksi. Pada infeksi virus nilai FENO dapat
meningkat atau menurun. Pada pasien (terutama perokok) dengan gejala respirasi nonspesifik,
temuan FENO>50 part per billion (ppb) berkaitan dengan respons jangka pendek terhadap
inhalasi kortikosteroid (ICS) yang baik. Tidak terdapat studi jangka panjang untuk menilai
keamanan mengurangi ICS pada pasien dengan FENO awal yang rendah. Karena itu, FENO
tidak direkomendasikan saat ini untuk menentukan apakah memberikan terapi ICS pada pasien
diduga asma.

Diagnosis asma berdasarkan :

14
1. Anamnesis:

Gejala utama: sesak napas, batuk, rasa tertekan di dada, mengi yang bersifat episodik dan
bervariasi.

Gejala tambahan: rinitis atau atopi lainnya

2. Pemeriksaan fisis:

Normal sampai ada tanda obstruksi: ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi (sela iga melebar,
dada cembung, hipersoner dan suara napas melemnali)

3 Pemeriksaan Penunjang Dasar: foto toraks normal/biperinflasi

Arus puncak ekspirasi (APE): menurun, dengan pemberian bronkodilator (inhalasi salbutamol
400 mcg atau 2 x 2 semprot) meningkat≥ 20%

Spirometri: VEP/KVP < 75%, dengan pemberian bronkocilator meningkat 12% dan 200 ml.

Penunjang lain:

 Variasi diurnal dengan APE 2 20%


 Eosinofil total > 300 (4%) Uji provokasi bronkus (metakolin/histamin)
 Uji kulit (Skin Prick Test)
 FeNo

2.1.8 Tatalaksana Asma

Hingga saat ini, terapi asma tetap berdasarkan protokol pengobatan yang diterbitkan oleh

GINA. Terapi asma tersebut terdiri dari reliever dan controller. Tujuan jangka panjang
tatalaksana asma adalah untuk mencapai kontrol gejala yang baik dan mempertahankan aktivitas
hidup yang normal serta untuk meminimalisir risiko eksaserbasi, penghambatan jalan nafas, dan
efek samping.

15
Obat-obatan yang tersedia untuk terapi asma dibagi menjadi pengobatan kontrol jangka
panjang atau controller dan pengobatan kerja cepat atau reliever berdasarkan farmakodinamik
dan efek klinisnya. Controller adalah terapi yang diberikan untuk menurunkan inflamasi saluran
nafas kronik, kontrol gejala, dan menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru.
Reliever adalah terapi yang diberikan ketika timbul perburukan gejala.

Terapi controller adalah terapi untuk mencapai kontrol gejala asma yang baik,
mempertahankan aktivitas normal, dan meminimalisir terjadinya eksaserbasi. Terapi ini
digunakan secara reguler. Obat controller ini terdiri dari kortikosteroid inhalasi, long-acting β2
agonist (LABA), leukotriene receptor antagonist (LTRA), methylxanthin, long-acting muscarinic
antagonist (LAMA), dan anti-IgE.

1. Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid inhalasi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk semua pasien
asma Terapi ini sebaiknya segera dimulai pada pasien yang membutuhkan inhaler agonis β2
untuk kontrol gejala. Untuk sebagian besar pasien, ICS sebaiknya diberikan dua kali sehari.

Dosis kortikosteroid inhalasi seharusnya merupakan dosis yang minimal untuk


mengontrol asma. Dosis ICS dibagi menjadi dosis rendah, sedang, dan tinggi. Prednison dan
prednisolon merupakan steroid oral yang sering digunakan. Perbaikan klinis dengan steroid oral

16
membutuhkan beberapa hari. Biasanya efek maksimal dicapai dengan dosis 30- 40 mg prednison
per hari. Dosis pemeliharaan yang sering digunakan adalah 10-15 mg per hari. Agonis β2 juga
memperkuat aksi reseptor glukokortikoid, menyebabkan peningkatan translokasi nuklear
reseptor glukokortikoid dan memperkuat ikatan reseptor glukokortikoid pada DNA. Hal ini
menyimpulkan bahwa agonis β2 dan kortikosteroid memperkuat efek satu sama lain dalam terapi
asma. Kortikosteroid inhalasi memiliki efek samping lokal karena deposisi steroid inhalasi pada
orofaring. Masalah yang sering ditemukan adalah suara serak dan disfonia akibat atrofi plika
vokalis karena deposisi steroid pada laring. Iritasi kerongkongan dan batuk setelah inhalasi
sering terjadi pada pemakaian MDI.

