Anda di halaman 1dari 24

Referat

Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA)

Oleh :

Faizal Ashraf 1710070100067

Nabilah Hilmiana Dewi 1810070100014

Triza Fadilla Fadli 1810070100015

PRESEPTOR :

dr. Sulistiana Dewi, Sp. KJ

SMF PSIKIATRI RSUD M. NATSIR SOLOK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini dengan judul “Narkotika, Psikotropika,

dan Zat Adiktif” yang merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik dari bagian psikiatri.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Sulistiana Dewi,

Sp. KJ selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini tepat waktu

demi memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna,

karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan laporan

kasus ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Solok, 20 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Tujuan...............................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................3

2.1 Definisi...................................................................................................................................3

2.2 Penggolongan Napza..............................................................................................................3

2.2.1 Golongan Depresan.........................................................................................................3

2.2.2 Golongan Stimulan..........................................................................................................4

2.2.3 Golongan Halusinogen....................................................................................................4

2.3 Penyalahgunaan dan Ketergantungan.....................................................................................4

2.4 Penyalahgunaan NAPZA........................................................................................................4

2.5 Ketergantungan NAPZA........................................................................................................4

2.6 Memahami Adiksi Sebagai Gangguan Otak...........................................................................4

2.7 Penyebab Penyalahgunaan NAPZA.......................................................................................6

2.7.1 Faktor Psikodinamik.......................................................................................................6

2.7.2 Faktor Genetik.................................................................................................................7

2.7.3 Teori Prilaku....................................................................................................................7

2.7.4 Faktor Neurokimiawi......................................................................................................7

2.8 Komorbiditas .........................................................................................................................8

2.8.1 Gangguan Kepribadian Antisosial..................................................................................8

2.8.2 Depresi dan Bunuh Diri .................................................................................................8

2.9 Gejala Klinis..............................................................................................................................8


2.9.1 Perubahan Fisik...............................................................................................................8

2.9.2 Perubahan Sikap dan Perilaku.........................................................................................8

2.9.3 Gejala Klinis Berdasarkan Zat yang Digunakan.............................................................9

2.10 Menetapkan Diagnosis...........................................................................................................13

2.11 Terapi dan Upaya Pemulihan.................................................................................................14

2.12 Sasaran Terapi.......................................................................................................................15

2.13 Tahapan Terapi......................................................................................................................16

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................18

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA)


atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/
Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner,
multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.1
Sepanjang tahun 2021, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI)
telah berhasil menangkap 53.405 tersangka tindak pidana narkoba, dengan sabu
menempati kasus tertinggi hingga mencapai angka 22.950 kasus. Menurut data dari
Deputi bidang Pemberdayaan Masyarakat BNN RI Maret 2022, Sumatera Barat
menempati urutan ketiga dari daerah paling rawan narkoba. Hal ini disebabkan Sumatera
Barat merupakan lokasi perlintasan pengedaran narkoba. Misalnya narkoba jenis ganja
masuk lewat Pasaman, sedangkan untuk sabu dan ekstasi masuknya dari Pekanbaru,
Provinsi Riau melalui kabupaten Limapuluh Kota. Tidak hanya di daerah Sumatera Barat
saja, peredaran narkoba juga sudah sampai ke kota-kota lain diseluruh wilayah Republik
Indonesia. Seperti yang diberitakan oleh Kompas.com, pada tanggal 17 Juni 2022,
sepasang suami istri ditangkap Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polresta
Pekanbaru atas kasus peredaran narkotika. Barang bukti berupa 1,6 Kg sabu, 3.951 butir
pil ekstasi, dan 3.202 pil happy five (P5) disita. Pada kasus lain yang juga diberitakan
oleh Kompas.com pada tanggal 9 Juni 2022, empat perempuan ditangkap oleh Badan
Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Utara (BNNP Sumut) karena berusaha
mengirimkan narkotika jenis sabu seberat 32 Kg ke luar medan, yaitu pulau jawa,
menggunakan ekspedisi.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh pusat laboratorium narkotika BNN RI
Maret 2022, terdapat 87 New Pshycotic Substance (NPS) yang beredar di Indonesia.
Diantaranya adalah cannabis sintetis atau masyarakat mengenalnya dengan sebutan sinte

