Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang dengan limpahan
rahmat dan berkah-NYA, kami dapat menyelesaikan MAKALAH KEBIJAKAN PENANGANAN
NARKOTIKA kegiatan tim Analisa Dan Evaluasi Hukum Tentang Penyelidikan Dan Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi.

Narkotika dan psikotropika merupakan dua bentuk zat yang berbeda bahan dan
penggunaannya dalam ilmu kesehatan, kemudian untuk mempermudah penyebutannya,
memudahkan orang berkomunikasi dan tidak menyebutkan istilah yang tergolong panjang, dengan
demikian dapat disingkat dengan istilah ”narkoba” yaitu narkotika dan obat-obatan aditif yang
berbahaya. Namun pada umumnya orang belum tahu tentang narkotika dan psikotropika karena
memang dua zat tersebut dalam penyebutannya baik di media cetak maupun elektronika lebih
sering diucapkan dengan istilah narkoba, meskipun mereka hanya tahu macam dan jenis dari
narkoba tersebut, di antaranya ganja, kokain, heroin, pil koplo, sabu-sabu dan lain sebagainya.

Dengan adanya makalah ini, saya berharap dapat memberikan sumbangan dan masukan-
masukan dalam pengembangan ilmu hukum dan dalam praktek-praktek yang terjadi di lapangan.
Untuk dapat lebih menyempurnakan makalah ini, saya senantiasa mengharapkan kritikan dari
berbagai pihak.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang kebijakan dalam menangani
nakotika ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bandung, Januari 2024

Penulis

i
DAFTAR

ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1

1.1 LATAR BELAKANG ………………………………………………………………… 1


1.2 RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………… 2
1.3 TUJUAN PENULISAN ………………………………………………………….……. 3
1.4 MANFAAT PENULISAN …………………………………………………………….. 3

BAB II TINJAUAN UMUM ……………………………………………………………... 4

2.1 PENGERTIAN NARKOTIKA …... …………………………………………………… 4

2.2 PENGERTIAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA …………………………………….. 5

BAB III ANALSIS DAN PEMBAHASAN ……………………………………………… 7

3.1 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP NARKOTIKA …………………………….… 7

3.2 KEBIJAKAN KRIMINAL KEJAHATAN NARKOTIKA …………………………… 11

3.3 SISTEM HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA ….…………………………… 14

BAB IV KESIMPULAN ……………………………………………………………..…… 16

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Narkoba dan obat-obatan terlarang adalah kejahatan luar biasa yang dapat merusak tatanan
kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Ini bahkan dapat
membahayakan masa depan bangsa dan negara secara langsung atau tidak langsung. Dalam
beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menjadi bagian penting dari jaringan sindikat
peredaran narkotika yang luas di seluruh dunia untuk tujuan komersial. Untuk sindikat
internasional yang beroperasi di negara-negara sedang berkembang, Indonesia dianggap
sebagai pasar atau negara yang paling prospektif secara komersial. Penyalahgunaan narkoba
adalah masalah yang harus ditangani oleh Indonesia dan seluruh dunia.1
Selain itu, undang-undang yang mengatur peredaran narkotika dan psikotropika telah
dibuat dan diberlakukan, tetapi kejahatan yang berkaitan dengan narkotika dan psikotropika
belum dihentikan. Ini akan bermanfaat bagi kepentingan nasional, terutama di dalam negeri.
Banyak bandarbandar dan pengedar narkoba telah ditangkap dan diberi hukuman berat dalam
kasus terakhir. Namun, pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung
untuk memperluas operasi mereka. Konvensi ini dapat memastikan keadilan dan kepastian
hukum dalam upaya penegakan hukum peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang
melibatkan pelaku kejahatan di luar wilayah Indonesia. Ini penting dari perspektif kepentingan
nasional.2
Menurut Badan Narkotika Nasional, ada 49 jaringan narkoba internasional dan nasional
yang menyebar ke seluruh masyarakat di desa dan kota di Indonesia. Untuk memerangi
narkorba, perlu kerja sama kuat antara lembaga dan warga karena jumlah pengguna narkoba
telah meningkat hingga 4,8 juta orang. Secara keseluruhan, dari 2022 hingga Maret 2023, BNN
telah menyita sejumlah besar barang bukti narkotika dari 768 kasus tindak pidana narkotika
dengan 1.209 tersangka.