2. Long Acting B 2 Agonis ( LABA )

Agonis β2 inhalasi merupakan pilihan bronkodilator pada asma karena obat ini
merupakan bronkodilator paling efektif dan memiliki efek samping yang minimal jika digunakan
dengan tepat. Pengobatan β2 selektif inhalasi memiliki durasi aksi 3-6 jam. Agonis β2 agonis
kerja panjang inhalasi/ long-acting β2 agonist (LABA), seperti salmeterol dan formoterol,
memiliki durasi kerja yang lebih panjang sehingga efek bronkodilatasi dan bronkoproteksi
bertahan lebih dari 12 jam. Okupasi reseptor β2 oleh agonis menyebabkan aktivasi jalur Gs-
adenylyl-cyclase-cAMP-PKA, menghasilkan relaksasi otot polos bronkus. Agonis β
menyebabkan bronkodilatasi dengan secara langsung merangsang reseptor β2 pada otot polos
jalan nafas. Secara in vivo, terjadi penurunan resistensi jalan nafas yang cepat. Agonis β2 bisa
menyebabkan bronkodilatasi secara in vivo tidak hanya melalui aksi langsung pada otot polos
jalan nafas, namun juga secara tidak langsung dengan menghambat pelepasan mediator dari sel
inflamasi dan neurotransmiter bronkokonstriktor dari persarafan jalan nafas. Agonis β2 kerja
panjang inhalasi (LABA), seperti salmeterol, formoterol, dan arformoterol telah terbukti
memiliki efek yang baik pada asma. Obat ini memiliki aksi bronkodilator lebih dari 12 jam.
Pengobatan ini meningkatkan kontrol asma dengan pemberian dua kali sehari. Dosis yang
dianjurkan adalah fluticasone 100mcg, 250mcg, 500mcg/ salmeterol 50mcg atau budenoside
80mcg, 160mcg/ formoterol 4,5mcg. Efek samping jarang ditemukan pada pemberian dengan
inhalasi, namun sering pada pemberian dengan oral atau intravena. Takikardia dan palpitasi
disebabkan oleh rangsangan refleks kardiak sekunder terhadap vasodilatasi perifer, dari
rangsangan langsung reseptor β2 atrium dan kemungkinan juga berasal dari perangsangan

17
reseptor β1 miokardial. Hipokalemia, merupakan efek samping yang serius, disebabkan oleh
perangsangan reseptor β2 untuk memasukkan kalium ke dalam otot rangka

3. Leukotriene receptor antagonist (LTRA)

Terdapat bukti bahwa cysteinyl-leukotriene (LT) diproduksi pada asma dan memiliki
efek yang poten terhadap fungsi jalan nafas, termasuk bronkokonstriksi, AHR, eksudasi plasma,
sekresi mukus, dan inflamasi eosinofilik. Data ini juga mendukung bahwa dengan menghambat
jalur leukotrien dengan leukotriene modifier akan bermanfaat pada terapi asma, menyebabkan
pembentukan 5'-lipoxygenase enzyme inhibitor dan beberapa antagonis reseptor cys-LT1. Pada
pasien dengan asma, anti-leukotrien menyebabkan peningkatan yang signifikan pada fungsi paru
dan gejala asma, dengan penurunan penggunaan agonis β2 kerja pendek. Namun, anti- leukotrien
masih kurang efektif jika dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi dan tidak bisa
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Anti-leukotrien diindikasikan sebagai terapi
tambahan pada pasien yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi. Keuntungan
penambahannya kecil, ekivalen dengan pelipatgandaan dosis kortikosteroid inhalasi, dan kurang
efektif dibandingkan dengan penambahan dengan LABA

4. Methylxanthin

Teofilin menjadi lebih bermanfaat dengan availabilitas plasma cepat dan lepas lambat.
Namun, seringnya terjadi efek samping dan efikasi yang relatif rendah dari teofilin menyebabkan
penurunan penggunaan obat ini karena agonis β2 didapatkan lebih efektif sebagai bronkodilator
dan kortikosteroid inhalasi lebih efektif sebagai antiinflamasi. Dosis yang dianjurkan adalah
10mg/kg berat badan/hari. Untuk terapi jangka panjang, pemberian dua kali sehari dengan dosis
8mg/kg/kali disarankan. Penelitian terbaru menunjukkan, pemberian satu kali teofilin oral
memberikan efektivitas yang lebih baik. Terdapat hubungan yang erat antara peningkatan fungsi
jalan nafas dengan konsentrasi teofilin serum. Di bawah 10 mg/L, efek terapeutik dianggap kecil,
di atas 20 mg/L kegunaan teofilin meningkat disertai dengan peningkatan efek samping,
sehingga dosis terapeutik dari teofilin adalah 10-20 mg/L. Bahkan di dalam kisaran itu, toksisitas
obat masih ditemukan sehingga membuat teofilin menjadi pengobatan yang susah digunakan.
Dosis teofilin bervariasi pada pasien yang berbeda karena perbedaan dalam klirens obat.