1
atau tembakau gorilla. Disebut sebagai ganja sintetis karena cara kerja psikoaktif dalam
sinte yang mirip dengan ganja namun dengan efek yang jauh lebih berbahaya daripada
ganja sesungguhnya. Zat dalam ganja sintetis menempel lebih kuat pada reseptor sel saraf
otak sehingga menimbulkan efek yang jauh lebih kuat dibandingkan THC, zat yang
terdapat pada ganja sesungguhnya. Dilansir dari BNN sumsel, pada awal tahun ini,
seorang komedian komika indonesia ternama dengan inisial F, tertangkap polisi pada
pertengahan Januari 2022 atas dugaan penyalahgunaan narkotika. Ditemukan barang
bukti berupa sinte atau tembakau gorilla seberat 1,45gr milik F. Saat ini, F sedang berada
di rehabilitasi RSKO Cibubur selama 6 bulan.

Substansi-substansi tersebut dapat menyebabkan kelainan status mental secara


internal, seperti menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan
perubahan perilaku. Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik
yang masih belum ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood,
sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi
sangat berhubungan.1 Peran penting sektor kesehatan sering tidak disadari oleh petugas
kesehatan itu sendiri, bahkan para pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat
dibidang kesehatan jiwa, khususnya penyalahgunaan NAPZA. Dan minimnya
pengetahuan mengenai masalah NAPZA, penggunaannya, masalah psikiatri yang
ditimbulkan, serta penangannya, mendorong penulis untuk menyusun referat mengenai
Gangguan Akibat Penyalahgunaan NAPZA dan penanggulangannya.

1.2 Tujuan
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Jiwa

RSUD M. Natsir dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai

bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis tentang Insomnia Pada

Berbagai Gangguan Psikiatri Dan Tatalaksana

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang
bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan
saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya
karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap
NAPZA. Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang
menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan
sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada
otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.1

2.2 Penggolongan NAPZA

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat


digolongkan menjadi tiga golongan :

2.2.1 Golongan Depresan (Downer)


Jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini
menbuat pemakainya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak
sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif
(penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

2.2.2 Golongan Stimulan(Upper)

Jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan
kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang
termasuk golongan ini adalah: Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain.

2.2.3 Golongan Halusinogen

Jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah
perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga

3
seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis.
Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.

2.3 Penyalahgunaan dan Ketergantungan

Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V), yang


disebut gangguan akibat zat psikoaktif dan sindrom ketergantungan mencakup dua
kategori, yakni gangguan penyalahgunaan zat psikoaktif dan gangguan akibat zat
psikoaktif. Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik
yang menunjukan ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan
tingkat pemakaian psikologik-sosial, yang belum bersifat patologik

2.4 Penyalahgunaan NAPZA

Penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau teratur
diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
gangguan fungsi sosial.

2.5 Ketergantungan NAPZA

Keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh
memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya
dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Oleh
karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara
apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”.
Kedua istilah diatas memiliki perbedaan yang bermakna. Pada gangguan
penyalahgunaan zat psikoaktif menunjukkan reaksi negatif atas penggunaan yang sering
dan bersifat terus menerus dari zat tersebut. Kondisi ini tidak menunjukkan efek secara
langsung melainkan terjadi secara bertahap bersamaan dengan proses ketergantungan.
Sedangkan gangguan akibat zat psikoaktif mengacu pada efek langsung dari penggunaan
zat, atau disebut intoksikasi, dan efek langsung dari putus obat (withdrawal syndrome).

2.6 Memahami Adiksi Sebagai Gangguan Otak

Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap jaringan


otak: bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang aktivitas fungsi
otak (stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Karena otak merupakan
4
sentral perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA (yang masuk ke dalam tubuh
manusia) dengan sel- sel saraf otak dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku
manusia. Perubahan-perubahan perilaku tersebut tersebut tergantung sifat-sifat dan jenis
zat yang masuk ke dalam tubuh .

Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki berberapa cara: disedot melalui


hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok), disuntikan dengan
jarum suntikan melalui pembuluh darah balik atau vena, ditempelkan pada kulit (terutama
lrngan bagian dalam) yang telah diiris-iris kecil dengan cutter, ada juga yang
melakukannya dengan mengunyah dan kemudian ditelan. Sebagian NAPZA sesuai
dengan cara penggunaannya, langsung masuk ke pembuluh darah dan sebagian lagi yang
dicerna melalui traktus gastro-intestinal diserap oleh pembuluh-pembuluh darah di sekitar
dinding usus. Karena sifat khususnya, NAPZA akan menuju reseptornya masing-masing
yang terdapat pada otak.

Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki ukuran
dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam otak, dengan jumlah
atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci dari dalam (lock into) reseptor
dan memulai membangkitkan suatu reaksi berantai pengisian pesan listrik yang tidak
alami yang menyebabkan neuron melepaskan sejumlah besar neurotransmitter miliknya.
Beberapa jenis NAPZA lain mengunci melalui neuron dengan bekerja mirip pompa
sehingga neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada jenis NAPZA yang
menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga menyebabkan kebanjiran yang tidak
alami dari neurotransmitter.

Bila seseorang menyuntik heroin (opioid atau putauw). Heroin segera berkelana
cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada: VTA (ventral tegmental area),
nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus yang merupakan sentra kenikmatan
yang terdapat pada area otak yang sering dikaitkan dengan sebutan reward pathway.
Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada daerah reward
system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi zat tersebut dalam
kemampuannya untuk memproduksi analgesik. Neurotranmitter opioid memiliki ukuran
dan bentuk yang sama dengan endorfin, sehingga ia dapat menguasai reseptor opioid.
Opioid mengaktivasi sistem reward melalui peningkatan neurotransmisi dopamin.
5
Penggunaan opioid yang berkelanjutan membuat tubuh mengadalkan diri kepada adanya
drug untuk mempertahankan perasaan rewarding dan perilaku normal lain. Orang tidak
lagi mampu merasakan keuntungan reward alami (seperti makanan, air, sex) dan tidak
dapat lagi berfungsi normal tanpa kehadiran opioid.

2.7 Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

2.7.1 Faktor Psikodinamik

Berdasarkan teori klasik, penyalahgunaan NAPZA seperti keinginan untuk


masturbasi, mekanisme pertahanan untuk keadaan cemas, atau manifestasi dari regresi
oral. Dalam teori psikososial, menyebutkan bahwa banyak alasan untuk mencurigai
faktor lingkungan memainkan peran dalam penyalahgunaan NAPZA. Sehingga dalam
banyak artikel disebutkan bahwa pelaku penyalahgunaan substansi ini kebanyakan adalah
anak-anak atau remaja dengan perkembangan psikososial yang buruk.

2.7.2 Faktor Genetik

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak kembar, anak adopsi, dan saudara
kandung yang terpisah ataupun dipisahkan menjadi penyebab utama terjadinya
penyalahgunaan NAPZA.

2.7.3 Teori Prilaku

Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada


perilaku mencari zat dibanding pada gejala dependensi fisik. Sebagian besar
penyalahgunaan zat menimbulkan pengalaman positif setelah penggunaan
pertama, dan oleh karena itu, zat tersebut bertindak sebagai penguat
positif perilaku mencari zat.

2.7.4 Faktor Neurokimiawi

Dengan pengecualian alkohol, para peneliti telah mengidentifikasi


neurotransmitter atau reseptor neurotransmitter tertentu yang terlibat dengan
sebagian besar zat yang disalahgunakan. Neurotransmitter utama yang mungkin
terlibat dalam perkembangan penyalahgunaan dan ketergantungan zat adalah

6
opioid, katekolamin (terutama dopamin), dan sistem asam gamma-aminobutirat.
Neuron yang terutama penting adalah neuron dopaminergik pada area tegmental
ventral.

2.8 Komorbiditas

Komorbid adalah keterlibatan dua atau lebih gangguan psikiatrik pada seorang
pasien. Pada pasien yang mendapatkan terapi karena ketergatungan substansi seperti
opioid, alkohol, dan kokain, memiliki prevalensi tinggi mendapatkan gangguan psikiatri
tambahan. Hal ini dibuktikan pada studi epidemiologi bahwa orang-orang dengan
ketergantungan terhadap NAPZA lebih mudah mengalami gangguan psikiatri lain.

2.8.1 Gangguan kepribadian antisosial

Pada berbagai macam studi, menunjukkan bahwa 35 sampai 60 persen pasien


dengan ketergantungan NAPZA juga memiliki diagnosa gangguan kepribadian
antisosial.