1 Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak (Malang: UMM Press, 2014), hlm. 30.
2 Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Psikotropika pasal 1.

1
Sisa narkoba yang dimusnahkan oleh BNN mencakup 2,429 ton metafetamin, 1,902 ton
sabu, 1,6 ton ganja, 184,1 ton ganja basah, lahan ganja seluas 79,4 hektar, 262.983 butir, dan
16,5 kg serbuk. Selain itu, BNN telah memusnahkan 152,8 ton ganja basah di lahan seluas 63,9
hektar. Sementara itu, BNN telah menyita sekitar 5,6 ton sabu, 6,4 ton ganja, dan 454.475
butir ekstasi selama periode 2021–2023. Jumlah barang bukti itu menunjukkan bahwa
pengguna narkoba meningkat di Indonesia.
Untuk tujuan penulisan ini, penelitian terhadap sejumlah literatur dilakukan, yang
digunakan sebagai acuan dalam penulisan ini. Tujuan dari makalah ini adalah untuk
menggambarkan keadaan kasus narkoba di Indonesia secara keseluruhan dan upaya yang
dilakukan untuk mencegahnya. Hal ini penting untuk mengkaji mengapa kasus narkoba di
Indonesia khususnya semakin meningkat setiap hari dan mengancam generasi muda,
khususnya remaja. Narkoba sangat berbahaya, dan masyarakat harus belajar untuk
mencegahnya.3 Penulisan artikel ini dilakukan melalui beberapa langkah, termasuk
pengumpulan dan analisis berbagai literatur atau referensi, seperti buku, artikel, jurnal, dan
laporan penelitian yang relevan dengan tema.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
tindak pidana/kejahatan ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Bagaimana penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika di Indonesia menurut


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?
2. Bagaimana kebijakan kriminal dalam pencegahan kejahatan narkotika di Indonesia?
3. Bagaimana sitem hukum mengenai pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia?

3 Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 1.

2
1.3 TUJUAN PENULISAN
Penelitian harus dilakukan dengan tujuan yang jelas. Ini diperlukan untuk mengetahui apa yang
sebenarnya dicari oleh peneliti agar penelitian dapat dilakukan sesuai dengan tujuan. Selain
itu, tujuan penelitian adalah untuk menentukan jenis metodologi penelitian dan kombinasi
yang paling cocok untuk masing-masing jenis penelitian hukum.
Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang
Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika dalam penanggulangan tindak pidana
Narkotika dan Psikotropika.
2. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis dalam
bidang Hukum Pidana, khususnya menyangkut masalah kebijakan hukum pidana yang
tertuang dalam Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika serta
implementasinya dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika
3. Untuk menganalisis kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penindakan kejahatan
narkotika di Indonesia dan kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penindakan
kejahatan narkotika

1.4 MANFAAT PENULISAN


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga dapat mengembangkan
pengetahuan di bidang hukum dan menjadi bahan referensi bagi penelitian-penelitian
selanjutnya yang tentu lebih mendalam lagi, khususnya mengenai upaya penegakan hukum
narkotika dan psikotropika.
2. Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan informasi kepada
masyarakat luas mengenai implementasi Undang-Undang Psikotropika dan Undang-
Undang Narkotika dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dan psiktropika

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN NARKOTIKA


Narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis
maupun semi sintetis, yang memiliki kemampuan untuk mengurangi atau perubahan
kesadaran, kehilangan rasa, pengurangan rasa sakit, dan kemungkinan ketergantungan.
Dalam bahasa Yunani, "Narkotikos" berarti "kaku" atau "tidur", yang berarti seseorang
menjadi kaku seperti patung atau tidur saat menggunakan bahan tertentu. Bahan-bahan
tertentu ini disebut "narkotika". Ada juga yang mengatakan bahwa nama narkotika berasal
dari kata yunani "narke", yang berarti terbius sehingga Anda tidak merasakan apa-apa.
Narkotika ialah zat yang digunakan menyebabkan seseorang kaku seperti patung atau tidur
(narkotikos). Lama kelamaan istilah narkotika tidak terbatas pada bahan yang
menyebabkan keadaan yang kaku seperti patung atau tidur, tetapi juga bahan yang
menimbulkan keadaan yang sebaliknya sudah dimasukkan pada kelompok narkotika.
Narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 di dalam Pasal 1 ayat (1)
diterangkan : 4

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.”