18
Efek samping yang paling sering dari teofilin adalah sakit kepala, mual, dan muntah yang
disebabkan oleh inhibisi PDE4. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, teofilin menyebabkan aritmia
jantung dan kejang. Penggunaan dosis rendah teofilin, dengan target konsentrasi plasma 5-10
mg/L, mencegah efek samping dan interaksi obat serta menurunkan kepentingan untuk
memeriksa ulang konsentrasi plasma

5. Long-acting muscarinic antagonist (LAMA)

Agen ini bersifat antagonis kompetitif ikatan asetilkolin dengan reseptor kolinergik
muskarinik. Obat ini akan menghambat efek asetilkolin endogen pada reseptor muskarinik,
termasuk efek konstriksi langsung pada otot polos bronkus. Rangsangan pada reseptor tersebut
akan mengaktivasi parasimpatis yang menyebabkan bronkokonstriksi. Efek asetilkolin pada
sistem respirasi tidak hanya bronkokonstriksi, namun juga meningkatkan sekresi trakeobronkial
dan merangsang kemoreseptor pada badan karotid dan aorta

Tiotropium bromida merupakan antikolinergik jangka panjang yang bisa diberikan


dengan dosis 18mcg satu kali sehari dengan DPI. Tiotropium berikatan dengan semua subtipe
reseptor muskarinik.

Antikolinergik inhalasi secara umum diterima dengan baik. Efek samping yang signifikan
adalah rasa tidak enak di lidah yang dapat mempengaruhi kepatuhan berobat. Tiotropium
bromida menyebabkan rasa kering pada mulut pada 10-15% pasien, namun biasanya menghilang
ketika pengobatan dilanjutkan

6. Anti-IgE

Peningkatan IgE spesifik merupakan gambaran fundamental pada asma alergi.


Omalizumab merupakan antibodi monoklonal yang menghambat ikatan IgE terhadap reseptor
IgE berafinitas tinggi pada sel mast dan kemudian menghambat aktivasinya oleh alergen. Terapi
ini juga menghambat ikatan IgE dengan reseptor IgE berafinitas rendah pada sel inflamasi yang
lain, seperti limfosit T dan B, makrofag, dan eosinofil, untuk menghambat inflamasi kronik.
Omalizumab juga menurunkan kadar IgE dalam sirkulasi. Omalizumab digunakan untuk terapi
pasien dengan asma berat. Antibodi diberikan secara injeksi subkutan dengan dosis 150-375 mg

19
setiap 2-4 minggu, dan dosisnya ditentukan oleh kadar IgE sirkulasi. Omalizumab menurunkan
kebutuhan kortikosteroid oral dan inhalasi dan menurunkan kejadian eksaserbasi. Namun, karena
biayanya yang mahal, terapi ini digunakan untuk pasien dengan asma berat yang tidak terkontrol
dengan kortikosteroid. Efek samping utam dari omalizumab adalah anafilaktik, yang kejadiannya
sangat jarang (<0,1%)

2.2 Bronkopneumonia

2.2.1 Definisi Bronkopneumonia

Bronkopneumoni adalah peradangan pada paru dimana proses perdangan ini menyebar
membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi dialveoli paru dan dapat pula melibatkan
bronkus terminal.

2.2.2 Epidemiologi Bronkopneumoni

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di
negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh
dunia, lebih kurang 2 juta anak meninggal setiap tahunnya akibat pneumonia.
Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi, 22,8% kematian
balita di indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia. Insiden
penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di b a w a h u m u r 5
t a h u n d e n g a n r e s i k o kematian yang tinggi, s edangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2
tahun(Bradley et.al.,2011)

2.2.3 Etiologi Bronkopneumonia

Secara umum bronkopneumonia diakibatkan penurunan mekanisme pertahanan tubuh


terhadap virulensi organisme pathogen. Orang normal dan sehat mempunyai mekanisme

20
pertahanan tubuh di organ pernapasan seperti refleks glottis dan batuk, adanya lapisan mucus,
Gerakan silia, dan sekresi humoral setempat.

a. Bakteri
Bakteri yang menyebabkan terjadinya bronchopneumonia adalah: streptococcus
pneumonia, streptococcus aerous, streptococcus pyogenesis, haemophilus influenza, klebsiella
pneumonia, pseudomonas aeruginosa.
b. Virus
Virus yang menyebabkan terjadinya bronchopneumonia adalah virus influenza yang
menyebar melalui transmisi droplet. Penyebab utama pneumonia virus adalah Cytomegalo virus.
c. Jamur
Jamur yang menyebakan terjadinya infeksi adalah histoplasmosis yang menyebar melalui
penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah,
dan kompos.