2.8.2 Depresi dan Bunuh diri

Gejala depresi sangat banyak ditemukan pada pasien yang didiagnosa sebagai
penyalahgunaan NAPZA ataupun ketergantungan NAPZA. Hampir 40 persen pengguna
opioid dan alkohol memenuhi kriteria diagnosis gangguan depresi mayor dalam hidup
mereka. Penggunaan NAPZA juga salah satu penyebab terjadinya bunuh diri. Orang
dengan penyalahgunaan NAPZA, sekitar 20 persen lebih rentan melakukan bunuh diri
dibandingkan populasi pada umumnya

7
2.9 Gejala Klinis

2.9.1 Perubahan Fisik

Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara

umum dapat digolongkan sebagai berikut:


a. Pada saat menggunakan NAPZA: jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis
(acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga
b. Bila kelebihan dosis (overdosis): nafas sesak, denyut jantung dan nadi lambat, kulit
teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
c. Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau): mata dan hidung berair, menguap terus
menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air sehingga malas mandi, kejang,
kesadaran menurun.
d. Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat, tidak peduli terhadap kesehatan dan
kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan atau
bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik)

2.9.2 Perubahan Sikap dan Perilaku


a. Prestasi sekolah menurun, sering tidak mengerjakan tugas sekolah, sering membolos,
pemalas, kurang bertanggung jawab.
b. Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk dikelas atau
tempat kerja.
c. Sering berpegian sampai larut malam, kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih
dulu
d. Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan
anggota keluarga lain dirumah.
e. Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian
menghilang
f. Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik
sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
g. Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan,

8
pencuriga,tertutup dan penuh rahasia.

2.9.3 Gejala klinis berdasarkan zat yang digunakan

A. Alkohol

Di Indonesia, terutama di daerah Indonesia Timur dan beberapa tempat didaerah


Sumatera, terdapat antara 2-3 juta orang menggunakan minuman beralkohol dari ringan
sampai berat. Jenis-jenis minuman beralkohol di Indonesia sangat bervariasi (dari
tradisional sampai fermentasi buatan, dari berkadar tinggi hingga rendah).
Misalnya:Green Sands Sandy Bier, Brandy, Vodka, Mansion House, Kontru, Jack
Daniels, Napoleon, Drum, Whisky, Martini, Mac D, Tomi’ (topi-miring). Minuman
beralkohol memberikan berbagai gambaran klinis antara lain:
 Intoksikasi: euforia, cadel, nistagmus, ataksia, bradikardi, hipotensi,
kejang, koma. Pada keadaan intoksikasi berat, refleks menjadi negatif

 Keadaan putus alkohol: halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, delirium,


tremens, gemetar, keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah dan hipertensi

 Gangguan fisik: mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus
peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defisiensi vitamin,
fetal alcohol syndrome
 Gangguan mental: depresi hingga skizofrenia
 Gangguan lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik dan
tindak kekerasan.

B. Opioid
Termasuk dalam golongan opioid adalah morfin, petidin, heroin, metado, kodein.
Golongan opioid yang paling sering disalahguakan adalah heroin. Di Indonesia,
sekurangnya terdapat 300-500 ribu orang dengan adiksi heroin. Akibat
penyalahgunaan opioid adalah
a. Problem fisik:
 Abses pada kulit sampai septikemia
 Infeksi karena emboli, dapat sampai stroke
 Endokarditis
 Hepatitis B dan C

9
 HIV/AIDS
 Injeksi menyebabkan trauma pada jaringan syaraf lokal
 Opiate neonatal abstinence syndrome.

b. Problem psikiater:
 Gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif
 Suicide
 Depresi berat sampai skizofrenia

c. Problem sosial
 Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan masyarakat
 Kecelakaan lalu lintas
 Perilaku kriminal sampai tindak kekerasan
 Gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam,
menodong, menipu hingga membunuh)

d. Sebab-sebab kematian
 Reaksi heroin akut menyebabkan kolapsnya kardiovaskuler dan
akhirnya meninggal
 Overdosekarena heroin menekan susunan saraf pusat, sukar bernafas
dan menyebabkan kematian
 Tindak kekerasan
 Bronkhopneumonia
 Endokarditis

C. Ganja
Bahan aktif ganja berasal dari tanaman ganja yang bersifat adiktif disebut delta
tetra hidrokannabinol (THK) yang hanya larut dalam lemak. Karena tidak larut dalan
air, THK tinggal lama didalam lemak jaringan (termasuk jaringan lemak otak sehingga
menyebabkan brain damage). Gambaran klinis disebabkan ganja tegolong kombinasi
CNS-depresant, stimulasi dan halusinogenik.