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika masih berlaku sebelum


Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada saat ini, pengertian tentang
narkoba terasa ambigu. Sebagian orang mengatakan itu obat bius, sebagian lainnya
mengatakan itu obat keras atau berbahaya.

4 Undang-undang Narkotika No, 35 tahun 2009 tentang Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika,1999), hal.74

4
Penyalahgunaan narkoba mulai terlihat di negara kita kira-kira 15 tahun yang lalu,
dan biasanya dilakukan oleh remaja, dengan berbagai jenis narkoba. Penyalahgunaan
narkoba semakin berbahaya ketika dikombinasikan dengan zat yang lebih kuat seperti
morphin dan heroin.

Pemerintah telah mengambil tindakan untuk mencegah penyalahgunaan narkotika


sejak awal, dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971, yang menangani
ancaman penyalahgunaan narkotika, kenakalan remaja, uang palsu, penyeludupan, dan
lain-lain. Setelah keluarnya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971 maka kemudian keluar
pulalah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Kemudian Undang-Undang No. 9 Tahun 1976
kemudian digantikan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 yang kemudian
digantikan lagi dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Secara
berkala undang-undang tentang narkotika ini terus berkembang, karena pengaruh
perkembangan jaman dan masyarakat yang semakin modern juga.

2.2 PENGERTIAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA


Marc Ancel dalam Barda Nawawi Arief (2011 : 23) mengemukakan bahwa Penal
Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan.5 Selanjutnya dinyatakan sebagai berikut :
“Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi
mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu
pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni
yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum
dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih,

5. M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 20

5
tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama
untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju
(progresif) lagi sehat ”.
Politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membentuk
dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Dalam melaksanakan
politik hukum pidana terdapat usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada satu waktu dan untuk masa-masa yang
akan datang. Usaha dan kebijakan untuk membentuk suatu peraturan hukum pidana yang
baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka
politik hukum 37 pidana identik dengan pengertian, “kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana”, (M. Hamdan, 1997 : 6-7, 21).
Kebijakan hukum positif yang bertujuan untuk mencegah tindak pidana
penyalahgunaan narkotika pada hakikatnya bukan hanya sebagai pelaksanaan hukum
secara sistematik dan normatif. Selain pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum
pidana juga membutuhkan pendekatan yuridis faktual. Ini dapat mencakup pendekatan
historis atau sosiologis, atau bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai
disiplin ilmu lainnya. Pendekatan ini juga harus diintegrasikan dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional secara keseluruhan (Barda Nawawi Arief, 2005: 22).

Penemuan hukum dan peran hakim dalam rangka mengisi kekosongan hukum
diharapkan sesuai dengan salah satu tujuan hukum yaitu dapat menjamin kepastian.6
Apabila penyalahgunaan narkotika jenis baru berpotensi menimbulkan ancaman krusial
khususnya menciderai nilai-nilai keadilan masyarakat, dalam hal ini hakim sebagai salah
satu penegak fungsi litigasi harus melihat kembali Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 Ayat (1) yang mengatur bahwa, “Hakim dan
Hakim 40 Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.7

6. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm.
23-24/

7. Mahmud Mulyadi, Hukum Pidanat., hlm. 67

6
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP NARKOTIKA


Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana,
pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat dalam UU No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 111
sampai dengan Pasal 148. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat
empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undangundang dan dapat
diancam dengan sanksi pidana, yakni:9
1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 111 dan
112 untuk narkotika golongan I, Pasal 117 untuk narkotika golongan II dan Pasal
122 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (a));
2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika (Pasal 113
untuk narkotika golongan I, Pasal 118 untuk narkotika golongan II, dan Pasal
123 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf(b));
3. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 114 dan Pasal 116 untuk
narkotika golongan I, Pasal 119 dan Pasal 121 untuk narkotika golongan II, Pasal
124 dan Pasal 126 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf(c));
4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim,
mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 115 untuk
narkotika golongan I, Pasal 120 untuk narkotika golongan II dan Pasal 125 untuk
narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (d)).