2.2.4 Faktor Risiko Bronopneumonia

Faktor risiko untuk pneumonia telah diidentifikasi secara rinci, yaitu faktor yang
meningkatkan terjadinya morbiditas pneumonia dan faktor yang meningkatkan terjadinya
kematian pada pneumonia.
1) Faktor risiko yang meningkatkan insiden pneumonia
a) Umur kurang dari 2 bulan
Bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang masih rendah dibanding
orang dewasa, sehingga balita masuk ke dalam kelompok yang rawan terhadap infeksi seperti
influenza dan pneumonia. Anak-anak berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit
pneumonia dibanding anak-anak berusia di atas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum
sempurna dan saluran pernapasan yang relatif sempit.
b) Jenis Kelamin
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Susi Hartati, dkk (2011) didapatkan hasil bahwa
balita berjenis kelamin laki-laki berpeluang 1,24 kali untuk mengalami pneumonia dibanding
balita berjenis kelamin perempuan. Hal ini disebabkan diameter saluran pernapasan anak laki-

21
laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan
tubuh anak laki-laki dan perempuan.
c) Berat badan
Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah, pembentukan zat anti kekebalan kurang
sempurna, pertumbuhan dan maturasi organ dan alat-alat tubuh belum sempurna akibatnya bayi
dengan berat berat lahir rendah lebih mudah mendapatkan komplikasi dan infeksi, terutama
pneumonia dan penyakit pernafasan lainnya.
d) Tidak mendapat ASI memadai
Menurut penelitian Susi Hartati, dkk (2011) mengatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian pneumonia. Pada balita yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif mempunyai peluang mengalami pneumonia 4,47 kali dibandingkan
dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif.

e) Polusi udara

Polusi yang dimaksudkan disini adalah polusi yang terjadi dalam ruangan yang
disebabkan penggunaan bahan bakar yang tidak aman (minyak tanah, kayu bakar, arang,batu
bara) dan kebiasaan merokok.
f) Kepadatan tempat tinggal (kepadatan hunian kamar)
Berdasarkan KepMenkes RI No. 829 Tahun 1999 tentang kesehatan perumahan
menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 m 2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua
orang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Kepadatan di dalam kamar terutama kamar
balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh
pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pemanasan
tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat
udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka
kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan karbon dioksida dan dampak
peningkatan karbon dioksida dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.
g) Imunisasi yang tidak memadai
Beberapa imunisasi yang dianggap dapat mengurangi angka kejadian pneumonia adalah
imunisasi campak dan DPT. Balita yang telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan
terhindar dari penyakit campak dan pneumonia merupakan komplikasi yang paling sering terjadi

22
pada anak yang mengalami penyakit campak. Oleh karena itu, imunisasi campak sangat penting
membantu mencegah terjadinya penyakit pneumonia. Imunisasi DPT dapat mencegah terjadi
penyakit difteri, pertusis, dan tetanus.
Menurut UNICEF- WHO (2006) pemberian imunisasi dapat mencegah infeksi yang
dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi penyakit pertusis ini. Pertusis dapat diderita
oleh semua orang tetapi penyakit ini lebih serius bila terjadi pada bayi. Oleh karena pemberian
imunisasi DPT sangatlah tepat untuk mencegah anak terhindar dari penyakit pneumonia. WHO
telah merekomendasikan dimasukkannya PCV (pneumococcal conjugate vaccines) dalam
program imunisasi masa kanak-kanak di seluruh dunia. Secara khusus, negara-negara dengan
angka kematian anak yang tinggi (yaitu di bawah 5 angka kematian> 50 kematian / 1000
kelahiran) harus membuat pengenalan PCV multikomponen ini prioritas tinggi. Di banyak
negara, penggunaan rutin vaksin konjugat pneumokokus telah secara dramatis mengurangi
insiden penyakit serius karena organisme dengan hilangnya penyakit secara virtual karena
serotipe organisme dalam vaksin yang digunakan.
h) Defisiensi vitamin A
Vitamin A atau retinol terlibat dalam pembentukan, produksi, dan pertumbuhan sel darah
merah, sel limfosit, antibodi juga integritas sel epitel pelapis tubuh.Vitamin A juga dapat
mencegah rabun senja, xeroftalmia, kerusakan kornea dan kebutaan serta mencegah anemia pada
ibu nifas. Kekurangan vitamin A dapat meningkatkan risiko anak rentan terkena penyakit infeksi
seperti infeksi saluran pernafasan atas, campak dan diare.

2) Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia

a) Umur kurang dari 2 bulan

Bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang masih rendah dibanding
orang dewasa, sehingga balita masuk ke dalam kelompok yang rawan terhadap infeksi seperti
influenza dan pneumonia. Anak-anak berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit
pneumonia dibanding anak-anak berusia di atas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum
sempurna dan saluran pernapasan yang relatif sempit.

b) Tingkat sosial ekonomi rendah

23
Menurut penelitian Athena Anwar, Ika Dharmayanti (2014) risiko pneumonia balita pada
rumah tangga dengan ekonomi rendah lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat ekonomi tinggi
(OR= 1,19). Hal ini dikarenakan rumah tangga dengan status ekonomi yang tinggi dapat
memiliki kemampuan lebih baik dalam pemenuhan kebutuhannya, termasuk pemeliharaan
kesehatan (meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan).

c) Gizi kurang

Kekurangan gizi pada awal kehidupan berdampak serius terhadap kualitas sumber daya
manusia di masa depan. Hal ini dikarenakan kurang gizi akan menyebabkan kegagalan
pertumbuhan, berat badan lahir rendah (BBLR), kecil, pendek, kurus, serta daya tahan tubuh
yang rendah.

d) Berat badan lahir rendah

Bayi dengan berat lahir rendah pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna,
pertumbuhan dan maturasi organ dan alat-alat tubuh belum sempurna akibatnya bayi dengan
berat berat lahir rendah lebih mudah mendapatkan komplikasi dan infeksi, terutama pneumonia
dan penyakit pernafasan lainnya.

e) Tingkat pendidikan ibu yang rendah

Ibu yang berpendidikan lebih tinggi diharapkan mempunyai informasi dan wawasan yang
lebih baik termasuk dalam pemecahan masalah kesehatan.

f) Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah

g) Kepadatan tempat tinggal

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan
meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan
meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pemanasan tersebut. Dengan demikian, semakin
banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami
pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan
menurun dan diikuti oleh peningkatan karbon dioksida dan dampak peningkatan karbon dioksida
dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.

24
h) Imunisasi yang tidak memadai

Bayi yang tidak mendapatkan imunisasi yang memadai terutama imunisasi campak dan
DPT, akan lebih mudah terkena pneumonia yang merupakan komplikasi dari penyakit campak
dan pertusi.

2.2.5 Klasifikasi Bronkopneumonia

Klasifikasi pneumonia secara garis besar dapat dibagi :

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis


a. Pneumonia komuniti (Community Acquired Pneumonia = CAP)
b. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia)
c. Pneumonia Aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised

2. Berdasarkan penyebab
a. Pneumonia tipikal: dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang orang yang peka, misalnya Klabsiella pada penderita alkoholik, Staphylococcus
pada penderita pasca influenza.
b. Pneumonia Atipikal : Mycoplasma pneumonia, Legionella pneumophila, Chlamydia
pneumoniae

25
c. Pneumonia Virus
Virus yang sering menyebabkan pneumonia adalah:
- Virus Influenza (H5Nl, HlNl, H7N9, H3N2 dan lain lain)
- Virus Para Influenza
- Respiratory Synctitial Virus (RSV)
- Virus corona:
Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MEP.S CoV), Severe Acute Resp iratory
Sy ndrome (SARS), Covid-19
d. Pneumonia Jamur: seringnya merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada pasien
Immunocompromised. Contoh jamur yang biasanya menginfeksi: Histoplasma capsulatum,
Crytococcus neofarmans, Blastomyces dermatitis, Coccidioides immitis, Aspergillus
species, Candida albicans
e. Pneumonia aspirasi: makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda asing

3. Berdasarkan predileksi lokasi / luasnya infeksi:

a. Pneumonia Lobaris: Seringnya pada pneumonia bacterial. Terjadi pada minimal 1 lobus
atau segmen paru.

b. Bronkopneumonia: Ditandai dengan bercak-bercak infiltrate pada lapangan paru. Dapat


disebabkan oleh bakteri atau virus. Sering pada bayi dan orang tua.

c. Pneumonia Interstitialis: mengenai bagian dinding alveolus/intersisium

2.2.6 Patofisiologi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh


bakteri, virus, jamur ataupun benda asing Suhu tubuh meningkat sampai 39-40 C dan dapat
disertai kejang karena demam yang sangat tinggi. Anak yang mengalami bronkopneumonia
sangat gelisah, dipsnea, pernafasan cepat, dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung, serta
sianosis disekitar hidung dan mulut, merintih dan sianosis . Bakteri yang masuk ke paru-paru
menuju ke bronkioli dan alveoli melalui saluran napas yang menimbulkan reaksi peradangan
hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial

26
(Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta
relative sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Apabila proses konsolidasi
tidak dapat berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus
maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan. Perubahan tersebut akan berdampak
pada pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa oleh darah. Sehingga berakibat pada hipoksia
dan kerja jantung meningkat akibat saturasi oksigen yang menurun dan hiperkapnia. Penurunan
itu yang secara klinis menyebabkan penderita mengalami pucat sampai sianosis.

2.2.7 Diagnosis Bronkopneumonia

Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan


fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang diagnosis pasti pneumonia ditegakkan jika pada foto
toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah
ini:

a. Batuk-batuk bertambah

b. Perubahan karakteristik dahak/purulen

c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam

d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki

e. Leukosit > 10.000 atau < 4500

Pemeriksaan Fisik

 Inspeksi : Satatis : hemitorax kanan dan kiri simetris


Dinamis : pergerakan hemitorak yang sakit tertinggal
 Palpasi : fremitus meningkat pada paru yang sakit
 Perkusi : redup pada daerah yang sakit
 Asukultasi : suara napas bronkovesikuker/bronkial, ronkhi (+), wheezing (-) , ekspirasi
memanjang (-)

Pemeriksaan penunjang

1. Radiologi

27
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan
intertisial serta gambaran kavitas.