10
Di indonesia terdapat antara 2-3 juta orang yang pernah mengisap ganja.
Penggunaan pemula ganja, terutama dikalangan anak usia muda meningkat tajam
selama 4-5 tahun terakhir, karena ganja mudah diperoleh dimana-mana.
Akibat penyalahgunaan ganja adalah :
a.Problem fisik:
 Gangguan sistem reproduksi (infertilitas, mengganggu menstruasi, maturasi organ
seksual, kehilangan libido, impotensi)
 Fetal damage selama kehamilan
 Infeksi sistem pernafasan (sinusitis, bronkitis kronik)
 Mengandung agen sel-sel epitel kanker(kanker paru, sistem pernafasan bagian atas, saluran
pencernaan, leher dan kepala)
 Empisema
 Gangguan kardiovaskuler
 Gangguan imunitas
 Gangguan syaraf (sakit kepala, gangguan fungsi koordinasi motorik)

b. Problem psikiatri:
 Gangguan memori hingga kesulitan belajar
 Sindro amotivasional
 Ansietas, panik hingga reaksi bingung
 Psikosis paranoid sampai skizofrenia
 Depresi berat sampai suicide
 Apatis, perilaku antisosial

c.Problem sosial:
 Kesulitan belajar sampai dikeluarkan dari sekolah
 Kenakalan rmaja
 Hancurnya akademic or job performance sampai kehilangan pekerjaan
 Gangguan dalam mengendarai kendaraan, alat mesin
 Terlibat masalah hukum

d. Sebab kematian:
 Suicide
 Infeksi berat
 Tindak kekerasan (termasuk kecelakaan lalu lintas).

D. Amfetamin dan turunannya

Amfetamin merupakan senyawa kimia yang bersifat stimulasi, sering dikenal


sebagai Amphetamine Type Stimulants atau ATS. Dulu amfetamin sulfat digolongkan
dalam ilmu kedokteran sebagai obat untuk obesitas, epilepsi, narkolepsi dan depresi.
11
Amfetamin sulfat pada tahun 1960 dan 1970 disalahgunakan oelh siswa/mahasiswa
yaitu tahan tidak tidur untuk belajar dan untuk diet agar badan tetap langsing.
Sindikat psikotropik ilegal derivat amfetamin dipasarkan di Indonesia dalam
bentuk : ecstasy (MDMA, 3,4 metilenediaxy- methamphetamine) dan shabu
(methamphetamine). Ecstasydalam bentuk pil, tablet atau kapsul dan shabu dalam bentuk
bubuk kristal putih. Kedua zat digunakan sebagai alasan klasik yaitu for fun, recreational
use, meningkatkan libido dan memperkuat sex perfomance.
Cara penggunaan ATS tergantung pada jenis yang digunakan sebagai berikut:
 Amfetamin dapat berupa tablet atau suntikan
 Ecstasy digigit dengan gigi sedikit demi sedikit kemudian ditelan
 Shabu, uap yang dipanaskan melalui tabung air kemudian dihisap melalui bibir.
Akibat penyalahgunaan amfetamin (termasuk escstasy dan shabu) adalah:
a. Problem fisik:
 Malnutrisi akibat defisiensi vitamin, kehilangan nafsu makan
 Denyut jantung meningkat sehingga membahayakan bagi mereka yang
pernah memiliki riwayat penyakit jantung
 Gangguan ginjal, emboli parru dan stroke
 Hepatitis
 HIV/AIDS bagi mereka yang menggunakan suntikan amfetamin

b.Problem psikiatri:
 Perilaku agresif
 Confusional state, psikosis paranoid sampai skizofrenia
 Kondisi putus zat meneybabkan letargi, fatigue, exhausted, serangan
panik, gangguan tidur
 Depresi berat sampai suicide
 Halusinasi (terutama ecstasy dan shabu)

c. Problem sosial:
 Tindak kekerasan (berkelahi)
 Kecelakaan lalu lintas
 Aktivitas kriminal

d. Sebab kematian:
 Suicide
 Serangan jantung
 Tindak kekerasan, kecelakaan lalu lintas