9. Siswanto Sunarso, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, Jakarta:Rineka Cipta, 2012, hlm. 256

7
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur jenis-jenis
sanksi yang diberikan pada tindak pidana narkotika antara lain:
1. Tindak Pidana bagi penyalah guna atau sebagai korban penyalahgunaan
narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
2. Tindak Pidana Orang Tua / Wali dari Pecandu Narkotika Narkotika yang Belum
Cukup Umur (Pasal 128) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
3. Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi (Pasal 130) Dipidana dengan
pidana penjara dan pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali. Korporasi
dapat dijatuhi korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
4. Tindak pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana
Narkotika (Pasal 131). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
5. Tindak Pidana terhadap Percobaan dan Permufakatan Jahat Melakukan Tindak
Pidana Narkotika dan Prekursor (Pasal 132) Ayat (1), dipidana dengan pidana
pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal-Pasal tersebut. Ayat (2), dipidana pidana penjara dan pidana denda
maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).
6. Tindak Pidana bagi Menyuruh, Memberi, Membujuk, Memaksa dengan
Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak (Pasal 133) ayat (1), dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

8
7. Tindak Pidana bagi Pecandu Narkotika yang Tidak Melaporkan Diri (Pasal 134)
ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). ayat (2), dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
8. Tindak Pidana bagi Pengurus Industri Farmasi yang Tidak Melaksanakan
Kewajiban (Pasal 135). Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
9. Tindak Pidana terhadap Hasil-Hasil Tindak Pidana Narkotika dan/atau Prekursor
Narkotika (Pasal 137) huruf (a), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Huruf (b), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
10.Tindak Pidana terhadap Orang yang Menghalangi atau Mempersulit Penyidikan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Perkara (Pasal 138) Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
11.Tindak Pidana bagi Nahkoda atau Kapten Penerbang yang Tidak Melaksanakan
Ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 (Pasal 139) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
12.Tindak Pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik BNN yang Tidak
Melaksanakan Ketentuan tentang Barang Bukti (Pasal 140) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun

9
dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
13. Tindak Pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri yang Tidak Melaksanakan
Ketentuan Pasal 91 Ayat(1) (Pasal 141) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
14. Tindak Pidana bagi Petugas Laboratorium yang Memalsukan Hasil Pengujian
(Pasal 142) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
15. Tindak Pidana bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Tidak Benar (Pasal
143) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
16. Tindak Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Pengulangan Tindak Pidana
(Pasal 144) dipidana dengan pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3
(sepertiga).
17.Tindak Pidana yang dilakukan Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga Ilmu
Pengetahuan, Pimpinan Industri Farmasi, dan Pimpinan Pedagang Farmasi
(Pasal 147) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

Pasal 136 UU No. 35 Tahun 2009 memberikan sanksi berupa narkotika dan
prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika baik itu
aset bergerak atau tidak bergerak maupun berwujud atau tidak berwujud serta barang-
barang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana narkotika dirampas untuk
negara. Pasal 146 juga memberikan sanksi terhadap warga negara asing yang telah
melakukan tindak pidana narkotika ataupun menjalani pidana narkotika yakni dilakukan
pengusiran wilayah negara Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali ke wilayah

10
negara Republik Indonesia. Sedangkan pada Pasal 148 bila putusan denda yang diatur
dalam undangundang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana narkotika maka
pelaku dijatuhi penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak
dapat dibayar.

3.2 KEBIJAKAN KRIMINAL KEJAHATAN NARKOTIKA


Secara teoritis kebijakan krimiminalisasi terhadap penyalahgunaan narkotika
berangkat dari pemikiran yang dikemukakan oleh Peter Hoefnagels bahwasanya: Teori G.
Peter Hoefnagels yang menyatakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of
social reactions to crime.” 6 Teori ini merupakan perumusan kembali dari teori Marc Ancel
yang menyatakan bahwa “criminal policy is the rational organization of the control of
crime by society” (upaya rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahataN)7 .
Kemudian Hoefnagels merumuskan secara lebih rinci: 10
a. criminal policy as a science ofresponses;
b. criminal policy as a science of crimeprevention;
c. criminal policy is a policy of designating human behavior ascrime;
d. criminal policy is rational total of the responses tocrime.
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis diatas, maka penanggulangan terhadap
penyalahgunaan narkotika akan ditempuh melalui dua aspek yakni :
1. Aspek penal (hukum pidana);
2. Aspek non penal (pencegahan).
Aspek Penal, diawali dengan analisis terhadap ketentuan perundang-undangan
pidana yang berkaitan dengan narkotika dan psikotropika khususnya terhadap kebijakan
hukum pidana (penal policy), melalui kajian normatif yang merupakan tahap kebijakan
legislatief.

