Oleh :
PRESEPTOR :
PADANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini dengan judul “Narkotika, Psikotropika,
dan Zat Adiktif” yang merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik dari bagian psikiatri.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Sulistiana Dewi,
Sp. KJ selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini tepat waktu
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan laporan
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.2 Tujuan...............................................................................................................................2
2.1 Definisi...................................................................................................................................3
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
atau tembakau gorilla. Disebut sebagai ganja sintetis karena cara kerja psikoaktif dalam
sinte yang mirip dengan ganja namun dengan efek yang jauh lebih berbahaya daripada
ganja sesungguhnya. Zat dalam ganja sintetis menempel lebih kuat pada reseptor sel saraf
otak sehingga menimbulkan efek yang jauh lebih kuat dibandingkan THC, zat yang
terdapat pada ganja sesungguhnya. Dilansir dari BNN sumsel, pada awal tahun ini,
seorang komedian komika indonesia ternama dengan inisial F, tertangkap polisi pada
pertengahan Januari 2022 atas dugaan penyalahgunaan narkotika. Ditemukan barang
bukti berupa sinte atau tembakau gorilla seberat 1,45gr milik F. Saat ini, F sedang berada
di rehabilitasi RSKO Cibubur selama 6 bulan.
1.2 Tujuan
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Jiwa
RSUD M. Natsir dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai
bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis tentang Insomnia Pada
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang
bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan
saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya
karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap
NAPZA. Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang
menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan
sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada
otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.1
Jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan
kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang
termasuk golongan ini adalah: Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain.
Jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah
perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga
3
seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis.
Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.
Penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau teratur
diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
gangguan fungsi sosial.
Keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh
memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya
dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Oleh
karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara
apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”.
Kedua istilah diatas memiliki perbedaan yang bermakna. Pada gangguan
penyalahgunaan zat psikoaktif menunjukkan reaksi negatif atas penggunaan yang sering
dan bersifat terus menerus dari zat tersebut. Kondisi ini tidak menunjukkan efek secara
langsung melainkan terjadi secara bertahap bersamaan dengan proses ketergantungan.
Sedangkan gangguan akibat zat psikoaktif mengacu pada efek langsung dari penggunaan
zat, atau disebut intoksikasi, dan efek langsung dari putus obat (withdrawal syndrome).
Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki ukuran
dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam otak, dengan jumlah
atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci dari dalam (lock into) reseptor
dan memulai membangkitkan suatu reaksi berantai pengisian pesan listrik yang tidak
alami yang menyebabkan neuron melepaskan sejumlah besar neurotransmitter miliknya.
Beberapa jenis NAPZA lain mengunci melalui neuron dengan bekerja mirip pompa
sehingga neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada jenis NAPZA yang
menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga menyebabkan kebanjiran yang tidak
alami dari neurotransmitter.
Bila seseorang menyuntik heroin (opioid atau putauw). Heroin segera berkelana
cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada: VTA (ventral tegmental area),
nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus yang merupakan sentra kenikmatan
yang terdapat pada area otak yang sering dikaitkan dengan sebutan reward pathway.
Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada daerah reward
system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi zat tersebut dalam
kemampuannya untuk memproduksi analgesik. Neurotranmitter opioid memiliki ukuran
dan bentuk yang sama dengan endorfin, sehingga ia dapat menguasai reseptor opioid.
Opioid mengaktivasi sistem reward melalui peningkatan neurotransmisi dopamin.
5
Penggunaan opioid yang berkelanjutan membuat tubuh mengadalkan diri kepada adanya
drug untuk mempertahankan perasaan rewarding dan perilaku normal lain. Orang tidak
lagi mampu merasakan keuntungan reward alami (seperti makanan, air, sex) dan tidak
dapat lagi berfungsi normal tanpa kehadiran opioid.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak kembar, anak adopsi, dan saudara
kandung yang terpisah ataupun dipisahkan menjadi penyebab utama terjadinya
penyalahgunaan NAPZA.
6
opioid, katekolamin (terutama dopamin), dan sistem asam gamma-aminobutirat.
Neuron yang terutama penting adalah neuron dopaminergik pada area tegmental
ventral.
2.8 Komorbiditas
Komorbid adalah keterlibatan dua atau lebih gangguan psikiatrik pada seorang
pasien. Pada pasien yang mendapatkan terapi karena ketergatungan substansi seperti
opioid, alkohol, dan kokain, memiliki prevalensi tinggi mendapatkan gangguan psikiatri
tambahan. Hal ini dibuktikan pada studi epidemiologi bahwa orang-orang dengan
ketergantungan terhadap NAPZA lebih mudah mengalami gangguan psikiatri lain.