12
2.10 Menetapkan Diagnosis

Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu jenis penyakit


atau “disease entity” yang dalam ICD-10 (international classification of disease and
health related problems-tenth revision 1992) yang dikeluarkan oleh WHO digolongkan
dalam “Mental and behavioral disorders due to psychoactive substance use “.
Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantungan dikenal dengan istilah
sindrom ketergantungan (PPDGJ-III, 1993). Sehingga diagnosis ketergantungan NAPZA
ditegakkan jika diketemukan tiga atau lebih dari gejala-gejala di bawah selama masa
setahun sebelumnya:
a. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan NAPZA
b. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal, usaha
penghentian atau tingkat penggunaannya
c. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan NAPZA
atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA atau golongan
NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari
terjadinya gejala putus obat.
d. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang diperlukan guna
memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis yang lebih
rendah.
e. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan
NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk mendapatkan atu
menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya
f. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami adanya
akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA seperti gangguan
fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat
penggunaan yang berat atau hendaya fungsi kognitif. Segala upaya mesti dilakukan
untuk memastikan bahwa pengguna NAPZA sungguh – sungguh menyadari akan hakikat
dan besarnya bahaya.

13
2.11 Terapi dan Upaya pemulihan

Karakteristik terapi adiksi yang efektif NIDA (National Institute of Drug Abuse,
1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut, untuk dijadikan pegangan bagi
para profesional dan masyarakat5,6:
a. Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu
b. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu. Seorang
adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan untuk masuk dalam
program terapi. Pada kesempatan pertama ia mengambil keputusan, harus secepatnya
dilaksanakan ( agar ia tidak berubah pendirian kembali )
c. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs ) individu
tersebut, tidak semata – mata hanya untuk kebutuhan memutus menggunakan
NAPZA
d. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan kalau
perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana terapi telah sesuai dengan
perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum.
e. Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat merupakan
sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif atau tidak
f. Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk
mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi
g. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi banyak pasien,
terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi perilaku lain
h. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental, harus
mendapatkan terapi untuk keduanya secara integratif
i. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan
detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka panjang
j. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu bentuk
terapi yang efektif
k. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus dimonitor
secara kontinyu
l. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS , hepatitis B dan C,
tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga menyediakan konseling untuk
14
membantu pasien agar mampu memodifikasi atau mengubah tingkah lakunya, serta
tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang beresiko
mendapatkan infeksi
m. Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka panjang dan
sering mengalami episode terapi yang berulang – ulang

2.12 Sasaran terapi7,8

Sasaran jangka panjang terapi pasien/ klien dengan aiksi NAPZA :


1. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai abstinensia total.
Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah penghentian total penggunaan
NAPZA. Perjanjian pada awal terapi sangat penting dilakuakan, terutama dalam
komitmen terapi jangka panjang. Komitmen tersebut membantu menurunkan angka
morbiditas dan penggunaan NAPZA. Umumnya mayoritas pasien / klien perlu mendapat
motivasi yang cukup kuat untuk menerima abstinensia total sebagai sasaran terapi.

2. Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps. Pengurangan frekuensi penggunaan


NAPZA dan keparahannya merupakan sasaran kritis dari terapi. Fokus utama dari
pencegahan relaps adalah membantu pasien.klien mengidentifikasi situasi yang
menempatka dirinya kepada resiko relaps dan menggembangkan respon alternatif asal
bukan merupakan NAPZA. Pada beberap pasien atau klien, situasi sosial atau
interpersonal dapat merupakan faktor beresiko terjadinya relaps. Pengurangan frekuensi
dan keparaha relaps sering menjasikan sasaran yang realistik daripada pencegahan yang
sempurna.

3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam masyarakat.
Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema psikologi dan sosial,
melepaskan diri dari hubungan antar teman dan keluarga, kegagalan dalam performance
di sekolah maupun dalam pekerjaan, problema finensial dan hukum dan gangguan dalam
fungsi kesehatan umum. Mereka memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki
gangguan hubungannya dengan orang lain tersebut, mengembangkan keterampilan sosial

15
serta mempertahankan status dalam pekerjaannya disamping mempertahankan dirinya
semaksimal mungkin agar tetap dalam kondisi bebas obat.