2. Laboratorium

Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit


polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula ditemukanleukopenia. Hitung
jenis menunjukkan shift to the left, dan LED meningkat.

3. Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah untuk mengetahui
adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.

4. Analisa Gas Darah

Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan parsial
karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut menunjukkan asidosis respiratorik.

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia dapat dilakukan dengan menggunakan


sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia.

1. Skor CURB-65

2. Pneumoni Severity Index (PSI)

28
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) merekomendasikan jika menggunakan PSI
kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia adalah :

- Skor PSI lebih dari 70


- Bila skor PSI kurang dari 70, pasien tetap perlu rawat inap bila dijumpai salah satu kriteria
dibawah ini :
 Frekuensi napas >30 kali/menit
 PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
 Foto thorax menunjukkan infiltrat multilobus
 Tekanan sistolik <90 mmHg
 Tekanan diastolik <60 mmHg
- Pneumonia pada pengguna NAPZA
Derajat skor risko PSI

29
Menurut IDSA/ATS 2007 kriteria pneumoni berat bila dijumpai salah satu atau lebih
kriteria dibawah ini :
1. Kriteria minor
 Frekuensi napas >30 kali/menit
 PaO2/FaO2 < 250 mmHg
 Foto thoraxs menunjukkan infiltrat multilobus
 Kesadaran menurun / disorientasi
 Uremia ( BUN > 20 mmHg)
 Leukopenia
 Trombositopenia
 Hipotermia
 Hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif

2. kriteria mayor

 Membutuhkan ventilasu mekanis


 Syok septik yang membutuhkan vasopresor

2.2.8 Tatalaksana Bronkopneumonia

1. Pemberian oksigen 2-4 liter /menit

2. Asidisis diberikan bikarbonat intravena

3. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada72 jam
pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal

30
4. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasiklinis.
Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB

5. Pasien rawat jalan yang sebelumnya tanpa riwayat atau pemakaian antiniotik 3 bulan
sebelumnya diberikan golongan B lactam atau Makrolid baru (klaritromisin, Azitromisin)

6. Pasien dengan komorbid da nada riwayat minum antibiotic 3 bulan diberikan Flurokuinolon
respirasi (Levofloksasin 750 mg) atau golongan b lactam +b lactamase atau b lactam
+makrolid

7. Tidak ada faktor resiko pseudomonas diberikan b lactam (sefotaksim, seftriaxon)

8. Bila ada infeksi pseudomonas diberikan antipneumokokal, antipseudomnas b lactam


(piperacilin) + aminoglikosida

9. Bila curiga infeksi MRSA diberikan tambahan vankomisin dan linezolid.

31
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Umur : 64 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

ANAMNESIS

 Keluhan Utama : Sesak napas sejak 2 hari SMRS


 Riwayat Penyakit Sekarang :
- Sesak napas sejak 2 hari SMRS, menciut, dipengaruhi oleh aktifitas , cuaca dingin , dan
tidak dipengaruhi oleh makanan . Pasien terbangun malam hari karena sesak sekitar 5 kali
dan serangan 3 kali seminggu . Pada saat sesak pasien senang dengan posisi duduk dan
memakai obat oral serta menggunakan nebu.
- Batuk sejak 2 hari SMRS, berdahak warna putih kental dan mudah dikeluarkan.
- Nyeri dada (-)
- Demam sejak 2 hari SMRS ,demam dirasakan terus menerus
- Penurunan berat badan (-)
- Mual (-), muntah (-)
- Penurunan nafsu makan sejak 2 hari SMRS
- BAK dan BAB tidak ada keluhan
- Nyeri perut (-)

 Riwayat Penyakit Dahulu

32
- Riwayat Asma sejak kecil tapi umur nya tidak diketahui.
- Riwayat minum OAT tahun 90 an selama 6 bulan dari puskesmas selayo hasil akhir tidak
diketahui
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat Hipertesi (+) tidak trekontrol

 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat minum OAT (+) pada anak pasien
- Riwayat diabetes mellitus (-)
- Riwayat hipertensi (+) pada kakak pasien

 Riwayat Pekerjaan, Sosial dan Kebiasaan:


- Pekerjaan : Petani
- Kebiasaan : Memasak menggunakan kayu bakar
- Merokok :-
Usia :-
Berheti merokok :-
Jumlah batang/hari :-
Indeks Brinkman :-
- Narkoba :-
- Alkohol :-