Gejala depresi sangat banyak ditemukan pada pasien yang didiagnosa sebagai
penyalahgunaan NAPZA ataupun ketergantungan NAPZA. Hampir 40 persen pengguna
opioid dan alkohol memenuhi kriteria diagnosis gangguan depresi mayor dalam hidup
mereka. Penggunaan NAPZA juga salah satu penyebab terjadinya bunuh diri. Orang
dengan penyalahgunaan NAPZA, sekitar 20 persen lebih rentan melakukan bunuh diri
dibandingkan populasi pada umumnya
7
2.9 Gejala Klinis
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
8
pencuriga,tertutup dan penuh rahasia.
A. Alkohol
Gangguan fisik: mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus
peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defisiensi vitamin,
fetal alcohol syndrome
Gangguan mental: depresi hingga skizofrenia
Gangguan lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik dan
tindak kekerasan.
B. Opioid
Termasuk dalam golongan opioid adalah morfin, petidin, heroin, metado, kodein.
Golongan opioid yang paling sering disalahguakan adalah heroin. Di Indonesia,
sekurangnya terdapat 300-500 ribu orang dengan adiksi heroin. Akibat
penyalahgunaan opioid adalah
a. Problem fisik:
Abses pada kulit sampai septikemia
Infeksi karena emboli, dapat sampai stroke
Endokarditis
Hepatitis B dan C
9
HIV/AIDS
Injeksi menyebabkan trauma pada jaringan syaraf lokal
Opiate neonatal abstinence syndrome.
b. Problem psikiater:
Gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif
Suicide
Depresi berat sampai skizofrenia
c. Problem sosial
Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan masyarakat
Kecelakaan lalu lintas
Perilaku kriminal sampai tindak kekerasan
Gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam,
menodong, menipu hingga membunuh)
d. Sebab-sebab kematian
Reaksi heroin akut menyebabkan kolapsnya kardiovaskuler dan
akhirnya meninggal
Overdosekarena heroin menekan susunan saraf pusat, sukar bernafas
dan menyebabkan kematian
Tindak kekerasan
Bronkhopneumonia
Endokarditis
C. Ganja
Bahan aktif ganja berasal dari tanaman ganja yang bersifat adiktif disebut delta
tetra hidrokannabinol (THK) yang hanya larut dalam lemak. Karena tidak larut dalan
air, THK tinggal lama didalam lemak jaringan (termasuk jaringan lemak otak sehingga
menyebabkan brain damage). Gambaran klinis disebabkan ganja tegolong kombinasi
CNS-depresant, stimulasi dan halusinogenik.
10
Di indonesia terdapat antara 2-3 juta orang yang pernah mengisap ganja.
Penggunaan pemula ganja, terutama dikalangan anak usia muda meningkat tajam
selama 4-5 tahun terakhir, karena ganja mudah diperoleh dimana-mana.
Akibat penyalahgunaan ganja adalah :
a.Problem fisik:
Gangguan sistem reproduksi (infertilitas, mengganggu menstruasi, maturasi organ
seksual, kehilangan libido, impotensi)
Fetal damage selama kehamilan
Infeksi sistem pernafasan (sinusitis, bronkitis kronik)
Mengandung agen sel-sel epitel kanker(kanker paru, sistem pernafasan bagian atas, saluran
pencernaan, leher dan kepala)
Empisema
Gangguan kardiovaskuler
Gangguan imunitas
Gangguan syaraf (sakit kepala, gangguan fungsi koordinasi motorik)
b. Problem psikiatri:
Gangguan memori hingga kesulitan belajar
Sindro amotivasional
Ansietas, panik hingga reaksi bingung
Psikosis paranoid sampai skizofrenia
Depresi berat sampai suicide
Apatis, perilaku antisosial
c.Problem sosial:
Kesulitan belajar sampai dikeluarkan dari sekolah
Kenakalan rmaja
Hancurnya akademic or job performance sampai kehilangan pekerjaan
Gangguan dalam mengendarai kendaraan, alat mesin
Terlibat masalah hukum
d. Sebab kematian:
Suicide
Infeksi berat
Tindak kekerasan (termasuk kecelakaan lalu lintas).
b.Problem psikiatri:
Perilaku agresif
Confusional state, psikosis paranoid sampai skizofrenia
Kondisi putus zat meneybabkan letargi, fatigue, exhausted, serangan
panik, gangguan tidur
Depresi berat sampai suicide
Halusinasi (terutama ecstasy dan shabu)
c. Problem sosial:
Tindak kekerasan (berkelahi)
Kecelakaan lalu lintas
Aktivitas kriminal
d. Sebab kematian:
Suicide
Serangan jantung
Tindak kekerasan, kecelakaan lalu lintas
12
2.10 Menetapkan Diagnosis
13
2.11 Terapi dan Upaya pemulihan
Karakteristik terapi adiksi yang efektif NIDA (National Institute of Drug Abuse,
1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut, untuk dijadikan pegangan bagi
para profesional dan masyarakat5,6:
a. Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu
b. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu. Seorang
adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan untuk masuk dalam
program terapi. Pada kesempatan pertama ia mengambil keputusan, harus secepatnya
dilaksanakan ( agar ia tidak berubah pendirian kembali )
c. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs ) individu
tersebut, tidak semata – mata hanya untuk kebutuhan memutus menggunakan
NAPZA
d. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan kalau
perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana terapi telah sesuai dengan
perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum.
e. Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat merupakan
sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif atau tidak
f. Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk
mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi
g. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi banyak pasien,
terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi perilaku lain
h. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental, harus
mendapatkan terapi untuk keduanya secara integratif
i. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan
detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka panjang
j. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu bentuk
terapi yang efektif
k. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus dimonitor
secara kontinyu
l. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS , hepatitis B dan C,
tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga menyediakan konseling untuk
14
membantu pasien agar mampu memodifikasi atau mengubah tingkah lakunya, serta
tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang beresiko
mendapatkan infeksi
m. Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka panjang dan
sering mengalami episode terapi yang berulang – ulang
3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam masyarakat.
Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema psikologi dan sosial,
melepaskan diri dari hubungan antar teman dan keluarga, kegagalan dalam performance
di sekolah maupun dalam pekerjaan, problema finensial dan hukum dan gangguan dalam
fungsi kesehatan umum. Mereka memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki
gangguan hubungannya dengan orang lain tersebut, mengembangkan keterampilan sosial
15
serta mempertahankan status dalam pekerjaannya disamping mempertahankan dirinya
semaksimal mungkin agar tetap dalam kondisi bebas obat.
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian (assesment phase), sering disebut dengan fase penilaian awal (initial
intake). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat diperoleh dari anggota
keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang menanggung biaya. Termasuk yang perlu
dinilai adalah :
a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala – gejala putus
obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah penggunaan zat
terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya penggunaan, efek subjektif dari
semua jenis zat yang digunakan.
b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status
pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya gangguan
komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala intoksikasi atau
withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga pemeriksaan psikologik dan
neuro – psikologi
c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk karakteristik
berikut: setting terapi, kontekstual (voluntary, non voluntary), modalitas terapi yang
digunakan, kepatuhan terhadap program terapi, lamanya (singkat 3 bulanan, sedang
1 tahun) dan hasil dengan program jangka panjang, berikut dengan jenis zat yang
digunakan, level fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasi
terapi lainnya
d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio –
ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya gangguan
penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor – faktor dalam
keluarga yang mengkontribusi berkembang atau penggunaan zat terus menerus,
penyesuaian sekolah dan vokasional, hubunggan dengan kelompok sebaya,
problema finansial dan hukum, pengaruh lingkungan kehidupan sekarang terhadap
kemampuannya untuk mematuhi terapi agar tetap abstinensia di komunitasnya,
16
karakteristik lingkungan pasien ketika menggunakan zat (dimana, dengan siapa,
berapa kali/ banyak, bagaimana cara penggunaan).
e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis – jenis NAPZA yang
disalahgunakan, pemerisaan – pemeriksaan laboratorium lainnya terhadap kelainan
– kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan zat akut atau menahun.
f. Skrining penyakit – penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering diketemukan
pada pasien / klien ketergantungan zat (seperti HIV, tuberkulosis, hepatitis).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase
terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
a. Rawat inap dan rawat jalan
b. Intensive out – patient treatment
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan: kodein dan ibuprofen, klonidin dan naltrexon,
buprenorfin, metadon
3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekankan
kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau menggunakan program terapi
subtitusi (seperti antagonis – naltrexon, agonis metadon, atau partial –
agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan.
Terapi yang lamanya kurang dari jangka waktu tersebut, umumnya memiliki relaps rate
yang tinggi.
17
BAB III
KESIMPULAN
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang
bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan
saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi)
terhadap NAPZA. Penyebab penyalahgunaan napza karena faktor genetik dan juga
psikodinamik. Penyalahhunaan NAPZA sendiri memiliki Komorbid dengan gangguan
kepribadian antisocial dan juga prilaku bunuh diri. Gejala-gejala klinis gangguan
penyalahgunaan NAPZA adalah: Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang
memaksa ( kompulsi ) untuk menggunakan NAPZA, kesulitan dalam mengendalikan
perilaku menggunakan NAPZA sejak awal, keadaan putus NAPZA secara fisiologis
ketika penghentian penggunaan NAPZA atau pengurangan, adanya bukti toleransi, secara
progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan NAPZA,
meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami adanya akibat
yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA. Terapi pada gangguan akibat
penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dibagi menjadi 3 fase: Fase penilaian, fase terapi
detoksifikasi, fase terapi lanjutan.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
20