2.13 Tahapan terapi9,10,11

Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian (assesment phase), sering disebut dengan fase penilaian awal (initial
intake). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat diperoleh dari anggota
keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang menanggung biaya. Termasuk yang perlu
dinilai adalah :
a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala – gejala putus
obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah penggunaan zat
terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya penggunaan, efek subjektif dari
semua jenis zat yang digunakan.
b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status
pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya gangguan
komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala intoksikasi atau
withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga pemeriksaan psikologik dan
neuro – psikologi
c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk karakteristik
berikut: setting terapi, kontekstual (voluntary, non voluntary), modalitas terapi yang
digunakan, kepatuhan terhadap program terapi, lamanya (singkat 3 bulanan, sedang
1 tahun) dan hasil dengan program jangka panjang, berikut dengan jenis zat yang
digunakan, level fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasi
terapi lainnya
d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio –
ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya gangguan
penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor – faktor dalam
keluarga yang mengkontribusi berkembang atau penggunaan zat terus menerus,
penyesuaian sekolah dan vokasional, hubunggan dengan kelompok sebaya,
problema finansial dan hukum, pengaruh lingkungan kehidupan sekarang terhadap
kemampuannya untuk mematuhi terapi agar tetap abstinensia di komunitasnya,

16
karakteristik lingkungan pasien ketika menggunakan zat (dimana, dengan siapa,
berapa kali/ banyak, bagaimana cara penggunaan).
e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis – jenis NAPZA yang
disalahgunakan, pemerisaan – pemeriksaan laboratorium lainnya terhadap kelainan
– kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan zat akut atau menahun.
f. Skrining penyakit – penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering diketemukan
pada pasien / klien ketergantungan zat (seperti HIV, tuberkulosis, hepatitis).

2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase
terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
a. Rawat inap dan rawat jalan
b. Intensive out – patient treatment
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan: kodein dan ibuprofen, klonidin dan naltrexon,
buprenorfin, metadon

3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekankan
kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau menggunakan program terapi
subtitusi (seperti antagonis – naltrexon, agonis metadon, atau partial –
agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan.
Terapi yang lamanya kurang dari jangka waktu tersebut, umumnya memiliki relaps rate
yang tinggi.

17
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%


penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa
substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti
menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum
ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan
primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat
berhubungan.

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang
bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan
saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi)
terhadap NAPZA. Penyebab penyalahgunaan napza karena faktor genetik dan juga
psikodinamik. Penyalahhunaan NAPZA sendiri memiliki Komorbid dengan gangguan
kepribadian antisocial dan juga prilaku bunuh diri. Gejala-gejala klinis gangguan
penyalahgunaan NAPZA adalah: Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang
memaksa ( kompulsi ) untuk menggunakan NAPZA, kesulitan dalam mengendalikan
perilaku menggunakan NAPZA sejak awal, keadaan putus NAPZA secara fisiologis
ketika penghentian penggunaan NAPZA atau pengurangan, adanya bukti toleransi, secara
progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan NAPZA,
meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami adanya akibat
yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA. Terapi pada gangguan akibat
penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dibagi menjadi 3 fase: Fase penilaian, fase terapi
detoksifikasi, fase terapi lanjutan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Substance Related Disorders. Introduction and


Overview. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical
Psychiatry 9th edition, Lippingcott Williams & Wilkins, 2002, h. 380.
2. Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Substance Related Disorders. Dari: Kaplan & Sadock
Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry 9 th edition, Lippingcott
Williams & Wilkins, 2002, h. 380-435.
3. Allen K.M. Clinical Care of the Addicted Client, Review Article on: American
Psychiatriy Journal, 2010 October 20.
4. Maslim Rusdi, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PDGJ-III,
PT. Nuh Jaya, 2001, h. 34-43.
5. The Indonesian Florence Nightingale Foundation, Kiat Penanggulangan dan
Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Dalam: www.ifnf.org/NAPZA/ <diakses pada
Selasa, 27 September 2011.
6. Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto J. Substance Related
Disorders in Teenagers. PMC Journal, 2007 May-Jun;73(3):353-8.
7. Tom, Kus, Tedi. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar , Bandung :Yayasan Al-Ghifari,2009,
h.20- 57.
8. Morgan, Segi PraktisPsikiatri, Jakarta; Bina rupa aksara,2001, h. 110-145.
9. Stuart Sundeen, Principles and Practice of Psychiatric Nursing, St Louis: Mosby Year
Book, 2001. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada Selasa, 27 September
2011.
10. Smith, CM.,Community Health Nursing; Theory and Practice .Philadelphia: W.B.
Saunders Company. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada Selasa, 27
September 2011.
11. Warninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation in
Substance Related disorders, Review Article on: British Psychiatry Journal, 2009 July.

19
20

Anda mungkin juga menyukai