10. Marc Ancel, Social Defence; A Modern Approach to Criminal Problem, Routledge and Kegan Paul, London, 1965, hlm 208-209

11
Kajian selanjutnya dilakukan dengan mengamati pelaksanaan ketentuan
perundang-undangan pidana (in abstrakto) narkotika dan psikotropika ke
perundangundangan pidana (in konkrito) melalui mekanisme sistem peradilan pidana
terpadu yang merupakan tahap kebijakan aplikatief yang selanjutnya akan diteruskan pada
tahak kebijakan eksekutif. Temuan dari analisis hasil penelitian aspek penal terhadap
narkotika dan psikotropika, merupakan bahan masukan untuk melakukan perbaikan dalam
perencanaan penanggulangan penyalahgunaan narkotika dikemudian hari. Kebijakan
kriminal terhadap narkotika di Indonesia harus dilakukan sesuai dengan konsep-konsep
dasar kriminalisasi yang telah kami uraikan di atas. Kebijakan kriminal ini harus
merupakan bagian dari kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Penegasan
bahwa antara upaya penanggulangan kejahatan dan perencanaan sosial perlu terintegrasi
dalam keseluruhan kebijakan sosial sosial dan perencanaan pembangunan. Sudarto
menyatakan bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-
segi negatif dari perkembangan masyarakat (modernisasi), maka hendaknya dilihat dalam
hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planing, dan inipun harus
merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional.11
Dalam hal penanggulangan tindak pidana narkotika yang sangat erat kaitannya
dengan kebijakan sosial. Selain itu kebijakan ini juga harus disesuaikan dengan kebutuhan
yang ingin dicapai dan kondisi sosial budaya Indonesia, walaupun terdapat kreteria yang
diatur suatu pedoman namun tetap saja ada suatu nilai yang sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia. Konsep hukum seperti ini sesuai dengan pendapat Gustav Karel Von Savigny
yang menyatakan bahwa pada intinya hukum itu terdiri dari unsur politis (das politische
element) dan unsur teknis (das technische element). Unsur politis artinya bahwa isi hukum
itu adalah pencerminan jiwa bangsa maknanya ada keterkaitan yang mendalam atas isi
hukum itu dengan keyakinan-keyakinan bangsa atau jiwa bangsa (volk geist), sedang unsur
teknis adalah bahwa mengenai pengolahan hukum diserahkan kepada kaum juris yang
merupakan para ahli dalam bidang itu.12

11. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 38.

12. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Penerbit Yayasan Kanisius, Bandung, 1982, hlm. 118

12
Perkembangan pengaturan melalui instrumen hukum terhadap keberadaan
narkotika merupakan suatu siklus yang tidak terpisahkan dengan dinamika perkembangan
sosial masyarakat dalam menyikapi keberadaan narkotika di Indonesia. Masalah narkotika
telah menjadi masalah dunia.
Hal ini terbukti dengan usaha dari masing-masing negara secara internal untuk
menanggulangi bahaya narkotika antara lain dalam bentuk konvensi-konvensi
internasional, yang paling akhir melalui konvensi PBB mengenai Lalu-lintas Perdagangan
Gelap Obat Narkotika dan Psikotropika, Tanggal 19 Desember 1988. Dengan demikian
dengan mempertimbangkan fenomena bahwa tindak pidana narkotika bukan permasalahan
nasional semata, tetapi berdimensi regional maupun internasional (trans-nasional). Oleh
karena itu kebijakan kriminal terhadap tindak pidana narkotika harus bersifat komprehensif
dan merupakan reaksi terhadap bahaya yang ditimbulkan. Bahaya tersebut baik terhadap
kehidupan sosial ekonomi maupun kehidupan politik dan keamanan yang semuanya
termasuk kategori kebijakan sosial.
Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan kebijakan penal dalam undang-undang itu
antara lain dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Kebijakan kriminalisasi
• Kebijakan kriminalisasi dari Undang-Undang Narkotika terfokus pada
penyalahgunaan dan peredaran ”narkoba”nya (mulai dari penanaman,
produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya,
termasuk pemakaian pribadi), tidak pada kekayaan (”property/assets”) yang
diperoleh dari tindak pidana ”narkoba”nya itu sendiri.
• Kebijakan kriminalisasi demikian memang sesuai dengan konvensi PBB
mengenai narkotika dan Psikotropika. Namun, sebenarnya kebijakan
kriminalisasi menurut konvensi PBB tidak hanya itu, Khususnya untuk
narkotika. Konvensi PBB juga menyatakan agar dijadikan/ditetapkan sebagai
suatu tindak pidana, perbuatan ”mengubah atau mengalihkan/menstransfer
kekayaan yang diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika atau berasal
dari keikutsertaan melakukan tindak pidana itu, untuk tujuan
menyembunyikan asal usul gelap dari kekayaan itu atau untuk tujuan

13
membantu seseorang menghindari akibat-akibat hukum dari keterlibatannya
melakukan tindak pidana itu.