PEMERIKSAAN FISIK UMUM

- Keadaan umum : Sedang


- Kesadaran : Komposmentis
- Tekanan Darah : 137/76 mmHg

33
- Nadi : 92 x/menit
- Nafas : 24 x/menit
- Suhu : 36,7 oC
- Berat Badan : 50 kg
- Tinggi Badan : 154 cm

KEPALA

- Mata
 Konjungtiva anemis (-/-)
 Sklera ikterik (-/-)

- Leher
 Jvp : 5-2 cmH2O
 KGB : Tidak ada pembesaran

THORAX

- PARU
 Inspeksi : Hemithorax kanan dan kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis
 Palpasi: Fremitus kanan dan kiri sama
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi :Ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), rhonki (-/-) di basal

- JANTUNG

34
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus cordis teraba
 Perkusi : batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Reguler, murmur (-), gallop (-)

- ABDOMEN
 Inspeksi : tidak ada distensi, pembesaran (-)
 Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+)
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

EKSTREMITAS

- Akral hangat
- CRT <2 detik
- Edema (-)

LABORATORIUM

Darah Rutin:

- Hb : 9,9 g/dL
- Leukosit : 7.400
- Trombosit : 263.000

DIAGNOSA KERJA:

Asma persisten ringan dalam eksaserbasi ringan-sedang + Bronkopneumonia

35
DIAGNOSIS BANDING

- Bronkitis Kronik

- Tb Paru

- PPOK Eksaserbasi Akut

PENATALAKSAAN

-02 3l/menit

-Nebu combivent 3x1/15 menit

-Bolus aminofilin 10,4 cc dlm dextrose5 % 10,4 cc 1;1 selama 10 menit

-Drip aminofilin 12,5 cc dalam RL 500 CC 12 jam /kolf

-Metilprednisolon 1x125 mg

-Ceftriaxon 2x1 gr

-Azitromicin 1x500

-PCT 3x500 mg

-NAC 1x200 mg

-Curcuma 3x1

PEMERIKSAAN ANJURAN

-Spirometri

-Uji bronkodilator

-Ro Thoraks

36
-Cek Tcm

37
BAB IV

PENUTUP

4.1 Diskusi

Seorang pasien perempuan berusia 67 tahun datang ke IGD RSUD M.Natsir dengan
keluhan utama sesak napas sejak 2 hari SMRS. Sesak menciut, dipengaruhi oleh aktifitas , cuaca
dingin , dan tidak dipengaruhi oleh makanan . Pasien terbangun malam hari karena sesak sekitar
5 kali dan serangan 3 kali seminggu . Pada saat sesak pasien senang dengan posisi duduk dan
memakai obat oral dan penggunaan nebulizer.
Batuk sejak 2 hari SMRS, berdahak warna putih kental dan mudah dikeluarkan dan tidak
ada batuk darah. Pasien tidak merasakan adanya nyeri dada.
Pasien demam dan nafsu makan menurun sejak 2 hari SMRS ,demam dirasakan terus menerus.
Tidak ada penurunan berat badan yang signifikan, nyeri perut, mual dan muntah. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
Pasien memiliki Riwayat konsumsi OAT dan anak pasien juga pernah konsumsi OAT.
Namun, karena pasien tidak mengetahui hasil akhir pengobatan, maka seharus dilakukan cek
TCM/BTA untuk menyingkirkan diagnosis tuberculosis. Pasien memiliki Riwayat asma sejak
kecil, dan memiliki kebiasaan memasak dengan kayu bakar yang menjadi factor penyabab
timbulnya serangan yang persisten pada pasien sehingga harus dilarikan ke IGD. Pasien juga
memiliki Riwayat hipertensi tidak terkontrol dan anggota keluarga yang juga memiliki Riwayat
hipertensi. Pasien bekerja sebagai petani dan tidak memiliki kebiasaan merokok, konsumsi
alcohol dan narkoba.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak sakit sedang/komposmentis.


Tekanan darah 137/76 mmHg, nadi 92 x/menit, nafas 24 x/menit, suhu 36,7 oC. Berat Badan
pasien adalah 50 kg dan tinggi badan 154 cm. Tidak terdapat sklera ikterik dan konjungtiva
anemis. JVP dalam batas normal dan tidak ada pembesaran KGB.

Hasil pemeriksaan fisik paru didapatkan hemithorax kanan dan kiri simetris dalam
keadaan statis dan dinamis, fremitus kanan dan kiri sama, sonor di kedua lapang paru, serta

38
didapatkan ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), rhonki (-/-) di basal. Terjadi penyempitan
pada saluran nafas pasien sehingga terdengar bunyi tambahan wheezing. Namun tidak terdengar
ronkhi pada pasien, padahal pasien terdiagnosa bronkopneumoni dan terdapat trias pneumoni
pada Riwayat penyakit sekarang pasien. Pemeriksaan jantung, abdomen dan ekstremitas pasien
dalam batas normal.