Rumusan tindak pidana seperti di atas tidak ada dalam Undang-Undang Narkotika
(Nomor 35 Tahun 2009). Namun saat ini sudah dimasukkan dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering).
Hanya patut dicatat, bahwa menurut UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 (Pasal 2) ada
pembatasan jumlah/nilai uang atau harta kekayaan yang dicuci, yaitu Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) atau lebih. Pembatasan ini dapat juga mempengaruhi efektivitas
penegakan hukumnya karena tidak mustahil dapat digunakan sebagai celah-celah untuk
lolos dari jaringan hukum dengan jalan memecah-mecah uang yang dicuci itu dibawah nilai
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

3.3 SISTEM HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA


Pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika sangat diperlukan sehingga dalam Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 perlu dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disebut dengan
BNN. BNN merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. BNN berkedudukan di ibukota negara
dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan mempunyai
perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. BNN Provinsi berkedudukan di ibukota
provinsi dan BNN kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dan BNN
kabupaten/kota merupakan instansi vertical.13 .
Tugas dan wewenang BNN dalam pasal 70 Undang-Undang No.35 Tahun 2009
tentang Narkotika adalah:
1. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
2. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;

14
3. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
4. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat;
5. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
6. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
7. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
8. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
9. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
10.membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

13. Ibid, hlm. 297.

15
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 KESIMPULAN

Tindakan pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia


meliputipertanggungjawaban pidana, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana dan sanksi pidana. Pertanggungjawaban pidana itu sendiri terdiri dari pertanggungjawaban
yang dilakukan oleh manusia dan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Perbuatan-perbuatan
yang dilarang terdiri mengedarkan narkotika atau prekursor narkotika dan menyalahgunakan
narkotika atau prekursor narkotika baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Terdapat sanksi
dalam undang-undang ini yaitu sanksi pidana yang terdiri dari sanksi pidana pokok dan tambahan.
Pidana pokok terdiri pidana mati, penjara, kurungan dan denda. Sedangkan pidana tambahan
terdiri pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum untuk korporasi. Sanksi tindakan
yang diberikan adalah pengobatan dan rehabilitasi kepada pecandu atau korban penyalahgunaan
narkotika. Dalam Undang-Undang Narkotika ini juga mengatur fungsi dan peran Badan Narkotika
Nasional sebagai lembaga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika. BNN mempunyai peran dan fungsi sebagai penyidik dalam rangka pemberantasan
penyalahgunaan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.
Kemudian juga dilakukan penyusunan perundang undang tindak pidana narkotika yang lebih
mempunyai kepastian hukum bukannya kebanyakan pasal pasal bersifat karet dan multi tafsir.
Pembaharuan terhadap kebijakan kriminal bagi penyalahgunaan narkotika secara khusus dalam
perundang undangan tersendiri tanpa menggabungkan dengan ketentuan hukum pidana lain.

16
DAFTAR PUSTAKA

Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004.

O.C. Kaligis & Associates, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana
Melalui Perundangan dan Peradilan, Alumni, Bandung, 2002.

Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan-bahan kuliah Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2011

Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004

A. R. Sujono, Komentar dan Pembahasan Undang- undang. Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, Sinar grafika, Jakarta, 2013.

Marc Ancel, Social Defence; A Modern Approach to Criminal Problem, Routledge and Kegan
Paul, London, 1965

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Penerbit Yayasan Kanisius, Bandung, 1982.

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Indonesia. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Indonesia. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian


Uang. UU No. 8 tahun 2017

Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta :2008. Mulyadi, Lilik. Bunga
Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik., Bandung:PT Alumni, 2008. --------, ,
Politik Hukum Pidana Bahan Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011.
Hamdan, M. Politik Hukum Pidana, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997. Lamintang, P.A.F.

17
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Adiyta Bakti, 1997. Sunarso, Siswantoro.
Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

18

Anda mungkin juga menyukai