Pasien didiagnosa dengan asma persisten ringan dalam eksaserbasi ringan-sedang karena
sering terbangun malam hari karena sesak sekitar 5 kali dan serangan 3 kali seminggu. Maka dari
itu diberikan tatalaksana O2 3L/menit, nebu combivent, dan aminofilin untuk meredakan sesak.
Kemudian juga diberikan metilprednisolon untuk asma dalam serangan. Ceftriaxon 2x1 gram
dan Azitromicin 1x500 mg sebagai antibiotic. Lalu diberikan terapi simptomatik seperti PCT,
NAC dan Curcuma.

Untuk membedakannya dengan PPOK eksaserbasi akut, dilakukan pemeriksaan


penunjang spirometry dan uji bronkodilator. Jika hasilnya membaik, maka diagnosanya adalah
asma. Dan jika hasil pengujian bronkodilator serta spirometry hasilnya tidak membaik, maka
diagnosanya adalah PPOK eksaserbasi akut atau PPOK dalam serangan yang sifatnya
irreversible. Kemudian ronten thorax dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnose
bronkopneumonia karena pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan ronkhi, namun pada riwayat
penyakit sekarang terdapat trias pneumoni.

4.2 Kesimpulan

Asma adalah penyakit kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan sesak akibat
peradangan dan penyempitan pada saluran napas. Asma dapat diderita oleh semua golongan usia,
baik muda maupun tua.

Penderita asma memiliki saluran pernapasan yang lebih sensitif dibandingkan orang
normal. Ketika paru-paru terpapar pemicu asma, maka otot-otot di saluran pernapasan akan kaku
sehingga membuat saluran tersebut menyempit. Selain itu, produksi dahak juga meningkat.
Kombinasi dari kondisi tersebut membuat penderita mengalami gejala asma.   Bronkopneumonia
adalah infeksi di saluran pernapasan bronkus dan paru-paru, yang dapat terjadi akibat komplikasi
dari influenza atau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Bronkopneumonia bisa disebabkan

39
dari virus maupun bakteri atau jamur. Terdapat trias pneumonia yaitu demam, batuk, dan sesak
nafas untuk menegakan diagnosis bronkopneumonia.

Pada kasus ini, pasien didiagnosis asma persisten ringan dalam eksaserbari ringan-sedang
dan bronkopneumonia karena sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun,
dibutuhkan pemeriksaan penunjang untuk memastiksan diagnosis pasti dan menyingkirkan
diagnosis banding.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Yunus F, Djajalaksana S, Wiyono WH. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma


PDPI 2021. 2021; 1-170
2. Rosi Frita Andini Samosir,, And Suherni, And Tri Maryani, (2019). Hubungan Pemberian Asi
Eksklusif Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Koba
Kabupaten Bangka Tengah Tahun 2018. Skripsi Thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
3. Indri Kurnia Dewi, and Nanik Setiyawati and Dwiana Estiwidani, (2019) Faktor – Faktor
Yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Sentolo 1, Kabupaten
Kulon Progo Tahun 2018. skripsi thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
4. PDPI ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ). 2021. Asma dan Pedoman Pentalaksanaan di
Indonesia. Jakarta
5. Kam, Alexander, et al. "Terapi Controller pada Asma." Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia 1.3
(2020): 438-444.
6. Sawitri, Gusti Ayu. "Bronkopneumonia." Jurnal Medula 1.02 (2013): 63-71.
7. Megan Stapleton, PharmD, Amanda Howard-Thompson. Smoking and Asthma. JABFM
May–June 2011 Vol. 24 No. 3, p.313-322
8. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E. et al.
(2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
9. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract downregulates
C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur Respir J 2011; 38: 50–58
10. Widjayanegara. 2014. Senam Asma Mengurangi Kekambuhan dan Meningkatkan Saturasi
Oksigen Pada Penderita Asma di Poliklinik Paru Rumah Sakit Umun Daerha Wangaya
Denpasar. Universitas Udayana.
11. Wunderink RG, Watever GW. 2014. Community-acquired pneumonia. N Engl J
Med.2014;370:543-51
12. PDPI. 2003. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
13. Fadzila W., Bayhakki , Indriati G., Hubungan Keteraturan Penggunaan Inhaler Terhadap
Hasil Asthma Control Test (Act) Pada Penderita Asma 2018: 52: 831-98.
14. Arifuddin A. , Rau M.J., Hardiyanti N., Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Asma Di Wilayah Kerja Puskesmas Singgani Kota Palu 2019: 51: 13-8

41
15. Ditjen Yankes. Asma Penting Diwaspadai (Never Too Early,Never Too Late). Diunduh dari
http://yankes.kemkes.go.id/read-asma-penting-diwaspadai-never-too-early-never-too-late-
4209.html (7 November 2019)

42

Anda mungkin juga menyukai